III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada fase seksualitas betina karena pada gonadnya menghasilkan oosit. Belut dengan ukuran panjang antara 40,5-50 cm sudah memasuki fase interseks karena ditemukan ovari dan testis di dalam tubuhnya. Belut dengan ukuran panjang lebih dari 50,5 cm sudah masuk fase seksualitas jantan karena pada gonadnya menghasilkan spermatosit. Data hasil identifikasi 60 sampel belut dari pembedahan yang telah dilakukan dapat dilihat secara rinci pada Lampiran 2. Tabel 3 Identifikasi jenis kelamin belut berdasarkan rentang ukuran panjang. Seksualitas Panjang (cm) 20, , , ,5-60 Betina Interseks Jantan Pada Gambar 4 dan Gambar 5 berikut ini adalah hasil pengamatan gonad belut secara mikroskopis dan makroskopis. Betina Interseks Jantan Gambar 4 Gonad belut secara mikroskopis. Betina Jantan Gambar 5 Gonad belut secara makroskopis Kematangan Gonad Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa belut memiliki keragaman tingkat kematangan gonadnya. Morfologi belut yang matang gonad (TKG IV) memiliki 8

2 ciri-ciri umum yaitu pada betina memiliki genital berwarna merah, 1/3 perut bagian belakang ke arah genital terlihat penuh terisi telur dan bagian perut berwarna kuning kemerahan sedangkan pada jantan yaitu urogenital berwarna merah dan bagian perut berwarna coklat ke abu-abuan. Namun, ciri-ciri pada belut jantan dan betina tidak lengkap ditemukan pada seluruh sampel belut yang memiliki TKG IV (12 sampel betina dan 3 sampel jantan). Rincian hasil penentuan tingkat kematangan gonad belut dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 4 Sebaran tingkat kematangan gonad belut. TKG Betina Seksualitas Jantan Interseks TKG I TKG II TKG III TKG IV Interseks Pemijahan Alami Pengamatan lubang dilakukan setelah 1,5 bulan pemeliharaan hasilnya yaitu lubang belut yang digunakan sebagai tempat perlindungan dan pemijahan secara umum memiliki bentuk bulat seperti terowongan mengarah vertikal ke arah bawah kemudian mendatar. Namun, sarang penyimpanan telur maupun ciri-ciri adanya pemijahan dengan ditandai busa di sekeliling lubang tidak terlihat pada saat diamati. Gambar 6 berikut ini merupakan lubang persembunyian belut yang ditemukan pada bak pemijahan alami. (a) (b) (c) keterangan: (a) lubang di atas pematang, (b) lubang di dekat pematang, (c) lubang di antara pematang. Gambar 6 Lubang persembunyian belut selama pemeliharaan di bak pemijahan alami. Suhu harian pada bak pemijahan berkisar antara C sedangkan ph harian seluruh bak cenderung stabil pada nilai ph 6. Secara umum, kualitas air antara setiap bak tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik ph ataupun suhu. 9

3 Jumlah lubang pada setiap bak memiliki jumlah yang berbeda, yaitu pada bak 1 sebanyak 32 lubang, bak 2 sebanyak 40 lubang, bak 3 sebanyak 32 lubang sedangkan bak 4 sebanyak 35 lubang (Tabel 5). Tabel 5 Jumlah lubang belut dan kisaran suhu serta ph selama pemeliharaan pada bak pemijahan alami. Parameter 1 2 Bak 3 4 Jumlah lubang belut Kisaran suhu harian ( o C) Kisaran ph harian Seluruh bak dilakukan pemanenan setelah 2 bulan masa pemeliharaan, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah belut yang dimasukan pada setiap bak berkurang. Rasio yang digunakan dalam pemijahan untuk bak 1, bak 4, bak 3, dan bak 2 antara jantan:betina yaitu 1:2, 1:3, 1:4, dan 1:5. Namun, dari keempat rasio tersebut hanya rasio 1:4 saja yang berhasil, yaitu pada bak 3 dengan jumlah induk belut sebanyak 20 ekor pada kepadatan 3 ekor/m 2 dengan jumlah benih sebanyak 3 ekor (Tabel 6). Perbandingan induk betina dan benih belut hasil pemanenan bak 3 dapat dilihat pada Gambar 7. Induk yang ditebar pada setiap bak dapat dilihat pada Lampiran 3-6 dan benih yang dipanen dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 6 Hasil pemanenan belut pada seluruh bak pemijahan alami. Bak Awal Penelitian (ekor) Akhir Penelitian (ekor) Rasio jantan:betina Betina Jantan Betina Jantan Benih 1 1: : : : (a) (b) (c) (d) (e) (f) keterangan: Induk belut betina: (a) 34,7 cm, (b) 30,2 cm, (c) 30 cm dan benih belut: (d) 25,4 cm, (e) 24,5 cm, dan (f) 17 cm. Gambar 7 Perbandingan beberapa induk belut betina dengan seluruh benih hasil pemanenan pada bak ke 3. 10

4 3.1.4 Pemijahan dengan Perangsangan Hormon Perangsangan ovulasi induk betina menggunakan ovaprim yang dilakukan selama 24 jam menunjukkan hasil bahwa penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5 ml/kg dan 0,7 ml/kg bobot induk memberikan peningkatan bobot setiap pengamatannya, namun peningkatan tersebut kurang dari 10% bobot awal dan keberhasilan ovulasi tidak terjadi. Suhu yang diamati pada jam ke 8, 16, 20, dan 24 berkisar antara C (Tabel 7). Tabel 7 Hasil penyuntikan induk belut betina matang gonad menggunakan ovaprim. Parameter Induk 1 Induk 2 Induk 3 Induk 4 Jam ke- (0,5 ml/kg) (0,5 ml/kg) (0,7 ml/kg) (0,7 ml/kg) Dosis penyuntikan (ml) - 0,009 0,014 0,022 0,016 Bobot awal (g) - 17,60 27,48 31,61 23,42 Bobot akhir (g) 8 18,51 28,15 31,98 23, ,60 28,45 32,03 24, ,72 28,56 32,15 24, ,76 28,68 33,38 24,50 ΔW (g) - 1,16 1,20 1,77 1,08 Suhu ( o C) , Keberhasilan ovulasi - tidak berhasil tidak berhasil tidak berhasil tidak berhasil 3.2 Pembahasan Penelitian diawali dengan penentuan betina dan jantan, identifikasi kematangan gonad, upaya pemijahan secara alami, dan upaya pemijahan dengan perangsangan hormon. Penentuan betina dan jantan, berdasarkan Tabel 3 hasilnya adalah pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut masih berada pada fase seksualitas betina karena pada gonadnya berkembang sel telur atau menghasilkan oosit. Belut dengan ukuran panjang antara 40,5-50 cm sudah memasuki fase interseks karena ditemukan ovari dan testis di dalam tubuhnya. Belut dengan ukuran panjang lebih dari 50,5 cm sudah masuk fase seksualitas jantan. Chan dan Philip (1969) dalam Gong et al (2011) menyatakan bahwa perubahan kelamin belut sawah biasanya terjadi setelah pemijahan atau setelah belut mencapai ukuran panjang cm dan secara umum belut betina memiliki ukuran panjang total kurang dari 40 cm. Khanh dan Ngan (2010) menambahkan bahwa belut jantan umumnya memiliki panjang total di atas 50 cm. 11

5 Belut sawah dapat dikategorikan sebagai hermaprodit protogini karena mengalami perubahan kelamin dari betina menjadi jantan dan mengalami fase perubahan kelamin yang disebut sebagai fase interseks. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shi (2005), yaitu belut sawah merupakan hermaprodit protogini karena mengalami perubahan kelamin secara alami, pada fase juvenil adalah betina selanjutnya memasuki fase interseks dimana kedua organ kelamin betina dan jantan dengan spermatosit dan oosit berkembang, kemudian pada fase akhir berubah menjadi jantan. Tang et al. (1974) menambahkan bahwa belut mengalami perubahan kelamin atau bersifat hermaprodit protogini yang mengalami perubahan fungsional dari betina, interseks, dan fase jantan fungsional selama siklus hidupnya. Belut pada tingkat kematangan gonad (TKG) IV adalah kondisi yang diinginkan untuk dilakukan pemijahan karena gonad sudah mencapai tingkat kematangan gonad akhir atau sudah matang gonad sehingga memiliki peluang keberhasilan pemijahan yang lebih besar daripada tingkat kematangan gonad I, II ataupun III. Hasil identifikasi kematangan gonad menunjukkan bahwa belut memiliki tingkat kematangan gonad yang beragam (Tabel 4), dari 60 sampel yang diamati hanya 15 ekor yang mencapai TKG IV yaitu terdiri dari 12 ekor betina dan 3 ekor jantan. Bahri (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penentuan TKG jantan sulit dilakukan secara visual ataupun menggunakan asetokarmin karena secara umum gonad terdiri dari sperma dan telur yang ada di dalam tubuhnya dan tidak diketahui apakah sperma yang ada mampu membuahi atau tidak. Morfologi belut yang matang gonad (TKG IV) memiliki ciri-ciri umum yaitu pada betina memiliki genital berwarna merah, 1/3 perut bagian belakang ke arah genital terlihat penuh terisi telur dan bagian perut berwarna kuning kemerahan sedangkan pada jantan yaitu urogenital berwarna merah dan bagian perut berwarna coklat ke abu-abuan. Namun, dari 12 ekor belut betina dan 3 ekor belut jantan TKG IV tidak lengkap ditemukannya ciri-ciri umum pada sampel yang diamati. Selain itu, bobot dan ukuran panjang belut tidak dapat dijadikan sebagai ciri-ciri dalam menentukan tingkat kematangan gonad walaupun umumnya pada ikan akan terjadi perkembangan gonad dan mencapai maksimal 12

6 sesaat akan memijah kemudian akan menurun cepat setelah selesainya pemijahan. Perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan indeks kematangan gonad (IKG) (Effendie 1979 dalam Bahri 2000). Namun, pada penelitian Elis (2003) menyatakan bahwa indeks kematangan gonad belut tidak dipengaruhi oleh panjang dan berat tubuh. Oleh karena itu, belut betina dan jantan TKG IV belum dapat dicirikan secara khusus baik berdasarkan ciri-ciri morfologi, bobot ataupun ukuran. Upaya pemijahan alami dilakukan pada bak terpal yang telah dibuat seperti habitat alami belut yaitu mengisi bak dengan lumpur setinggi 30 cm dan membuat pematang setinggi 20 cm. Hal ini didasarkan pada pernyataan Gong et al. (2011) bahwa habitat alami belut adalah lingkungan seperti sawah, kolam berlumpur, rawa, dan kanal. Belut memiliki kemampuan hidup di daerah berlumpur karena mempunyai alat pernafasan tambahan berupa kulit tipis berlendir yang terdapat pada rongga mulut yang berfungsi menyerap oksigen langsung dari udara (Sarwono 1999 dalam Bahri 2000). Liem (1980) dalam Straight et al. (2005) menyatakan bahwa belut dapat diberikan pakan berupa ikan kecil, udang, siput, larva, serangga-serangga, katak, telur katak, dan berudu. Oleh karena itu, pakan yang diberikan untuk belut selama pengupayaan pemijahan adalah pakan hidup berupa ikan seribu yang diberikan secara ad libitum. Suhu harian bak pemijahan berkisar antara C (Tabel 5). Suhu tersebut memiliki kisaran yang berbeda dengan Sterba dan Habil (1962) dalam Elis (2003), suhu yang disukai belut berkisar antara C. Nilai ph harian cenderung stabil pada ph 6 (Tabel 5), nilai ph ini masih dalam kisaran normal yang dinyatakan oleh Asmawi (1983) dalam Bahri (2000), yaitu perairan yang baik untuk kehidupan ikan adalah perairan dengan ph 6-8,7. Pemeriksaan dan pengamatan lubang pada pematang dilakukan setelah 1,5 bulan masa pemeliharaan untuk mengetahui adanya sarang di dalam lubang yang diduga sebagai tempat menyimpan telur serta mengetahui bentuk lubang yang dibuat oleh belut. Berdasarkan Tabel 5, jumlah lubang belut pada setiap bak memiliki jumlah yang berbeda, yaitu pada bak 1 berjumlah 32 lubang, bak 2 berjumlah 40 lubang, bak 3 berjumlah 32 lubang, dan bak 4 berjumlah 35 lubang. 13

7 Lubang belut secara umum berbentuk bulat seperti terowongan mengarah vertikal ke arah bawah kemudian mendatar. Hal ini sesuai dengan Handojo (1986) dalam Elis (2003), belut sawah hidup di tanah lumpur sampai kedalaman lebih dari 10 cm dengan cara menggali lubang seperti sebuah terowongan yang berliku-liku, arah lubang awalnya vertikal mengarah ke bawah kemudian mendatar. Pemanenan belut dilakukan pada seluruh bak setelah 2 bulan masa pemeliharaan. Berdasarkan Tabel 6, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah belut yang dimasukan pada setiap bak berkurang setelah dilakukannya pemanenan, baik untuk jumlah betina ataupun jantan. Hal ini diduga adanya kemungkinan belut yang mati di dalam lubang dan belut yang saling memakan. Bak 3 menunjukkan bahwa pemijahan belut secara alami berhasil terjadi walaupun hanya 3 ekor benih yang didapatkan. Rasio penebaran antara jantan:betina pada bak 3 yaitu 1:4 dengan kepadatan 3 ekor/m 2. Jumlah benih yang sedikit (3 ekor) diduga karena belut betina melakukan pemijahan sebagian-sebagian (partial spawner) karena dari hasil identifikasi gonad yang telah dilakukan terlihat bahwa telur belut tidak seluruhnya memiliki diameter telur yang sama besar. Penelitian Elis (2003) dan Bahri (2000) membenarkan bahwa belut betina dalam memijah, telur dikeluarkan sebagian-sebagian atau bertahap (partial spawner). Selain itu, telur belut memiliki ukuran yang lebih besar daripada ikan lainnya, secara umumnya ikan yang memiliki ukuran telur besar memiliki fekunditas yang kecil dibandingkan dengan ikan yang memiliki ukuran telur kecil sehingga menyebabkan benih yang dihasilkan hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sumantadinata (1981) bahwa hubungan ukuran butir telur dengan fekunditas terdapat kecenderungan bahwa semakin kecil ukuran butir telur maka fekunditasnya semakin tinggi. Bahri (2000) menambahkan bahwa fekunditas belut berkisar antara butir dengan diameter telur berkisar antara 0,75-3,23 mm. Belut jantan juga memiliki kematangan gonad yang tidak bersamaan dengan betina karena jarang ditemukannya gonad jantan yang memiliki tingkat kematangan gonad IV saat pengidentifikasian kematangan gonad sehingga belut jantan yang mampu membuahi belut betina untuk terjadinya pemijahan hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tao et al (1993) bahwa faktor kendala dalam budidaya belut yaitu sulitnya ketersediaan seksual jantan yang matang gonad. 14

8 Seluruh belut yang telah dipijahkan secara alami selanjutnya dipindahkan ke wadah akuarium. Pemijahan dengan perangsangan hormon dilakukan dengan menggunakan 4 ekor induk betina yang matang gonad di antara induk-induk yang telah digunakan pada pemijahan alami. Induk belut betina selanjutnya disuntik menggunakan ovaprim dengan tujuan untuk perangsangan ovulasi. Ovaprim digunakan sebagai perangsangan ovulasi karena ovaprim merupakan campuran antara analog dari salmon gonadotropin releasing hormon (sgnrh)-lhrh dan domperidone (Permana 2009), hormon sgnrh berperan dalam pengeluaran gonadotropin pada ikan untuk proses ovulasi maupun vitelogenesis sedangkan domperidone merupakan anti dopamin yang berperan untuk menghentikan peran dopamin yaitu menghambat sekresi gonadotropin dan membantu peningkatan sekresi 2 gonadotropin. Kedua bahan tersebut digunakan untuk membuat ikan cepat berovulasi (Nandeesha et al. 1990). Sumantri (2006) menambahkan bahwa beberapa kegunaan ovaprim yaitu menekan musim pemijahan, merangsang pematangan gonad sebelum musim pemijahan normal, memaksimalkan potensi reproduksi, dan mempersingkat periode pemijahan. Permana (2009) dalam penelitiannya menggunakan ovaprim dengan dosis 0,5 ml/kg bobot induk yang disuntikkan pada ikan Sumatra dengan keberhasilan mencapai 90%. Nandeesha et al. (1990) juga melaporkan bahwa ovaprim yang disuntikkan secara intramuscular dengan dosis 0,5 ml/kg telah mampu menginduksi pembenihan pada Indian major carp. Syndel Laboratories Ltd. (2012) menambahkan bahwa dosis ovaprim secara umum untuk ikan adalah 0,5 ml/kg berat badan. Dosis ini dapat bervariasi di antara spesies dan lokasi. Berdasarkan hal tersebut maka dosis 0,5 ml/kg dan 0,7 ml/kg bobot induk digunakan sebagai dasar penentuan dosis untuk percobaan penyuntikan belut menggunakan ovaprim secara intramuscular. Penentuan jam ke 8, 16, 20, dan 24 setelah penyuntikan untuk dilakukan pengamatan keberhasilan ovulasi atau percobaan stripping didasarkan pada penelitian Permana (2009), stripping pertama dilakukan pada jam ke 8 setelah penyuntikan. Jika rentang waktu belum mengalami ovulasi maka dilanjutkan pengamatan setiap 3 jam selama 24 jam. Setelah rentang waktu tersebut ikan dianggap tidak memijah dan dimasukan ke dalam akuarium pemulihan. 15

9 Penentuan waktu ditentukan secara lebih umum oleh Syndel Laboratories Ltd. (2012) bahwa ikan golongan Carp dan Catfish umumnya memijah dalam rentang waktu 8-24 jam setelah penyuntikan. Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui suhu lingkungan saat terjadinya ovulasi, suhu yang diukur berkisar antara C. Suhu tersebut masih dalam kondisi normal untuk pemijahan belut karena menurut Sarwono (1999) dalam Bahri (2000) perkawinan belut umumnya terjadi pada malam hari yang panas hingga suhu air naik menjadi 28 0 C lebih. Berdasarkan Tabel 7, penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5 ml/kg dan 0,7 ml/kg memberikan peningkatan bobot kurang dari 10% bobot awal, artinya respons perangsangan tidak berlangsung karena penyerapan air untuk final maturation tidak terjadi sehingga tidak ada pengaruh untuk terjadinya ovulasi dan belut tidak dapat di stripping. Kenaikan bobot diduga karena organ tubuh menyerap zat cair yang diterima akibat penyuntikan yang dilakukan tetapi tidak memberikan pengaruh perangsangan ke otak untuk ovulasi, artinya pada penyuntikan terjadi proses pematangan akhir yang hanya berlangsung secara alami tanpa adanya pengaruh dari ovaprim yang disuntikkan. Menurut Woynarovich dan Hovart (1980) dalam Arfah et al. (2006), efek pertama dari gonadotropin pada telur adalah pergerakan nukleus ke arah mikrofil yang diikuti oleh hidrasi yaitu telur akan menyerap air dan disempurnakan selama tahap preovulasi. Hal ini terlihat dari pengukuran lebar perut ikan sebelum dan sesudah penyuntikan pertama. Respon positif dari ikan terhadap penyuntikan ditandai dengan bertambahnya lebar perut akibat pengaruh dari ovaprim yang disuntikkan. Selain pengukuran lebar perut, untuk mengetahui adanya perkembangan telur dilakukan penimbangan bobot ikan sebelum dan sesudah pemberian ovaprim akan tetapi perkembangan yang terjadi sangat kecil sehingga tidak memberikan perbedaan yang berarti terhadap berat tubuh ikan artinya penyuntikan tidak memberi pengaruh terhadap sampel yang disuntikan. Basuki (2007) menambahkan bahwa lambatnya reaksi hormonal juga diduga menjadi penyebab tidak terjadinya ovulasi karena tidak sampainya rangsangan menuju otak. Selain itu, menurut Mittelmark dan Kapuscinski (2008) bahwa faktor kesiapan induk juga diduga sebagai penyebab tidak terjadinya ovulasi. 16

II. METODOLOGI 2.1 Prosedur Pelaksanaan Penentuan Betina dan Jantan Identifikasi Kematangan Gonad

II. METODOLOGI 2.1 Prosedur Pelaksanaan Penentuan Betina dan Jantan Identifikasi Kematangan Gonad II. METODOLOGI 2.1 Prosedur Pelaksanaan Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut sawah (Monopterus albus) yang diperoleh dari pengumpul ikan di wilayah Dramaga. Kegiatan penelitian terdiri

Lebih terperinci

UPAYA PEMIJAHAN IKAN BELUT SAWAH (Monopterus albus) AHMAD FATTAYA

UPAYA PEMIJAHAN IKAN BELUT SAWAH (Monopterus albus) AHMAD FATTAYA UPAYA PEMIJAHAN IKAN BELUT SAWAH (Monopterus albus) AHMAD FATTAYA DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai bulan Januari 2013 bertempat di Hatcery Kolam Percobaan Ciparanje

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13 PEMBENIHAN : SEGALA KEGIATAN YANG DILAKUKAN DALAM PEMATANGAN GONAD, PEMIJAHAN BUATAN DAN PEMBESARAN LARVA HASIL PENETASAN SEHINGGA MENGHASILAKAN BENIH YANG SIAP DITEBAR DI KOLAM, KERAMBA ATAU DI RESTOCKING

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were.

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were. II. METODOLOGI 2.1 Materi Uji Sumber genetik yang digunakan adalah ikan nilem hijau dan ikan nilem were. Induk ikan nilem hijau diperoleh dari wilayah Bogor (Jawa Barat) berjumlah 11 ekor dengan bobot

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hepatosomatic Index Hepatosomatic Indeks (HSI) merupakan suatu metoda yang dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam hati secara kuantitatif. Hati merupakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada 8 induk ikan Sumatra yang mendapat perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukan Spawnprime A dapat mempengaruhi proses pematangan akhir

Lebih terperinci

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Balai Benih Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Balai Benih Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu nr. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Balai Benih Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau pada tanggal 10 sampai dengan 28 Desember 2003.

Lebih terperinci

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks Persentase Rasio gonad perberat Tubuh Cobia 32 Pembahasan Berdasarkan hasil pengukuran rasio gonad dan berat tubuh cobia yang dianalisis statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin

Lebih terperinci

Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA

Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA BBPBAT Sukabumi 2007 Daftar Isi 1. Penduluan... 1 2. Persyaratan Teknis... 2 2.1. Sumber Air... 2 2.2. Lokasi...

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PEMBENIHAN IKAN TEKNOLOGI PEMIJAHAN IKAN DENGAN CARA BUATAN (INDUCE BREEDING)

PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PEMBENIHAN IKAN TEKNOLOGI PEMIJAHAN IKAN DENGAN CARA BUATAN (INDUCE BREEDING) PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PEMBENIHAN IKAN TEKNOLOGI PEMIJAHAN IKAN DENGAN CARA BUATAN (INDUCE BREEDING) DISUSUN OLEH : TANBIYASKUR, S.Pi., M.Si MUSLIM, S.Pi., M.Si PROGRAM STUDI AKUAKULTUR FAKULTAS

Lebih terperinci

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Relasi panjang berat dan aspek reproduksi ikan beureum panon (Puntius orphoides) hasil domestikasi di Balai Pelestarian Perikanan Umum dan Pengembangan Ikan Hias (BPPPU)

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari April 2010 sampai Januari 2011, di Laboratorium Pembenihan Ikan Ciparanje dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Sumatra Gambar 1. Ikan Sumatra Puntius tetrazona Ikan Sumatra merupakan salah satu ikan hias perairan tropis. Habitat asli Ikan Sumatra adalah di Kepulauan Malay,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013.

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat-alat Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Kolam Pemijahan Kolam pemijahan dibuat terpisah dengan kolam penetasan dan perawatan larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga mudah

Lebih terperinci

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M :

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M : LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS NAMA KELAS : IMADUDIN ATHIF : S1-SI-02 N.I.M : 11.12.5452 KELOMPOK : G STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat

Lebih terperinci

USE OF OVAPRIM WITH DIFFERENT DOSES ON SPERM QUALITY AND SPAWNING OF SIGNAL BARB (Labeobarbus festivus, Heckel 1843) By:

USE OF OVAPRIM WITH DIFFERENT DOSES ON SPERM QUALITY AND SPAWNING OF SIGNAL BARB (Labeobarbus festivus, Heckel 1843) By: USE OF OVAPRIM WITH DIFFERENT DOSES ON SPERM QUALITY AND SPAWNING OF SIGNAL BARB (Labeobarbus festivus, Heckel 1843) By: Rozi Ramadhani Putra 1), Netti Aryani 2), Mulyadi 2) ABSTRACT This research was

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan Ben s Fish Farm mulai berdiri pada awal tahun 1996. Ben s Fish Farm merupakan suatu usaha pembenihan larva ikan yang bergerak dalam budidaya ikan konsumsi, terutama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus var) menurut Kordi, (2010) adalah. Subordo : Siluroidae

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus var) menurut Kordi, (2010) adalah. Subordo : Siluroidae BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus var) Klasifikasi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus var) menurut Kordi, (2010) adalah sebagai berikut : Phylum

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 8 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan Juli 2009 di Kolam Percobaan Babakan, Laboratorium Pengembangbiakkan dan Genetika Ikan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 12 3 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan bulan November 2012 di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar, Cijeruk, Bogor. Analisis hormon testosteron

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Hasil percobaan perkembangan bobot dan telur ikan patin siam disajikan pada Tabel 2. Bobot rata-rata antara kontrol dan perlakuan dosis tidak berbeda nyata. Sementara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rasio Kelamin Ikan Nilem Penentuan jenis kelamin ikan dapat diperoleh berdasarkan karakter seksual primer dan sekunder. Pemeriksaan gonad ikan dilakukan dengan mengamati

Lebih terperinci

LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS

LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS NAMA : SUKAMTO HADI NIM : 11.02.7945 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012 PELUANG BISNIS 1. ABSTRAK Pengertian Bisnis Bisnis adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu

Lebih terperinci

Pematangan Gonad di kolam tanah

Pematangan Gonad di kolam tanah Budidaya ikan patin (Pangasius hypopthalmus) mulai berkemang pada tahun 1985. Tidak seperti ikan mas dan ikan nila, pembenihan Patin Siam agak sulit. Karena ikan ini tidak bisa memijah secara alami. Pemijahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan hike adalah nama lokal untuk spesies ikan liar endemik yang hidup pada perairan kawasan Pesanggrahan Prabu Siliwangi, Desa Pajajar, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

AQUACULTURE POND BOTTOM SOIL QUALITY MANAGEMENT

AQUACULTURE POND BOTTOM SOIL QUALITY MANAGEMENT UNDERSTANDING POND AQUACULTURE POND BOTTOM SOIL QUALITY MANAGEMENT Soil Profile Soil Triangle Clear plastic liner tube & sediment removal tool Sediment Sampler Soil acidity tester Food web in Aquaculture

Lebih terperinci

Gambar^. Induk selais betina yang digabung dengan induk jantan. 3.4.3 Pemijahan Semi Alami Tahapan pekerjaan pada pemijahan semi alami/ semi buatan adalah : a. Seleksi induk jantan dan betina matang gonad

Lebih terperinci

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA KULIAH LINGKUNGAN BISNIS Usaha Pembenihan Ikan Bawal Di susun oleh: Nama : Lisman Prihadi NIM : 10.11.4493 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2010 / 2011 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan bawal merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 23 Februari sampai 11 Maret 2013, di Laboratorium Akuakultur dan untuk pengamatan selama endogenous

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma) 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kalibaru mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan Teluk Jakarta

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perlakuan penyuntikan hormon PMSG menyebabkan 100% ikan patin menjadi bunting, sedangkan ikan patin kontrol tanpa penyuntikan PMSG tidak ada yang bunting (Tabel 2).

Lebih terperinci

PEMIJAHAN IKAN TAWES DENGAN SISTEM IMBAS MENGGUNAKAN IKAN MAS SEBAGAI PEMICU

PEMIJAHAN IKAN TAWES DENGAN SISTEM IMBAS MENGGUNAKAN IKAN MAS SEBAGAI PEMICU Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (2): 103 108 (2005) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 103 PEMIJAHAN IKAN TAWES DENGAN SISTEM IMBAS MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA BUDIDAYA IKAN LELE Sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah Lingkungan Bisnis STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Oleh: Mada Mahatma 11.12.5828 Kelas 11.S1SI.07 Sistem Informasi Budidaya Ikan Lele Jenis Ikan Lele memang memiliki

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH MERAIH SUKSES DENGAN BISNIS BUDIDAYA IKAN LELE

KARYA ILMIAH MERAIH SUKSES DENGAN BISNIS BUDIDAYA IKAN LELE KARYA ILMIAH MERAIH SUKSES DENGAN BISNIS BUDIDAYA IKAN LELE Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Lingkungan Bisnis NAMA : BUNGA DWI CAHYANI NIM : 10.11.3820 KELAS : S1 TI-2D STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

PEMBENIHAN KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer)

PEMBENIHAN KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer) PEMBENIHAN KAKAP PUTIH (Lates Calcarifer) 1. PENDAHULUAN Kakap Putih (Lates calcarifer) merupakan salah satu jenis ikan yang banyak disukai masyarakat dan mempunyai niali ekonomis yang tinggi. Peningkatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Percobaan tahap pertama mengkaji keterkaitan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 yang ditambahkan dalam pakan buatan dari sumber alami

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari subset penelitian faktorial untuk mendapatkan dosis PMSG dengan penambahan vitamin mix 200 mg/kg pakan yang dapat menginduksi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar SNI : 02-6730.3-2002 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar Prakata Standar produksi benih kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Hatchery dan Laboratorium Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran (FPIK Unpad) pada bulan Juni

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Pada penelitian ini dilakukan analisis kelayakan finansial untuk mengetahui kelayakan pengusahaan ikan lele, serta untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan pada kelompok

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga bulan September 2013 bertempat di Laboratorium Fisisologi Hewan Air dan hatchery Ciparanje

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. 3.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas

Lebih terperinci

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI 5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI Pengukuran parameter reproduksi akan menjadi usaha yang sangat berguna untuk mengetahui keadaan kelamin, kematangan alat kelamin dan beberapa besar potensi produksi dari

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6483.3-2000 Standar Nasional Indonesia Produksi induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock) DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kedudukan Taksonomi dan Ciri-ciri Morfologi Ikan Patin. Kedudukan taksonomi ikan patin adalah sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kedudukan Taksonomi dan Ciri-ciri Morfologi Ikan Patin. Kedudukan taksonomi ikan patin adalah sebagai berikut: 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kedudukan Taksonomi dan Ciri-ciri Morfologi Ikan Patin Kedudukan taksonomi ikan patin adalah sebagai berikut: Ordo : Ostariophysi Sub-ordo : Siluroidea Famili : Pangasidae Genus

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar SNI : 01-6140 - 1999 Standar Nasional Indonesia Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar Daftar Isi Pendahuluan Halaman 1. Ruang lingkup... 1 2. Acuan... 1 3. Definisi...

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6138 - 1999 Standar Nasional Indonesia Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Pendahuluan Halaman 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik ikan nila merah Oreochromis sp. Ikan nila merupakan ikan yang berasal dari Sungai Nil (Mesir) dan danaudanau yang berhubungan dengan aliran sungai itu. Ikan nila

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS AROMATASE INHIBITOR DALAM PEMATANGAN GONAD DAN STIMULASI OVULASI PADA IKAN SUMATRA Puntius tetrazona DODI PERMANA SKRIPSI

EFEKTIVITAS AROMATASE INHIBITOR DALAM PEMATANGAN GONAD DAN STIMULASI OVULASI PADA IKAN SUMATRA Puntius tetrazona DODI PERMANA SKRIPSI 1 EFEKTIVITAS AROMATASE INHIBITOR DALAM PEMATANGAN GONAD DAN STIMULASI OVULASI PADA IKAN SUMATRA Puntius tetrazona DODI PERMANA SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu komoditi ikan yang menjadi primadona di Indonesia saat ini adalah ikan lele (Clarias sp). Rasa yang gurih dan harga yang terjangkau merupakan salah satu daya

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6484.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Prakata... 1 Pendahuluan... 1 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar SNI : 01-6483.2-2000 Standar Nasional Indonesia Benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Deskripsi... 1 4 Istilah...

Lebih terperinci

Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok

Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia SNI 6138:2009 Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional SNI 6138:2009 Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH KULIAH LINGKUNGAN BISNIS

KARYA ILMIAH KULIAH LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH KULIAH LINGKUNGAN BISNIS Cara Sukses Bisnis Budidaya Lele Disusun oleh: Nama : Siti Mustikaningsih Nim : 10.11.3913 Kelas : S1T1-2E Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Informatika Komputer AMIKOM

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa pertumbuhan induk ikan lele tanpa perlakuan Spirulina sp. lebih rendah dibanding induk ikan yang diberi perlakuan Spirulina sp. 2%

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di beberapa sungai di Indonesia. Usaha budidaya ikan baung, khususnya pembesaran dalam keramba telah berkembang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitan ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan Januari 2015 bertempat di Desa Toto Katon, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi

Lebih terperinci

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) 1. PENDAHULUAN Kata Belut merupakan kata yang sudah akrab bagi masyarakat. Jenis ikan ini dengan mudah dapat ditemukan dikawasan pesawahan. Ikan ini ada kesamaan dengan

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI 7.1 Penggunaan Input Produksi Pembenihan Ikan Patin Secara umum input yang digunakan dalam pembenihan ikan patin di Kota Metro dapat dilihat pada Tabel berikut ini: Tabel

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai Tulang Bawang. Pengambilan sampel dilakukan satu kali dalam satu bulan, dan dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Gonad Ikan

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Gonad Ikan 5 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Gonad Ikan Effendie (1997) menyebutkan bahwa pengetahuan mengenai tingkat kematangan gonad (TKG) sangat penting dan akan menunjang keberhasilan pembenihan ikan. Hal ini

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Waktu laten ditentukan dengan cara menghitung selisih penyuntikan kedua sampai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Waktu laten ditentukan dengan cara menghitung selisih penyuntikan kedua sampai IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1 Waktu Laten Waktu laten ditentukan dengan cara menghitung selisih penyuntikan kedua sampai dengan saat terjadinya ovulasi pada percobaan pemijahan secara semi alami dan secara

Lebih terperinci

GONAD MATURATION OF SEPAT RAWA (Trichogaster trichopterus Blkr) WITH DIFFERENT FEEDING TREATMENTS. By Rio Noverzon 1), Sukendi 2), Nuraini 2) Abstract

GONAD MATURATION OF SEPAT RAWA (Trichogaster trichopterus Blkr) WITH DIFFERENT FEEDING TREATMENTS. By Rio Noverzon 1), Sukendi 2), Nuraini 2) Abstract GONAD MATURATION OF SEPAT RAWA (Trichogaster trichopterus Blkr) WITH DIFFERENT FEEDING TREATMENTS By Rio Noverzon 1), Sukendi 2), Nuraini 2) Abstract The research was conducted from Februari to April 2013

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

RINGKASAN LAPORAN KEAHLIAN PEMBENIHAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI HATCHERY BAPPL STP SERANG

RINGKASAN LAPORAN KEAHLIAN PEMBENIHAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI HATCHERY BAPPL STP SERANG RINGKASAN LAPORAN KEAHLIAN PEMBENIHAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI HATCHERY BAPPL STP SERANG Latar Belakang Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang dibudidayakan hampir di seluruh

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan Pendahuluan Pembenihan merupakan suatu tahap kegiatan dalam budidaya yang sangat menentukan kegiatan pemeliharaan selanjutnya dan bertujuan untuk menghasilkan benih. Benih yang dihasilkan dari proses pembenihan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004) 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2012 di Laboratorium

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2012 di Laboratorium III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2012 di Laboratorium Basah Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen 19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi terhadap kualitas semen dimaksudkan untuk menentukan kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen tersebut diproses lebih

Lebih terperinci

Feromon 3. BAHAN DAN METODE

Feromon 3. BAHAN DAN METODE Pemijahan ikan tawes secara imbas dianggap lebih murah dari teknik hipofisasi karena ikan mas perangsang bisa dipakai lebih dari sekali (Zairin et al. 2005). 5 Feromon Kittredge et al. (1971) telah memperkirakan

Lebih terperinci

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus)

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus) 1 Deskripsi METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus) Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan produksi massal benih ikan hias mandarin (Synchiropus splendidus),

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Persiapan Wadah Persiapan dan Pemeliharaan Induk Peracikan dan Pemberian Pakan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Persiapan Wadah Persiapan dan Pemeliharaan Induk Peracikan dan Pemberian Pakan II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Percobaan ini dilakukan di Kolam Percobaan Babakan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB, Dramaga. Percobaan dilakukan dari bulan Mei hingga Agustus 2011. 2.1.1 Persiapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo merupakan ikan hasil perkawinan silang antara induk betina lele Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nilem (Osteochilus hasselti) termasuk kedalam salah satu komoditas budidaya yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan bahwa ikan nilem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein. Salah satu komoditas yang menjadi primadona saat ini adalah ikan lele (Clarias sp.). Ikan

Lebih terperinci

ikan jambal Siam masih bersifat musiman,

ikan jambal Siam masih bersifat musiman, Latar Belakang Ikan jambal Siam (Pangmius hpophthalmus) dengan sinonim Pangmius sutchi termasuk famili Pangasidae yang diioduksi dari Bangkok (Thailand) pada tahun 1972 (Hardjamulia et al., 1981). Ikan-ikan

Lebih terperinci

Ikan patin jambal (Pangasius djambal) Bagian 1: Induk kelas induk pokok (Parent stock)

Ikan patin jambal (Pangasius djambal) Bagian 1: Induk kelas induk pokok (Parent stock) Standar Nasional Indonesia SNI 7471.1:2009 Ikan patin jambal (Pangasius djambal) Bagian 1: Induk kelas induk pokok (Parent stock) ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional SNI 7471.1:2009 Daftar isi Daftar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN KELABAU (OSTEOCHILUS MELANOPLEURUS) HASIL DOMESTIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci