BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi penelitian, tipe habitat Danau Taliwang dikelompokkan menjadi perairan terbuka dan perairan yang tertutup oleh tumbuhan air. Daerah perairan terbuka terletak di tengah danau sedangkan daerah yang tertutup oleh tumbuhan air terletak di sepanjang tepi danau. Pengamatan di lokasi penelitian dilakukan pada bulan April-Mei (musim hujan) dan Juni-Juli (musim kemarau). Tingginya curah hujan selain memberi dampak positif terhadap perairan danau, yaitu mengalirkan zat-zat hara dari daratan ke perairan, sering juga menimbulkan dampak negatif yaitu sedimentasi (meningkatkan kekeruhan). Hasil analisis parameter kualitas air (fisika-kimia) Danau Taliwang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kualitas air Danau Taliwang di daerah tengah perairan Parameter Bulan April Mei Juni Juli Kisaran Rata-Rata Suhu ( o C) 26,80 27,24 27,60 29,75 26,80-29,75 27,85±1,28 Kedalaman (cm) ,50±25 Kecerahan (cm) ,75±8,37 Kekeruhan (NTU) 85,15 84,66 78,40 80,25 78,40-85,15 82,12±3,25 ph 8,22 8,84 8,10 8,66 8,10-8,66 8,64±0,34 Oksigen (mg/l) 5,15 5,30 5,57 5,10 5,10-5,57 5,28±0,21 Tabel 4. Kualitas air Danau Taliwang di daerah tepi perairan Parameter Bulan April Mei Juni Juli Kisaran Rata-Rata Suhu ( o C) 26,80 27,24 27,60 29,75 26,80-29,75 27,85±1,28 Kedalaman (cm) ,00±9,80 Kecerahan (cm) ,75±8,37 Kekeruhan (NTU) 60,20 54,35 48,70 49,50 48,70-60,20 53,19±5,19 ph 7,64 7,90 8,05 6,17 6,17-8,05 7,44±0,85 Oksigen (mg/l) 4,40 4,55 4,30 5,00 4,30-5,00 4,56±0,30 Suhu air dapat mempengaruhi aktifitas fotosintesis serta kelarutan gas-gas yang ada di dalamnya. Pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan biota perairan adalah pada laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan khususnya metabolisme dan siklus reproduksinya. Suhu perairan pada lokasi penelitian selama pengamatan berkisar antara 26,80-29,75 0 C dengan rata- 24

2 rata 27,85±1,28 0 C. Nilai kisaran suhu tersebut mendukung untuk pertumbuhan biota air baik makro maupun mikro seperti dinyatakan oleh Riley (1967) in Seameo Biotrop (1997) bahwa pada umumnya biota perairan dapat tumbuh dan berkembang pada suhu 25 0 C atau lebih. Intensitas cahaya matahari dapat merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan organisme perairan secara keseluruhan. Gambaran penetrasi cahaya matahari yang masuk ke perairan ditunjukkan oleh nilai kecerahan. Nilai kecerahan selama pengamatan berkisar cm pada daerah terbuka dan cm pada daerah yang tertutup tumbuhan air. Kedalaman perairan berkisar antara cm pada daerah terbuka dan cm pada daerah yang tertutup tumbuhan air. Pada daerah tepi danau kedalaman air lebih rendah dibandingkan dengan daerah terbuka pada tengah danau, hal ini disebabkan tingginya proses sedimentasi di daerah tepi danau. Rata-rata nilai kekeruhan pada daerah terbuka berkisar 82,12±3,25 NTU dan pada daerah tumbuhan air sebesar 53,19±5,19. Tingginya nilai kekeruhan pada daerah terbuka diduga disebabkan adanya partikel tersuspensi yang terbawa oleh aliran air yang masuk ke danau. Derajat keasaman (ph) di perairan tergenang mempunyai peranan penting karena dapat mempengaruhi pertumbuhan organisme perairan. Derajat keasaman (ph) di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain proses fotosintesis, biologis dan terdapatnya berbagai kation dan anion di perairan tersebut. Keasaman air berperan penting baik dalam proses kimiawi maupun biologis yang kesemuanya dapat menentukan kualitas perairan alami. Kandungan ph di Danau Taliwang dapat dipengaruhi oleh buangan limbah rumah tangga dan limbah pertanian. Kisaran ph di perairan Danau Taliwang antara 8,10-8,66 di perairan terbuka dan 6,17-8,05 pada daerah tumbuhan air, nilai ph tersebut masih cukup baik untuk kehidupan biota perairan. Nilai kisaran ph menurut Odum (1972) yang masih layak untuk kehidupan organisme perairan antara 6-9. Menurut Novotny & Olem (1994) bahwa oksigen terlarut (O 2 ) dalam perairan berasal dari difusi udara serta hasil fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Kandungan oksigen terlarut di perairan disarankan tidak kurang dari 4,0 mg/l dan dalam kondisi tidak beracun, konsentrasi 2,0 mg/l sudah cukup untuk 25

3 mendukung kehidupan biota perairan khususnya ikan. Rata-rata kandungan oksigen terlarut di Danau Taliwang sebesar 5,28±0,21 mg/l di daerah perairan terbuka dan 4,56±0,30 di daerah tumbuhan air (Nelumbo sp). Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada daerah tumbuhan air diduga bahwa pada daerah tumbuhan air terjadi proses dekomposisi bahan organik, dan jenis-jenis biota perairan (ikan) yang mendiami perairan tersebut adalah jenis-jenis ikan yang mempunyai alat pernafasan tambahan yaitu labyrinth Ikan Betok Komposisi dan Distribusi Ikan Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan bahwa ikan betok umumnya ditemukan pada daerah tumbuhan air. Ditemukan juga ikan gabus (Chana striata) dan ikan sepat (Trichogaster sp). Jumlah sampel ikan betok yang tertangkap selama penelitian sebanyak 205 ekor, terdiri dari 117 ekor ikan betina dan 88 ekor ikan jantan (Gambar 5). 2 4 Stasiun Gambar 5. Komposisi tangkapan ikan betok berdasarkan stasiun pengamatan Sampel ikan betok tersebut tertangkap di stasiun 2 dan 4 yang merupakan daerah yang tertutup oleh tumbuhan air. Distribusi tangkapan ikan betok setiap bulan cukup bervariatif, secara keseluruhan ikan betok jantan banyak ditemukan pada ukuran mm sedangkan ikan betina banyak ditemukan pada selang ukuran mm. Bulan April dan Mei ikan jantan yang tertangkap masingmasing 21 ekor dan pada bulan Juni dan Juli ikan betina yang tertangkap masingmasing 23 ekor. Ikan betok betina pada bulan April tertangkap sebesar 37 ekor yang merupakan tangkapan tertinggi, pada Mei jumlah yang tertangkap 30 ekor 26

4 dan pada bulan Juni dan Juli masing-masing sebesar 28 dan 22 ekor. Bulan April dan Mei Danau Taliwang masih mendapat pengaruh musim hujan diduga ikanikan jantan cenderung berlindung sedangkan ikan betina keluar untuk mencari makanan. Sedangkan pada bulan Juni dan Juli telah masuk musim kemarau, diduga ikan betina cenderung untuk berlindung dibandingkan dengan ikan jantan. Gambar 6. Distribusi tangkapan ikan betok Bulan April ikan betok jantan pada selang kelas mm merupakan ukuran yang paling banyak ditemukan yaitu 4 ekor sedangkan ikan betina pada selang kelas mm sebanyak 7 ekor. Bulan Mei ukuran ikan jantan yang paling banyak ditemukan yaitu pada selang kelas mm, mm, mm dan masing-masing sebanyak 4 ekor sedangkan betina pada ukuran dan mm sebanyak 6 ekor. Ikan jantan bulan Juni pada selang kelas mm merupakan ukuran yang paling banyak ditemukan 8 yaitu ekor sedangkan betina pada ukuran cm sebanyak 6 ekor. Bulan Juli ukuran ikan jantan yang paling banyak ditemukan yaitu pada selang kelas cm sebanyak 8 ekor sedangkan betina pada ukuran dan mm masingmasing sebanyak 5 ekor. 27

5 Gambar 7. Distribusi tangkapan ikan betok berdasarkan waktu pengamatan Nisbah Kelamin Nisbah kelamin ikan betok jantan dan betina adalah 1:1,32 atau 42,93 % ikan jantan dan 57,07 % ikan betina. Berdasarkan uji chi-square pada taraf nyata 0.05 diperoleh bahwa nisbah kelamin jantan dan betina adalah tidak seimbang. 1,20 Nisbah Kelamin (J/B) 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 Gambar 8. 0,00 April Mei Juni Juli Waktu Pengamatan (bulan) Nisbah kelamin ikan betok berdasarkan waktu pengamatan Nilai nisbah kelamin tertinggi ditemui bulan Juli. Pada bulan ini jumlah ikan jantan lebih banyak daripada ikan betina. Pada bulan April terendah dengan jumlah ikan jantan yang diamati sebesar 21 ekor, sedangkan ikan betina 37 ekor. Perbedaan jumlah ikan jantan dan betina yang cukup besar disebabkan antara lain oleh aktifitas ikan di dalam perairan, kemampuannya beradaptasi dan faktor 28

6 genetiknya. Menurut Bal dan Rao (1984), Perbedaan jumlah jantan dan betina dapat disebabkan oleh adanya perbedaan tingkah laku bergerombol diantara ikan jantan dan betina. Ernawati et al. (2009) melaporkan nisbah kelamin ikan betok di Danau Melintang tidak seimbang (tidak mengikuti pola 1:1). Perbandingan nisbah kelamin ikan betok jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang bervariasi (Gambar 9). Ikan jantan dan betina banyak terdapat pada selang kelas mm. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa perbandingan kelamin dapat berubah menjelang dan selama pemijahan berlangsung. Pada waktu melakukan pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan dan betina seimbang dan diikuti oleh dominasi ikan betina. Gambar 9. Nisbah kelamin ikan betok berdasarkan selang kelas panjang Pertumbuhan Hubungan Panjang dan Bobot Analisis hubungan panjang dan bobot ikan betok menghasilkan model pertumbuhan dan hubungan panjang-bobot (Gambar 10) dengan nilai koefisien korelasi (r) yang mendekati 1, yaitu r = pada ikan jantan dan r = pada ikan betina menunjukkan keeratan hubungan antara panjang total dengan berat tubuh. Menurut Walpole (1998) nilai koefisien korelasi (r) mendekati 1 atau -1 maka menunjukkan hubungan yang linear antara kedua variabel. 29

7 Koefisien regresi (b) ikan betok jantan dan betina masing-masing 3,0860 dan 2,9240, nilai t hitung yang diperoleh untuk ikan jantan adalah 47,7787 (t tabel = 1,98) dan ikan betina 46,3706 (t tabel = 1,98). Berdasarkan uji t terhadap nilai b ikan jantan dan betina diperoleh nilai t hitung > t tabel, sehingga secara keseluruhan diperoleh pola pertumbuhan ikan betok jantan yaitu isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot) sedangkan pola pertumbuhan ikan betok betina bersifat allometrik negatif yang berarti pertambahan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan bobotnya. Gambar 10. Hubungan panjang dan bobot total ikan betok Pola pertumbuhan ikan betok jantan di Danau Melintang pada daerah rawa adalah isometrik sedangkan pada ikan betina mempunyai pola pertumbuhan allometrik negatif (Mustakim 2008). Pola pertumbuhan ikan betok di perairan rawa Teratak Buluh baik jantan maupun betina yaitu allometrik negatif (Pulungan dan Amir 1990). Samuel et al. (2002) mengemukan bahwa pola pertumbuhan ikan betok di Danau Arang-Arang bersifat allometrik. Habitat penangkapan ikan betok di Danau Taliwang merupakan daerah yang tertutup oleh tumbuhan air (dominan teratai dan eceng gondok), kondisi ini dapat mempengaruhi aktifitas gerak ikan. Pola pertumbuhan yang berbeda antar jenis kelamin diduga berhubungan dengan kondisi lingkungan, perbedaan umur, persediaan makanan, perkembangan gonad, penyakit dan tekanan parasit (Turkmen et al. 2002) Faktor Kondisi Faktor kondisi (K) ikan betok jantan dan betina bervariasi setiap bulan (Gambar 11). Rata-rata faktor kondisi ikan jantan berkisar antara 0,5871-0,

8 dan ikan betinanya 0,9422-1,0054. Nilai faktor kondisi rata-rata tertinggi ditemui pada bulan Mei (masing-masing 0,6542 untuk ikan jantan dan 1,0054 untuk ikan betina). Nilai faktor kondisi ikan jantan pada bulan Juni sampai bulan Juli cenderung menurun. Tinggi rendahnya nilai faktor kondisi ikan betok di Danau Taliwang diduga disebabkan oleh perubahan iklim yang relatif cepat, dimana pada bulan April dan Mei masih mendapat pengaruh dari musim penghujan sedangkan bulan Juni dan Juli telah masuk musim kemarau. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap pemanfaatan energi ikan betok untuk pertumbuhan yang cenderung dipakai untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Gambar 11. Faktor kondisi ikan betok berdasarkan waktu pengamatan Gambar 12 menunjukkan nilai faktor kondisi ikan betok jantan dan betina berdasarkan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) pada stasiun penelitian. Rata-rata faktor kondisi ikan betok jantan dan betina berdasarkan TKG pada setiap stasiun penelitian di Danau Taliwang bervariatif. Nilai faktor kondisi ikan betina pada setiap TKG baik pada stasiun 2 maupun stasiun 4 lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan jantan. Tingginya nilai faktor kondisi pada ikan betina menunjukkan adanya indikasi terjadi peningkatan dari aktivitas reproduksi. Selain 31

9 menggambarkan aktivitas bereproduksi, nilai faktor kondisi juga menggambarkan kondisi kelimpahan makanan di alam (Weatherley & Gill 1987). Stasiun 2 Stasiun 4 Gambar 12. Faktor kondisi ikan betok berdasarkan TKG pada stasiun penelitian Pada ikan jantan baik pada stasiun 2 dan 4 nilai faktor kondisi cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya TKG pada ikan kecuali pada TKG III 32

10 dan TKG IV pada stasiun 2 mulai menurun. Sedangkan pada ikan betina lebih berfluktuatif pada masing-masing TKG baik pada stasiun 2 maupun stasiun 4, dimana pada stasiun 2 terjadi penurunan nilai faktor kondisi dari TKG I sampai TKG IV dan meningkat kembali pada TKG V. Sedangkan pada stasiun 4 nilai faktor kondisi mengalami peningkatan dari TKG I sampai TKG II dan menurun kembali padatkg III sampai TKG V. Peningkatan nilai TKG merupakan indikasi dari peningkatan bobot tubuh. Faktor kondisi ikan akan terus berkembang pada setiap siklusnya dan akan mencapai nilai maksimum pada TKG IV, kemudian menurun saat memasuki TKG V karena ikan telah melakukan proses pemijahan. Akan tetapi pada kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan, penurunan faktor kondisi dapat terjadi sebelum mencapai TKG V apabila terjadi terjadi atresia (penyerapan kembali oosit oleh tubuh ikan oleh gangguan dalam proses reproduksi pada tahap perkembangan gonad (Tamsil 2000). Kondisi lingkungan yang fluktuatif pada Danau Taliwang diduga menyebabkan bervariasinya nilai faktor kondisi pada ikan betok. Secara keseluruhan baik berdasarkan waktu pengamatan maupun berdasarkan tingkat kematangan gonad pada stasiun penelitian, nilai faktor kondisi ikan betina lebih tinggi dari pada faktor kondisi ikan jantan. Hal ini diduga pada ikan betina memerlukan jumlah energi yang lebih bersar untuk perkembangan ovari. Individu betina mengalokasikan energi untuk perkembangan gonad 2,7-4,5 kali lebih banyak dibandingkan dengan ikan jantan (Craig 1977) Dugaan Pertumbuhan Berdasarkan jenis kelamin diperoleh panjang infiniti (L ) ikan jantan sebesar 171,68 mm dan koefisien pertumbuhan sebesar 0,530 per bulan serta panjang infiniti (L ) untuk ikan betina yaitu 182,18 mm dan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,540 per bulan. Nilai L ikan betok di Danau Melintang pada habitat rawa, danau dan sungai dilaporkan masing-masing 214,20 mm, 204, 23 mm dan 200,55 mm. Pola pertumbuhan yang berbeda pada ikan betok jantan dan betina diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan, perbedaan umur, makanan, perkembangan gonad, penyakit dan tekanan parasit (Turkmen et al. 2002). 33

11 Jantan Sampling tanggal 25 tiap bulan Betina Sampling tanggal 25 tiap bulan Gambar 13. Pertumbuhan dan distribusi frekwensi panjang ikan betok berdasarkan waktu pengamatan. Sedangkan umur ikan berdasarkan rumus empiris dari Pauly (1983), diperoleh t 0 untuk ikan jantan t 0 = 0,1117 dan betina yaitu 0,1113. Berdasarkan nilai parameter pertumbuhan di atas, maka diaplikasikan ke dalam persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy menurut panjang ikan, untuk ikan jantan adalah L t = 171,68 mm (1- e -0,530(t-0,1117) ) dan ikan betina L t = 182,18 mm (1- e -0,54(t-0,1131) ). Koefisien pertumbuhan (K) menurut Sparre dan venema, (1999) sebagai parameter yang menyatakan laju pertumbuhan dalam mencapai panjang infiniti (L ), nilai koefisien ini relatif berbeda antara jantan dan betina. Hal ini menunjukkan bahwa ikan betina lebih cepat pertumbuhannya di banding dengan ikan jantan. Semakin besar nilai koefisien pertumbuhan ikan maka semakin cepat mencapai panjang maksimal, seperti terlihat pada Gambar

12 Panjang total Ikan (mm) Jantan Betina Tahun Gambar 14. Kurva pertumbuhan panjang total ikan betok jantan dan betina Beverton dan Holt (1956) serta Pauly (1979) dalam Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa ikan yang memiliki nilai koefisien pertumbuhan (K) yang besar umumnya memiliki umur atau masa hidup yang relatif pendek. Ikan betok betina lebih cepat mencapai panjang asimtotik dibandingkan dengan ikan jantan. Peningkatan nilai K menunjukkan peningkatan kecepatan ikan mencapai panjang asimtotik Reproduksi Tingkat Kematangan Gonad Persentase tingkat kematangan gonad (TKG) ikan betok pada setiap bulan pengambilan contoh (Lampiran 3), pada ikan jantan TKG I sampai IV ditemukan pada setiap bulan pengamatan kecuali TKG IV pada bulan Juni dan Juli sedangkan TKG V tidak ditemukan, pada ikan betina TKG I sampai V ditemukan pada setiap bulan pengamatan. Berdasarkan analisis menurut stasiun pengamatan di Danau Taliwang di peroleh frekwensi TKG I dan TKG II paling banyak untuk ikan jantan sedangkan pada ikan betina TKG IV dan TKG V. Baik pada ikan jantan dan betina TKG III dan IV dapat ditemukan pada seluruh stasiun pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan betok di setiap stasiun didominasi oleh ikan-ikan yang telah matang gonad atau ikan-ikan dewasa (Lampiran 4). 35

13 Terdapatnya TKG III dan IV pada setiap bulan pengamatan menunjukkan bahwa ikan betok diduga sedang melakukan pemijahan. Suhendra & Merta (1986) menyatakan bahwa ditemukannya ikan yang sudah mencapai TKG III dan IV dapat merupakan indikator adanya ikan yang memijah pada perairan tersebut. Pemijahan ikan dilakukan pada saat kondisi lingkungan mendukung keberhasilan pemijahan dan kelangsungan hidup larva (Moyle & Cech 1982). Persentase TKG 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% April Mei Juni Juli April Mei Juni Juli Bulan Jantan Betina TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG V Gambar 15. Tingkat kematangan gonad ikan betok berdasarkan waktu pengamatan Persentase ikan jantan yang mulai matang gonad mulai terlihat pada selang kelas mm. Pada selang kelas panjang mm ikan jantan didominasi oleh ikan dengan TKG I dan II. Sedangka persentase ikan betina yang telah matang gonad mulai ditemukan pada selang kelas mm. Kelas ukuran panjang mm didominasi oleh TKG IV. Dari hasil pengamatan dapat diduga bahwa ikan jantan lebih cepat matang gonad pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan betina. Hal senada juga dikemukan oleh Pulungan dan Amir (1993) bahwa ikan betok jantan di perairan Teratak Buluh lebih cepat 36

14 matang gonad pada ukuran 7,2 cm dibandingkan dengan ikan betina pada ukuran 6,8 cm. Tinggi rendahnya kemampuan berkembang biak ini akan mempengaruhi populasi sumberdaya ikan. Terjadinya perbedaan ukuran pada ikan yang mengalami matang gonad menurut Effendie (1979) disebabkan oleh ketersediaan makanan yang tersedia dan faktor fisiologis ikan itu sendiri. Menurut Hail dan Abdullah (1982), ikan yang hidup di daerah tropis cenderung mempunyai periode pemijahan yang panjang atau bahkan memijah sepajang tahun, yang biasanya berkesesuaian dengan curah hujan. 100% Jantan 80% 60% 40% Persentase TKG 20% 0% 100% 80% Betina 60% 40% 20% 0% Selang Kelas Panjang (mm) TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG V Gambar 16. Tingkat kematangan gonad ikan betok berdasarkan selang kelas panjang Ukuran Pertama Matang Gonad Panjang ikan betok pada waktu pertama kali matang gonad berdasarkan metode Sperman Karber diperoleh ikan jantan dan betina di Danau Taliwang masing-masing 144,45 mm dan 121,36 mm. 37

15 Berdasarkan hasil statistik pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa ikan betina cenderung lebih cepat matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Mustakim (2008) bahwa ikan betok betina pda habitat rawa di Danau Melintang lebih cepat mencapai ukuran pertama matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan. Perbedaan ukuran tersebut kemungkinan disebabkan oleh parameter pertumbuhan yang berbeda Preparat Histologis Gonad Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh preparat histologis gonad ikan betok yang dilihat dengan mikroskop pembesaran 10x10 diperoleh hasil sebagai berikut (Gambar 17). S S1 TKG I TKG II S3 dan S4 S2 TKG III a. Jantan TKG IV 1. S1 = Spermatosit primer 2. S2 = Spermatosit sekunder 3. S3 = Spermatid 4. S4 = Spermatozoa 38

16 N O1 O2 TKG I TKG II B O3 O4 TKG III TKG IV O2 dan O3 TKG V b. Betina 1. O1 = Oogonia 2. O2 = Oosit 3. O3 = Ootid 4. O4 = Ovum 5. N = Nukleus 6. B = Butir kuning telur Gambar 17. Hasil preparat histologis gonad ikan betok Secara histologis ovarium pada TKG I gonad belum matang dan didominasi oogonia dan sedikit oosit. TKG II sel telur semakin besar, didominasi oleh oosit 39

17 dan nukleus semakin banyak. Sedangkan pada TKG III, terbentuk ootid, kuning telur dan butiran minyak sudah mulai terbentuk. Pada TKG IV ootid berkembang menjadi ovum, jumlah butir kuning telur dan butiran minyak semakin banyak dan semakin besar. Kemudian pada TKG V jumlah ovum sedikit. Pada testes TKG I ditemukan spermatogonia dengan banyak jaringan ikat. Pada TKG II mulai terbentuk kantung tubulus seminiferi yang terisi oleh spermatogonia primer. Pada TKG III, kantung tubulus seminiferi mulai membesar dan spermatosit primer berubah menjadi spermatosit sekunder. Pada TKG IV terdapat spermatosit yang sudah berkembang menjadi spermatid dan sudah menyebar, juga sudah terbentuk spermatozoa yang siap dikeluarkan untuk membuahi. Tingkat kematangan gonad secara morfologi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Tabel tingkat kematangan gonad ikan betok jantan dan betina TKG Jantan Betina I Testis didominasi oleh jaringan Ovary berbentuk butiran,.didominasi ikat, terdapat lobus berbentuk oleh oosit stadia I yang berbentuk bulat. lonjong yang berisi spermatogonia I dan II. II III IV V Ukuran testis lebih besar, lobus terdiri dari spermatogian II dan terdapat spematosist primer. Spermatosist primer berkembang menjadi spermatid sekunder, lobus berisi sel-sel spermatosit primer dan sekunder. Spermatosit sekunder berkembang menjadi spermatid dan menjadi spermatozoa. Lobus berisi spermatid dan spermatozoa. Ovari terdapat oosit yang telah memiliki nukleus. Oosit telah berkembang menjadi ootid (oosit stadium III), kuning telur dimulai pada daerah inti dan menyebar ketengah dan ketepi. Ovum (oosit stadium IV) telah terbentuk yang ditandai dengan berakhirnya pembentukan kuning telur. Oosit ini siap diovulasikan. Bentuk oosit berbeda dengan ovum, dinding folikel berkerut. Jumlah ovum sedikit dan didominasi oleh oosit stadia I, II, dan III. Sebagian daerah ovary telah kosong Indeks Kematangan Gonad Indeks Kematangan Gonad (IKG) rata-rata pada tiap bulan pada ikan betok jantan dan betina menunjukkan variasi. Nilai IKG pada ikan jantan berkisar antara 40

18 0,1970± sampai 0,5435±0,3921 sedangkan ikan betina nilai IKG berkisar antara 3,2669±3,5610 sampai 6,2825±3,1721. Nilai IKG maksimum terdapat pada bulan Mei baik pada ikan jantan maupun ikan betina. Nilai IKG jantan umumnya lebih rendah dibandingkan ikan betina pada tingkat kematangan gonad yang sama, hal ini karena bobot gonad ikan betina lebih besar daripada bobot gonad ikan jantan. Dilihat dari persentase IKG setiap bulannya dapat diduga puncak musim pemijahan terjadi pada Mei. Perbedaan kisaran nilai IKG untuk ikan jantan dan betina diduga karena pada ikan betina pertumbuhan lebih cenderung pada berat gonad. Effendie (2002) menyatakan bahwa pertambahan gonad pada ikan betina dapat mencapai % dari berat tubuhnya sedangkan pada ikan jantan hanya mencapai 5-10 % dari berat tubuh. Gambar 18. Indeks kematangan gonad ikan betok berdasarkan waktu pengamatan Berdasarkan stasiun pengamatan secara keseluruhan nilai IKG ikan jantan lebih kecil bila dibandingkan dengan ikan betina. Kondisi serupa juga dilaporkan Mustakim (2008) bahwa indeks kematangan gonad jantan ikan betok di Danau Melintang lebih kecil bila dibandingkan dengan ikan betina. Untuk ikan jantan 41

19 dan betina nilai IKG tertinggi terdapat pada stasiun 4 (Gambar 19), hal ini mengindikasikan bahwa pada stasiun 4 merupakan habitat yang cocok untuk ikan melakukan proses pemijahan. Nilai IKG setiap jenis ikan biasanya meningkat seiring dengan tingkat kematangan gonad. Gambar 19. Indeks kematangan gonad ikan betok berdasarkan stasiun pengamatan Fekunditas Hasil pengamatan fekunditas ikan betok di Danau Taliwang, dilakukan pada ikan-ikan yang matang gonad/siap memijah, karena jumlah telur dianggap akan mencapai maksimum pada tingkat tersebut. Dalam penelitian ini fekunditas berdasarkan definisi sebagai jumlah telur dalam ovari yang akan matang selama suatu musim pemijahan tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan gonad pada ikan contoh betina total TKG III diperoleh fekunditas ikan betok berkisar antara butir dengan rata- 42

20 rata ± butir telur dan TKG IV diperoleh fekunditas ikan betok berkisar antara butir dengan rata-rata ± butir telur. Secara total fekunditas rata-rata dari ikan betok berkisar antara butir telur pada kisaran panjang total mm dan bobot total 11,22-93,80 g. Tabel 6. Nilai Fekunditas Ikan Betok Bulan TKG Jumlah Fekunditas Kisaran Rataan April III ± IV ± Mei III ± IV ± Juni III ± IV ± Juli III ± IV ± Total ± Fekunditas ikan betok di perairan Teratak Buluh berkisar antara butir dengan kisaran berat ovari 0,2-1,3 g (Pulungan dan Amir 1993). Samuel et al. (2002) melaporkan bahwa fekunditas ikan betok di Danau Arang-Arang berkisar butir, sedangkan fekunditas ikan betok di Danau Melintang berkisar antara butir (Amir 2008). Perbedaan nilai fekunditas pada ikan betok tersebut diduga berkaitan dengan adaptasi dan strategi pemijahan dari ikan betok tersebut. Setiap bulan fekunditas ikan betok di Danau Taliwang berfluktuasi, hal ini di duga disebabkan ikan-ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang tidak sama, sehingga ikan-ikan yang berukuran lebih besar memiliki fekunditas yang relatif lebih besar. Juga ikan yang diperoleh belum tentu mempunyai umur yang sama. Sehingga ikan-ikan yang umurnya relatif lebih muda (yang baru pertama kali memijah) fekunditas relatif sedikit dibandingkan dengan ikan yang telah berumur relatif lebih tua yang telah melakukan beberapa kali pemijahan. Menurut Britz & Cambray (2001) ikan betok merupakan salah satu spesies ikan yang tidak membuat sarang saat memijah dan membiarkan telur-telurnya mengapung bebas di permukaan air karena terdapat banyak butiran minyak pada telurnya sehingga 43

21 bobotnya menjadi ringan, dan tanpa penjagaan dari induk. Kondisi tersebut diduga menyebabkan ikan betok memiliki fekunditas yang besar. Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 20) terhadap hubungan antara fekunditas dengan bobot total ikan betok ditunjukkan oleh persamaan F = 6591 W dengan koefisien korelasi, yaitu r = 0,0316 dan hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan betok adalah F = 645,4 L korelasi, yaitu r = 0,1612. dengan koefisien Fekunditas (butir) Bobot Total (g) Panjang Total (mm) Gambar 20. Hubungan fekunditas ikan betok dengan bobot dan panjang total. Dari hasil regresi diperoleh nilai korelasi yang sangat kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara fekunditas dengan bobot gonad, bobot tubuh dan panjang total ikan sangat lemah atau kurang erat. Menurut Nikolsky (1963), untuk spesies tertentu pada umur yang berbeda-beda memperlihatkan fekunditas yang bervariasi sehubungan dengan persediaan makanan tahunan. Pengaruh ini juga berlaku pada individu yang berukuran sama dan dapat pula untuk populasi secara keseluruhan. Effendi (1997) menyatakan bahwa umumnya individu yang cepat pertumbuhannya, fekunditasnya pun lebih tinggi dibanding dengan yang pertumbuhannya lambat pada ukuran yang sama. 44

22 Nilai korelasi yang lemah juga ditemukan pada ikan betok di Danau melintang baik pada habitat sungai, rawa maupun danau (Mustakim 2008). Faktor lingkungan berperan dalam penyediaan lingkungan yang menguntungkan selama proses reproduksi berlangsung. Cooper et al. (2012) mengungkapkan bahwa karangketristik hubungan semua ukuran dengan fekunditas akan lebih rendah dari stok reproduksi potensial apabila kondisi dalam pengelolaan tidak dalam kondisi terekploitasi Kebiasaan Makanan Komposisi Makanan Berdasarkan analisis makanan, jenis makanan yang ditemukan dalam lambung ikan betok dikelompokkan atas 3 (tiga) kelompok utama yaitu tumbuhan air / tumbuhan air, Plankton (18 genus), dan potongan crustacea / invertebrata. Hasil analisis Indeks of Prepondrance (IP) dari ikan Betok pada jantan dan betina (Gambar 21) menunjukkan bahwa ikan jantan dan betina memiliki makanan utama yang sama masing-masing dari kelompok tumbuhan air 44,898 % dan 39,925 % (rata-rata > 40 %), makanan tambahan terdiri dari kelompok plankton masing-masing sebesar 41,500 % dan 38,250 % dan dari kelompok potongan crustacea/invertebrata masing-masing 13,602 % dan 21,826 % (rata-rata 4-40 %). Tabel 7. Komposisi jenis makanan ikan betok Famili Genus Bacillariophyceae Fragilaria, Diatom, Navicula, Tabellaria, Mellosira, Surirella, Pleurosigma, Gyrosigma dan Pinnularia Chlorophyceae Zignemopis, Stichococus, Ankistrodesmus, Dactylococcus, Batryococcus dan Gonium Cyanophyceae Anabaena dan Oscillatoria Borziaceae Borzia Ikan jantan mengkonsumsi makanan lebih rendah dibandingkan ikan betina, hal ini ditunjukkan dari nilai IP makanan ikan jantan lebih kecil dibandingkan ikan betina walaupun perbedaannya tidak signifikan. Diduga kebutuhan nutrisi yang berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh ikan betina 45

23 lebih tinggi dari ikan jantan seperti untuk memacu pertumbuhan gonad. Royce (1972) mengemukakan bahwa setiap hewan membutuhkan energi yang didapatkan dari makanan antara lain untuk reproduksi selain untuk hidup, tumbuh, dan perawatan Jantan Betina Tumbuhan Air Plankton Pot. Crust/Invertebrata Gambar 21. Komposisi makanan ikan betok (%) berdasarkan jenis kelamin Berdasarkan waktu pengamatan pada setiap bulan (April-Juli) secara umum terlihat bahwa kelompok tumbuhan air mendominasi isi lambung ikan betok, hal ini diperkuat dengan kondisi Danau Taliwang yang banyak didominasi oleh tumbuhan air yang merupakan habitat dari ikan betok Indeks Kepenuhan Lambung April Mei Juni Juli April Mei Juni Juli Bulan Tumbuhan Air Plankton Pot. Crust/Invertebrata Gambar 22. Komposisi makanan ikan betok berdasarkan waktu pengamatan 46

24 Dari kelompok plankton banyak ditemukan dari klas Bacillariophycea terutama dari genus Stichococcus mendominasi isi lambung ikan. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan plankton di perairan Danau Taliwang. Pada kelompok potongan crustacea/invertebrta merupakan kelompok makanan paling kecil ditemukan pada lambung ikan betok. Faktor-faktor yang menentukan apakah suatu jenis ikan akan memakan suatu organiseme makanan adalah ukuran makanan, ketersediaan makanan, warna makanan, dan selera ikan terhadap makanan Hubungan Kebiasaan Makanan dengan Reproduksi TKG IV TKG III TKG TKG II TKG I Pot. Crust/Invertebrata Pot. Crust/Invertebrata Plankton Plankton Tumbuhan Makrofita Air IP (%) Gambar 23. Komposisi makanan ikan betok jantan berdasarkan tingkat kematangan gonad TKG V TKG IV TKG TKG III TKG II TKG I Pot. Crust/Invertebrata Pot. Crust/Invertebrata Plankton Plankton Tumbuhan Air Makrofita IP (%) Gambar 24. Komposisi makanan ikan betok betina berdasarkan tingkat kematangan gonad 47

25 Hasil analisis isi lambung yang dilakukan (Gambar 23 dan 24), menunjukkan aktivitas makanan ikan betok dalam melakukan reproduksinya, terjadi perubahan jenis makanan pada setiap tingkatan TKG, TKG I dominan ditemukan potongan crustacea. Sedangkan pada TKG II TKG IV komposisi tumbuhan air meningkat baik pada ikan jantan maupun betina. Komposisi makanan ikan betok per TKG mengalami perubahan dengan adanya kenaikan kematangan gonad, hal ini terlihat dengan adanya perubahan komposisi tumbuhan air yang terus meningkat hingga TKG IV, hal ini menunjukkan ikan ini memiliki kebiasaan mengkonsumsi tumbuhan air dalam memenuhi kebutuhannya dalam reproduksi. Perubahan komposisi jenis makanan ikan betok menggambarkan adanya kebutuhan protein yang tinggi dalam menyokong keberlangsungan reproduksinya, hal ini erat dengan kebutuhan material energi untuk metabolisme maupun untuk perkembangan gonad. Selain itu kondisi ini didukung oleh kondisi habitat Danau Taliwang yang di dominasi oleh tumbuhan air. Dridi et al. (2007) mengungkapkan pada umumnya ketika makanan berlebihan, akan ditingkatkan deposit material energi pada tubuh, deposti material ini akan diprioritaskan untuk gemetogenesis, dalam bentuk lemak, protein dan glikogen Ikan Mujair Komposisi dan Distribusi Ikan Ikan mujair yang memerlukan kandungan oksigen terlarut yang lebih besar (>3 mg/l) ditemukan di perairan yang lebih terbuka, yaitu daerah dimana jenis tumbuhan airnya tenggelam. Komposisi ikan mujair yang tertangkap setiap bulan juga cukup bervariatif, bulan April ikan jantan dan betina yang tertangkap masing-masing 35 dan 26 ekor. Bulan Mei jumlah ikan yang tertangkap baik pada ikan jantan dan betina masing-masing 42 dan 24 ekor. Pada bulan Juni jumlah ikan tertangkap masingmasing 41 dan 26 ekor untuk jantan dan betina, dan pada bulan Juli jumlah ikan yang tertangkap masing-masing 40 ekor ikan jantan dan 28 ekor ikan betina. Secara keseluruhan jumlah ikan jantan paling banyak ditemukan pada ukuran mm dan pada ikan betina terdapat pada ukuran mm. 48

26 Frekuensi (ekor) Stasiun Gambar 25. Komposisi tangkapan ikan mujair berdasarkan stasiun pengamatan Ikan mujair bulan April pada selang kelas merupakan ukuran yang paling banyak ditemukan dengan ikan jantan sebanyak 10 ekor dan ikan betina pada selang kelas mm sebanyak 6 ekor. Gambar 26. Distribusi tangkapan ikan mujair Bulan Mei ukuran ikan jantan yang paling banyak ditemukan yaitu pada selang kelas mm sebanyak 12 ekor sedangkan betina pada ukuran cm sebanyak 7 ekor. Ikan jantan dan betina bulan Juni pada selang kelas merupakan ukuran yang paling banyak ditemukan yaitu masing-masing 9 dan 8 ekor. Bulan Juli ukuran ikan jantan yang paling banyak ditemukan yaitu pada selang kelas mm sebanyak 14 ekor sedangkan betina pada ukuran cm sebanyak 7 ekor. 49

27 Gambar 27. Distribusi tangkapan ikan mujair berdasarkan waktu pengamatan Dari sebaran ukuran panjang nampak adanya pergeseran modus antar waktu/bulan yang memberikan indikasi adanya pertumbuhan ikan mujair. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan makanan dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya di perairan. Ukuran terkecil untuk ikan jantan dapat dijumpai pada bulan April dan Mei sedangkan betina pada bulan Mei, Juni dan Juli. Keberadaan ikan yang berukuran kecil dalam suatu kelompok menunjukkan adanya penambahan individu baru menurut waktu/bulan tersebut. Ukuran terpanjang untuk jantan pada bulan Juli serta betina dapat ditemukan pada bulan Juni. Ukuran terpanjang disuatu perairan mengindikasikan bahwa ikan ini mampu bertahan hidup dalam kondisi lingkungan perairan yang stabil. Penyebaran ukuran diduga berkaitan dengan penambahan baru di perairan dan laju kematian akibat penangkapan yang rendah Nisbah Kelamin Nisbah kelamin ikan mujair jantan dan betina adalah 1:0,66 atau 60,31 % ikan jantan dan 39,69 % ikan betina. Nilai nisbah kelamin tertinggi ditemui bulan Mei, dengan jumlah ikan jantan dan betina masing-masing 42 dan 24 ekor. Pada bulan April terendah dengan jumlah ikan jantan yang diamati sebesar 35 ekor, sedangkan ikan betina 26 ekor. 50

28 Nisbah Kelamin (J/B) 2,00 1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 April Mei Juni Juli Waktu Pengamatan (bulan) Gambar 28. Nisbah kelamin ikan mujair berdasarkan waktu pengamatan Berdasarkan selang kelas panjang nisbah kelamin tertinggi ditemukan pada selang kelas mm yang di ikuti pada selang kelas mm. Nilai terendah ditemukan pada selang kelas mm dan mm. Rasio kelamin perlu untuk diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan mujair. Gambar 29. Nisbah kelamin ikan mujair berdasarkan selang kelas panjang Pertumbuhan Hubungan Panjang dan Bobot Hubungan panjang dan bobot ikan mujair di Danau Taliwang (Gambar 30) menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi (r) ikan jantan dan pada ikan betina sebesar Nilai r yang mendekati 1 ini menunjukkan keeratan hubungan antara panjang total dengan bobot tubuh. 51

29 Gambar 30. Hubungan panjang total dan bobot total ikan mujair Koefisien regresi (b) ikan mujair jantan dan betina masing-masing 2,756 dan Hubungan antar variabel yang akan diuji ditunjukkan oleh besaran nilai koefisien determinansi (R 2 ) dengan tingkat kepercayaan 95% pada parameter a dan b (Santos et al. 2002). Nilai b umumnya berkisar 2,5-4, namun kebanyakan nilai b mendekati nila 3 (Lagler et al in Sulistiono et al. 2001). Berdasarkan uji t terhadap nilai b ikan jantan dan betina diperoleh nilai t hitung > t tabel (b 3: allometrik). Sehingga diperoleh pola pertumbuhan ikan mujair jantan dan betina adalah yaitu allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan dibandingkan pertambahan bobot). Pola pertumbuhan ikan mujair di Danau Galela baik pada ikan jantan maupun betina adalah allometrik negatif (Abdullah 2005). Kondisi yang sama juga dilaporkan oleh Rondo dan Bataragoa (1990) bahwa pola pertumbuhan ikan mujair di Danau Moat Sulawesi Utara baik ikan jantan dan betina adalah allometrik negatif. Menurut Amir (1995) pola pertumbuhan ikan mujair di Waduk Selorejo pada ikan jantan adalah allometrik positif sedangkan pada ikan betina allometrik negatif Faktor Kondisi Gambar 31 menunjukkan nilai faktor kondisi ikan mujair berdasarkan waktu pengamatan. Faktor kondisi (K) ikan mujair jantan dan betina juga bervariasi setiap bulan. Rata-rata faktor kondisi ikan jantan berkisar antara 0,9344-1,0015 dan ikan betina berkisar antara 0,9108-1,0393. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan jantan dan ikan betina ditemukan pada Mei. 52

30 Gambar 31. Faktor kondisi ikan mujair berdasarkan waktu pengamatan Nilai faktor kondisi ikan mujair jantan dan betina dari bulan April sampai Mei mengalami penurunan dan meningkat kembali pada bulan Juni dan menurun kembali pada bulan Juli. Hal ini diduga masa pemijahan ikan mujair berlangsung dari bulan Mei sampai Juli, kemudian pada pada bulan April ikan mujair jantan dan betina telah selesai memijah. Nilai faktor kondisi meningkat menjelang musim pemijahan dan menurun setelah masa pemijahan berlangsung juga ditemukan pada ikan Trachurus mediteraneus (Tzikas et al. 2007). Gambar 32 menunjukkan nilai faktor kondisi ikan mujair jantan dan betina berdasarkan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) pada stasiun penelitian. Rata-rata faktor kondisi ikan mujair baik jantan maupun betina berdasarkan TKG pada setiap stasiun bervariasi. Nilai faktor kondisi ikan jantan pada setiap TKG baik pada stasiun 1, 3 maupun 5 lebih tinggi bila dibandingkan ikan betina. Puncak kurva menunjukkan bahwa ikan mujair bersiap untuk melakukan reproduksi. Faktor kondisi meningkat diikuti oleh kenaikan bobot gonad yang menandakan bahwa terjadi peningkatan aktivitas reproduksi, sehingga diperkirakan bahwa puncak kurva faktor kondisi merupakan puncak aktivitas musim pemujahan. 53

31 Stasiun 1 Stasiun 3 Faktor Kondisi Stasiun 5 Gambar 32. Faktor kondisi ikan mujair berdasarkan TKG pada stasiun penelitian 54

32 Pada stasiun 1 dan 3 baik pada ikan jantan maupun betina puncak nilai faktor kondisi tertinggi terjadi pada TKG III dan menurun kembali pada TKG IV. Sedangkan stasiun 5 pada ikan jantan menunjukkan nilai faktor kondisi cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya TKG, namun pada ikan betina nilai faktor kondisi menurun kembali saat memasuki TKG IV. Menurunnya faktor kondisi ikan pada saat meningkatnya Tingkat Kematangan Gonad juga ditemukan pada beberapa jenis ikan diantaranya Synodontis schall dan Synodontis nigrita (Laléyé 2006) dan Ompok hypophthalmus (Simanjuntak 2007). Kondisi tersebut dapat disebabkan karena bagian terbesar makanan yang dikonsumsi digunakan untuk perkembangan sel-sel reproduksi. Proses pembentukan sel-sel reproduksi mencapai puncaknya pada TKG IV atau dengan kata lain ukuran gonad yang terbesar sudah tercapai sehingga meningkatkan bobot tubuh secara keseluruhan Dugaan Pertumbuhan Nilai dugaan parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan mujair di Danau Taliwang diperoleh nilai L untuk ikan jantan adalah 231,00 mm dengan nilai koefisien pertumbuhan (K) sebesar 1,10 sedangkan L ikan betina adalah 266,70 mm dengan nilai koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,62. Dugaan pertumbuhan dan nilai koefisien pertumbuhan ikan mujair di Waduk Selorejo dilaporkan masing-masing K=0,1 per bulan dan L sedangkan umur teoritis pada waktu panjang ikan sama dengan nol (to) diduga to = -0,13 bulan. Perbedaan nilai K pada ikan mujair dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti makanan dan kondisi lingkungan. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus pertumbuhan Von Bertalanffy diperoleh pertumbuhan ikan mujair untuk ikan jantan dan betina seperti ditunjukkan oleh Gambar 33. = 263 mm. 55

33 Jantan Sampling tanggal 25 tiap bulan Betina Sampling tanggal 25 tiap bulan Gambar 33. Pertumbuhan dan distribusi frekwensi panjang ikan mujair berdasarkan waktu pengamatan. Umur teoritis ikan mujair berdasarkan rumus empiris dari Pauly (1983), diperoleh t 0 untuk ikan jantan t 0 = 0,0683 dan umur teoritis ikan betina yaitu t 0 = 0,1070. Berdasarkan nilai parameter pertumbuhan di atas, maka diperoleh persamaan pertumbuhan ikan mujair jantan adalah L t = 231,00 mm (1- e -1,10(t- 0,0683) ) dan ikan betina L t = 266,70 mm (1- e -0,62(t-0,1070) ). Nilai koefisien pertumbuhan (K) pada ikan mujair baik pada ikan jantan maupun betina relatif berbeda. koefisien pertumbuhan ikan jantan lebih besar bila dibandingkan dengan ikan betina, Ikan betok jantan lebih cepat mencapai panjang asimtotik dibandingkan dengan ikan betina. Hal ini menunjukkan bahwa ikan jantan lebih cepat pertumbuhannya di banding dengan ikan betina. Semakin besar nilai koefisien pertumbuhan ikan maka semakin cepat mencapai panjang maksimal, seperti terlihat pada gambar

34 1 2 3 Tahun Gambar 34. Kurva pertumbuhan panjang total ikan mujair jantan dan betina Reproduksi Tingkat Kematangan Gonad Tingkat Kematangan Gonad merupakan tahapan perkembangan gonad sebelum telur tersebut dipijahkan, sebagian besar hasil metabolisme tubuh ditujukan untuk perkembangan gonad. Persentase Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan mujair pada setiap bulan bervariatif, pada ikan mujair jantan dapat ditemukan TKG I sampai IV kecuali TKG I pada bulan April, dan ikan betina TKG I sampai IV ditemukan pada setiap bulan pengamatan. Berdasarkan waktu pengamatan persentase TKG TKG III (maturing) dan IV (mature) pada ikan mujair secara total hampir ditemukan pada setiap bulannya. Jumlah tingkat kematangan gonad ini menunjukkan bahwa pada setiap bulan pengamatan ikan mujair sedang mengalami proses pematangan gonad dan aktivitas pemijahan. (Gambar 35). Dari gambar 35 dapat dikatakan bahwa ikan mujair di Danau Taliwang memijah beberapa kali dalam setahun. Hal senada juga dilaporkan oleh Amir (1995) yang menyakan bahwa ikan mujair di Waduk Selorejo memijah beberapa kali setahun. Di waduk Sri Langka ikan mujair memijah beberapa kali setahun, yang diindikasikan dengan ditemukannya ikan yang matang gonad dan yang telah memijah setiap bulan selama 18 bulan pengamatan (De Silva 1991). 57

35 Persentase TKG 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% April Mei Juni Juli April Mei Juni Juli TKG I TKG II TKG III TKG IV Bulan Gambar 35. Tingkat kematangan gonad ikan Mujair berdasarkan waktu pengamatan Penyebaran presentase ikan mujair yang matang gonad berdasarkan stasiun pengamatan menunjukkan bahwa ikan mujair memijah secara merata pada seluruh stasiun pengamtan. Pola tersebut sama dengan pola pemijahan ikan mujair berdasarkan waktu pengamatan, dimana persentase ikan mujair jantan dan betina yang telah memasuki TKG III dan IV terdapat pada setiap stasiun pengamatan sehingga dapat diduga ikan mujair di Danau Taliwang telah memasuki musim pemijahan dan merupakan daerah pemijahan dan pembesaran bagi ikan mujair, hal ini dapat disebabkan kondisi perairan yang lebih ideal yang merangsang ikan mujair untuk memijah. Persentase ikan mujair jantan yang mulai matang gonad mulai terlihat pada selang kelas mm. Sedangkan persentase ikan betina yang telah matang gonad mulai ditemukan pada selang kelas mm. Pada ikan jantan maupun betina kelas ukuran panjang mm didominasi oleh TKG IV (Gambar 36). Semakin panjang selang ukuran maka tahap perkembangan gonad juga akan semakin meningkat, karena semakin panjang ukuran maka ikan semakin 58

36 dewasa dan mulai mengalami pertumbuhan gonad. Lagler (1977) menyatakan bahwa tahapan perkembangan gonad pada ikan dipengaruhi oleh umur, ukuran, dan fungsi fisiologis individu. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% Persentase TKG 10% 0% 100% 90% 80% 70% 60% 50% % 30% 20% 10% 0% Selang Kelas Panjang (mm) TKG I TKG II TKG III TKG IV Gambar 36. Tingkat kematangan gonad ikan mujair berdasarkan selang kelas panjang Ukuran Pertama Matang Gonad Berdasarkan hasil perhitungan terhadap ukuran pertama matang gonad pada ikan mujair diperoleh untuk ikan jantan pada ukuran 182,74 mm merupakan ukuran pertama kali matang gonad sedangkan pada ikan betina ukuran pertama matang gonad di capai pada ukuran 218,24 mm. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa ikan jantan lebih cepat mengalami matang gonad bila dibandingkan dengan ikan betina. Perbedaan ukuran pertama kali matang bisa terjadi pada satu spesies ikan yang memiliki jenis kelamin berbeda. Perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, ketersediaan makanan dan cahaya (Mendoza et al. 2005). Perbedaan ukuran pertama kali matang gonad juga dilaporka oleh Ahmed et al. (2004) di 59

37 Waduk Menzelet pada ikan cat fish Silirus glanis dimana pada ikan jantan ukuran pertama kali matang gonad pada ukuran 83 cm sedangkan pada ikan betina pada ukuran 86 cm. Dari hasil pengamatan dapat diduga bahwa ikan betina lebih cepat matang gonad pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan jantan. Umumnya ikan-ikan yang berukuran kecil lebih cepat matang gonad daripada ikan-ikan yang berukuran lebih besar (Sumassetiyadi, 2003) Preparat Histologis Gonad Berdasarkan hasil pengamatan preparat histologis gonad ikan mujair yang dilakukan dengan mikroskop perbesaran 10x10 diperoleh hasil sebagai berikut. S1 S1 TKG I TKG II S3 dan S4 S2 TKG III a. Jantan TKG IV 1. S1 = Spermatosit primer 2. S2 = Spermatosit sekunder 3. S3 = Spermatid 4. S4 = Spermatozoa 60

38 N O1 O2 O4 B O3 B b. Betina 1. O1 = Oogonia 2. O2 = Oosit 3. O3 = Ootid 4. O4 = Ovum 5. N = Nukleus 6. B = Butir kuning telur Gambar 37. Hasil Analisis Preparat gonad ikan mujair Secara histologis ovarium pada TKG I gonad belum matang dan didominasi oogonia dan sedikit oosit. TKG II sel telur semakin besar, didominasi oleh oosit dan nukleus semakin banyak. Sedangkan pada TKG III, terbentuk ootid, kuning telur dan butiran minyak sudah mulai terbentuk. Pada TKG IV ootid berkembang menjadi ovum, jumlah butir kuning telur dan butiran minyak semakin banyak dan semakin besar. Pada testes TKG I ditemukan spermatogonia primer dengan banyak jaringan ikat. Pada TKG II mulai terbentuk kantung tubulus seminiferi yang terisi oleh spermatogonia primer. Pada TKG III, kantung tubulus seminiferi mulai membesar dan spermatosit primer berubah menjadi spermatosit sekunder. Pada TKG IV terdapat spermatosit yang sudah berkembang menjadi spermatid dan 61

39 sudah menyebar. Tingkat kematangan gonad ikan mujair secara morfologi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Tabel tingkat kematangan gonad ikan Mujair jantan dan betina TKG Jantan Betina I Testes didominasi oleh jaringan ikat, Ovary berbentuk butiran,.didominasi belum dapat dibesakan. Lobus oleh oosit stadia I yang berbentuk berbentuk lonjong yang berisi bulat. spermatogonia I dan II. II Ukuran testes lebih besar, lobus terdiri dari spermatognia II dan terdapat spematosist primer. III Spermatosist primer berkembang menjadi spermatid sekunder, lobus berisi sel-sel spermatosit primer dan sekunder. IV spermatosit sekunder berkembang menjadi spermatid dan menjadi spermatozoa. Lobus berisi spermatid dan spermatozoa. Ovari terdapat oosit yang telah memiliki nukleus. Oosit telah berkembang menjadi ootid, kuning telur dimulai pada daerah inti dan menyebar ketengah dan ketepi. Ovum telah terbentuk yang ditandai dengan berakhirnya pembentukan kuning telur. Oosit ini siap diovulasikan Indeks Kematangan Gonad Secara keseluruhan diperoleh index kematangan gonad berdasarkan jenis kelamin untuk jantan berkisar antara 0,0680 ± 0,0439 sampai 0,2114 ± 0,1806 Sedang ikan betina berkisar antara 0,170 ± 0,1145 sampai 0,2286 ± 0,2498 (Gambar 38). Pada saat indeks kematangan gonad mencapai nilai maksimum maka diduga akan terjadi pemijahan. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa index kematangan gonad ikan jantan lebih kecil dari pada ikan betina. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan bobot gonad ikan betina lebih besar dari ikan jantan. Adanya variasi ukuran dalam kematangan gonad antar populasi disebabkan oleh bebrapa faktor antara lain lingkungan, genetik, faktor kepadatan dan tekanan penangkapan dan predator. 62

40 Jantan 0.40 Indeks Kematangan Gonad (%) April Mei Juni Juli Betina Waktu Pengamatan (bulan) April Mei Juni Juli Waktu Pengamatan (bulan) Gambar 38. Indeks kematangan gonad ikan mujair berdasarkan waktu pengamatan Berdasarkan stasiun pengamatan, menunjukkan secara keseluruhan nilai IKG jantan lebih kecil dari nilai IKG pada ikan betina. Untuk ikan jantan dan betina nilai IKG tertinggi terdapat pada stasiun 1 (Gambar 39), hal ini mengindikasikan bahwa stasiun 1 merupakan habitat yang cocok untuk ikan melakukan proses pemijahan. Nilai IKG ikan betina yang lebih tinggi dibandingkan jantan dapat disebabkan pertambahan berat ovarium selalu lebih besar daripada pertambahan testes. Peningkatan berat ovarium berhubungan dengan proses vitellogenesis dalam perkembangan gonad, sedangkan peningkatan berat testes berhubungan dengan dengan proses spermatogenesis dan peningkatan volume semen dalam tubuh seminiferi. Proses tersebut sangat bergantung pada ketersediaan makanan sebagai sumber energi untuk perkembangan somatik dan reproduksinya. 63

41 Jantan Indeks Kematangan Gonad (%) , , St.1 St. 3 St. 5 Betina 0, , St.1 St. 3 St. 5 Stasiun Pengamatan Gambar 39. Indeks kematangan gonad ikan mujair berdasarkan stasiun pengamatan Fekunditas Fekunditas dihitung pada ikan-ikan dengan TKG III dan IV (48 buah gonad). Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh fekunditas ikan mujair seperti yang ditunjukkan pada tabel 9 berikut. Tabel 9. Nilai Fekunditas Ikan Mujair Bulan TKG Jumlah Fekunditas Kisaran Rataan April III ± IV Mei III ± IV ± 852 Juni III ± IV ± Juli III ± IV ± Total ± Berdasarkan hasil pengamatan gonad pada ikan contoh betina, total TKG III diperoleh fekunditas ikan mujair berkisar antara butir dengan rata-rata 64

42 4.862 ± butir telur dan TKG IV diperoleh fekunditas ikan betok berkisar antara butir dengan rata-rata ± butir telur. Secara total fekunditas rata-rata dari ikan betok berkisar antara butir telur pada kisaran panjang total mm dan bobot total 16,44-220,87 g. Fekunditas ikan mujair di Waduk Selorejo pada TKG III yang berukuran kecil (8,9-12,9 cm) berkisar antara butir, dan pada ukuran 20-20,9 cm fekunditas mencapai ± 243 butir (Amir 1995). Rondo dan Bataragoa (1990) melaporkan bahwa fekunditas ikan mujair di Danau Moat berkisar antara butir. Rondo (1977) in Rondo dan Bataragoa (1990) juga melaporkan fekunditas ikan mujair di Danau Tondano berkisar antara butir. Fekunditas (butir) Gambar 40. Hubungan fekunditas ikan mujair dengan bobot dan panjang total Dari hasil analisis regresi antara panjang total (mm) dengan fekunditas ikan (TKG III dan IV) selama penelitian di Danau Taliwang adalah F = 270,70 L 0,575. Koefisien regresi (r) diperoleh sebesar 0,205, hal ini menunjukkan bahwa fekunditas ikan mujair mempunyai hubungan yang kurang erat dengan panjang ikan sehingga tidak dapat dijadikan sebagai penduga fekunditas. 65

43 Hasil analisis regresi antara bobot tubuh dengan fekunditas ikan mujair (TKG II dan IV) diperoleh persamaan F = 2179 W 0,195 dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,195. Sedangkan hubungan fekunditas dengan bobot gonad ikan mujair diperoleh persamaan F = 7075 W 0,196 dengan nilai r sebesar 0,420. yang menunjukkan bahwa bobot tubuh dan bobot gonad ikan mujair juga tidak dapat dijadikan sebagai penduga fekunditas Kebiasaan Makanan Komposisi Makanan Berdasarkan hasil analisis lambung pada ikan mujair, jenis makanan yang ditemukan dikelompokkan atas 4 (empat) kelas yaitu Bacillariophyceae (10 genus), Chlorophyceae (10 genus), Cyanophyceae (3 genus), Dinophyceae (1 genus), Borziceae (1 genus), dan 1 (satu) organisme tidak teridentifikasi (Serasah). Tabel 10. Komposisi jenis makanan ikan mujair Famili Genus Bacillariophyceae Fragilaria, Diatom, Navicula, Nitzchia, Sigmoidae, Synedra, Mellosira, Surirella, Pleurosigma, Gyrosigma, Pinnularia, Granulate, Pleurosigma, Zignomopis, Stichococcus, Ankistrodesmus, Staurastrum, Euastrum, Coelastrum, Microporum, Closterium Chlorophyceae Oscilatoria, Anabaena, Scenedesmus, Quadricauda dan Gonium Cyanophyceae Spirulina Dinophyceae Borziaceae Peridinium Borzia Ikan mujair yang digunakan untuk menganalisis Indeks bagian terbesar (IP) berjumlah 262 ekor, dengan total lambung berisi 196 ekor (74,809 %) dan 66 ekor (25,191 %) lambung kosong. Hasil analisis IP dari ikan mujair pada jantan dan betina (Gambar 41) menunjukkan bahwa ikan jantan dan betina memiliki makanan utama yang sama masing-masing Bacillariophyceae 50,616 % dan 56,347 % (> 40 %), makanan tambahan terdiri dari kelas Chlorophyceae masingmasing 18,228 % pada ikan jantan dan 19,497% pada ikan betina atau persentasenya berkisar antara 4-40% dan serasah, kelas Cyanophyceae dan 66

44 Dinophyceae pada ikan jantan termasuk kedalam makanan tambahan. Kelas Borziceae pada ikan jantan (3,977%), kelas Dinophyceae pada betina (3,923%) termasuk dalam kelompok makanan pelengkap (< 4 %) Jantan Betina Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Dinophyceae Borziceae Serasah Gambar 41. Komposisi makanan ikan mujair berdasarkan jenis kelamin. Secara umum berdasarkan waktu pengamatan (Gambar 42) makanan ikan mujair dari kelas Bacillariophyceae mendominasi isi lambung ikan mujair, yang menandakan bahwa ikan mujair di Danau Taliwang bersifat herbivora. Kebiasaan makanan ikan mujair di Danau Taliwang hampir sama dengan ikan mujair di Sumatera Selatan (Vaas & Hofstede1952), Situ Ciburuy (Hariyadi 1983) dan Waduk Bening (Tjahjo 1984). 67

45 Jantan Indeks of Prepoderance (IP) Betina April Mei Juni Juli Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Dinophyceae Borziceae Serasah April Mei Juni Juli Bulan Gambar 42. Komposisi makanan ikan mujair berdasarkan waktu pengamatan Hubungan Kebiasaan Makanan Dengan Reproduksi TKG IV TKG TKG III TKG II TKG I Serasah Borziceae Dinophyceae Cyanophyceae Chlorophyceae Bacillariophyceae IP (%) Gambar 43. Komposisi makanan ikan mujair jantan berdasarkan tingkat kematangan gonad 68

46 TKG IV TKG TKG III TKG II TKG I Serasah Borziceae Dinophyceae Cyanophyceae Chlorophyceae Bacillariophyceae Gambar 44. Komposisi makanan ikan mujair betina berdasarkan tingkat kematangan gonad Hasil analisis isi lambung yang dilakukan (Gambar 43 dan 44), menunjukkan aktivitas makanan ikan mujair dalam melakukan reproduksinya, terjadi perubahan jenis makanan pada setiap tingkatan TKG, TKG I TKG IV komposisi makanan dari kelas Bacillariophyceae meningkat baik pada ikan jantan maupun betina IP (%) Komposisi makanan ikan betok per TKG mengalami perubahan dengan adanya kenaikan kematangan gonad, hal ini terlihat dengan adanya perubahan komposisi makanan dari kelas Bacillariophyceae yang terus meningkat hingga TKG IV, hal ini menunjukkan ikan ini memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan dari kelas Bacillariophyceae dalam memenuhi kebutuhannya dalam reproduksi. Perubahan komposisi jenis makanan ikan betok menggambarkan adanya kebutuhan protein yang tinggi dalam menyokong keberlangsungan reproduksinya, hal ini erat dengan kebutuhan material energi untuk metabolisme maupun untuk perkembangan gonad. Dridi et al. (2007) mengungkapkan pada umumnya ketika makanan berlebihan, akan ditingkatkan deposit material energi pada tubuh, deposti material ini akan diprioritaskan untuk gemetogenesis, dalam bentuk lemak, protein dan glikogen Kerapatan Tumbuhan Air Tumbuhan air yang terdapat di danau taliwang memiliki tingkat penutupan yang tinggi, hal ini dapat dijumpai pada seluruh permukaan danau. Kondisi ini di sebabkan oleh tingkat kesuburan perairan danau yang tinggi sehigga 69

47 menyebabkan melimpahnya keberadaan tumbuhan air di danau taliwang. Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa terdapat tiga jenis tumbuhan air yang sangat dominan di perairan danau taliwang yaitu teratai, eceng gondok dan ganggang (Gambar 45). Dimana tanaman teratai dan eceng gondok mendominasi pada pinggiran danau sedangkan tanaman ganggang mendominasi di tengah perairan danau. St 5 Stasiun St 4 St 3 St 2 Hydrilla verticillata Eichhornia sp. Nelumbo sp. St Kerapatan (%/m2) Gambar 45. Kerapatan tumbuhan air. Gambar 46. Kondisi tumbuhan air Kelimpahan Plankton Kelimpahan plankton di perairan secara spesifik menunjukan pilihan makanan yang dapat diperoleh ikan. Jenis organisme plankton yang terdapat pada perairan Danau Taliwang meliputi dari kelas Bacillariophycea, Chlorophyceae, Cyanophyceae, Dinophyceae, dan Borziceae (Gambar 47). Jenis Bacillariophyceae memiliki kelimpahan yang cukup besar, sedangkan jenis Borziceae memiliki kelimpahan terendah. 70

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 2 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan salah satu teluk yang terdapat di utara pulau Jawa. Secara geografis, teluk ini mempunyai panjang pantai

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI 5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI Pengukuran parameter reproduksi akan menjadi usaha yang sangat berguna untuk mengetahui keadaan kelamin, kematangan alat kelamin dan beberapa besar potensi produksi dari

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Sungai umumnya lebih dangkal dibandingkan dengan danau atau telaga. Biasanya arus air sungai searah, bagian dasar sungai tidak stabil, terdapat erosi atau

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN TEMBANG (Clupea platygaster) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, GRESIK, JAWA TIMUR 1

TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN TEMBANG (Clupea platygaster) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, GRESIK, JAWA TIMUR 1 TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN TEMBANG (Clupea platygaster) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, GRESIK, JAWA TIMUR 1 ABSTRAK (Gonad Maturity of Herring (Clupea platygaster) in Ujung Pangkah Waters, Gresik, East

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari RINGKASAN SUWARNI. 94233. HUBUNGAN KELOMPOK UKURAN PANJANG IKAN BELOSOH (Glossogobircs giuris) DENGAN KARASTERISTIK HABITAT DI DANAU TEMPE, KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan Dr. Ir.

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Kebiasaaan Jenis Makanan Index Stomach Content (ISC) Hasil perhitungan indek kepenuhan isi lambung (ISC) per-tkg dapat dilihat pada Gambar 3, untuk nilai ISC dapat dilihat pada

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks Persentase Rasio gonad perberat Tubuh Cobia 32 Pembahasan Berdasarkan hasil pengukuran rasio gonad dan berat tubuh cobia yang dianalisis statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma) 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kalibaru mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan Teluk Jakarta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Ikan Jantan Salah satu faktor yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan proses maskulinisasi ikan nila yaitu persentase ikan jantan. Persentase jantan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Labiobarbus ocellatus Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D. 2012. Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) dalam http://www.fishbase.org/summary/

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai Tulang Bawang. Pengambilan sampel dilakukan satu kali dalam satu bulan, dan dilakukan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian 13 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Sampling dilakukan setiap bulan selama satu tahun yaitu mulai bulan September 2010 sampai dengan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Perairan Bondet Perairan Bondet merupakan wilayah penangkapan kerang darah bagi nelayannelayan desa Bondet dan sekitarnya. Beberapa

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004) 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Pencernaan Ikan Kuniran Ikan kuniran merupakan salah satu jenis ikan demersal. Ikan kuniran juga merupakan ikan karnivora. Ikan kuniran memiliki sungut pada bagian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

Berk. Penel. Hayati: 15 (45 52), 2009

Berk. Penel. Hayati: 15 (45 52), 2009 BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATRA SELATAN Yunizar Ernawati 1, Eko Prianto 2, dan A. Ma suf 1 1 Dosen Departemen MSP, FPIK-IPB; 2 Balai Riset Perikanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Perairan Selat Malaka memiliki kedalaman sekitar 30 meter dengan lebarnya 35 kilometer, kemudian kedalaman meningkat secara gradual hingga 100 meter sebelum continental

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014 agar dapat mengetahui pola pemijahan. Pengambilan sampel dilakukan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM Oleh : Rido Eka Putra 0910016111008 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup dan dinyatakan sebagai perbandingan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di perairan Way Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga September 2013.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen 19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi terhadap kualitas semen dimaksudkan untuk menentukan kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen tersebut diproses lebih

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI 1 HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT MALAKA TANJUNG BERINGIN SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : JULIA SYAHRIANI HASIBUAN 110302065

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Relasi panjang berat dan aspek reproduksi ikan beureum panon (Puntius orphoides) hasil domestikasi di Balai Pelestarian Perikanan Umum dan Pengembangan Ikan Hias (BPPPU)

Lebih terperinci

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian PEMBAHASAN Spesies yang diperoleh pada saat penelitian Dari hasil identifikasi sampel yang diperoleh pada saat penelitian, ditemukan tiga spesies dari genus Macrobrachium yaitu M. lanchesteri, M. pilimanus

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Maret hingga Oktober 2008. Pengambilan sampel dilakukan di sungai Klawing Kebupaten Purbalingga Jawa Tengah (Lampiran 1). Analisis

Lebih terperinci

2. METODOLOGI PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan udang mantis contoh dan lokasi pengukuran sumber makanan potensial udang mantis melalui analisis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan dan Substrat Estuari mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda dengan sungai dan laut. Keberadaan hewan infauna yang berhabitat di daerah estuari

Lebih terperinci

3.KUALITAS TELUR IKAN

3.KUALITAS TELUR IKAN 3.KUALITAS TELUR IKAN Kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: umur induk, ukuran induk dan genetik. Faktor eksternal meliputi: pakan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Palabuhan Ratu Perairan Palabuhan Ratu merupakan teluk semi tertutup yang berada di pantai selatan Jawa Barat, termasuk kedalam wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan senggaringan merupakan ikan liar yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dalam beberapa tahun ini, ikan ini menjadi perhatian para peneliti untuk dijadikan bahan riset, karena

Lebih terperinci