MAKNA DAN FUNGSI SANGGAH DALAM AGAMA HINDU (Studi Kasus dalam Masyarakat Hindu Jawa)



dokumen-dokumen yang mirip
UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

REALISASI TOLERANSI ANTAR UMAT HINDU DAN BUDDHA DI PURA PUSERING JAGAT PANCA TIRTA DESA PAKARAMAN

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

Riwayat Perkembangan Rancangan Bangunan Suci (Pura) di Bali

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

1. PENDAHULUAN. berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

GEGURITAN SUMAGUNA ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI OLEH PUTU WIRA SETYABUDI NIM

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan Pura Tanah Lot (yang selanjutnya disingkat GPTL)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Agama Hindu merupakan agama tertua didunia dan masih ada hingga saat ini.

D. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

BAB IV RESPON MASYARAKAT MUSLIM TERHADAP TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA. A. Masyarakat Umum di Komplek Candi Brahu

BAB 5 PENUTUP PURA MAOSPAIT DI MASA LALU DAN MASA KINI

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD)

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

TIPOLOGI BANGUNAN SUCI PADA KOMPLEK PURA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

TRADISI MEMBANGUN RUMAH DI DESA SUNGAI RANGAS ULU KECAMATAN MARTAPURA BARAT KABUPATEN BANJAR

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan berarti gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Tim

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan)

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB III PENYAJIAN DATA. A. Pelaksanaan Kenduri Arwah sebagai rangkaian dari ritual kematian dalam

Rumah Tinggal Dengan Gaya Bali Modern Di Ubud. Oleh: I Made Cahyendra Putra Mahasiswa Desain Interior FSRD ISI Denpasar ABSTRAK

Nirwana dan Cara Pencapaiannya dalam Agama Hindu

NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PADA KISAH NABI YUSUF DALAM AL-QUR AN

MIMAMSA DARSANA. Oleh: IGN. Suardeyasa, S.Ag dkk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si. Art Exhibition

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

PEMERTAHANAN BAHASA BALI DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI KOTA DENPASAR

17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

BAB I PENDAHULUAN. Musik dipergunakan untuk memuja dewa-dewi yang mereka percaya sebagai. acara-acara besar dan hiburan untuk kerajaan.

TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu)

MANAJEMEN DANA ZAKAT DI BADAN AMIL ZAKAT DAERAH (BAZDA) KABUPATEN KENDAL

BAB III TINJAUAN KHUSUS

HADIAH TETHADAP NASABAH DI BADAN USAHA MILIK DESA MAKMUR SEJAHTERA MENURUT EKONOMI ISLAM SKRIPSI

IPTEK DAN SENI DALAM ISLAM

BERSETUBUH SEBAGAI HAK SUAMI DALAM PERKAWINAN MENURUT IMAM MUHAMMAD BIN IDRIS AL SYAFI I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Majapahit merupakan kerajaan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia pada

ANALISIS PERILAKU KONSUMEN MUSLIM DALAM HAL TREND JILBAB PERSPEKTIF TEORI KONSUMSI ISLAM

BUPATI KULONPROGO SAMBUTAN PADA ACARA UPACARA BENDERA BULAN JULI 2011 KABUPATEN KULONPROGO Wates, 18 Juli 2011

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah sebagai upacara peniadaan jenazah secara terhormat.

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

SITI MEGAWATI NIM:

1) Nilai Religius. Nilai Nilai Gamelan Semara Pagulingan Banjar Teges Kanginan. Kiriman I Ketut Partha, SSKar., M. Si., dosen PS Seni Karawitan

STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG SYARAT WANITA ZINA YANG AKAN MENIKAH

ATA PENGANTAR .ا ما بعد. limpahan rahmat, karunia dan hidayah-nya, sehingga skripsi yang berjudul

BAB I PENDAHULUAN. di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaruyang merupakan kekuatan

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. Negara menjamin setiap warga untuk memeluk agama masing-masing dan

INTERAKSI KEBUDAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari orang Jawa. Keyakinan adanya tuhan, dewa-dewa, utusan, malaikat, setan,

PENERAPAN SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB

DAFTAR PUSTAKA. Agus, Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama.Jakarta : Raja Grafindo Persada.2007.

KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERANAN KONSELOR DALAM MEMBERIKAN LAYANAN INFORMASI BIDANG BIMBINGAN KARIER DI MAN MODEL BANGKALAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

Roh Kudus. Penolong dan Penghibur HIDUP BARU BERSAMA KRISTUS

METODE ISTINBATH HUKUM IMAM ABU HANIFAH TENTANG HUKUM SHALAT IDUL FITRI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. terjadi terhadap semua ciptaan-nya baik dari segi yang terkecil hingga ciptaan-

PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU. Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra

Kata Kunci: Lingga Yoni., Sarana Pemujaan., Dewi Danu

Gambar 2.12 Tata letak Pura dengan sistem zoning tri mandala Sumber: Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Udayana.

IMPLEMENTASI MEDIA BLOG DALAM MENINGKATKAN KREATIVITAS GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI ) DI MADRASAH ALIYAH KANJENG SEPUH SIDAYU - GRESIK

PENDIDIKAN KEPRIBADIAN MELALUI ILMU BELADIRI PENCAK SILAT

Transkripsi:

1 MAKNA DAN FUNGSI SANGGAH DALAM AGAMA HINDU (Studi Kasus dalam Masyarakat Hindu Jawa) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam Disusun Oleh: DHAUATUL MAKIYAH 102032124622 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007

2 MAKNA DAN FUNGSI SANGGAH DALAM AGAMA HINDU (Studi Kasus dalam Masyarakat Hindu Jawa) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuludin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam Oleh: DHAUATUL MAKIYAH NIM: 102032124622 Di bawah bimbingan Drs. Roswen Dja far NIP: 150022782 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007

3 KATA PENGANTAR بسم االله الر حمن الر حيم Alhamdulillah, segala puji dan rasa syukur Penulis panjatkan kehadirat-nya. Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain karena kekuatan-nya. Karena anugrah-nyalah, sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul: DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Daftar Isi... ii Persetujuan Pembimbing... iv Pengesahan Panitia Ujian...v Pedoman Transliterasi... vi BAB I PENDAHULUAN...1 A. Latar Belakang Masalah...1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah...7 C. Tujuan Penelitian...7 D. Metode Penulisan...8 E. Sistimatika Penulisan...8 BAB II SEKILAS TENTANG MUHAMMAD AJÂJ AL-KHATÎB DAN JA FAR SUBHANI...10 A. Biografi Muhammad Ajâj al-khatîb dan Ja far Subhani...10 1. Biografi Muhammad Ajâj al-khatîb...10 2. Biografi Ja far Subhani..11 B. Karya-Karya Muhammad Ajâj al-khatib dan Ja far Subhani...15

4 1. Karya Muhammad Ajâj al-khatîb...15 2. Karya Ja far Subhani...17 3. Kitab Pokok Ahl al-sunnah dan Syi ah 19 BAB III KONSEP UMUM HADIS, ADIL DAN DABIT MENURUT AHL AL- SUNNAH DAN SYI AH.27 A. Konsep Hadis Menurut Ahl al-sunnah dan Syi ah...27 1. Definisi dan Konsep Hadis Menurut Ahl al- Sunnah...28 2. Definisi dan Konsep Hadis Menurut Syi ah...31 B. Konsep Adil Menurut Ahl al-sunnah dan Syi ah...35 1. Konsep Adil Menurut Ahl al- Sunnah...36 2. Konsep Adil Menurut Syi ah...40 3. Beberapa Pengertian Adil dalam Islam...43 C. Pengertian Dabit Menurut Ahl al-sunnah dan Syi ah...46 1. Konsep Dabit Menurut Ahl al-sunnah 46 2. Konsep Dabit Menurut Syi ah...48 D. Analisis Perbandingan Konsep Hadis, Adil, dan Dabit Menurut Ahl al-sunnah dan Syi ah...48

5 BAB IV KRITERIA ADIL DAN DABIT MENURUT MUHAMMAD AJÂJ AL-KHATÎB DAN JA FAR SUBHANI DALAM KITAB USÛL AL-HADIS DAN USÛL AL-HADIS WA AHKÂMUHU...52 A. Kriteria Adil dan Dabit Menurut Muhammad Ajâj al-khatîb...53 1. Kriteria Adil Menurut Muhammad Ajâj al-khâtîb...53 2. Kriteria Dabit Menurut Muhammad Ajâj al-khatîb...55 B. Kriteria Adil dan Dabit Menurut Ja far Subhani....56 1. Kriteria Adil Menurut Ja far Subhani...57 2. Dabit Menurut Ja far Subhani...59 C. Perbandingan Adil dan Dabit Menurut Muhammad Ajâj al-khatîb dan Ja far Subhani...61 BAB V KESIMPULAN...65 DAFTAR PUSTAKA...66, Shalawat dan salam semoga Allah SWT selalu curahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini bukan sematamata dari buah tangan sendiri, akan tetapi dari hamba Allah yang senantiasa mendermakan kemampuannya dengan tulus hati dan meluangkan waktu meski hanya meluangkan aspirasi. Oleh karena itu, tidak berlebihan kirannya jika pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih, khususnya kepada: 1. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayattullah Jakarta, beserta seluruh staf dan jajarannya.

6 2. Dra. Ida Rosyidah, M.A., selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama dan H.Maulana, M.A selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama. 3. Drs.Roswen Dja far, selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan besar hati dan sabar bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, konsultasi dan bimbingan skripsi. 4. Para dosen yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, baik secara langsung maupun tidak. 5. Bapak I Ketut Sudana Rimawan selaku Ketua Parisada Hindu Dharma Banjar yang telah memberikan waktunya kepada penulis untuk di wawancarai dan keterbukaan yang sangat tinggi telah memberikan informasi dan data yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi. 6. Bapak I Made Biasa, selaku dosen Dharma Nusantara Cinere, yang telah meluangkan waktunya untuk wawancara dan memberikan arahan yang berkaitan dengan tema skripsi ini. 7. Pimpinan dan staf Perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat dan Perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Rawamangun yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan. 8. Bapak dan Ibunda tercinta, H.M.Rais Anwar dan Ibunda Chalifah, atas pengorbanan dan cinta kasihnya berupa moril maupun meteril, serta doa yang tidak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi anakmu. Segala hormat dan bhakti ananda persembahkan kepada keduanya.

7 9. Keluarga besar, kakak-kakakku, Ulfa, Sahlia dan Adik-adikku Asriati, Izzatullah, Nurus Syifa yang telah memberikan motivasi dan memberikan kehangatan dalam keluarga. Tak lupa pula kakanda A.Faqihuddin (alm) semoga amal ibadahnya diterima disisi-nya. Amin. 10. Terima kasih yang spesial tuk Abang Nash atas kesetiaan dan ketulusannya yang telah mendampingi penulis baik suka maupun duka. 11. Semua teman-temanku di Jurusan Perbandingan Agama Angkatan 2002 Puji. Mia, Pei, Parida, Endah, Sahal, Topan, Wahyu, Dadan, Tati, Yeyeh dan semuanya. 12. Semua kawan-kawanku Neneng Munawaroh (TH), Andru, Leo (PA), serta alumni 22 Daarul Rahman terima kasih atas motivasi dan bantuannya. 13. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuannya kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT, semoga berkenan menerima segala kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya balasan atas amal baik mereka. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat khazanah keilmuan kita. Amin.

8 Jakarta, 8 Mai 2007 Penulis

9 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iv BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5 C. Tujuan Penelitian... 5 D. Metode Penelitian... 5 E. Sistematika Penulisan... 8 BAB II: PURA DAN SANGGAH SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN DALAM AGAMA HINDU A. Pengertian Pura... 9 B. Pengertian Sanggah/Mrajan... 17 C. Jenis Palinggih di Sanggah/Mrajan... 21 BAB III : MAKNA DAN FUNGSI SANGGAH A. Makna Filosofis Sanggah Menuju Moksa... 31 B. Fungsi Sanggah/Mrajan... 35 C. Sanggah/Mrajan Sebagai Media Tranformasi Ajaran Hindu... 41 D. Sanggah/Mrajan Sebagai Media Komunikasi Dengan Leluhu... 43 E. Analisis Kritis... 51

10 BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan... 54 B. Saran-saran... 55 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

11 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan menciptakan manusia dengan segala kebutuhannya berupa alam dan isinya. Namun disisi lain terdapat hanya sedikit orang yang memiliki kemampuan memandang kebenaran Tuhan secara umum dan menyeluruh. Dalam hal ini beberapa keberadaan agama khususnya agama Hindu dan penganutnya dalam pelaksanaan aktivitas keagamaan yang selalu memanfaatkan sarana dan prasarana. Sarana sebagai media komunikasi antara manusia dengan Tuhannya dan sekaligus sebagai simbol harmonisasi dengan sesama dan alam lingkungannya. Salah satu sarana dan prasarana itu adalah tempat suci dan upakara/bebantennya Sarana dan prasarana yang dimaksud ialah tempat suci yaitu tempat yang dibangun secara khusus pula, tempat suci adalah tempat untuk melakukan ibadah agama, tempat untuk sujud dan menyembah. Tempat untuk sujud secara lahir batin, sujud jiwa raga kehadapan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Sujud dalam arti patuh, taat dan bakti secara ikhlas. Siap sedia menjunjung serta menjalankan ajaran dan perintah-perintahnya serta menjauhi laranganlarangannya. 1 1 Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu (Jakarta: Hanoman Sakti, 1997)h. 83

12 Umat Hindu meyakini bahwa kebahagiaan adalah hanya dapat dicapai melalui keseimbangan antara hubungan dengan sesama makhluk, hubungan dengan Tuhan dan segala wujud kuasa-nya, dan hubungan dengan alam lingkungan. Lebih jauh, ketika dihadapkan dengan tujuan agama Hindu yaitu Jagaddhita untuk mencapai moksa. Moksa adalah lepas bebas dari segala ikatan dunia, moksa dapat dicapai pada waktu manusia masih hidup di dunia atau dapat dicapai setelah mati. 2 Untuk kepentingan umat manusia khususnya umat Hindu dalam menyampaikan ungkapan terima kasih dan rasa syukur dibuatlah tempat suci atau Pura sebagai tempat pemujaan, Pura dibangun sebagai sarana untuk lebih menggiring rasa kedekatan diri pada Tuhan. Jika dalam lingkungan masyarakat, tempat suci berupa kahyangan jagat atau Pura-pura pada umumnya, maka dalam rumah tangga/keluarga ada tempat suci yang disebut Sanggah/Mrajan. Sanggah/Mrajan sebagai media komunikasi antara anggota keluarga sebagai percakapan terhadap leluhur (nenek moyang) yang berjasa telah membina keturunannya. Umat Hindu harus memiliki Sanggah/Mrajan dan mampu menggali potensi-potensi yang terkandung dalam makna Sanggah/Mrajan, disamping itu juga memahami dan meyakini bahwa aspek-aspek yang ada dalam sebuah Sanggah/Mrajan. Sanggah/Mrajan merupakan tempat suci untuk memuja Tuhan dan manifestasinya serta leluhur yang telah suci; terletak di areal hulu rumah tangga. 3 2 Mukti Ali, Agama-agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kali Jaga, 1998)h. 99 3 Gde Soeka, Tri Murthi Tatwa, (Denpasar: Kayu Mas, 1993)

13 Sanggah/Mrajan juga merupakan tempat pemujaan keluarga sebagai nafas bagi kehidupan keluarga Hindu dalam keseharian, tetapi juga merupakan sumber kehidupan, karena Sanggah/Mrajan merupakan pendukung segala aktivitas umat Hindu. Kata Sanggah ditafsirkan sebagai bahasa Bali kapara atau bahasa lumrah dari tempat pemujaan keluarga, dimana bahasa Bali halus atau dalam bahasa Singgih yaitu Mrajan, 4 sedang Mrajan berasal dari kata Mrty yang artinya mau atau mati, sedang jan artinya lahir, 5 sementara ada yang berpendapat bahwa Sanggah adalah perubahan ucapan dari kata Sanggar yang artinya tempat pemujaan. Kata Sanggah juga berasal dari bahasa sansekerta, yaitu Samga yang artinya persekutuan atau perhimpunan. Selain kata Sanggah ada pula Canggah yang dapat diberikan arti sebagai sumber, oleh karena itu Sanggah adalah sebagai simbol sumber. 6 Sebagai tempat pemujaan keluarga, Sanggah/Mrajan memiliki nilai filosofis yang tinggi yang sesungguhnya sangat berpengaruh terhadap perjalanan kehidupan manusia Hindu. Oleh karena itu pemahaman tentang Sanggah/Mrajan merupakan suatu keharusan; disamping itu Sanggah/Mrajan merupakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan yang merupakan tujuan dari agama Hindu yaitu Moksa. Sanggah/Mrajan merupakan tempat suci bagi keluarga Hindu yang seharusnya mampu berperan sejak dini, karena Sanggah/Mrajan adalah tempat 4 I Ketut Wiana, Palinggih di Pamerajan, (Denpasar: Upada Sastra 1992)h. 20 5 P.J, Zoetmulder, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, (Jakarta:2002)h. 411 6 I.B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu/ Uparenga, (Denpasar: 2001)h. 8

14 suci untuk praktek beragama yang pertama kali dikenal oleh setiap anggota keluarga sejak lahir. Keberadaan Sanggah/Mrajan sangat berarti bagi umat Hindu yang sudah menjalani kehidupan berumah tangga. 7 Sanggah/Mrajan bukan hanya untuk bersembahyang tetapi juga merupakan tempat dilaksanakannya berbagai ritual untuk anggota keluarga sejak usia dini. Dengan bertambahnya usia, maka Sanggah/Mrajan biasa dimanfaatkan untuk menjadi media sosialisasi ajaran Hindu untuk seluruh keluarga dari berbagai usia. Selama ini umat Hindu telah berupaya menempatkan Sanggah/Mrajan sebagai tempat suci keluarga, tetapi ketidaktahuan dan ketidakpahaman tentang makna filosofis serta peran tempat suci ini, telah menyebabkan keberadaan Sanggah/Mrajan ini kadang-kadang tidak banyak memberikan arti bagi anggota keluarga terlibat dalam kegiatan di Sanggah/Mrajan. Dengan demikian Sanggah/Mrajan dimengerti sebagai tempat pemujaan leluhur, dan umat Hindu pada umumnya selalu berupaya untuk melakukan yang terbaik, namun ketidakpahaman telah menyebabkan mereka tidak mengelola Sanggah/Mrajan ini dengan tepat. Untuk dapat memahami secara mendalam maka penulis mengangkatnya dalam skripsi ini dengan topik MAKNA DAN FUNGSI SANGGAH DALAM AGAMA HINDU (Studi Kasus Masyarakat Hindu Jawa) 7 G, Pudja, Pengantar Ilmu Weda, (Jakarta: Mayasari,1998)h. 65

15 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dalam skripsi ini permasalahan yang akan dibahas, yaitu fungsi dan manfaat Sanggah/Mrajan. Permasalahan dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut; Apa makna dan fungsi Sanggah/Mrajan dalam agama Hindu?. C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengangkat nilai-nilai religius yang terkandung dalam Sanggah/Mrajan sebagai tempat suci keluarga, sehingga umat hindu memahami bentuk konkrit hubungan manusia dengan Tuhannya. Serta untuk mengetahui fungsi dan peranan Sanggah/Mrajan dalam sosialisasinya sebagai media dalam keluarga Hindu. Penulis berharap melalui tulisan ini, setidaknya penulis memberikan sumbangsih bagi khazanah keilmuan. Selain itu, tulisan ini semoga diharapkan dapat meningkatkan toleransi dan saling menghormati antar pemeluk agama. Tujuan penulisan skripsi ini juga sebagai kontribusi kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk meraih gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) di jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan Adapun metode yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) penulisan ini dilakukan dengan membaca literatur-leteratur yang

16 ada hubungannya dengan penulisan skripsi ini, yaitu berupa buku-buku, diktat, dan majalah-majalah. Dan juga penulis menggunakan metode lapangan yaitu wawancara langsung kepada nara sumber yang bersangkutan untuk menambah data-data yang terdapat pada nara sumber. Metode yang penulis pergunakan dalam membahas skripsi ini adalah pendekatan fenomenologis. Fenomenologi agama adalah pendekatan sistematis dan komperatif yang mencoba menggambarkan kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam bermacam-macam fenomena raligius. Unsur yang sama ini adalah makna inti yang terdapat di dalamnya. Makna inti ini yang penulis coba gambarkan kemudian menggolongkan fenomena-fenomena religius itu menurut esensialnya dan selanjutnya membuat penilaian-penilaian komperatif dengan menghormati keabsolutan dalam gambaran-gambaran yang dibuat oleh orangorang yang mengimaninya. Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang secara harfiah berarti gejala atau apa yang menampakan diri sehingga nyata bagi kita. Metode fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938) dengan semboyan: Zuruck zu Den Sachen Selbst (kembali kepada hal-hal itu sendiri). 8 Maksudnya, kalau kita ingin memahami sebuah fenomena jangan hanya puas mempelajari pendapat orang tentang hal itu atau memahaminya berdasarkan teori-teori, tetapi kembalikan kepada subyek yang melakukannya secara langsung. 8 Dister Ofm, Nico Syukur, Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius,1993)h. 25

17 Dalam memahami sesuatu, fenomenologi menghendaki keahlian (dasariah) bukan kesemuan dan kepalsuan. Untuk menemukan makna (kebenaran dasariah) fenomenologi menyarankan dua langkah atau reduction (penjabaran). Pertama, fenomen diselidiki hanya sejauh disadari secara langsung dan spontan sebagai berlainan dengan kesadaran diri. Kedua, fenomen diselidiki hanya sejauh merupakan bagian dari dunia yang dihayati sebagai keseluruhan (live world), tanpa dijadikan obyek ilmu yang terbatas. 9 Dalam bekerja, fenomenologi merupakan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius yang bersifat subjektif seperti pikiran-pikiran, ide-ide, emosi, mkasud-maksud dan sebagainya dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (perkataan dan perbuatan). Perlu diingat bahwa dalam fersfektif fenomenologi, masalah objektivitas berarti membiarkan fakta-fakta bicara untuk dirinya sendiri. Untuk mengungkap fakta yang bersifat subjektif menjadi fenomena objektif, Dhavamony menyarankan dua hal epoche 10 dan eiditik, 11 atau emik menurut Pike. 9 Dister Ofm, Nico Syukur, Pengalaman dan Motivasi Beragama,h. 26 10 Epoche adalah penilaian yang dikonsepkan sebelumnya harus ditunda sebelum fenomena itu bicara untuk dirinya. Seorang fenomenolog harus mempertanyakan hakikat yang sebenarnya, tanpa harus terlibat untuk merumuskan baik-buruknya. 11 Eiditik adalah pemahaman makna religius yang diperoleh hanya lewat pemahaman ungkapan-ungkapan. Ungkapan-ungkapan ini meliputi kata-kata dan tanda-tanda, apapun jenisnya. Hanya melalui ekspresilah kita menangkap pikiran-pikiran religius orang lain, dan dengan memikirkan serta mengalaminya kembali, dengan empati atau wawasan imajinatif, kita memasuki pikiran mereka. Pemahaman yang empati berarti memperlihatkan pemahaman terhadap tingka orang lainyang meliputi pengalaman, pikiran, emosi, ide-ide orang lain berdasarkan pengalaman dan tingkah lakunya sendiri. Itulah sebabnya penelitian fenomenologi sangat mengandalkan metode partisipatif agar peneliti dapat memahami tindakan religius dari dalam. Lihat Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, (Yoyakarta: Kanisius, 1995),h. 34-35

18 Untuk teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada pengetahuanpengetahuan yaitu Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang ditetapkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. E. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi terbagi menjadi beberapa bab dan sub bab dengan rincian sebagai berikut. BAB I :Merupakan pendahuluan, pembahasan dan gambaran umum skripsi. Dalam bab ini dibahas hal tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian dan tehnik penulisan, serta sistematika penulisan. BAB II : Sebelum membicarakan tentang makna dan fungsi Sanggah/Mrajan, pengertian Pura, yang merupakan bagian tempat pemujaan umat Hindu. Selanjutnya pengertian Sanggah/Mrajan dan jenis palinggih di Sanggah/Mrajan. BAB III : Merupakan bab inti, dimana penulis akan menguraikan makna dan fungsi Sanggah/Mrajan. Pembahasannya meliputi tentang makna filosofis Sanggah/Mrajan dalam menuju moksa, dan fungsi Sanggah/Mrajan sebagai media transformasi ajaran Hindu dan media komunikasi dengan leluhur dan diakhiri dengan analisis kritis. BAB IV : Berisi penutup dan diakhiri dengan rangkuman yang dapat terlihat dari uraian kesimpulan dan saran-saran. Kemudian tak lupa juga diakhiri

19 penulisan dicantumkan daftar pustaka yang digunakan sebagai rujukan dan beserta lampiran-lampiran.

20 BAB II PURA DAN SANGGAH/MRAJAN SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN DALAM AGAMA HINDU A. Pengertian Pura Tempat suci adalah tempat pemujaan berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur, disamping itu juga pemujaan terhadap kekuatan alam yang maha besar yang telah dikenal sebelum kebudayaan India datang di Indonesia. 1 Tempat umat Hindu bersembahyang dalam istilah bahasa Sansekerta antara lain Mandira, Darmashala, Devalaya, Devagriha, Devabhavana, Sivalaya, Samgha, dan Devawisma. Apabila di Indonesia dikenal dengan nama Pura, Pura sebagai tempat bersembahyang adalah suci karenanya ia juga disebut tempat pemujaan. 2 Tempat suci bagi umat Hindu dari sekian banyak istilah salah satunya adalah Pura, sebenarnya istilah Pura berasal dari kata Pur, yang artinya kota, benteng, atau kota yang berbenteng. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian yang dikelilingi dengan tembok. Hampir semua 1 I Made Titib, Veda Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita,1996)h. 94 2 Nyoman S, Pendit, Hindu dalam Tafsir Modern, (Denpasar: Dharma Naradha,1995)h.114

21 Pura (tempat suci) dikelilingi atau dibentengi dengan tembok atau pagar untuk memisahkan dengan dunia sekitarnya yang dianggap tidak suci. 3 Dalam istilah Pura ialah tempat suci umat Hindu, tempat melaksanakan persembahyangan, tempat ibadah. Pura disebut pula dengan istilah kahyangan, tempat memuja Hyang (Sang Hyang Widhi). Kata Pura sendiri juga memiliki arti benteng. Jelasnya, kata Pura dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata Pur yang berarti kubu, tembok, benteng, kekuatan, daerah atau kota. Dalam bahasa Jawa- Kuno kata ini memiliki arti yang kurang lebih sama. Dalam bahasa Bali, serta dalam bahasa Indonesia, arti kata Pura mengkhususkan sebagai tempat sembahyang umat Hindu. Pura dibangun sebagai sarana untuk lebih menggiring rasa kedekatan diri pada Tuhan, untuk memudahkan konsentrasi pikiran karena di Pura itu simbolsimbol sinar kekuasaan Tuhan akan tersirat. Itu sebabnya Pura dibangun ditempat yang indah, atau dibuat indah agar hati ini pun indah. 4 Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya barasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari Sansekerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa. Sebelum digunakan kata Pura disebut tempat suci/tempat pemujaan 3 Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, (Jakarta: Hanoman Sakti,1997)h. 83 4 Putu Stia, Kebangkitan Hindu Menyongsong Abad 20, (Jakarta: 1993)h. 42

22 dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Dalam keterangan lebih lanjut kata Pura disamping kata Kahyangan Parahyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa (dengan segala manifestasinya) dan Bhatara atau Dewa Pitara yaitu suci leluhur. 5 Secara umum, berdasarkan fungsinya sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa dan Bhatara, dapat dikelompokkan menjadi: 1. Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasi-nya (dewata). 2. Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur. Sekelompok Pura yang telah disebutkan di atas, bukan tidak mungkin terdapat pula Pura yang berfungsi ganda, yaitu selain untuk memuja Sang Hyang Widhi dan para dewa, juga untuk memuja bhatara atau leluhur. Hal ini dimungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui upacara penyucian, roh leluhur tersebut telah mencapai tingkatan Siddhadewata (telah memasuki alam dewata) dan disebut bhatara (raja atau yang dipertuankan/pelindung). 6 Selain yang telah disebutkan diatas berdasarkan ciri-ciri khas tertentu, Pura juga dapat dikelompokkan sebagai berikut: 5 I Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, (Jakarta: Paramita,2001)h.93-94 6 Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 95

23 1. Pura Umum Disebut dengan Pura umum, artinya adalah suatu Pura yang didukung dan disungsung oleh umat Hindu yang ada di seluruh Indonesia pada khususnya dan seluruh umat Hindu pada umumnya. Di Indonesia Pura yang paling besar yang tergolong Kahyangan Jagat ini adalah Pura Besakih. Disamping Pura Besakih, tempat suci yang juga tergolong Kahyangan Jagat, sebagaimana disebutkan dalam lontar-lontar di Bali adalah Pura Batur. 7 2. Pura Teritorial Pura ini mempunyai ciri kesatuan (teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat satu desa adat pada dasarnya memiliki tiga buah Pura disebut Kahyangan Tiga, yaitu Pura Desa (Balai Agung ialah tempat pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-nya), Pura Puseh (tempat pemuja Hyang Widhi dalam manifestasi-nya sebagai Visnu yaitu pemelihara) dan Pura Dalem (tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasi-nya sebagai Ciwa yang berfungsi sebagai pemralina atau pelebur) 8 yang merupakan tempat pemujaan bersama. 7 Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, h.89 8 Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu,h. 88

24 3. Pura Fungsional Yang dimaksud Pura Fungsional disini adalah dimana pemuja, pendukung atau penyungsung dari Pura atau tempat suci tersebut menpunyai suatu kepentingan yang sama dalam hal tertentu. 9 Pura ini mempunyai profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian hidup seperti: bertani, dan berdagang. Kekaryaan karena bertani, dalam mengelola tanah basah mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Bedugul atau Pura Subak. Maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum dan lain sebagainya. Berdagang mempunyai ikatan pemujaan dalam wujud Pura Melanting didirikan di areal pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut. 4. Pura Kawitan Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan leluhur berdasarkan garis kalahiran (geneologis). Pura ini sering pula disebut Pura Pedharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebih luas dari Pura milik warga atau Pura Klen. Dengan demikian, maka Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa 9 Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu,h. 90

25 kaluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan dari nenek moyang yang sama. 10 Oleh karena itu Pura-pura yang telah disebutkan diatas ada juga terletak di lingkungan rumah tangga; yaitu disebut juga Pura Keluarga. Yang dipuja (disembah) didalam Pura keluarga ini adalah Hyang widhi (Tuhan Yang Maha Esa) beserta segala manifestasi-nya termasuk Dewa dan Pitara yang dianggap telah suci. Palinggih-palinggih pokok yang ada di Pura keluarga ini, antara lain adalah Kamulan, yaitu Palinggih yang beruang tiga merupakan tempat pemujaan Tri Murti dan Dewa Pitara. 11 Pura disebut juga Kahyangan adalah replika atau bentuk tiruan dari Kahyangan tempat/sthana sejati Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi-nya. 12 Pada umumnya struktur atau denah Pura dibagi atas tiga bagian, yaitu Jaba pura (halaman luar), Jaba tengah (halaman tengah ) dan jeroan (halaman dalam). Disamping itu ada juga Pura yang terdiri dari dua halaman yaitu Jaba pura (halaman Luar) dan jeroan (halaman dalam), dan pembagian Pura atas tiga bagian halaman itu adalah lambang dari triloka, yaitu: Bbhurloka (bumi), Bhuvaloka (langit) dan Svahloka (Sorga). Pembagian Pura atas dua halaman/tingkat melambangkan alam atas (urdhah) dan alam bawah (adhah). Pembagian halaman Pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian adalah horizontal, sedangkan pembagian (loka) pada palinggih-palinggih adalah 10 Titib, Telogi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu,h. 98-99 11 Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu,h. 88 12 Titib, Teologi dan simbol-simbol dalam Agama Hindu,h.111

26 pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan prakerti (unsur materi alam semesta), sedangkan alam pembagian yang vertikal adalah simbolis purusa (unsur kejiwaan/ spiritual alam semesta). Hal inilah yang menyebabkan orang dapat merasakan getaran spiritual dalam sebuah Pura. 13 Dari pemahaman ini dapat dipahami bahwa kesakralan sebuah Pura ditentukan oleh adanya pertemuan antara prakerti dengan purusa. Artinya, sebuah Pura dikatakan suci apabila energi langit (akasa) bertemu dengan energi bumi (prativi). Getaran spiritual akan dirasakan oleh seseoarang dengan khusyuk menghaturkan bhakti di tempat pemujaan atau bahkan hanya duduk merenung di tempat-tempat yang sakral. 14 Dijeroan (halaman dalam), halaman yang paling disucikan berisi bangunan untuk Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa manifestasi-nya. Diantara jeroan dan jaba tengah biasanya dipisahkan dengan kori agung, sebelum sampai ke halaman dalam (jereoan) melalui kori agung terlebih dahulu harus memasuki candi bentar, yakni pintu masuk pertama dari halaman luar, ke halaman tengah. Candi bentar adalah simbol pecahnya gunung Kailasa tempat bersemedinya Dewa Siva. 15 Di sebelah kiri kanan pintu masuk candi bentar ini biasanya terdapat arca Dvarapala (penjaga pintu) atau pengapit lawang, bewujud raksasa yang berfungsi sebagai pengawal Pura terdepan. Kori agung ini senantiasa tertutup baru dibuka bila ada upacara di Pura. Umat penyungsungan Pura tidak menggunakan jalan kecil yang di sebut bebetelan, terletak disebelah kiri atau kanan kori agung itu. 16 13 Titib, Teologi dan simbol-simbol dalam Agama Hindu,h. 101 14 Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, h. 9 15 Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, 102 16 Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu,h. 102

27 Di atas atau di ambang pintu masuk kori agung terdapat hiasan kepala raksasa, Pura atau candi di India disebut Kirttimukha, Pada ambang pintu masuk candi di Jawa Tengah disebut Kala, pada ambang candi di Jawa Timur disebut Banaspati dan di Bali disebut Bhoma. Menurut cerita orang Hindu, penempatan kepala raksasa Bhoma atau Kirttimukha pada kori agung dimaksudkan supaya orang yang bermaksud jahat masuk kedalam Pura, dihalangi oleh kekuatan raksasa itu. Orang-orang berhati suci yang masuk kedalam Pura akan memperoleh rahmat-nya. 17 B. Pengertian Sanggah/Mrajan Pura penyungsungan khusus yang berukuran kecil terdapat pada tiap-tiap keluarga yang disebut Sanggah/Mrajan. Sanggah/Mrajan tempat untuk melakukan pemujaan. Pamrajan berasal dari kata Praja yang berarti masyarakat, turunan, keluarga. Pengantar pa dan akhiran an mengacu pada tempat. Jadi Sanggah Pamrajan/Mrajan adalah tempat pemujaan keluarga atau turunan. Sanggah Pamrajan adalah suatu istilah, yang dilihat dari kontek arti sesungguhnya tidak boleh dipisahkan. Namun sebutan tersebut di masyarakat sedikit dikacaukan. Pengertian Sanggah dan Pamrajan dipisahkan, masing-masing diacu pada keluarga menurut wangsa (turunan). Sanggah dikhususkan untuk jaba/halaman, sedangkan Pamrajan untuk keluarga turunanan wangsa Ksatrya dan Brahmana. Sesuai dengan arti kata, Sanggah Pamrajan/Mrajan ini dimiliki oleh setiap kelurga atau seturunan. Berdasarkan hasil kajian kata Sanggah juga berasal dari kata 17 Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu,h. 103

28 canggah yang dapat diartikan sebagai Sumber. 18 Kata Sanggah juga ditafsirkan sebagai bahasa Bali Kapara atau bahasa lumrah dari tempat pemujaan keluarga, di mana bahasa Bali halus atau dalam bahasa Singgih nya adalah Mrajan. 19 Sementara ada yang berpendapat bahwa Sanggah adalah perubahan ucapan dari kata Sanggar yang artinya tempat pemujaan. Dalam lontar Siwagama lembar 328, ada disebutkan tingkatan-tingkatan tempat pemujaan keluarga sebagai berikut:..bhagawan Manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning wang Caduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wawang setengah bhaga rwang puluhing Caduluk, sanggar pratiwi mangunen ika, mwang kamulan panunggalannya sowang. Artinya:..Bhagawan manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh sri Gondarapati untuk membangun Sad Kahyangan kecil, sedang maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban semua orang. Lain kewajiban sekelompok orang untuk 40 keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun Sanggah Ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun, dan kamulan satu-atunya tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada masing-masing pekarangan Sanggah Pamrajan/Mrajan (juga jenis kelompok bangunan suci), untuk ikatan jiwa dalam satu famili agar hidup rukun gotong-royong, tenggangmenenggang, seia-sekata dalam menghadapi suka duka gelombang hidup dalam masyarakat, dengan mengisi bangunan-bangunan kecil didalamnya yang disebut 18 I.B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu, (Uparenga), (Denpasar: 2001)h. 8 19 I Ketut Wiana, Palinggih di Pamerajan, (Denpasar: Upada Sastra 1992)H. 20