BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan di Provinsi Bali dari tahun 2003 sampai 2008 bertambah sebesar 2,553 ha dengan diikuti oleh tipe penggunaan lahan sawah yang berkurang sebesar 2,378 ha dinyatakan oleh (Rahman, 2011), perubahan penggunaan lahan di provinsi Bali sebagain besar terjadi di Bali bagian selatan. Pergeseran luas lahan pertanian khususnya sawah menjadi penggunaan non pertanian seperti pemukiman, yang paling besar terjadi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung berdasarkan atas data dari BPS Bali (2014) yaitu (1) Kota Denpasar memiliki luas wilayah 12.778 ha, dengan penggunaan lahan untuk permukiman adalah 9.756 ha atau 62,30% dan, (2) Kabupaten Badung memiliki luas wilayah 41.852 ha dengan penggunaan lahan untuk pemukiman adalah 13.387 ha Penggunaan lahan di Bali bagian timur masih mempertahankan keberadaan lahan pertanian, di Kabupaten Karangasem penggunaan lahan pertanian seluas 60.891 ha dari luas daerah 83.954 ha, khususnya di Desa Tenganan tanah dimiliki secara bersama karena masih kuatnya akan pengaturan lahan sesuai dengan kearifan lokal. (Tutuko, 2009) menyatakan bahwa Kearifan atau wisdom secara etimologi adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, objek serta situasi. Lokal atau local menunjukkan bagaimana ruang interaksi dimana suatu peristiwa tersebut terjadi, sehingga dapat dijelaskan bahwa 1
Local Wisdom adalah perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta lingkungan disekitarnya yang bersumber dari nilai-nilai adat serta budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam masyarakat lokal dan beradaptasi dengan lingkungan serta berlaku secara umum, turun temurun dan berkembang menjadi nilainilai yang dipegang teguh. Munculnya nilai-nilai dalam bentuk hukum adat, kepercayaan serta budaya setempat dibentuk berdasarkan norma-norma tradisional yang menjadi dasar dalam berkembangnya local wisdom. (Tutuko, 2009:7) menyatakan melalui adat istiadat secara substansi kearifan lokal dapat berupa aturan diantaranya adalah: (1) Kelembagaan dan sanksi sosial, (2) Ketentuan tentang pemanfaatan ruang dan perkiraan musim untuk bercocok tanam, (3) Pelestarian serta perlindungan terhadap kawasan sensitif, dan (4) Bentuk adaptasi serta mitigasi tempat tinggal. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyiratkan bahwa pentingnya dalam memperhatikan nilai budaya yang berkembang di masyarakat. Pasal 6 ayat (1) huruf b dalam penataan dan pembangunan harus memperhatikan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat dinyatakan oleh Tutuko, Pindo (2009:9). Masyarakat adat hidup serta berkembang sesuai dengan tatanan nilai-nilai serta norma-norma adat dalam konsep penguasaan tanah. Masyarakat adat mengenal tanah yang ditempatinya tidak hanya sebagai sebuah benda bernilai ekonomis yang dapat diperjual-belikan, layaknya 2
masyarakat modern. ( Fuad, 2016) menyatakan bahwa Tanah dalam masyarakat adat merupakan suatu benda yang memiliki nilai magis dan menjadi kewajiban untuk dijaga oleh masyarakat adat setempat. Masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya diakui dan dilindungi sebagaimana amanat pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA). Berdasarkan ketentuan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui dalam Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999, dijelaskan bahwa menurut ( Budiartha, 2008) Hak ulayat masyarakat hukum adat masih dianggap ada apabila: (a) Adanya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, (b) Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempat mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, serta (c) Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan. Hal yang sama diungkapkan oleh (Fuad, 2016) yang menyatakan bahwa hak ulayat serta hak yang serupa dari masyarakat hukum adat. Berdasarkan atas keberadaan hak ulayat ( Guntur, 2013) menyatakan bahwa keberadaan tanah (hak 3
ulayat) yang direalisasikan dalam berbagai bentuk kepemilikan atau penguasaan serta pemanfaatan atas tanah oleh (krama). Gambar 1.1 Struktur Kepemilikan Tanah Struktur kepemilikan tanah adat di Bali yang dikuasai oleh perseorangan (krama desa) yaitu tanah pekarangan desa (PKD), dan tanah ayahan desa (AyDs) secara bersama-sama sering disebut "tanah ayah" yang memiliki ikatan adat berupa kewajiban untuk desa, kewajiban ini sering disebut dengan istilah "ayahan". Ayahan inilah yang mengekang atau mengikat tanah ayah tersebut, sehingga menjadi hak milik terkekang. Dalam (Udayana Press, 2014) menyebutkan terdapat tujuan dari pengekangan ini pada hakekatnya ingin membatasi kebebasan usaha atau kebebasan gerak para anggota Desa Adat secara perseorangan. Pengekangan yang dilakukan demi kepentingan Desa Adat karena tanah ayah ini adalah Beschikkingssgebied (wilayah kekuasaan) dari desa pakraman. 4
Sistem pemerintahan adat di Bali sangat berkaitan dengan pengaturan desa, (Vauzi. 2014) menyatakan bahwa dalam pembentukan sebuah desa terdapat salah satu bentuk yang paling kompleks dari eksistensi hukum adat yang terdapat di Bali, pengertian sistem pemerintahan desa di Bali memiliki dua istilah, yang pertama desa dinas dan yang kedua desa pakraman Desa Pakraman sebagai lembaga adat mempunyai kesadaran mengenai Local Wisdom yang berpedoman bahwa tanah yang dimiliki merupakan tanah leluhur dan harus dijaga dengan peraturan adat. ( Guntur 2013) menyatakan terdapat jumlah desa adat di Bali sendiri tercatat berjumlah 1.453 desa pada tahun 2009. Kepemilikan tanah di Bali menurut data ( BPN Provinsi Bali, 2009) tercatat sekitar 58% atau sekitar 1,1 juta bidang tanah dari tanah di Pulau Dewata belum bersertifikat karena bidang tanah tersebut adalah milik desa adat yang belum diakui secara lembaga hukum. Diagram 1.1 Jumlah Tanah Adat di Bali Tahun 2009 5
Keberadaan tanah adat di Bali memiliki keunikan tersendiri, seperti pada beberapa daerah yang terdapat di Provinsi Bali. Masyarakat adat memiliki hak ulayat untuk kepemilikan tanah yang diatur oleh lembaga adat setempat. Eksistensi Desa adat di Bali diakui oleh pasal 18 UUD 1945 dan dikukuhkan oleh Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 6 Tahun 1986, yang mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali. Definisi mengenai desa adat mencakup dua hal, yaitu : (a) Desa adatnya sendiri sebagai suatu wadah, dan (b) adat istiadatnya sebagai isi dari wadah tersebut. Desa pakraman adat merupakan suatu lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat hindu di Bali. Desa Tenganan termasuk desa yang bisa disebut sebagai desa Bali Aga karena Desa Tenganan masih menjadi Desa yang mempunyai adat istiadat yang masih kuat dan tradisional serta mampu menjaga dengan baik serta mempertahankan tradisional tanpa terpengaruh pada budaya luar. Pada gambar 1.2 menyebutkan struktur pemukiman Desa adat Tenganan (Tanah Desa Bali aga). 6
Gambar 1.2 Peta Tanah Desa Bali Aga Terdapat Peraturan adat tentang kepemilikan tanah di Desa Tenganan yang disebut dengan awig-awig. Dalam (Udayana Press 2016) menyebutkan bahwa Awigawig desa pakraman adalah patokan tingkah laku baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat adat yang bersangkutan berdasarkan atas rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Masyarakat Desa Tenganan tidak diijinkan untuk menjual tanah meskipun masyarakat Desa Tenganan memiliki sertifikat, kepemilikan tanah pada Desa Tenganan sangat menarik untuk dikaji. Tanah yang menjadi milik warga dianggap sebagai tanah milik adat sehingga tanah adat tidak boleh digadaikan, apabila tanah digadaikan maka pemilik tanah harus membayar denda sebesar yang diberikan penggadai kepemilik tanah. Tanah yang digadaikan oleh masyarakat akan diambil dan menjadi milik adat sesuai dengan awig- 7
awig. Awig-awig tehadap tanah memiliki legitimasi dalam penerapan hukum serta memiliki sanksi yang mengikat ( Setyowati 2013), setyowati menambahkan bahwa awig-awig di desa adat Tenganan pageringsingan adalah peraturan adat yang memiliki nilai yang sangat kuat dalam mengatur masyarakat di desa Tenganan, penerapa awig-awig di desa Tenganan tidak memiliki peraturan yang berbeda terhadap masyarakatnya, baik masyarakat tersebut sangat dihormati apabila melakukan kesalahan maka pelanggaran terhadap awig-awig akan dijatuhkan pula bagi siapa saja yang melanggar awig-awig desa Tenganan. Awig-awig mengatur mengenai : (a). Pembagian wilayah Tanah (b). Pondasi dan struktur rumah (c). Pengaturan lahan pemukiman, lahan basah, lahan kering (d). Pengaturan mengenai pengelolaan tanah (e). Sistem pewarisan desa adat Tenganan. 8
Tabel 1.1 Nilai Adat Desa Tenganan No Awig-Awig Desa Adat Tenganan 1 Pembagian wilayah tanah adat itu dibagi secara turun temurun dan jika di keluarga tersebut anggota keluarganya banyak yang menikah mereka akan menempati rumah tersebur namun jika tidak cukup dapat membuat rumah lagi dan meminta tanah adat membangun rumah. 2 Setiap rumah adat desa adat tenganan harus berisi 1 keluarga yang berarti satu kepala keluarga menempati satu rumah 3 Tanah adat dapat digunakan sebagai rumah, sawah, dan bangunan untuk acara adat 4 Tanah adat peseorangan, tanah adat yang dimilikki adat dan tanah adat yang dimilikki organisasi urusannya dibawah naungan adat 5 Jika dalam tanah adat terdapat pohon yang menghasilkan buah, menurut awe -awe buah tersebut ialah buah durian, kemiri, penggerinsing luwak tidak boleh dipetik kecuali jatuh dari pohonnya buah 6 Dalam memotong kayu desa adat tenganan tidak boleh sembarangan ada 4kondisi kayu tersebut dapat ditebang yang pertama kayu tersebut mati yang kedua penjarangan atau ngapik adalah berjejer tiga dalam satu jenis pohon. Yang ketiga adalah warga yang setelah menikah untuk membuat rumah,yang keempat sebagai kayu bakar 7 Tanah adat tidak boleh dijual dan tidak boleh digadaikan 8 Sistem pewarisan didesa adat Tenganan tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan kecuali rumah orang tua diberikan kepada anak yang terkecil karena asumsi desa adat tenganan anak yang terkecil paling lama merawat orang tua 9 Dalam perubahan rumah desa adat tenganan tidak boleh merubah pondasinya namun dapat merubah bangunan diatas pondasi Sumber : Awig-awig Tenganan Pageringsingan 9
1.2 Rumusan Masalah Sistem pemerintahan adat di Bali sangat berkaitan dengan pengaturan desa, pembentukan sebuah desa adalah salah satu bentuk yang paling kompleks dari eksistensi hukum adat yang terdapat di Bali, sistem pemerintahan desa di Bali dibagi menjadi dua lapisan yaitu Desa Dinas dan Desa Pakraman. Desa Pakraman sebagai lembaga adat yang mempunyai kesadaran mengenai Local Wisdom yang berpedoman bahwa tanah yang dimiliki merupakan tanah leluhur dan harus dijaga dengan peraturan adat. Terdapat Peraturan adat tentang peraturan tanah di Desa adat Tenganan yang disebut dengan awig-awig. Awig-awig desa pakraman adalah patokan tingkah laku baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat adat. Terdapat konflik tanah adat yang terjadi di Bali, adanya pelanggaran norma adat Bali dan norma agama Hindu, yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan dalam agama Hindu disebut dengan istilah Sekala Niskala. Konflik terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang merasa ketidakcocokan satu dengan yang lainnya, Dalam hal terjadinya konfklik adat, cukup banyak yang tidak bisa diatasi oleh hukum. Walaupun hukum didukung oleh kewenangan, fasilitas. dan pembiayaan. Hukum sebagai beban bagi masyarakat lokal yang sangat terasa apabila masyarakat tersebut belum banyak dijamah oleh perubahan sosial yang besar oleh karena itu perlu kearifa lokal dari penagak hukum dalam mengatasi konflik yang menyangkut masalah adat dan melibatkan kelompok yang lebih besar yaitu Desa Pakraman, terjadinya konflik 10
akibat ketidakjelasan hak atas tanah dengan Pemerintah Daerah. Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1 Bagaimana Peran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa Adat Tenganan Dalam Mempertahankan Kepemilikan Tanah Adat di Desa Tenganan Pageringsingan? 2 Siapa saja aktor yang terlibat dalam kepemilikan dan pengelolaan tanah di Desa Adat Tengenan Pageringsingan? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian mengenai Pengelolaan Tanah melalui Local Wisdom oleh Pemerintah Adat Desa Tenganan, menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui, sehingga dapat membantu masyarakat adat ataupun masyarakat sekitar bahwa pentingnya pengaturan mengenai kepemilikan tanah. Adapun yang menjadi tujuan kajian ini secara lebih khusus harus mampu menjawab beberapa permasalahan yang dikemukakan diatas meliputi : 1. Untuk mendapatkan informasi mengenai pengelolaan tanah di Desa adat Tenganan yang kepemilikan tanah di Desa adat Tenganan tidak boleh dimiliki oleh orang pendatang. 11
2. Untuk mengetahui peran yang dapat dilakukan oleh pemerintah desa adat Tenganan atau lembaga adat terhadap kepemilikan tanah Desa adat Tenganan 3. Untuk mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan tanah adat di Desa Tenganan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat dan memberikan konstribusi pemikiran : Pertama, penelitian ini diharapkan, dari sudut teori mampu memberikan sumbangan pemikiran dan upaya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dalam administrasi publik khususnya yang berkaitan dengan sistem pemerintahan desa. Kedua, dari sudut praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pedoman oleh instansi pemerintah daerah dalam memberikan masukan terhadap kebijakan yang akan diambil untuk diimplementasikan dalam pola penggunaan, pemilikan tanah adat. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian tentang Peranan Pemerintah Adat dalam Kepemilikan Tanah sudah beberapa kali ditemukan dalam publikasi saat ini, hal ini disebabkan awig-awig atau 12
peraturan adat sangat penting untuk dikaji terkait dengan batas tanah maupun kepemilikan lahan atas Desa adat Berdasarkan telaah kepustakaan ditemukan penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Nyoman Guntur (2013) yang berjudul Dinamika Pengelolaan Tanah Adat di Kabupaten Gianyar dan Bangli Provinsi Bali, Masyarakat desa adat di Gianyar dan Bangli Provinsi Bali mengatur kepemilikan (sistem pengelolaan) tanah adatnya dengan tetap berpegang teguh pada awig-awig desa maupun dalam bentuk perarem yang telah ada sejak jaman dahulu. Terdapat Ikatan religius yang kuat antar masyarakat dikuatkan melalui media tanah yang semata-mata dikuasakan kepada warga atau (krama) desa tetap menjunjung tinggi aturan desa dan menjalankan kewajiban adatnya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Penelitian ini memiliki perbedaan dari penelitian sebelumnya, antara lain: (1) Tempat penelitian. Penelitian sebelumnya meneliti tentang Dinamika Pengelolaan Tanah Adat di Kabupaten Gianyar dan Bangli Provinsi Bali sementara penelitian ini menggunakan Tanah Adat di Kabupaten Karagasem sebagai tempat penelitian. (2) Waktu penelitian. Pada penelitian sebelumnya dilakukan pada tahun 2013, sedangkan pada penelitian ini, peneliti akan meneliti pada tahun 2016. 13
(3) Pada penelitian sebelumnya, peneliti bertujuan untuk menganalisis sistem pengelolaan tanah adat di Gianyar dan Bangli Provinsi Bali. Dinamika penyesuaian dalam pengelolaan tanah adat terkait dengan modernisasi kehidupan masyarakat desa adat di Gianyar dan Bangli. Sementara pada penelitian ini, peneliti bertujuan untuk menganalisis peran lembaga adat dalam mempertahankan tanah baik dari segi sosial maupun ekonomi berbagai upaya yang dilakukan lembaga Desa untuk mempertahankan kepemilikan tanah. Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Budiartha, A, 2008 dengan judul Masyarakat dan Tanah adat di Bali studi kasus Kabupaten Buleleng, yang meneliti mengenai tapal batas serta hak ulayat tanah adat Bali, penelitian ini memiliki perbedaan dari penelitian sebelumnya, antara lain: (1) Penelitian sebelumnya meneliti Masyarakat dan Tanah adat di Bali studi kasus Kabupaten Buleleng, sementara penelitian ini menggunakan Kabupaten Karangasem sebagai tempat penelitian. (2) Waktu penelitian. Pada penelitian sebelumnya dilakukan pada tahun 2008, sedangkan pada penelitian ini, peneliti meneliti pada tahun 2016. (3) Pada penelitian sebelumnya.peneliti bertujuan untuk mengetahui batas-batas wilayah serta kewenangan hak ulayat di Kabupaten Buleleng, sementara pada penelitian ini, peneliti 14
bertujuan untuk menganalisis peran lembaga adat dalam mempertahankan tanah baik dari segi sosial maupun ekonomi berbagai upaya yang dilakukan lembaga Desa untuk mempertahankan kepemilikan tanah. Melalui penilitian ini akan dapat menghasilkan sebuah rekomendasi yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk kebijakan di bidang pertanahan khususnya mengenai masyarakat hukum adat dalam memanfaatkan tanah secara optimal. 15