7 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut Menurut Azis et al. (1998), pendugaan potensi sumberdaya perikanan untuk wilayah Perairan Indonesia telah dirintis sejak tahun 1970-an, sedangkan dugaan sumberdaya potensi ikan di Perairan Indonesia secara keseluruhan diterbitkan pertama kali oleh Direktorat Bina Sumber Hayati, Direktorat Jenderal Perikanan dan Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian pada tahun 1983, sebesar 6,6 juta ton per tahun. Direktorat Jenderal Perikanan secara resmi menerbitkan Buku Potensi dan penyebaran Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia pada tahun 1991 dan mencantumkan dugaan potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 5,7 juta ton per tahun. Potensi lestari (MSY) perikanan Kabupaten Sambas menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas (2005) adalah sebesar 23.250 ton per tahun, dengan potensi produksi sebesar 15.702,72 ton per tahun. Azis et al. (1998) mengungkapkan bahwa pada tahun 1995 telah dilakukan lokakarya yang disponsori bersama oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, FAO dan DANIDA dengan agenda utamanya melakukan penghitungan kembali potensi sumberdaya ikan berdasarkan data mutakhir yang tersedia. Lokakarya ini menghasilkan dugaan potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 3,67 juta ton per tahun. Pada tahun 1996 Direktorat Jenderal Perikanan bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Pusat Penelitian dan pengembangan Oseanologi LIPI dan Fakultas Perikanan IPB melakukan evaluasi Buku Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1996. Evaluasi ini menghasilkan dugaan potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 6,35 juta ton per tahun. Pada tahun 1998 Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut menerbitkan buku yang berjudul Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Pada buku itu dilaporkan besarnya dugaan potensi sumberdaya ikan laut di Perairan Indonesia adalah 6,26 juta ton per tahun (Azis et al. 1998). Disebutkan pula bahwa peluang pengembangan kelompok pelagis besar adalah sebesar 19,48 % dari perkiraan
8 potensi 1.027,64 ribu ton atau sebesar 200,18 ribu ton per tahun. Peluang pengembangan kelompok ikan pelagis kecil dan kelompok sumberdaya ikan demersal masing-masing sebesar 49,07 % dan 55,26 % dari potensi masingmasing kelompok atau sebesar 1.525,93 dan 987,14 ribu ton per tahun, sedangkan peluang pengembangan lobster tinggal sekitar 23,18 % dari perkiraan potensinya atau sekitar 1,11 ribu ton per tahun. Perhitungan peluang pengembangan yang disebutkan Azis et al. (1998) tersebut mengikuti rekomendasi yang disarankan Gulland JA (1983) yang menyebutkan bahwa pemanfaatan yang aman, lestari dan berkelanjutan adalah 90 % dari besarnya potensi lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield). 2.2 Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tetapi terbatas. Sumberdaya tersebut dapat mengalami penipisan (abudance) bahkan kemusnahan (collapse) jika dibiarkan dalam keadaan nirkelola (Widodo J 2002). Pengkajian stok ditujukan untuk membuat prediksi kuantitatif tentang reaksi dari populasi ikan yang bersifat dinamis terhadap sejumlah alternatif pengelolaan dengan menggunakan sejumlah metode dan penghitungan statistik serta matematik. Prediksi kuantitatif misalnya terhadap batas produksi yang diperbolehkan, resiko yang dapat ditimbulkan oleh penangkapan yang berlebihan (over fishing) atas sejumlah populasi yang tengah memijah (spawning) dan perlunya memberikan kesempatan ikan untuk tumbuh mencapai ukuran tertentu yang diinginkan sebelum dieksploitasi (Widodo J 2002). Stok dapat diartikan sebagai sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama, serta menghuni suatu wilayah geografis yang sama. Untuk spesies yang kebiasaan ruayanya dekat (terutama spesies demersal), lebih mudah untuk menentukan sebagai suatu stok dari pada spesies yang ruayanya jauh seperti tuna (Sparre P and SC Venema 1999). Menurut Gulland JA (1983), definisi suatu stok merupakan masalah operasional, yaitu suatu subkelompok dari satu spesies dapat diperlakukan sebagai satu stok jika perbedaan-perbedaan dalam kelompok tersebut dan percampuran
9 dengan kelompok lain dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang tidak absah. Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan dimana dapat diprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Parameter mortalitas mencerminkan suatu laju kematian hewan, yaitu jumlah kematian per unit waktu. Parameter mortalitas yang dimaksud adalah mortalitas penangkapan yang mencerminkan kematian, karena penangkapan dan mortalitas alami yang merupakan kematian karena sebab-sebab lain (pemangsaan, penyakit dan lain-lain) (Sparre P and SC Venema 1999). 2.3 Aplikasi Pemodelan dalam Perikanan Berdasarkan teknik pengkajian stok populasi, model-model yang digunakan dalam biologi perikanan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok (Gulland JA 1974). Model pertama adalah model yang memperlakukan populasi ikan sebagai satu kesatuan, dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam biomassa total tanpa memperhitungkan strukturnya (komposisi umur dan sebagainya). Model kedua adalah model yang menganggap populasi sebagai kumpulan dari individu-individu anggotanya, dan dikaitkan dengan laju pertumbuhan dan mortalitas dari individu-individu tersebut. Model produksi yang digunakan dalam pengkajian stok umumnya hanya memperhitungkan faktor biologis semata. Untuk menentukan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal, maka perlu memperhitungkan faktor ekonomi. Model pendekatan ini biasanya lebih dikenal dengan model bioekonomi (Clark CW 1985). Selanjutnya berdasarkan analisis faktor waktu, model bioekonomi perikanan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu model statis dan model dinamis. Model statis tidak memperhitungkan dinamika faktor waktu, sedangkan model dinamis memperhitungkan faktor waktu dalam analisisnya. 2.4 Laju Degradasi Sumberdaya Perikanan Pengukuran besaran laju degradasi terkait dengan kepentingan penglolaan sumberdaya dan lingkungan. Dengan mengetahui tingkat/besaran laju
10 degradasi/deplesi, kita dapat melakukan langkah pengelolaan lebih jauh, apakah dalam bentuk pengurangan laju ekstraksi atau bahkan penutupan/moratorium berbagai kegiatan ekstraksi sumberdaya alam tersebut. Informasi mengenai laju degradasi dan deplesi sumberdaya alam sumberdaya alam dapat dijadikan titik referensi (reference point) maupun early warning signal untuk mengetahui apakah ekstraksi sumberdaya alam sudah melampaui kemampuan daya dukungnya (Fauzi A dan S Anna 2004). 2.5 Model Surplus Produksi Pendugaan stok ikan dipermudah menggunakan suatu model yang dikenal dengan model surplus produksi. Model ini diperkenalkan oleh Graham tahun 1935, tetapi lebih sering disebut sebagai model Schaefer (Sparre P and SC Venema 1999). Tujuan penggunaan model ini adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, dan biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maksimum sustainable yield). Model Schaefer ini lebih sederhana karena hanya memerlukan data yang sedikit, sehingga sering digunakan dalam estimasi stok ikan di perairan tropis. Model Schaefer dapat diterapkan apabila tersedia data hasil tangkapan total (berdasarkaan spesies) dan CPUE (Catch Per Unit Effort) per spesies serta CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre P and SC Venema 1999). Pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah perairan merupakan parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa yang diproduksi diharapkan dapat menggantikan biomassa yang hilang akibat kematian, penangkapan maupun faktor alami. Apabila kuantitas biomassa yang diambil sama dengan yang diproduksi, maka perikanan tersebut berada dalam keadaan seimbang (equilibrium) (Azis YA 1989). Menurut Schaefer MB (1954) diacu dalam Fauzi A (2006), laju pertumbuhan populasi merupakan fungsi dari pertumbuhan biomassa (stok) yang dipengaruhi oleh ukuran kelimpahan stok (x), daya dukung alam (k) dan laju pertumbuhan intrinsik (r). Laju pertumbuhan alami stok ikan yang tidak
11 dieksploitasi atau disebut sebagai fungsi pertumbuhan density dependent growth dapat dinyatakan dalam persamaan berikut : dx dt Keterangan : dx dt f(x) x r k x = f ( x) = x. r 1 k (1) = laju pertumbuhan biomassa (stok) = fungsi pertumbuhan populasi biomassa (stok) = ukuran kelimpahan biomassa (stok) = laju pertumbuhan alami (intrinsik) = daya dukung alam (carrying capacity) Persamaan (1) dalam literatur perikanan dikenal dengan pertumbuhan logistik (logistic growth model) yang pertama kali dikemukakan oleh Verhulst tahun 1889. Persamaan tersebut dapat digambarkan pada persamaan 1. Menurut Schaefer MB (1954) diacu dalam Fauzi A (2006), kurva pertumbuhan logistik tersebut (Gambar 2) menggambarkan kondisi perikanan yang tidak mengalami eksploitasi. Untuk mengeksploitasi suatu perairan diperlukan berbagai sarana yang merupakan faktor input dan disebut sebagai effort dalam perikanan. Effort merupakan indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, jaring, alat tangkap serta lain-lain yang dibutuhkan pada saat penangkapan ikan. f(x) MSY 0 ½ k k x Sumber : Gordon HS 1954 diacu dalam Fauzi A 2006 Gambar 2 Kurva Pertumbuhan Logistik
12 Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan bergantung pada tingkat upaya penangkapannya (effort). Upaya penangkapan (effort) dibedakan menjadi dua berdasarkan satuan pengukurnya, yaitu upaya penangkapan nominal dan upaya penangkapan efektif. Upaya penangkapan nominal diukur berdasarkan jumlah nominalnya meliputi, satuan jumlah kapal, alat tangkap atau jumlah trip yang telah distandardisasikan, sedangkan upaya penangkapan efektif ditentukan berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan penangkapan terhadap kelimpahan stok ikan. Hubungan antara kedua upaya tersebut dapat digambarkan melalui persamaan berikut : h = q.e...(2) dimana q merupakan koefisien penangkapan (catchability). Perolehan hasil tangkapan (h) ditentukan oleh ukuran kelimpahan stok (x), tingkat upaya penangkapan (E) dan koefisien penangkapan (q). Persamaan dari ketiga variabel tersebut sebagai berikut : h=q.e.x...(3) Kegiatan penangkapan menyebabkan terjadinya pengurangan stok (biomassa) populasi ikan yang pada akhirnya merangsang populasi untuk meningkatkan pertumbuhan, survival atau rekruitmen. Perubahan populasi tersebut merupakan selisih antara laju pertumbuhan biomassa dengan perolehan hasil tangkapan. Hubungan tersebut menurut Schaefer MB (1954) diacu dalam Fauzi A (2006), dapat dilihat pada persamaan berikut : dx = f(x) h dt dx x = r. x 1 -q.e.x.(4) dt k Pengaruh introduksi penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan dapat dilihat pada Gambar 3. Dari gambar tersebut terlihat beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas penangkapan terhadap stok. Pertama, pada saat tingkat upaya sebesar E 1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h 1 (garis vertikal). Jika upaya penangkapan dinaikkan sebesar E 2, dimana E 2 > E 1, maka hasil tangkapan akan meningkat sebesar h 2 (h 2 > h 1 ). Apabila upaya terus dinaikkan sebesar E 3 (E 3 > E 2 > E 1 ), maka akan
h = q.x.e 3 h = q.x.e 2 13 terlihat bahwa untuk tingkat upaya dimana E 3 > E 2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar (h 3 < h 2 ). Dari Gambar 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat eksploitasi tersebut tidak efisien secara ekonomi, karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar. f(x) h = q.x.e 1 h 2 h 3 h 1 Sumber : Gordon HS 1954 diacu dalam Fauzi A 2006 Gambar 3 Pengaruh Tangkapan terhadap Stok (biomass) E Pada saat populasi berada pada kondisi seimbang jangka panjang maka besarnya perubahan stok (biomassa) sama dengan nol (dx/dt = 0), maka persamaannya : dx = f(x) - h dt h = f(x)... (5) Berdasarkan persamaan (1) dan (3), maka dapat dinyatakan sebagai berikut : q.e.x x = x. r 1...(6) k q. E x=k 1... (7) r
14 Apabila persamaan (7) disubstitusikan ke persamaan (3), maka akan diperoleh persamaan yang menggambarkan fungsi produksi lestari perikanan tangkap : h=q.k.e- 2 q.k r. E 2...(8) Persamaan (8) merupakan persamaan kuadratik dan dapat digambarkan pada Gambar 4. h(e) h MSY 0 E MSY E max Effort Sumber : Gordon HS 1954 diacu dalam Fauzi A 2006 Gambar 4. Kurva Produksi Lestari Upaya (Yield Effort Curve ) Gambar 4 tersebut dapat dilihat apabila tidak ada aktivitas penangkapan (E = 0), maka hasil tangkapan juga nol. Effort akan mencapai titik maksimum pada E MSY yang berhubungan dengan tangkapan maksimum lestari (h MSY ). Sifat dari kurva produksi lestari upaya berbentuk kuadratik, maka peningkatan effort yang terus-menerus setelah melewati titik maksimum tidak akan menyebabkan peningkatan produksi lestari. Produk akan turun kembali, bahkan mencapai nol, pada titik effort maksimum (E max ) (Schaefer MB 1954 diacu dalam Fauzi A 2006). Menurut Gulland JA (1983), asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi adalah :
15 (1) Kelimpahan populasi merupakan faktor yang hanya menyebabkan perbedaan dalam laju pertumbuhan populasi alami. (2) Seluruh parameter populasi yang pokok dapat dikombinasikan untuk menghasilkan fungsi sederhana yang ada hubungannya dengan laju pertumbuhan stok. (3) Laju mortalitas penangkapan seketika sama dengan upaya penangkapan. (4) Hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE) sepadan dengan ukuran stok ikan. (5) Lama antara pemijahan dan rekruitmen tidak berpengaruh terhadap populasi. (6) Ada hubungan antar hasil tangkapan dengan upaya penangkapan. Dengan membagi kedua sisi dari fungsi produksi lestari dengan effort (E), maka akan diperoleh persamaan berikut : h E Keterangan : 2 q. k = q. k. E r CPUE=a b.e.(9) CPUE a b E = Catch Per Unit Effort = nilai intersep = koefisien regresi = Effort Sehingga akan diperoleh persamaan berikut : a E MSY =...(10) 2 b 2 a h MSY =...(11) 4 b Menurut Fauzi A (2006), model fungsi produksi lestari dari Schaefer memiliki kelemahan secara metodologi dan analisis, karena parameter r, q dan k tersembunyi dalam nilai a dan b. Oleh karena itu model Gordon-Schaefer perlu dilakukan modifikasi dengan menggunakan teknik estimasi parameter biologi (r, q dan k) yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto dan Pooley atau sering dikenal dengan sebutan metode CYP. Parameter biologi (r, q dan k) tersebut diperoleh dengan meregresikan persamaan berikut : 2r ln(u t+1 ) = ( ) ( 2 r) q ln q. k + ln( U ) + ( ) t Et Et+ 1 2 + r 2 + r 2 + r ( ) ( ) ( )
16 Dengan meregresikan hasil tangkapan per unit effort (CPUE) yang disimbolkan dengan U pada periode t+1, dan U pada periode t serta penjumlahan effort pada periode t dan t+1 akan diperoleh koefisien r, q dan k secara terpisah. 2.6 Model Bio-ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Model produksi hanya dapat mengetahui potensi produksi sumberdaya perikanan, dan belum mampu menunjukkan potensi industri penangkapan ikan dan tingkat pengusahaan maksimum bagi masyarakat. Teori ekonomi perikanan yang didasarkan atas sifat dasar biologis populasi ikan ditujukan untuk memahami perilaku ekonomi dari industri penangkapan ikan. Pendekatan yang memadukan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologi yang menentukan produksi dan suplai ikan disebut sebagai pendekatan bioekonomi (Clark CW 1985). Pendekatan bioekonomi model statik pertama kali dikenalkan oleh Gordon pada tahun 1954 dengan dasar fungsi produksi biologis Schaefer, sehingga disebut model Gordon-Schaefer. Model ini disusun dari model fungsi produksi Schaefer, biaya penangkapan dan harga ikan. Asumsi yang mendasari pengembangan model Gordon-Schaefer (Fauzi A 2006) antara lain : (1) Harga per satuan out put (Rp per kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan elastis sempurna. (2) Biaya penangkapan per satuan upaya penangkapan dianggap konstan. (3) Spesies sumberdaya ikan dianggap tunggal (single spesies). (3) Struktur pasar bersifat kompetitif. (4) Hanya faktor penangkapan langsung yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pasca panen dan lain sebagainya). Dengan menggunakan asumsi di atas, maka penerimaan total yang diterima oleh nelayan adalah : TR = p.h 2 q. k TR = p. q. k. E. E r 2 q. E TR=p. q. k. E 1 (12) r
17 Keterangan : TR = penerimaan total p = harga rata-rata ikan h = hasil tangkapan Biaya total upaya penangkapan dinyatakan dengan persamaan : TC=c.E..(13) Keterangan : TC = total biaya penangkapan ikan persatuan upaya c = biaya penangkapan ikan persatuan upaya E = upaya penangkapan Dengan demikian keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut adalah: π = TR TC q. E π = p. q. k. E 1 c.e...(14) r Keterangan : π = keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya Sumberdaya perikanan umumnya bersifat akses terbuka (open acces), sehingga siapa saja dapat berpartisipasi tanpa harus memiliki sumberdaya perikanan tersebut. Dalam kondisi perikanan bebas tangkap tersebut, terdapat kebebasan bagi nelayan untuk turut serta menangkap ikan, sehingga terjadi kecenderungan pada nelayan untuk menangkap ikan sebanyak mungkin sebelum didahului oleh nelayan yang lain (Gordon HS 1954 diacu dalam Fauzi A 2006). Titik keseimbangan suatu perikanan dalam kondisi open acces akan dicapai pada tingkat effort E OA, dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC) sehingga keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan ikan sama dengan nol (π = 0). Pelaku perikanan hanya menerima biaya opportunitas dan rente ekonomi sumberdaya atau profit tidak ada. Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai bioeconomic equilibrium of open acces fishery atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi A 2006). Keseimbangan bioekonomi merupakan kondisi dimana pada setiap effort dibawah E OA, penerimaan total akan melebihi biaya total, sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik (entry) untuk melakukan penangkapan ikan. Sebaliknya pada kondisi effort di atas E OA, biaya total akan
18 melebihi penerimaan total sehingga banyak pelaku perikanan yang akan keluar (exit) dari usaha penangkapan ikan. Dengan demikian, hanya pada tingkat effort E OA keseimbangan akan tercapai sehingga proses entry dan exit tidak akan terjadi. Dengan kata lain, keseimbangan open acces akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (drive to zero), sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada (Gordon HS 1954 diacu dalam Fauzi A 2006). Cost, Revenue MEY MSY TC = c.e B π max C TR = p.h E Sumber : Gordon HS 1954 diacu dalam Fauzi A 2006 Gambar 5 Kurva Perikanan Bebas Tangkap Menurut Fauzi A (2006), cara lain untuk melihat keseimbangan bioekonomi open acces adalah dari sisi penerimaan rata-rata, penerimaan marginal dan biaya marginal. Hal ini dapat diturunkan dari persamaan penerimaan total dan biaya total. Dengan menggunakan fungsi permintaan yang linear, dimana harga tidak lagi konstan, tetapi linear terhadap hasil tangkapan p(h), maka kurva penerimaan rata-rata dapat diturunkan dari kurva penerimaan total dibagi dengan hasil tangkapan (h). TR = p(h).h AR = p ( h). h h = p(h) (15) Kurva penerimaan marginal diperoleh dengan menurunkan penerimaan total terhadap hasil tangkapan.
19 TR p( h h = ). =p (h).h+ p(h) = MR...(16) h h Kurva biaya marginal merupakan turunan pertama (kemiringan/slope) dari biaya total yang merupakan konstanta. TC =c..(17) E Revenue/Cost MR AR C = MC = AC 0 E MEY E MSY E OA Effort Sumber : Gordon HS 1954 diacu dalam Fauzi A 2006 Gambar 6 Kurva Keseimbangan Bioekonomi dari sisi Penerimaan Rata-rata Keuntungan lestari diperoleh secara maksimum (sustainable profit) pada tingkat upaya E MEY, karena memiliki jarak vertikal terbesar antara penerimaan dan biaya (garis BC). Hal ini disebut sebagai produksi yang maksimum secara ekonomi atau maximum economic yield (MEY). Produksi yang maksimum secara ekonomi merupakan tingkat upaya penangkapan yang optimal secara sosial (social optimum). Jika dibandingkan antara tingkat upaya pada saat keseimbangan open acces dengan tingkat upaya optimal secara sosial, maka akan terlihat bahwa pada kondisi open acces tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih banyak dari pada yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open acces menjadikan timbulnya alokasi yang tidak tepat (misalocation) dari sumberdaya, karena kelebihan sumberdaya yang dibutuhkan seperti, modal dan tenaga kerja dapat dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya. Ini merupakan inti dari prediksi
20 Gordon bahwa pada kondisi open acces akan menimbulkan kondisi economic over fishing (Gordon HS 1954 diacu dalam Fauzi A 2006). Tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara sosial jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY (E MSY ). Tingkat upaya E MEY terlihat lebih bersahabat (conservative minded) dibandingkan dengan tingkat upaya E MSY (Hannesson R 1993 diacu dalam Fauzi A 2006).