4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN LAYUR

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

ANALISIS BIOEKONOMI UNTUK PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN KUNIRAN (Upeneus spp.) YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, BANTEN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pengumpulan Data

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.3 Pengumpulan Data Primer

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

POTENSI LESTARI DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN KURISI (Nemipterus sp.) YANG DIDARATKAN PADA PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA SUNGAILIAT

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

3. METODE PENELITIAN

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

The study of Sardinella fimbriata stock based on weight length in Karas fishing ground landed at Pelantar KUD in Tanjungpinang

3. METODE PENELITIAN

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ANALISIS MUSIM PENANGKAPAN DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN LAYUR (TRICHIURUS SP) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

C E =... 8 FPI =... 9 P

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

3. METODE PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

PEMANTAUN PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp) DI PERAIRAN PESISIR PULAU TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX-

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

FAKTOR-FAKTOR INPUT BAGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis, Cantor 1849) DI TELUK PALABUHANRATU, SUKABUMI RIZKA SARI

DINAMIKA STOK DAN ANALISIS BIO-EKONOMI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI TPI BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT

Length-Weight based Stock Assessment Of Eastern Little Tuna (Euthynnus affinis ) Landed at Tarempa Fish Market Kepulauan Anambas

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TERI PEKTO (Stolephorus Waitei) DI PERAIRAN BELAWAN KOTA MEDAN SUMATERA UTARA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

Transkripsi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan terletak di wilayah kabupaten Pandeglang yang berada pada bagian Barat Daya Provinsi Banten. Secara astronomis Kabupaten Pandeglang terletak antara 6 0 21 7 0 10 LS dan 104 0 48 106 0 11 BT dengan batas administrasinya sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Serang, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lebak, sebelah Selatan dengan Samudera Hindia, dan sebelah Barat dengan Selat Sunda. Perairan Selat Sunda merupakan pertemuan antara perairan Samudera Hindia dan Laut Jawa. Selat Sunda dipengaruhi oleh angin musim tenggara dan musim barat laut. Angin musim tenggara terjadi pada bulan April - September, sedangkan untuk musim barat laut terjadi pada bulan Oktober Maret (Birowo 1983 in Amri 2002). Selama musim barat umumnya gelombang cukup besar yaitu sekitar 0,5 m sampai 1,5 m bahkan bisa mencapai 1,5-2 m pada bulan Desember dan Januari. Sedangkan untuk musim timur ketinggian gelombang biasanya antara 0,5-1 m, dan bisa kurang dari 0,5 m pada bulan April, Mei, dan Juni. Perairan Selat Sunda memiliki pergerakan massa air yang berkombinasi antara pasang surut dan arus musiman sehingga pada waktu-waktu tertentu arus perairan akan terasa kuat. Sepanjang tahun arah alirannya ke barat daya (S. Hindia), dan pada bulan November arahnya kadang berubah ke timur laut (Wyrtki 1961 in Amri 2002). Rata-rata suhu permukaan air laut Selat Sunda yaitu 29,32 0 C pada bulan Mei, 30,01 0 C pada bulan Juni, 29,19 0 C pada bulan Juli, dan 27,28 0 C pada bulan Agustus (Amri 1997 in Amri 2002). 4.2. Kompisisi Tangkapan Layur di PPP Labuan Penduduk sekitar PPP Labuan sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tradisional yang menggunakan jaring rampus, cantrang, perahu obor dan beberapa jenis pancing. Jaring rampus merupakan salah satu alat penangkapan yang banyak digunakan nelayan PPP Labuan untuk menangkap ikan layur. Nelayan jaring rampus beroperasi harian (oneday fishing) dan hasil tangkapan sebagian besar adalah ikan demersal. Ikan layur merupakan salah satu komoditi perikanan di PPP Labuan yang

23 dihasilkan oleh jaring rampus. Beberapa jenis ikan yang banyak tertangkap dengan menggunakan jaring rampus berdasarkan data TPI Labuan tahun 2011 disajikan pada Gambar 4. 2% 34% 14% 13% 20% 10% 7% Layur Kurisi Kuniran Raja gantang Banyar Tongkol Lainnya Sumber : UPT PPP Labuan Tahun 2011 Gambar 4. Komposisi hasil tangkapan jaring rampus di PPP Labuan Tahun 2011 Ikan layur yang didaratkan di PPP Labuan merupakan ikan yang memiliki kualitas yang sangat baik sehingga sebagian besar ikan layur di PPP Labuan langsung dipasarkan kepada perusahaan-perusahaan perikanan ekspor. Ikan layur yang tidak memenuhi standar ekspor akan dipasarkan ke pasar-pasar ikan tradisional. Harga ikan layur segar yang dipasarkan di pasar tradisional berkisar antara Rp. 18.000 Rp. 25.000/Kg. 4.3. Sebaran Ukuran Panjang Data panjang ikan layur di perairan PPP Labuan Banten yang dididaratkan selama penelitian disajikan pada tabel lampiran 2. Jumlah ikan yang terkumpul selama tiga kali pengambilan data sebanyak 191 ekor. Panjang total ikan berkisar antara 370 mm 1055 mm. Sampling pertama dilakukan pada tanggal 14 Februari 2012 sebanyak 63 ekor, sampling kedua pada tanggal 2 April 2012 sebanyak 68 ekor dan sampling ketiga pada tanggal 21 April sebanyak 60 ekor. Sebaran ukuran panjang tiap sampling disajikan pada Gambar 5.

24 Frekuensi 25 20 15 10 5 0 14 Februari 2012 N = 68 selang kelas panjang (mm) Frekuensi 40 30 20 10 0 2 April 2012 N = 63 selang kelas panjang (mm) Frekuensi 30 20 10 21 April 2012 N = 60 0 selang kelas panjang (mm) Frekuensi 60 40 20 0 Total N = 191 selang kelas panjang (mm) Gambar 5. Sebaran ukuran panjang ikan layur contoh. Sebaran frekuansi panjang ikan layur berkisar antara 370 754 mm pada bulan Februari, 447 831 mm pada awal bulan April dan 524 1062 mm pada akhir bulan April. Perbedaan kisaran panjang ini disebabkan adanya proses pertumbuhan ikan layur dari bulan Februari hingga bulan April. Secara total distribusi frekuensi panjang ikan layur contoh berkisar antara 370 1062 mm.

25 Hasil penelitian Ambarwati (2008) memperlihatkan sebaran frekuensi panjang total Lepturacanthus savala yang tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 314 935 mm. Kisaran ukuran paling banyak ditemukan pada selang ukuran 634 793 mm. Hasil penelitian Deshmukh (2010) diperairan di perairan pesisir Mumbai, India memperlihatkan sebaran frekuensi panjang berkisar antara 80 623 mm. Penelitian Syarif (2009) memperlihatkan selang ukuran panjang ikan layur antara 555 935 mm. Perbedaan selang ukuran panjang ikan yang dihasilkan dari beberapa penelitian tersebut diduga karena perbedaan lokasi pengambilan contoh yaitu antara teluk Pelabuhan ratu, perairan pesisir Mumbai dan PPP Labuan Banten. 4.4. Parameter Pertumbuhan Pemisahan kelompok ukuran panjang dilakukan dengan menggunakan paket program FISAT (FAO-ICLRAM Stock Assesment)-NORMSEP dengan selang kelas, nilai minimum, interval kelas dan frekuensi dimasukkan terlebih dahulu. Hasil analisis pemisahan kelompok umur disajikan pada Gambar 6. 14 Februari 2012 N = 68 2 April 2012 N = 63 21 April 2012 N = 60 Total N = 191 Gambar 6. Kelompok ukuran panjang ikan layur contoh

26 Berdasarkan hasil analisis pemisahan kelompok ukuran pada Gambar 7. dapat dilihat bahwa ikan layur yang diamati hanya memiliki satu kelompok ukuran panjang. Nilai tengah dari setiap sampling pada kelompok umur tersebut disajikan pada Tabel 2. Table 2. Nilai tengah panjang total ikan layur (L. savala) yang didaratkan di PPP Labuan Banten. Tanggal Nilai tengah panjang total (mm) 14 Februari 2012 531,91 02 April 2012 592,45 21 April 2012 783,25 TOTAL 630,82 Tabel 2 menunjukkan nilai tengah rata-rata ikan layur pada kelompok ukuran panjang tiap sampling berkisar antara 531,91 mm 783,25 mm. nilai tengah ratarata ikan layur contoh seluruhnya (total) sebesar 630,82. Hasil penelitian Syarif (2009) di Teluk Palabuhanratu menunjukkan nilai tengah yang berbeda yaitu sebesar 740 mm. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh perbedaan waktu dan lokasi penelitian. Tabel 3. Nilai indeks separasi dan jumlah populasi teoritis total ikan layur di PPP Labuan Banten. Tanggal Lt SD Jumlah Sampel (ekor) S.I 14 Februari 2012 531,91 86,74 68 n.a. 2-Apr-12 592,45 55,07 63 n.a. 21-Apr-12 TOTAL 783,25 630,82 105,18 135,70 60 191 n.a. n.a. Tabel 3 menyajikan hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan layur yaitu panjang rata-rata, jumlah sampel ikan dan indeks separasi. Jumlah total populasi ikan contoh sebanyak 191 ekor (nilai teoritis). Nilai ini sama dengan jumlah populasi ikan contoh sesungguhnya karena pada pengamatan ikan tidak ada tumpang tindih kelompok ukuran panjang (hanya terdapat satu kelompok ukuran panjang). Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa ikan layur di PPP Labuan tidak mengalami rekruitmen terhadap individu baru selama penelitian. Sedangkan hasil penelitian Syarif (2009) menunjukkan adannya rekruitmen ikan layur.

27 Parameter pertumbuhan dengan menggunakan model Von Bertalanffy (K dan L ) diduga dengan menggunakan paket program FISAT (FAO-ICLRAM Stock Assesment)-ELEFAN 1 dengan selang kelas, nilai tengah dan frekuensi dimasukkan terlebih dahulu, kemudian nilai K dan L tersebut dimasukkan ke dalam model pertumbuhan Von Bartalanffy. Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan layur yaitu koefisien pertumbuhan (K) dan panjang asimtotik (L ) serta umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (t 0 ) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan parameter pertumbuhan berdasarkan model Von Bertalanffy (K, L dan t 0 ) L. savala di PPP Labuan Banten. Parameter Nilai (Sholeh, 2012) PPP Labuan Banten N total = 191 ekor Nilai (Syarif, 2009) Teluk Palabuhanratu N total = 172 ekor Nilai (Desmukh, 2010) Pesisir Mumbai, India N total = 7.532 ekor K (per tahun) L (mm) t 0 (tahun) 3,52 1110,53-0,097 0,56 1348-0,62 0,87 688-0,000251 Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy yang terbentuk pada ikan layur adalah Lt = 1110,53 (1 exp [-3,52(t+0,097)] ). Koefisien pertumbuhan (K) ikan layur di PPP Labuan Banten adalah 3,52 per tahun. Hasil penelitian Syarif (2009) mendapatkan nilai K sebesar 0,56 dan L sebesar 1348 mm, sedangkan penelitian Desmukh (2010) menghasilkan nilai K sebesar 0,87 dan L sebesar 688 mm. Menurut Lagler (1970) dalam Syarif (2010) bahwa ikan dengan nilai K relatif besar umumnya memliki panjang relatif pendek. Beverton and Holt (1956) in Desmukh (2005) juga mengungkapkan bahwa koefosien pertumbuhan (K) berbanding terbalik terhadap panjang asimtotik (L ). Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh mengindikasikan bahwa ikan layur yang terdapat di PPP Labuan Banten memiliki ukuran lebih kecil daripada yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu. Hasil penelitian Desmukh (2010) di Pesisir Mumbai, India sangat berbeda dengan hasil yang diperoleh di PPP Labuan. Hal ini diduga karena perbedaan karakteristik lokasi penelitian yang mempengaruhi pertumbuhan ikan layur. Perbedan nilai K menyebabkan ikan layur yang ditangkap di Teluk Pelabuhanratu akan mencapai panjang asimtotik lebih lama (204 bulan) daripada ikan layur yang didaratkan di PPP Labuan yang hanya memerlukan waktu 3,5 bulan

28 saja. Perbedaan nilai K yang sangat besar di PPP Labuan diduga karena ikan layur yang ditangkap pada saat sampling merupakan ikan layur yang sedang memasuki tahap pertumbuhan yang maksimal (remaja). Hal ini juga dapat memberikan informasi bahwa perairan Selat Sunda merupakan wilayah asuhan (nursery ground) bagi ikan layur. Nilai K yang besar juga dapat dipengaruhi oleh keberadaan ikan layur yang terbatas (sedikit). Selektivitas alat tangkap jaring rampus yang digunakan memberikan peluang tidak tertangkapnya ikan layur kecil juga memiliki peran terhadap pertumbuhan ikan layur yang cepat. Kurva pertumbuhan ikan layur di perairan PPP Labuan Banten disajikan pada Gambar 7 dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang teoritis ikan (mm) sampai umur ikan mencapai 3 bulan. Panjang (mm) 1200.00 Lt = 1110,53 (1 exp [-3,52 (t + 0,097)] ) 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00 0 1.5 3 Umur (bulan) Gambar 7. Hubungan panjang dengan umur L. savala Kurva diatas menunjukkan bahwa ikan layur akan mencapai panjang total maksimum secara teoritis sebesar 1110,53 mm dalam waktu 3,5 bulan (0,29 tahun). Kurva tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan layur mengalami perbedaan setiap waktu. Ikan layur muda (umur kurang dari 1 bulan) memiliki pertumbuhan yang sangat cepat karena seluruh energi yang diperoleh digunakan untuk proses pertumbuhan. Pertumbuhan ikan layur akan menurun ketika memasuki usia dewasa dikarenakan energi yang diperoleh tidak hanya digunakan untuk pertumbuhan melainkan digunakan juga untuk proses reproduksi dan regenerasi terhadap sel-sel tubuh sudah yang mengalami kerusakan. Penurunan laju pertumbuhan stok dalam suatu populasi juga terjadi ketika stok sudah melebihi daya dukung lingkungan.

29 4.5. Hubungan Panjang Berat Analisis hubungan panjang berat menggunakan data panjang total dan berat basah ikan contoh untuk melihat pola pertumbuhan individu ikan layur di PPP Labuan Banten. Hubungan panjang berat ikan layur disajikan pada Gambar 8. Berat (gram) 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 y = 4E-07x 3.127 R² = 0.936 0 500 1000 1500 Panjang total (mm) Total N = 191 Gambar 8. Hubungan panjang berat ikan layur contoh. Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang berat diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan layur di PPP Labuan allometrik positif (b>3) dengan nilai b sebesar 3,127 dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,94. Pola pertumbuhan allometrik positif artinya pola pertumbuhan ikan layur di dominasi oleh pertumbuhan berat (pertumbuhan berat lebih dominan dibanding pertumbuhan panjang). Pola pertumbuhan ikan layur ini dipengaruhi oleh ketersediaan makanan yang melimpah di perairan PPP Labuan. Pada bulan Februari April PPP Labuan mengalami musim barat sehingga banyak nelayan yang tidak melakukan operasi penangkapan ikan. Hal ini menyebabkan stok ikan-ikan kecil dan jenis udangudangan yang merupakan makanan ikan layur tidak tereksploitasi dan melimpah di perairan. Hasil uji lanjut dengan selang kepercayaan 95% juga menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan layur allometrik positif dengan nilai t hit sebesar 36,23 dan nilai t tab sebesar 2,26. Hasil t hit > t tab sehingga kesimpulan dari uji lanjut ini adalah menolak H 0 (b = 3). Hasil penelitian Gupta (1967) dalam Deshmukh (2010) memperlihatkan pola pertumbuhan L. savala adalah allometrik positif (Log W = -5.5396 + 3.30715 Log L). Pola pertumbuhan allometrik positif juga didapatkan oleh Deshmukh (2010)

30 terhadap L. savala di perairan pesisir Mumbai, India (Log W = -7.9652 + 3.6117 Log L). Beberapa penelitian terkait dengan ikan layur menunjukkan hasil yanag sama walaupun di lokasi yang berbeda. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ikan layur secara umum memiliki pola pertumbuhan allometrik positif. Ketersediaan makanan pada beberapa wilayah perairan tersebut sangat cukup bagi ikan layur. 4.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas (kematian) individu ikan dalam suatu populasi ikan dapat terjadi akibat faktor alamiah (M) seperti kondisi lingkungan perairan dan juga dapat terjadi akibat faktor penangkapan (F). Mortalitas total (Z) merupakan penjumlahan dari mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F). Kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data panjang yang digunakan disajikan pada Gambar 9. Ln[C(L1,L2)/dt] 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 t(l1+l2)/2 Gambar 9. Kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang. Laju mortalitas alami (M) dapat dihitung dengan menggunakan rumus Pauly. Laju mortalitas total (Z) dapat diketahui dengan regresi berdasarkan data panjang yang dilinierkan. Laju mortalitas penangkapan (F) dapat diketahui dari selisih antara laju mortalitas total dan laju mortalitas alami. Hasil analisis laju mortalitas dan laju eksploitasi disajikan pada Tabel 5.

31 Tabel 5. Perbandingan laju mortalitas dan laju eksploitasi L. savala. Mortalitas Laju dan Eksploitasi (per tahun) Nilai (Sholeh, 2012) Labuan Nilai (Syarif, 2009) Palabuhanratu Total (Z) Alami (M) Penangkapan (F) Laju Eksploitasi (E) 9,85 1,32 8,53 0,87 5,66 0,43 5,23 0,92 Nilai (Desmukh, 2010) Mumbai, India 4,15 1,30 2,85 0,68 Laju mortalitas total (Z) L. savala sebesar 9,85 per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 1,32 dan laju mortalitas penagkapan sebesar 8,53 per tahun. Laju eksploitasi L. savala sangat besar yaitu 0,87 sehingga dapat dinyatakan bahwa stok ikan layur di perairan PPP Labuan Banten sudah mengalami overeksploitasi. Sama halnya dengan hasil penelititan Syarif (2009) dan Desmukh (2010) yang mengungkapkan bahwa stok ikan layur sudah mengalami overeksploitasi. 4.7. Model Surplus Produksi Model ini dapat diterapkan bila diketahui hasil tangkapan total (catch) berdasarkan spesies dan upaya penangkapan (effort) sehingga diperoleh hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/cpue) dalam beberapa tahun (Sparre and Venema, 1999). Data produksi kegiatan penangkapan ikan layur di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan selama 11 tahun terakhir (2001-2011) disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Data hasil tngkapan, effort dan CPUE Tahun Catch (Kg) Effort (Trip) CPUE 2001 4752 51,00 93,18 2002 2136 148,00 14,43 2004 3415 62,00 55,08 2005 3730 76,00 49,08 2006 3569 82,00 43,52 2007 4348 53,00 82,04 2010 1978 25,00 79,12 2011 4035 97,00 41,60 Sumber : UPT PPP Labuan Banten (2001-2011) Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan L. savala. dan upaya tangkap (effort) dari tahun 2001 hingga 2011 di PPP Labuan mengalami fluktuasi. Data hasil tangkapan maupun effort tahun 2003, 2008 dan 2009 tidak

32 tercantum pada Tabel 6 dikarenakan kelengkapan data yang diperoleh sangat kurang. Peningkatan jumlah effort yang digunakan oleh nelayan dikhawatirkan dapat membahayakan kelestarian stok ikan layur. Untuk itu perlu dilakukan pendugaan lebih lanjut mengenai jumlah effort optimum dan tangkapan maksimum lestari. Hasil analisis surplus produksi ikan layur menggunakan model Schaefer (1954) dapat dilihat pada Gambar 10. CPUE (Kg/trip) 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 y = -0.630x + 104.0 R² = 0.807 0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 Effort (trip) Gambar 10. Regresi linear antara effort per tahun dengan CPUE (model Schaefer 1954) Berdasarkan Gambar 10 model surplus produksi Schaefer (1954) digambarkan dengan persamaan y = 104,09 0,630x. Effort optimum yang diperoleh dari persamaan Schaefer sebesar 83 trip per tahun dengan tangkapan maksimum lestari 4294 kg per tahun. Jumlah trip alat tangkap jaring rampus pada tahun 2002 dan 2011 yang beropersai di PPP Labuan untuk menangkap ikan layur sudah melebihi tingkat upaya optimum sehingga menyebabkan terjadinya overfishing terhadap ikan layur. Overfishing merupakan peristiwa penangkapan ikan secara berlebihan hingga malampui batas optimum lestari ikan untuk melakukan proses pemulihan (recovery). Syarif (2009) juga menyatakan bahwa stok ikan layur di Teluk Palabuhanratu mengalami upaya tangkap yang melebihi optimum lestari khususnya pada tahun 2002 dan 2006. Kondisi overfishing stok ikan layur di PPP Labuan juga terlihat dari

33 kurva surplus produksi Schaefer (1954) yang menunjukkan penurunan CPUE ketika effort mengalami peningkatan. 4.8. Model Bioekonomi Kajian bioekonomi perikanan merupakan kajian terhadap sumberdaya alam khususnya sumberdaya ikan yang berbasiskan aspek biologi dan aspek ekonomi. Tujuan utama dari kajian bioekonomi perikanan adalah memaksimalkan manfaat ekonomi yang diperoleh dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya. Aspek biologi meliputi kajian terhadap data hasil tangkapan per jenis alat tangkap dan upaya aktual. Hasil tangkapan diidentifikasi sebagai output dan upaya diidentifikasi sebagai input. Kemudian aspek ekonomi meliputi estimasi terhadap harga output dan biaya input. Hasil analisis parameter biologi (r, q dan K) dan parameter ekonomi (p dan c) dengan menggunakan model Schaefer disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai parameter biologi dan ekonomi model Scaefer (1954). Parameter Nilai p (harga Rp/Kg) 11.550 c (biaya Rp/trip) 132.108 r (intrinsic growth rate) 0,0330 q (catchability coefficient) 0,0002 k (carrying capacity) 520.438 Parameter biologi r, q dan K mempengaruhi nilai biomassa (x), jumlah hasil tangkapan (h) sehingga upaya penangkapan (E) harus disesuaikan agar mampu mencapai sistem perikanan tangkap yang berkelanjutan. Laju pertumbuhan intrinsik (r) bernilai 0,0330 artinya pertumbuhan biomassa ikan layur secara alami tanpa adanya gangguan sebesar 0,0330 Kg per tahun. Carrying capacity (K) pada perairan PPP Labuan sebesar 520.438 Kg per tahun artinya kemampuan atau kapasitas lingkungan perairan untuk menampung biomassa ikan layur sebesar 520.438 Kg per tahun. Koefisien alat tangkap (q) bernilai sebesar 0,0002 artinya bahwa setiap peningkatan upaya penangkapan per trip per tahun akan berpengaruh terhadap aspek biologi ikan layur sebesar 0,0002 Kg per tahun. Hasil analisis bioekonomi disajikan pada Tabel 8.

34 Tabel 8. Hasil analisis bioekonomi Gordon-Schaefer (G-S). Variabel MEY MSY OA Aktual Catch (Kg) 4242 4294 1680 4035 Effort (Trip) 73 83 147 97 Total Penerimaan (rupiah) 49.000.660 49.599.588 19.405.775 46.604.250 Total Biaya (rupiah) 9.702.888 10.900.742 19.405.775 12.814.476 Rente Ekonomi (rupiah) 39.297.773 38.698.845 0 33.789.774 Tabel 8 menunjukkan bahwa hasil tangkapan maksimal pada perairan ditunjukkan dengan nilai MSY yaitu sebesar 4294 kg dengan upaya maksimal 83 trip. Pada kondisi MEY upaya yang dilakukan lebih rendah sebesar 73 trip namun menghasilkan keuntungan yang lebih besar dibanding MSY. Kondisi MEY merupakan kondisi pengelolaan yang paling baik dan menguntungkan secara ekonomi dikarenakan pada kondisi MEY selisih antara total penerimaan dan biaya yang dikeluarkan untuk eksploitasi sumberdaya ikan lebih besar dibanding pada kondisi MSY. Pada kondisi open acces (OA) upaya yang dilakukan melebihi batas maksimal yaitu sebesar 147 trip. Kondisi open acces merupakan kondisi perairan yang bebas artinya pada kondisi ini kegiatan perikanan memiliki akses masuk dan keluar secara bebas. Upaya penangkapan tidak dibatasi sehingga kondisi perikanan tidak dapat terkendali. Pada kondisi open acces upaya penangkapan lebih besar namun pada kondisi ini hasil tangkapan dan keuntungan yang didapatkan pada kegiatan perikanan lebih kecil daripada MEY dan MSY. Pada tahun 2011 upaya yang dilakukan sebesar 97 trip dengan hasil tangkapan sebanyak 4035 kg. Berdasarkan analisis bioekonomi Gordon-Schaefer kegiatan penangkapan ikan layur di PPP Labuan sudah melebihi titik MEY maupun MSY yang menyebabkan teerjadinya peristiwa economic overfishing dan biological overfishing. Economic overfishing merupakan situasi kegiatan perikanan yang menghasilkan rente (manfaat) ekonomi yang rendah bahkan nihil dikarenakan pemanfaatan input (effort) yang berlebihan. Biological overfishing merupakan suatu peristiwa penangkapan ikan secara berlebihan hingga malampui batas optimum lestari yang mengakibatkan ikan tidak dapat melakukan proses pemulihan (recovery) (Fauzi, 2010). Fakta terhadap fluktuasi upaya penangkapan dan hasil tangkapan di PPP Labuan menyebabkan penurunan nilai CPUE (Gambar 11) juga mengindikasikan bahwa ikan layur telah mengalami overfishing.

35 CPUE (kg/trip) 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Sumber : UPT PPP Labuan (2001-2011) 2001 2002 2004 2005 2006 2007 2010 2011 Tahun Gambar 11. Fluktuasi CPUE ikan layur di PPP Labuan. Berdasarkan hasil penelitian analisis bioekonomi menggunakan Gordon- Schaefer oleh Said (2011) menggambarkan kondisi perikanan layur di Teluk Palabuhanratu juga telah melebihi upaya penangkapan optimalnya pada tahun 2001, 2002, 2005, 2006, 2007 dan 2010. Pada tahun 2006-2008 hasil tangkapan yang diperoleh telah melebihi hasil tangkapan optimal secara ekonomi (MEY) dan telah melebihi potensi lestarinya (MSY). 4.9. Rencana Pengelolaan Perikanan di PPP Labuan Pada dasarnya ikan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resource). Proses pemulihhan dan recovery sumberdaya juga membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak sepantasnya kita mengeksploitasi secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kelestarian sumberdaya. Berdasarkan informasi mengenai kondisi aktual dinamika stok ikan layur (L. savala) yang diperoleh dalam penelitian ini maka diperlukan adanya strategi pengelolaan yang tepat sehingga produktivitas perikanan dapat ditingkatkan dan kelestariannya dapat terjamin. Menganut dari sistem perikanan yang berkelanjutan Charles (2001) dapat dirumuskan rencana pengelolaan stok ikan layur di PPP yang terdiri dari tiga komponen seperti berikut : 1. Ikan layur merupakan jenis ikan benthopelagis yaitu ikan yang habitatnya didasar perairan (100 m) namun memiliki kebiasaan muncul mendekati permukaan ketika malam hari (Nakamura dan Parin, 1993). Perlu ditetapkan

36 suatu teknologi alat penangkapan ikan layur yang selektif dan memiliki produktivitas yang tinggi. 2. Alat tangkap yang digunakan di PPP Labuan adalah alat tangkap jaring rampus. Berdasarkan analisis surplus produksi model Shaefer (1954) dan analisis bioekonomi Gordon-Schaefer menunjukkan bahwa tingkat upaya saat ini sudah melebihi tingkat optimum lestari. Pengelolaan yang tepat agar mampu memaksimalkan rente ekonomi dan menjaga kelestarian stok ikan layur dapat dilakukan dengan pengurangan effort hingga F mey sebesar 73 trip per tahun dengan hasil tangkapan optimum sebesar 4242 kg per tahun. Perhatikan ilustrasi berikut. Bioekonomi G-S MEY 4242 kg Fmey 73 trip CPUE 58 kg/trip Aktual Catch 4035 kg Effort 97 trip CPUE 42 kg/trip Ilustrasi diatas, nilai CPUE G-S > aktual artinya hasil tangkapan per trip pada kondisi MEY lebih besar dibanding kondisi aktual. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi MEY lebih menguntungkan dibanding kondisi aktual dikarenakan dengan upaya yang lebih rendah menghasilkan tangkapan yang lebih banyak. Selain itu, ilustrasi tersebut juga menggambarkan bahwa alat tangkap ikan layur yang beroperasi di PPP Labuan sangat eksploitatif. Alat tangkap yang sangat eksploitatif ini sangat penting untuk dibatasi. 3. Melakukan pencataan terhadap produksi ikan layur yang lebih teratur dan lebih akurat sehingga dapat diketahui dengan pasti keberadaan stok ikan layur sepanjang tahun. Data urut waktu (time series) terhadap produksi ikan layur yang akurat merupakan kunci keberhasilan riset yang dilakukan oleh peneliti guna merumuskan rencana pengelolaan stok ikan layur yang lebih tepat.