BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Wilayah Indonesia tidak luput dari penjajahan bangsa Belanda yang pada awalnya bertujuan untuk melakukan aktivitas perdagangan. Pulau Jawa menjadi salah satu daerah jajahan bangsa Belanda. Mereka mendirikan pusat perdagangan di pulau Jawa karena letak yang strategis serta mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Seiring berjalannya waktu, kedatangan orang-orang Belanda semakin bertambah dan menjadi bangsa penguasa di wilayah Indonesia. Mereka hidup di wilayah baru dengan kondisi yang berbeda dari negara asalnya. Mereka mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan serta masyarakat sekitarnya. Pada masa selanjutnya, orang-orang Belanda tersebut mulai hidup berdampingan dengan orang-orang pribumi, lambat laun mengakibatkan akulturasi budaya. Akulturasi budaya tersebut dikenal dengan sebutan budaya Indis. Kata Indis bermula dari Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yang merupakan daerah jajahan bangsa Belanda (Soekiman, 2000: 8). Budaya Indis yaitu perpaduan antara budaya Eropa (Belanda) dengan lokal (Jawa). Wujud dari akulturasi tersebut terlihat dari gaya hidup yang mewah. Mereka berupaya untuk mempertahankan gaya hidup mewah dengan tujuan untuk menjaga kedudukannya sebagai bangsa penguasa pada masa itu (Soekiman, 2000: 127). 1
2 Selain dari segi gaya hidup, nampak pula dari hasil budaya materi, salah satunya bangunan rumah tinggal dengan arsitektur gaya Indis. Munculnya arsitektur gaya Indis dimulai dari abad XVIII sampai runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 (Soekiman, 2000: 125). Kemunculan arsitektur Indis merupakan suatu fenomena budaya yang unik dan tidak dijumpai di negara-negara bekas koloni Belanda yang lain. Hal tersebut terjadi karena mengalami percampuran antara budaya penjajah (Belanda) dengan budaya Indonesia yang beragam (Sumalyo, 1993: 2). Bangunan rumah tinggal yang didirikan oleh orang-orang Belanda tersebut pada awalnya masih menggunakan desain dengan ciri-ciri murni Belanda. Ciri-ciri tersebut di antaranya: mempunyai jendela tinggi dan lebar, tidak dilengkapi dengan teras depan maupun belakang, serta bagian depan rumah berderet-deret, mengingatkan bentuk rumah di tepi parit kuno di Negeri Belanda (Soekiman, 2000: 138). Rumah-rumah tersebut belum menunjukkan upaya adaptasi terhadap iklim serta budaya setempat. Pada masa selanjutnya, bangunan rumah tinggal mulai menyesuaikan dengan kondisi iklim tropis di Indonesia dan budaya Jawa. Bangunan rumah tinggal mulai menggunakan beranda depan dan belakang yang berukuran luas pada bangunan rumah tinggal merupakan upaya untuk menyesuaikan dengan iklim tropis lembab (Handinoto, 2010: 54). Selain itu, bentuk permukaan atap rumah yang luas sehingga rumah menjadi teduh, dilengkapi oleh bijgebouwen (bangunan samping) (Soekiman,
3 2000: 144-145). Bahan berupa kayu mulai digunakan mengingat bahan tersebut mudah didapat di sekitar. Rumah dengan arsitektur gaya Indis banyak dijumpai di Tanah Jawa, salah satunya di Kota Surakarta. Di kota ini terdapat Loji Gandrung yang terletak di Jalan Brigjend. Slamet Riyadi Nomor 261, Kelurahan Penumping, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Saat ini, kompleks Loji Gandrung digunakan sebagai rumah dinas walikota Surakarta. Pada awalnya, kompleks Loji Gandrung yang terdiri atas bangunan induk, paviliun, dan halaman tersebut merupakan rumah tinggal seorang pengusaha dalam bidang pertanian. Ia berasal dari negeri Belanda dan bernama Johannes Augustinus (Tinus) Dezentjé (1797-1839) (Dinas Tata Ruang Kota Surakarta dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, 2013: 9). Loji Gandrung tersebut terletak di lokasi yang strategis dan bentuk bangunannya lebih mewah dibandingkan dengan bangunan lain di sekitarnya yang merupakan tinggalan masa Kolonial. Selain itu, keberadaan atap dengan penutup berupa sirap, deretan tiang bergaya Eropa (Belanda), serta keberadaan bijgebouwen pada Loji Gandrung menjadi keunikan tersendiri dibandingkan bangunan lain di sekitarnya yang lebih pada bentuk sederhana. Selain itu, kompleks Loji Gandrung hingga saat ini masih difungsikan sebagai rumah dinas walikota Surakarta. Kompleks Loji Gandrung telah mengalami beberapa perubahan fungsi, mulai dari masa Kolonial, sebelum kemerdekaan, pascakemerdekaan, hingga saat ini.
4 1.2. Rumusan Masalah Berkaitan dengan latar belakang tersebut, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah seperti apakah bentuk perpaduan antara arsitektur Jawa dan Belanda pada kompleks Loji Gandrung? Selanjutnya, apa yang menjadi latar belakang kondisi tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suatu proses budaya dalam hal ini berkaitan dengan akulturasi budaya Jawa dengan budaya Barat (Belanda). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perpaduan gaya pada kompleks Loji Gandrung dan untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi. 1.4. Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bangunan induk Loji Gandrung, paviliun sayap barat dan timur, serta denah kompleks Loji Gandrung. Penelitian terfokus pada arsitektur bangunan induk loji serta arsitektur paviliun secara umum. Pengamatan secara langsung dilakukan pada bagian eksterior bangunan induk loji, bangunanbangunan pendukung di sekitar bangunan induk, serta halaman. Tidak semua bagian interior dapat diamati secara langsung, karena terkendala dalam hal perizinan mengingat bangunan induk Loji Gandrung masih difungsikan sebagai rumah dinas walikota Surakarta. Bagian denah ruang bangunan induk dilakukan secara
5 pengamatan sekunder yaitu dengan mengamati gambar denah hasil penelitian BPCB Jawa Tengah dan Dinas Tata Ruang Kota Surakarta tahun 2013. 1.5. Tinjauan Pustaka Penelitian berkaitan dengan arsitektur bangunan masa Kolonial telah dilakukan oleh Yulianto Sumalyo (1993) dengan judul Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Ia menguraikan mengenai perkembangan model arsitektur kolonial di Indonesia dari masa ke masa. Penelitian yang membahas mengenai kebudayaan Indis telah dilakukan oleh Djoko Soekiman (2000) dengan judul Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII sampai Medio Abad XX). Dalam buku tersebut selain dibahas mengenai gaya hidup Indis juga hasil budaya materi salah satunya arsitektur bangunan dengan model arsitektur Indis. Tulisan mengenai arsitektur kolonial di Indonesia juga dibuat oleh Handinoto (2010) berupa kumpulan-kumpulan artikel dengan judul Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Dalam buku kumpulan artikel tersebut dibahas model arsitektur serta kota yang berkembang di Jawa pada masa pendudukan bangsa Belanda. Penelitian mengenai pengaruh arsitektur tradisional Jawa pada bangunan masa Kolonial, pernah dilakukan oleh Dwi Agus Wahyudi (1998), dengan judul Unsur-Unsur Arsitektur Tradisional Jawa pada Bangunan-Bangunan Penunjang di Benteng Vredeburg. Tulisan tersebut membahas keberadaan unsur arsitektur tradisional Jawa pada bangunan penunjang di Benteng Vredeburg, mencakup pada bentuk, konstruksi, fungsi, serta simbol. Sementara itu, penelitian tentang bangunan
6 Loji Gandrung, pernah dilakukan oleh Dinas Tata Ruang Kota Surakarta dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (2013), berjudul Kajian Loji Gandrung Surakarta. Dalam penelitian tersebut, direncanakan untuk melakukan rehabilitasi bangunan atau pemugaran terhadap bangunan yang telah berusia lebih dari seratus tahun ini. Selain Dinas Tata Ruang Kota Surakarta dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Bambang Triratma juga pernah melakukan penelitian terhadap bangunan Loji Gandrung. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam sebuah artikel berjudul Kajian Aspek Arsitektur dalam Rangka Pemugaran/Renovasi Bangunan Lodji Gandrung Surakarta. Dalam artikel tersebut dideskripsikan degradasi serta deformasi yang terjadi pada beberapa aspek arsitektural serta struktur bangunan loji yang disebabkan oleh pengaruh iklim atau cuaca yang terjadi dalam jangka waktu yang lama. Artikel tersebut juga berisi mengenai upaya pemugaran yang tetap mempertahankan bentuk arsitektur bangunan loji sehingga nilai dari bangunan Loji Gandrung tidak hilang. Berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan pada Loji Gandrung sebelumnya, diketahui bahwa pokok bahasan dari penelitian terdahulu lebih fokus pada konservasi terhadap bangunan cagar budaya tersebut. Selain itu, deskripsi bagian-bagian dari Loji Gandrung masih dilakukan secara umum. Untuk penelitian mengenai arsitektur Loji Gandrung secara detail belum dilakukan sebelumnya. 1.6. Metode Penelitian
7 Dalam melakukan kegiatan penelitian, metode merupakan komponen yang penting. Metode yang digunakan harus sesuai dengan penelitian tersebut, dengan tujuan agar hasil penelitian dapat maksimal. Penelitian ini menggunakan penalaran induktif yang bergerak dari kajian fakta atau gejala-gejala khusus kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum (Tanudirjo, 1989: 34). Dalam penelitian ini, gejala khusus adalah fakta yang terkait dengan bentuk arsitektur di kompleks Loji Gandrung serta perpaduannya. Tujuan atau sifat penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif mengungkapkan masalah atau peristiwa berdasarkan fakta, selain itu memberikan interpretasi dari data yang diperoleh (Nawawi, 2003: 31). Dalam penelitian ini diuraikan bagian-bagian yang merupakan unsur Jawa dan Belanda, serta proporsi keberadaannya. Pengamatan yang dilakukan tidak hanya pada bagian fisik bangunan, namun juga faktor sosial, budaya, serta lingkungan di Surakarta yang mempengaruhi arsitektur kompleks Loji Gandrung. Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1.6.1. Tahap Pengumpulan Data Untuk menjawab permasalahan, penelitian ini menggunakan beberapa cara perolehan data, yaitu: a) Observasi Observasi merupakan pengamatan terhadap data arkeologi yang dilakukan secara langsung di lapangan, sehingga konteks temuan data yang diperoleh masih dapat diketahui (Tanudirjo, 1989: 31). Data lapangan berupa denah kompleks Loji
8 Gandrung, halaman, bangunan induk Loji meliputi: bagian eksterior, komponen bangunan, bahan, ornamen, serta denah ruang. Selain bangunan induk, pengamatan dilakukan pada bangunan paviliun sayap barat dan timur. Penelitian difokuskan pada eksterior bangunan induk, karena kendala perizinan yang tidak memperbolehkan peneliti untuk memasuki ruang-ruang pada bangunan induk dan paviliun sayap timur yang bersifat privat. Peneliti hanya diperbolehkan memasuki ruang tamu, ruang sidang, serta ruang perjamuan (ruang makan). Bagian yang diamati meliputi: komponen bangunan berupa pintu, atap, jendela, tiang, porch, louver, lantai, bahan, serta beberapa ornamen pada bangunan induk. Pengamatan difokuskan pada bagian-bagian dari bangunan induk Loji Gandrung yang menunjukkan ciri arsitektur Jawa dan Belanda. Dalam kegiatan observasi tersebut dilakukan pengamatan, pencatatan, serta pendokumentasian terhadap objek penelitian. Hasil dari pengamatan tersebut kemudian disusun dengan mengaitkan rumusan masalah dan tujuan dari penulisan yang telah disusun. b) Studi Pustaka Dalam hal ini dilakukan pengumpulan data dengan cara membaca referensi yang berkaitan dengan penelitian. Referensi tersebut berupa buku mengenai kebudayaan Indis dan arsitektur tradisional Jawa dan Belanda, laporan hasil penelitian berkaitan dengan penelitian Loji Gandrung yang telah dilakukan sebelumnya. Studi pustaka berupa buku, skripsi, artikel, jurnal yang membahas mengenai arsitektur-arsitektur kolonial di Jawa serta budaya Indis.
9 Studi pustaka berkaitan dengan sejarah Kota Surakarta dan Loji Gandrung juga dilakukan. Kedua hal tersebut menjadi data pendukung serta berkaitan dengan konteks dari objek yang diteliti. Data mengenai sejarah tersebut dapat membantu dalam melakukan interpretasi. Perolehan data mengenai sejarah kota dan Loji Gandrung melalui buku, skripsi, laporan penelitian, artikel, serta sumber dari internet. c) Wawancara Wawancara dilakukan kepada narasumber dari pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, serta pihak lain yang mengetahui tentang Loji Gandrung. Wawancara dilakukan untuk menambah informasi mengenai sejarah fungsi bangunan Loji Gandrung serta perubahan yang terjadi dari mulai berdiri hingga saat ini. Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui bagian-bagian dari loji yang telah mengalami pembaharuan. 1.6.2. Tahap Analisis Data Pada tahap analisis data ini diuraikan atau dideskripsikan bagian-bagian kompleks loji yang berciri arsitektur Jawa serta Belanda. Cara tersebut dilakukan dengan membuat daftar bagian bangunan yang diamati. Hasil pengamatan tersebut kemudian identifikasi bagian yang berunsur Jawa dan Belanda dengan dibantu sumber pustaka yang berkaitan. Data hasil pengamatan disajikan dalam bentuk deskripsi analitik. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, kemudian dapat diketahui proporsi dan letak dari unsur Lokal (Jawa) dan Belanda pada kompleks Loji Gandrung. Dari hasil tersebut dapat diketahui bagian dari kompleks loji yang memadukan unsur Jawa dan Belanda.
10 1.6.3. Tahap Interpretasi Tahap interpretasi merupakan bagian penjelasan setelah diketahui hasil analisis data. Tahap ini dilakukan dengan melihat letak komponen bangunan yang berciri Jawa dan Belanda, kemudian dari fenomena tersebut dikaitkan dengan kondisi sosial dan budaya semasa Loji Gandrung didirikan.