BAB I PENDAHULUAN. satu daerah jajahan bangsa Belanda. Mereka mendirikan pusat perdagangan di pulau

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. aktivitas masyarakat. Komponen-komponen pendukung kota dapat dibuktikan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perjalanan sejarah, pada titik-titik tertentu terdapat peninggalanpeninggalan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penjajahan Belanda di Indonesia membawa pengaruh penting bagi aspek

BAB I PENDAHULUAN. A. Perumusan Masalah

BAB 5 KESIMPULAN. 88 Universitas Indonesia. Gereja Koinonia..., Rinno Widianto, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, namun banyak juga yang

BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah

KARAKTER SPASIAL BANGUNAN KOLONIAL RUMAH DINAS BAKORWIL KOTA MADIUN

LAMPIRAN. Lampiran 1. Rencana Tapak Seluruh Kompleks Istana Kepresidenan Bogor. Sumber: Bag. Teknik Istana Bogor, 2012

2.2 Tinjauan Gaya Neo Klasik Eropa dan Indonesia Sejarah Gaya Arsitektur Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sudah tidak banyak digunakan lagi pada bangunan-bangunan baru sangat. menunjang kelangkaan bangunan bersejarah tersebut.

Bab I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

sesudah adanya perjanjian Wina dan terutama dibukanya terusan Suez. Hal

BAB I PENDAHULUAN. besar ke kota Medan (Sinar, 1996). Orang Cina dan Jawa didatangkan sebagai kuli

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

Rumah Tinggal Dengan Gaya Arsitektur Bali Modern Di Denpasar

BAB I PENDAHULUAN. Ragam hias di Indonesia merupakan kesatuan dari pola pola ragam hias

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

Akulturasi Langgam Arsitektur pada Elemen Pintu Gerbang Masjid Agung Yogyakarta

TIPOLOGI GEREJA IMMANUEL DI DESA MANDOMAI. Abstraksi

Pengaruh Gaya Arsitektur Kolonial Belanda pada Bangunan Bersejarah di Kawasan Manado Kota Lama

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan yang mewakili daerahnya masing-masing. Setiap Kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN HOTEL INNA DIBYA PURI SEBAGAI CITY HOTEL DI SEMARANG

Ciri Khas Arsitektur Tradisional Pada Rumah Warga di Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal

BAB VI HASIL PERANCANGAN. simbolisme dari kalimat Minazh zhulumati ilan nur pada surat Al Baqarah 257.

BAB I PENDAHULUAN. sejak berabad-abad silam dan beberapa diantaranya sekarang sudah menjadi aset

contoh rumah minimalis sederhana

Tipologi Arsitektur Fasad Bangunan Kantor Kolonial di Kawasan Kota Lama Semarang

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

PELESTARIAN BANGUNAN MASJID TUO KAYU JAO DI SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. berdaulat. Merdeka yang dimaksud adalah terbebas dari kekuasaan Kerajaan

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Studi Tipologi Bangunan Pabrik Gula Krebet. Kawasan Pabrik gula yang berasal dari buku, data arsitek dan sumber-sumber lain

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan arsitektur di Eropa sedikit banyak memberikan pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masjid Raya Al-Mashun merupakan masjid peninggalan Kesultanan Deli

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 013/M/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 4 KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Bntuk dan..., Albertus Napitupulu, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

PELESTARIAN BANGUNAN GEDUNG PELAYANAN PERIZINAN TERPADU JATIM (EKS SOERABAIASCH HANDELSBLAD)

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

Sirkulasi Bangunan Rumah Tinggal Kampung Kauman Kota Malang

BAB 1 PENDAHULUAN. Gedung bouwpleog..., Yuri Arief Waspodo, FIB UI, 2009

BAB III TINJAUAN TEMA INSERTION

Perkuatan Struktur pada Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya Kasus Studi: Toko Dynasti, Jalan AM Sangaji Yogyakarta

BAB V ARAHAN DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lebih Dekat dengan Masjid Agung Kauman, Semarang

BAB 1 PENDAHULUAN. bangunan masjid. Masjid merupakan bangunan yang penting dan tidak dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gaya bangunan..., Cheviano Eduardo Alputila, FIB UI, 2009

SHOPPING MALL DALAM BENTENG VASTENBURG DI SURAKARTA Penekanan Desain Arsitektur Post-Modern

MEDIA MATRASAIN ISSN Volume 14, No.1, Maret Oleh:

BAB 3 METODE PENELITIAN

Penghawaan dan Pengaruh Psikologi pada Aula Barat dan Aula Timur ITB

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Elemen-Elemen Arsitektural Post Kantoor di Tanah Deli

PENERAPAN KONSEP ARSITEKTUR NEO VERNAKULAR PADA STASIUN PASAR MINGGU

Perpaduan Unsur Arsitektur Islam dan Gaya Arsitektur Kolonial pada Masjid Cut Meutia Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. adalah sajada dimana sajada berarti sujud atau tunduk. Pada masa Nabi

Perpaduan Elemen Arsitektur Tradisional dan Eropa pada Masjid Agung Manonjaya

WALIKOTA PALANGKA RAYA

Jawa Timur secara umum

BAB III METODE PENELITIAN

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH

Masjid Cipari Garut, Masjid Berasitektur Mirip Gereja

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Lhokseumawe

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta memiliki banyak bangunan monumental yang dibuat. oleh Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat seperti kompleks Kraton

STUDI PENGEMBANGAN PECINAN LASEM SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA TUGAS AKHIR. Oleh : Indri Wahyu Hastari L2D

BAB I PENDAHULUAN. Kisaran terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Kisaran Timur dan

PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG PELESTARIAN BANGUNAN DAN/ATAU LINGKUNGAN CAGAR BUDAYA

PENDAHULUAN Latar Belakang Objek Latar Belakang Tema

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BAB VI HASIL RANCANGAN. produksi gula untuk mempermudah proses produksi. Ditambah dengan

Bayanaka Canggu. tentang sebuah rumah peristirahatan di Bali, 2007 oleh: Fransiska Prihadi 1

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

BAB I PENDAHULUAN. baru, maka keberadaan seni dan budaya dari masa ke masa juga mengalami

ABSTRAK KAJIAN AKULTURATIF INTERIOR ISTANA MAIMUN DI MEDAN-SUMATERA UTARA (Periode Sultan Makmun Alrasyid Perkasa Alamsyah, )

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

TIPOLOGI WAJAH BANGUNAN RUMAH KUNO DI DESA SEMPALWADAK KABUPATEN MALANG

KARAKTER VISUAL FASADE BANGUNAN KOLONIAL BELANDA RUMAH DINAS BAKORWIL KOTA MADIUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARAKTER SPASIAL BANGUNAN STASIUN KERETA API SOLO JEBRES

Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang Sekretariat: Jl Graha Mukti Raya 1150 Semarang, Telp:

BAB I PENDAHULUAN. TABEL 1.1 JUMLAH WISATAWAN MANCANEGARA DAN NUSANTARA KE OBJEK WISATA KOTA BANDUNG Jumlah. Jumlah Tahun.

Sejarah Pembangunan dan Renovasi pada Masjid Agung Bandung

BAB IV PENUTUP. kerajaan-kerajaan sampai masuk penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Perjalanan

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Menara Kudus. (Wikipedia, 2013)

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Wilayah Indonesia tidak luput dari penjajahan bangsa Belanda yang pada awalnya bertujuan untuk melakukan aktivitas perdagangan. Pulau Jawa menjadi salah satu daerah jajahan bangsa Belanda. Mereka mendirikan pusat perdagangan di pulau Jawa karena letak yang strategis serta mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Seiring berjalannya waktu, kedatangan orang-orang Belanda semakin bertambah dan menjadi bangsa penguasa di wilayah Indonesia. Mereka hidup di wilayah baru dengan kondisi yang berbeda dari negara asalnya. Mereka mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan serta masyarakat sekitarnya. Pada masa selanjutnya, orang-orang Belanda tersebut mulai hidup berdampingan dengan orang-orang pribumi, lambat laun mengakibatkan akulturasi budaya. Akulturasi budaya tersebut dikenal dengan sebutan budaya Indis. Kata Indis bermula dari Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yang merupakan daerah jajahan bangsa Belanda (Soekiman, 2000: 8). Budaya Indis yaitu perpaduan antara budaya Eropa (Belanda) dengan lokal (Jawa). Wujud dari akulturasi tersebut terlihat dari gaya hidup yang mewah. Mereka berupaya untuk mempertahankan gaya hidup mewah dengan tujuan untuk menjaga kedudukannya sebagai bangsa penguasa pada masa itu (Soekiman, 2000: 127). 1

2 Selain dari segi gaya hidup, nampak pula dari hasil budaya materi, salah satunya bangunan rumah tinggal dengan arsitektur gaya Indis. Munculnya arsitektur gaya Indis dimulai dari abad XVIII sampai runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 (Soekiman, 2000: 125). Kemunculan arsitektur Indis merupakan suatu fenomena budaya yang unik dan tidak dijumpai di negara-negara bekas koloni Belanda yang lain. Hal tersebut terjadi karena mengalami percampuran antara budaya penjajah (Belanda) dengan budaya Indonesia yang beragam (Sumalyo, 1993: 2). Bangunan rumah tinggal yang didirikan oleh orang-orang Belanda tersebut pada awalnya masih menggunakan desain dengan ciri-ciri murni Belanda. Ciri-ciri tersebut di antaranya: mempunyai jendela tinggi dan lebar, tidak dilengkapi dengan teras depan maupun belakang, serta bagian depan rumah berderet-deret, mengingatkan bentuk rumah di tepi parit kuno di Negeri Belanda (Soekiman, 2000: 138). Rumah-rumah tersebut belum menunjukkan upaya adaptasi terhadap iklim serta budaya setempat. Pada masa selanjutnya, bangunan rumah tinggal mulai menyesuaikan dengan kondisi iklim tropis di Indonesia dan budaya Jawa. Bangunan rumah tinggal mulai menggunakan beranda depan dan belakang yang berukuran luas pada bangunan rumah tinggal merupakan upaya untuk menyesuaikan dengan iklim tropis lembab (Handinoto, 2010: 54). Selain itu, bentuk permukaan atap rumah yang luas sehingga rumah menjadi teduh, dilengkapi oleh bijgebouwen (bangunan samping) (Soekiman,

3 2000: 144-145). Bahan berupa kayu mulai digunakan mengingat bahan tersebut mudah didapat di sekitar. Rumah dengan arsitektur gaya Indis banyak dijumpai di Tanah Jawa, salah satunya di Kota Surakarta. Di kota ini terdapat Loji Gandrung yang terletak di Jalan Brigjend. Slamet Riyadi Nomor 261, Kelurahan Penumping, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Saat ini, kompleks Loji Gandrung digunakan sebagai rumah dinas walikota Surakarta. Pada awalnya, kompleks Loji Gandrung yang terdiri atas bangunan induk, paviliun, dan halaman tersebut merupakan rumah tinggal seorang pengusaha dalam bidang pertanian. Ia berasal dari negeri Belanda dan bernama Johannes Augustinus (Tinus) Dezentjé (1797-1839) (Dinas Tata Ruang Kota Surakarta dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, 2013: 9). Loji Gandrung tersebut terletak di lokasi yang strategis dan bentuk bangunannya lebih mewah dibandingkan dengan bangunan lain di sekitarnya yang merupakan tinggalan masa Kolonial. Selain itu, keberadaan atap dengan penutup berupa sirap, deretan tiang bergaya Eropa (Belanda), serta keberadaan bijgebouwen pada Loji Gandrung menjadi keunikan tersendiri dibandingkan bangunan lain di sekitarnya yang lebih pada bentuk sederhana. Selain itu, kompleks Loji Gandrung hingga saat ini masih difungsikan sebagai rumah dinas walikota Surakarta. Kompleks Loji Gandrung telah mengalami beberapa perubahan fungsi, mulai dari masa Kolonial, sebelum kemerdekaan, pascakemerdekaan, hingga saat ini.

4 1.2. Rumusan Masalah Berkaitan dengan latar belakang tersebut, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah seperti apakah bentuk perpaduan antara arsitektur Jawa dan Belanda pada kompleks Loji Gandrung? Selanjutnya, apa yang menjadi latar belakang kondisi tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suatu proses budaya dalam hal ini berkaitan dengan akulturasi budaya Jawa dengan budaya Barat (Belanda). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perpaduan gaya pada kompleks Loji Gandrung dan untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi. 1.4. Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bangunan induk Loji Gandrung, paviliun sayap barat dan timur, serta denah kompleks Loji Gandrung. Penelitian terfokus pada arsitektur bangunan induk loji serta arsitektur paviliun secara umum. Pengamatan secara langsung dilakukan pada bagian eksterior bangunan induk loji, bangunanbangunan pendukung di sekitar bangunan induk, serta halaman. Tidak semua bagian interior dapat diamati secara langsung, karena terkendala dalam hal perizinan mengingat bangunan induk Loji Gandrung masih difungsikan sebagai rumah dinas walikota Surakarta. Bagian denah ruang bangunan induk dilakukan secara

5 pengamatan sekunder yaitu dengan mengamati gambar denah hasil penelitian BPCB Jawa Tengah dan Dinas Tata Ruang Kota Surakarta tahun 2013. 1.5. Tinjauan Pustaka Penelitian berkaitan dengan arsitektur bangunan masa Kolonial telah dilakukan oleh Yulianto Sumalyo (1993) dengan judul Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Ia menguraikan mengenai perkembangan model arsitektur kolonial di Indonesia dari masa ke masa. Penelitian yang membahas mengenai kebudayaan Indis telah dilakukan oleh Djoko Soekiman (2000) dengan judul Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII sampai Medio Abad XX). Dalam buku tersebut selain dibahas mengenai gaya hidup Indis juga hasil budaya materi salah satunya arsitektur bangunan dengan model arsitektur Indis. Tulisan mengenai arsitektur kolonial di Indonesia juga dibuat oleh Handinoto (2010) berupa kumpulan-kumpulan artikel dengan judul Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Dalam buku kumpulan artikel tersebut dibahas model arsitektur serta kota yang berkembang di Jawa pada masa pendudukan bangsa Belanda. Penelitian mengenai pengaruh arsitektur tradisional Jawa pada bangunan masa Kolonial, pernah dilakukan oleh Dwi Agus Wahyudi (1998), dengan judul Unsur-Unsur Arsitektur Tradisional Jawa pada Bangunan-Bangunan Penunjang di Benteng Vredeburg. Tulisan tersebut membahas keberadaan unsur arsitektur tradisional Jawa pada bangunan penunjang di Benteng Vredeburg, mencakup pada bentuk, konstruksi, fungsi, serta simbol. Sementara itu, penelitian tentang bangunan

6 Loji Gandrung, pernah dilakukan oleh Dinas Tata Ruang Kota Surakarta dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (2013), berjudul Kajian Loji Gandrung Surakarta. Dalam penelitian tersebut, direncanakan untuk melakukan rehabilitasi bangunan atau pemugaran terhadap bangunan yang telah berusia lebih dari seratus tahun ini. Selain Dinas Tata Ruang Kota Surakarta dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Bambang Triratma juga pernah melakukan penelitian terhadap bangunan Loji Gandrung. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam sebuah artikel berjudul Kajian Aspek Arsitektur dalam Rangka Pemugaran/Renovasi Bangunan Lodji Gandrung Surakarta. Dalam artikel tersebut dideskripsikan degradasi serta deformasi yang terjadi pada beberapa aspek arsitektural serta struktur bangunan loji yang disebabkan oleh pengaruh iklim atau cuaca yang terjadi dalam jangka waktu yang lama. Artikel tersebut juga berisi mengenai upaya pemugaran yang tetap mempertahankan bentuk arsitektur bangunan loji sehingga nilai dari bangunan Loji Gandrung tidak hilang. Berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan pada Loji Gandrung sebelumnya, diketahui bahwa pokok bahasan dari penelitian terdahulu lebih fokus pada konservasi terhadap bangunan cagar budaya tersebut. Selain itu, deskripsi bagian-bagian dari Loji Gandrung masih dilakukan secara umum. Untuk penelitian mengenai arsitektur Loji Gandrung secara detail belum dilakukan sebelumnya. 1.6. Metode Penelitian

7 Dalam melakukan kegiatan penelitian, metode merupakan komponen yang penting. Metode yang digunakan harus sesuai dengan penelitian tersebut, dengan tujuan agar hasil penelitian dapat maksimal. Penelitian ini menggunakan penalaran induktif yang bergerak dari kajian fakta atau gejala-gejala khusus kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum (Tanudirjo, 1989: 34). Dalam penelitian ini, gejala khusus adalah fakta yang terkait dengan bentuk arsitektur di kompleks Loji Gandrung serta perpaduannya. Tujuan atau sifat penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif mengungkapkan masalah atau peristiwa berdasarkan fakta, selain itu memberikan interpretasi dari data yang diperoleh (Nawawi, 2003: 31). Dalam penelitian ini diuraikan bagian-bagian yang merupakan unsur Jawa dan Belanda, serta proporsi keberadaannya. Pengamatan yang dilakukan tidak hanya pada bagian fisik bangunan, namun juga faktor sosial, budaya, serta lingkungan di Surakarta yang mempengaruhi arsitektur kompleks Loji Gandrung. Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1.6.1. Tahap Pengumpulan Data Untuk menjawab permasalahan, penelitian ini menggunakan beberapa cara perolehan data, yaitu: a) Observasi Observasi merupakan pengamatan terhadap data arkeologi yang dilakukan secara langsung di lapangan, sehingga konteks temuan data yang diperoleh masih dapat diketahui (Tanudirjo, 1989: 31). Data lapangan berupa denah kompleks Loji

8 Gandrung, halaman, bangunan induk Loji meliputi: bagian eksterior, komponen bangunan, bahan, ornamen, serta denah ruang. Selain bangunan induk, pengamatan dilakukan pada bangunan paviliun sayap barat dan timur. Penelitian difokuskan pada eksterior bangunan induk, karena kendala perizinan yang tidak memperbolehkan peneliti untuk memasuki ruang-ruang pada bangunan induk dan paviliun sayap timur yang bersifat privat. Peneliti hanya diperbolehkan memasuki ruang tamu, ruang sidang, serta ruang perjamuan (ruang makan). Bagian yang diamati meliputi: komponen bangunan berupa pintu, atap, jendela, tiang, porch, louver, lantai, bahan, serta beberapa ornamen pada bangunan induk. Pengamatan difokuskan pada bagian-bagian dari bangunan induk Loji Gandrung yang menunjukkan ciri arsitektur Jawa dan Belanda. Dalam kegiatan observasi tersebut dilakukan pengamatan, pencatatan, serta pendokumentasian terhadap objek penelitian. Hasil dari pengamatan tersebut kemudian disusun dengan mengaitkan rumusan masalah dan tujuan dari penulisan yang telah disusun. b) Studi Pustaka Dalam hal ini dilakukan pengumpulan data dengan cara membaca referensi yang berkaitan dengan penelitian. Referensi tersebut berupa buku mengenai kebudayaan Indis dan arsitektur tradisional Jawa dan Belanda, laporan hasil penelitian berkaitan dengan penelitian Loji Gandrung yang telah dilakukan sebelumnya. Studi pustaka berupa buku, skripsi, artikel, jurnal yang membahas mengenai arsitektur-arsitektur kolonial di Jawa serta budaya Indis.

9 Studi pustaka berkaitan dengan sejarah Kota Surakarta dan Loji Gandrung juga dilakukan. Kedua hal tersebut menjadi data pendukung serta berkaitan dengan konteks dari objek yang diteliti. Data mengenai sejarah tersebut dapat membantu dalam melakukan interpretasi. Perolehan data mengenai sejarah kota dan Loji Gandrung melalui buku, skripsi, laporan penelitian, artikel, serta sumber dari internet. c) Wawancara Wawancara dilakukan kepada narasumber dari pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, serta pihak lain yang mengetahui tentang Loji Gandrung. Wawancara dilakukan untuk menambah informasi mengenai sejarah fungsi bangunan Loji Gandrung serta perubahan yang terjadi dari mulai berdiri hingga saat ini. Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui bagian-bagian dari loji yang telah mengalami pembaharuan. 1.6.2. Tahap Analisis Data Pada tahap analisis data ini diuraikan atau dideskripsikan bagian-bagian kompleks loji yang berciri arsitektur Jawa serta Belanda. Cara tersebut dilakukan dengan membuat daftar bagian bangunan yang diamati. Hasil pengamatan tersebut kemudian identifikasi bagian yang berunsur Jawa dan Belanda dengan dibantu sumber pustaka yang berkaitan. Data hasil pengamatan disajikan dalam bentuk deskripsi analitik. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, kemudian dapat diketahui proporsi dan letak dari unsur Lokal (Jawa) dan Belanda pada kompleks Loji Gandrung. Dari hasil tersebut dapat diketahui bagian dari kompleks loji yang memadukan unsur Jawa dan Belanda.

10 1.6.3. Tahap Interpretasi Tahap interpretasi merupakan bagian penjelasan setelah diketahui hasil analisis data. Tahap ini dilakukan dengan melihat letak komponen bangunan yang berciri Jawa dan Belanda, kemudian dari fenomena tersebut dikaitkan dengan kondisi sosial dan budaya semasa Loji Gandrung didirikan.