HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Lingkup Penelitian Penyiapan Gliserol dari Minyak Jarak Pagar (Modifikasi Gerpen 2005 dan Syam et al.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

TINJAUAN PUSTAKA. Gliserol. Gambar 1 Struktur gliserol.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

PEMANFAATAN GLISEROL HASIL SAMPING PRODUKSI BIODIESEL SEBAGAI BAHAN PENOLONG PENGHANCUR SEMEN OBIE FAROBIE

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

4 Pembahasan Degumming

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

METODOLOGI PENELITIAN

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Bab III Pelaksanaan Penelitian

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Katalis. Gambar 1. Persamaan Reaksi Transesterifikasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

PENGGUNAAN CANGKANG BEKICOT SEBAGAI KATALIS UNTUK REAKSI TRANSESTERIFIKASI REFINED PALM OIL

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...ii. KATA PENGANTAR...vi. DAFTAR ISI...viii. DAFTAR GAMBAR...xii. DAFTAR TABEL...xiv. DAFTAR LAMPIRAN...

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

Hasil dari penelitian ini berupa hasil dari pembuatan gliserol hasil samping

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Desikator Neraca analitik 4 desimal

I. ISOLASI EUGENOL DARI BUNGA CENGKEH

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April September 2013 bertempat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif

LAMPIRAN 1 DATA PENELITIAN

PENGARUH PENAMBAHAN KARBON AKTIF TERHADAP REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KEMIRI SUNAN (Aleurites trisperma) YANG SUDAH DIPERLAKUKAN DENGAN KITOSAN

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

III. METODE PENELITIAN

PENGARUH KONSENTRASI NaOH DAN Na 2 CO 3 PADA SINTESIS KATALIS CaOMgO DARI SERBUK KAPUR DAN AKTIVITASNYA PADA TRANSESTERIFIKASI MINYAK KEMIRI SUNAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN TETAP TEKNOLOGI BIOMASSA PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK JELANTAH

Pemurnian Gliserin dari Produk Samping Pembuatan Biodiesel

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB I PENDAHULUAN. bahan dasar seperti kelapa sawit, kelapa, kedelai, jagung, dan lain-lain. Meski

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

19 HASIL DAN PEMBAHASAN Produk Gliserol Minyak jarak pagar yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar asam lemak bebas (FFA) 9,6%. Asam lemak bebas yang terdapat pada minyak mengganggu proses transesterifikasi karena asam lemak ini dapat bereaksi dengan KH membentuk sabun (Gambar 12). Minyak dengan kadar FFA < 5% dapat ditransesterifikasi langsung dengan larutan metoksida tetapi jika kadar FFA 5% maka sabun yang terbentuk akan menghambat proses pembentukan biodiesel dan gliserol (Gerpen 2005). leh karena itu perlu dilakukan esterifikasi asam lemak menggunakan metanol dengan katalis asam. Mekanisme reaksi yang terjadi pada proses esterifikasi asam lemak disajikan pada Gambar 13. KH H 2 R H Asam lemak R - sabun K + Gambar 12 Pembentukan sabun dari asam lemak. H + H CH 3 H R H C H R H Asam lemak R H H CH 3 R H C H transf er proton R H C H 2 H H CH 3 CH 3 R CH 3 H H 2 R CH 3 R CH 3 Ester metil asam lemak Gambar 13 Mekanisme reaksi esterifikasi asam lemak.

20 Dari hasil penelitian diperoleh dua lapisan yang terbentuk pada proses esterifikasi (Gambar 14). Lapisan bawah ialah ester metil asam lemak dan trigliserida sedangkan lapisan atas ialah sisa metanol yang tidak bereaksi. Lapisan yang digunakan untuk tahap transesterifikasi ialah lapisan bawah. Sisa metanol Ester metil asam lemak dan trigliserida Gambar 14 Lapisan yang terbentuk pada proses esterifikasi. Proses transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan trigliserida dengan metanol dan katalis. Metanol dipilih karena proses reaksi transesterifikasi menggunakan metanol lebih cenderung ke kanan dibandingkan dengan etanol serta mutu ester metil yang dihasilkan lebih baik dibanding ester etil (Adriaans 2006). Katalis yang dapat digunakan pada proses transesterifikasi trigliserida ialah katalis asam, basa, dan enzim. Efek pelancaran reaksi dengan katalis basa adalah yang paling besar sehingga katalis inilah yang sekarang lazim digunakan. Katalis basa yang paling populer untuk proses transesterifikasi ialah kalium hidroksida karena gliserol kasar yang dihasilkan berbentuk cair sehingga lebih mudah penanganannya. Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya ialah ion metoksida yang terbentuk dari hasil reaksi antara kalium hidroksida dan metanol melalui reaksi kesetimbangan sebagai berikut H - CH 3 H CH 3 - H 2 basa metanol ion metoksida air Ion metoksida yang dihasilkan bereaksi dengan trigliserida melalui tiga tahap, yaitu pembentukan digliserida, monogliserida, dan gliserol. Mekanisme reaksi

21 pembentukan gliserol dan ester metil asam lemak yang diajukan disajikan pada Gambar 15. Tahap 1: Pembentukan digliserida - R 1 R 3 CH 3 R 2 Trigliserida ion metoksida R 3 H 3 C - R 1 R 2 H 3 C - R 1 R 3 R 2 - R 3 H CH 3 R 2 - R CH 3 3 R 1 R 2 Ester metil asam lemak R 3 Digliserida H R 2 - CH 3 ion metoksida Tahap 2: Pembentukan monogliserida H R 3 - CH 3 R 3 R 2 H - R 2 CH 3 R 3 H - R 2 CH 3 R 3 H - CH 3 R 2 Ester metil asam lemak R 3 H - H CH 3 H R 3 H Monogliserida

22 Tahap 3: Pembentukan gliserol R 3 H H - CH 3 - CH 3 R 3 H H - CH 3 R 3 H H - H H CH 3 R 2 Ester metil asam lemak - H H CH 3 H H H H Gliserol Gambar 15 Mekanisme reaksi pembentukan gliserol dan ester metil asam lemak. Dari hasil tahap transesterifikasi ini diperoleh dua lapisan, yaitu biodiesel pada lapisan atas dan gliserol pada lapisan bawah (Gambar 16). Lapisan atas tidak larut dalam air sedangkan lapisan bawah larut dalam air. Hal ini karena biodiesel merupakan senyawa nonpolar sedangkan gliserol merupakan senyawa organik polar. Biodiesel Gliserol Gambar 16 Lapisan yang terbentuk pada proses transesterifikasi.

23 Gliserol Hasil Pemurnian Gliserol kasar yang diperoleh langsung dari pemisahan biodiesel masih mengandung banyak pengotor dan berwarna hitam (Gambar 17). Senyawa pengotor yang lazim terdapat pada gliserol kasar ialah metanol yang tidak bereaksi, sabun, dan katalis kalium hidroksida (Kocsisová & Cvengroš 2006 dan El-Diwani et al. 2009). leh karena itu perlu dilakukan proses pemurnian yang berfungsi mengurangi bahan kimia lain yang tidak dibutuhkan atau bahkan mengganggu selama proses penggilingan bahan baku semen. Gambar 17 Gliserol kasar hasil samping produksi biodiesel jarak pagar. Pemisahan senyawa pengotor dari gliserol dapat dilakukan dengan penambahan asam fosfat. Asam ini akan bereaksi dengan sisa katalis kalium hidroksida membentuk garam kalium fosfat (Gambar 18 A). Sisa metanol yang tidak bereaksi dapat dihilangkan dengan memanaskan gliserol pada suhu 65ºC karena metanol akan menguap pada suhu tersebut. Selain itu asam fosfat akan mengubah sabun membentuk asam lemak bebas kembali (Gambar 18 B). KH + H 3 P 4 K 3 P 4 +H 2 (A) H H R - K + sabun P H -H R H Asam lemak bebas P H - K + (B) Gambar 18 Reaksi pembentukan (A) garam kalium fosfat dan (B) asam lemak bebas.

24 Penambahan asam fosfat ke dalam gliserol kasar dari hasil penelitian ini membentuk 3 lapisan dengan persentase distribusi massa sebagai berikut: a. Lapisan atas (FFA) (38,98%), yang di bawah suhu kamar berwujud padat b. Lapisan tengah (gliserol) (40,34%), berwujud cair c. Lapisan bawah (garam K 3 P 4 ) (20,68%), berwujud padat. Distribusi persentase massa yang diperoleh dari hasil penelitian disajikan pada Gambar 19. Distribusi massa ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian oi et al. (2001), yaitu rerata persentase hasil pemurnian gliserol dari biodiesel kelapa sawit diperoleh sebesar 33,9% gliserol, asam lemak kasar 10,5%, dan garam 65,2%. Perbedaan ini karena komposisi asam lemak penyusun minyak jarak pagar dan kelapa sawit berbeda. Selain itu, jumlah katalis yang ditambahkan pada pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit lebih besar dibandingkan pada jarak pagar sehingga kadar garam yang diperoleh lebih besar pada gliserol berbasis kelapa sawit. Namun, rerata persentase gliserol berbasis kelapa sawit dan jarak pagar tidak berbeda secara signifikan. Hasil penelitian FFA = 38,98% Gliserol = 40,34% Garam = 20,68% Penelitian oi et al. (2001) FFA = 10,5% Gliserol = 33,9% Garam = 65,2% Gambar 19 Lapisan hasil pemurnian gliserol dan persentase distribusi massanya. Lapisan-lapisan yang terbentuk dengan asam fosfat dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 20 (A) diambil setelah campuran didiamkan selama 5 menit, sedangkan Gambar 20 (B) diambil setelah suhu campuran berada di bawah suhu kamar. Perbedaan yang tampak dari kedua gambar tersebut adalah pada lapisan atas (FFA). Pada suhu di atas 25ºC, lapisan ini akan berwujud cair dan akan berbentuk padatan pada suhu di bawahnya.

25 A B Gambar 20 Tiga lapisan yang terbentuk setelah penambahan asam fosfat (A) pada suhu di atas 25ºC dan (B) pada suhu di bawah 25ºC. Pemisahan lapisan gliserol dan FFA dari garam K 3 P 4 dilakukan dengan penyaringann menggunakan corong Buchner karena ada endapan yang terbentuk di dasar larutan. Proses penyaringan ini membutuhkan waktu yang lama, yaitu sekitar satu jam untuk 1200 ml larutan gliserol. Hal ini karena larutan gliserol memiliki viskositas yang tinggi. Garam kalium fosfat hasil penyaringann disajikan pada Gambar 21 A. Garam ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tetapi masih mengandungg gliserol sehingga sangat mudah mencair. Pemurnian lebih lanjut dari garam ini dapat dilakukan dengan kristalisasi sehingga diperoleh pupuk K 3 P 4 murni (Gambar 21 B). Gambar 21 Garam kalium fosfat (A) hasil pemurnian gliserol dan (B) hasil kristalisasi. Hasil pemisahan larutan diperoleh filtrat dengan dua lapisan. Lapisan atas adalah sisa asam lemak bebas (FFA) dengan ph 5,0 sedangkan lapisan bawah adalah gliserol dengan ph 6,87 (Gambar 22 A). Larutan gliserol hasil penyaringan ini dapat dilihat pada Gambar 22 B. Dari gambar tersebut terlihat bahwa gliserol

26 hasil penyaringan lebih jernih dibandingkan gliserol kasar. Selain itu, gliserol hasil pemurnian tidak memadat walaupun berada di bawah suhu kamar sehingga lebih mudah dalam hal penanganan lebih lanjut. FFA Gliserol A B Gambar 22 (A) Lapisan FFA dan gliserol dan (B) gliserol hasil pemurnian. Ciri Gliserol Keberadaan senyawa-senyawa yang terkandung pada gliserol sebelum pemurnian bergantung pada bahan baku yang digunakan untuk produksi biodiesel. Dalam hal ini, bahan baku yang digunakan dalam pembuatan biodiesel adalah minyak jarak pagar. Menurut Akbar et al. 2009, kandungan terbesar pada minyak jarak pagar ialah asam oleat yang diikuti asam linoleat dan asam palmitat dengan komposisi berturut-turut 44,7; 32,8; dan 14,2%. Asam lemak tersebut masih terdapat pada gliserol kasar. Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa gliserol kasar memunculkan lebih banyak puncak dibandingkan dengan gliserol murni (Gambar 23). Hal ini menujukkan bahwa gliserol kasar masih banyak mengandung senyawa selain gliserol. Analisis kualitatif yang dilakukan menggunakan GC-MS menunjukkan bahwa pemurnian gliserol kasar menghasilkan senyawa yang lebih murni yang dapat dilihat dari berkurangnya jenis senyawa pengotor yang awalnya berjumlah 17 dalam gliserol kasar menjadi 11 setelah dilakukan pemurnian.

27 (A) (B) Gambar 23 Spektrum GC-MS (A) gliserol kasar dan (B) gliserol hasil pemurnian. Analisis kuantitatif terhadap gliserol sebelum dan setelah pemurnian dilakukan menggunakan penentuan kadar gliserol yang mengacu pada SNI 06-1564-1995. Kadar gliserol ini perlu ditentukan untuk melihat tingkat kemurnian gliserol. Dari hasil penelitian diperoleh kadar gliserol kasar dari jarak pagar sebesar 40,19%, sedangkan kadar gliserol dari hasil pemurnian adalah sebesar 82,15% (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa gliserol jarak pagar dapat digunakan sebagai CGA sesuai dengan temuan Tran et al. (2007), yaitu bahwa kadar gliserol yang baik digunakan sebagai CGA ialah sebesar 50 sampai 90%. Persyaratan kadar gliserol yang diperbolehkan untuk dikomersialkan menurut SNI 06-1564-1195 minimum 80% sedangkan menurut Kocsisová dan Cvengroš (2006) minimum sebesar 70%. Perbandingan beberapa kadar gliserol dari beberapa pustaka disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Perbandingan beberapa kadar gliserol hasil pemurnian Sumber Kadar gliserol hasil pemurnian (%) SNI 06-1564-1195 minimum 80 oi et al. (2001) 51,4 Kocsisová dan Cvengroš (2006) 70 Standar Inggris 80 Hasil Penelitian 82,15

28 Warna CGA CGA yang dibuat dari hasil penelitian ini berbasis pada gliserol jarak pagar. Senyawa ini dapat berperan sebagai CGA karena memiliki pasangan elektron bebas yang dapat mengurangi gaya tarik elektrostatik antarpartikel bahan baku semen (klinker) sehingga semen yang dihasilkan lebih halus. Pembuatan CGA ini diformulasikan dengan TEA karena senyawa ini umum digunakan sebagai bahan aditif CGA. Selain itu, TEA berfungsi meningkatkan ph CGA sehingga tidak merusak komponen alat penghancur semen. CGA yang diperoleh dari hasil penelitian ini disajikan pada Gambar 24. Terlihat bahwa dari kiri ke kanan warna larutan semakin pekat. Hal ini karena TEA yang ditambahkan dari kiri ke kanan semakin banyak (0 sampai 15%) sehingga warna larutan yang dihasilkan semakin pekat. Warna ini berubah karena dengan tambahan TEA terjadi reaksi pengionan yang membawa perubahan struktur, yaitu struktur ion dan molekulnya berbeda (Gambar 25). leh karena itu sifat penyerapan sinar ikut berbeda dan mengakibatkan perbedaan warna. Gliserol 100% & TEA 0% (80ºC) Gliserol 95% & TEA 5% (80ºC) Gliserol 90% & TEA 10% (80ºC) Gliserol 85% & TEA 15% (80ºC) Gliserol 100% & TEA 0% (90ºC) Gliserol 95% & TEA 5% (90ºC) Gliserol 90% & TEA 10% (90ºC) Gliserol 85% & TEA 15% (90ºC) Gambar 24 Kenampakan CGA yang diperoleh dari hasil penelitian.

29 H H -H H N H - H NH H H H H H kuning (asam) kuning kemerahan (basa) Gambar 25 Reaksi antara gliserol dan TEA. Salah satu parameter CGA yang baik ialah tidak bersifat asam (ph 7). Hal ini karena CGA yang bersifat asam (ph < 7) menyebabkan terjadinya korosi pada mesin penggerus. Hasil pengukuran ph dari beberapa bahan penghancur disajikan pada Tabel 6. Terlihat bahwa larutan CGA dengan komposisi gliserol jarak pagar 100% dan TEA 0% (80ºC) serta CGA dengan komposisi gliserol jarak pagar 100% dan TEA 0% (90ºC) memiliki ph yang sama, yaitu 6,87. Hasil ini menunjukkan bahwa dari paramter ph, CGA dengan komposisi gliserol jarak pagar 100% dan dibuat pada suhu 80 maupun 90ºC tidak baik digunakan sebagai bahan penolong penghancur semen karena memiliki nilai ph < 7. Sebaliknya, larutan CGA lainnya memiliki ph > 7. Hal ini karena ada tambahan trietanol amina yang bersifat basa. Tabel 6 Nilai ph beberapa bahan penghancur Formulasi bahan penghancur ph Gliserol 100% + TEA 0% (80ºC) 6,87 Gliserol 95% + TEA 5% (80ºC) 9,18 Gliserol 90% + TEA 10% (80ºC) 9,18 Gliserol 85% + TEA 15% (80ºC) 9,18 Gliserol 100% + TEA 0% (90ºC) 6,87 Gliserol 95% + TEA 5% (90ºC) 9,18 Gliserol 90% + TEA 10% (90ºC) 9,18 Gliserol 85% + TEA 15% (90ºC) 9,18

30 Tekstur Produk Secara kasat mata semen yang dihasilkan dengan tambahan CGA lebih halus dibandingkan dengan semen tanpa tambahan CGA (blangko) (Gambar 26). Urutan tingkat kehalusan semen dari kenampakan fisis ialah semen dengan tambahan CGA hasil penelitian lebih besar dibandingkan dengan semen dengan tambahan gliserol p.a dan lebih besar dibandingkan dengan semen blangko. Blangko gliserol p.a gliserol 100%+TEA 0% (80ºC) gliserol 95%+TEA 5% (80ºC) gliserol 90%+TEA 10% (80ºC) gliserol 85%+TEA 15% (80ºC) gliserol 100%+TEA 0% (90ºC) gliserol 95%+TEA 5% (90ºC) gliserol 90%+TEA 10% (90ºC) gliserol 85%+TEA 15% (90ºC) Gambar 26 Semen yang diperoleh dengan dan tanpa tambahan CGA.

31 Keunggulan lain dari penggunaan CGA berbasis gliserol pada pembuatan semen ialah dapat menghilangkan salutan bola dan dapat mendispersikan bahan yang telah digiling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partikel semen yang diperoleh tanpa tambahan CGA mudah melekat pada penggiling bola dibandingkan dengan semen dengan tambahan CGA (Gambar 27). (A) (B) Gambar 27 Penggiling bola (A) pada semen tanpa tambahan CGA (blangko) dan (B) pada semen dengan tambahan CGA hasil penelitian. Faktor yang paling berperan pada proses salutan bola ini ialah gaya elektrostatik. Bahan baku pembuat semen, dalam hal ini klinker yang tersusun dari komponen kalsium silikat, kalsium aluminat, dan kalsium aluminoferit (Jardine et al. 2006) akan memiliki distribusi muatan positif dan negatif tatkala bahan tersebut digiling menjadi partikel yang lebih halus. Muatan ini akan mengakibatkan gaya tarik elektrostatik sehingga terjadi aglomerasi. Penggumpalan yang terjadi akan berimbas pada mudah melekatnya partikel semen pada penggiling bola. CGA berbasis gliserol yang merupakan senyawa organik polar berperan sebagai pelemah gaya tarik elektrostatik sehingga aglomerasi menjadi turun. Tambahan pula, menurut Bernard (2004) gaya tolak elektrostatik yang dihasilkan pada semen dengan tambahan CGA jauh lebih besar dibandingkan dengan semen tanpa tambahan CGA walaupun gaya van der Waals yang dihasilkan sama. Dengan semakin besarnya gaya tolak elektrostatik yang dihasilkan maka penggiling bola akan semakin bersih sehingga kemampuan untuk

32 menghaluskan partikel semakin besar. leh karena itu, semen dengan tambahan CGA memiliki nilai kehalusan yang lebih besar dibandingkan dengan semen tanpa tambahan CGA. BSS Analisis BSS perlu dilakukan untuk melihat tingkat kehalusan semen yang diperoleh secara kuantitatif. Dari hasil penelitian, semen dengan tambahan CGA secara keseluruhan menghasilkan nilai BSS yang lebih besar dibandingkan dengan semen tanpa tambahan CGA (blangko) (Lampiran 6). Secara teori, semakin besar nilai BSS semakin halus partikel semen sehingga kekuatan mekanis semen lebih besar (Zhang et al. 1995). Hal ini menunjukkan bahwa semen dengan tambahan CGA lebih halus dibandingkan dengan semen tanpa tambahan CGA. Nilai BSS dari beberapa CGA berbasis gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar disajikan pada Gambar 28. Terlihat bahwa nilai BSS dari semen dengan tambahan CGA lebih besar dibandingkan dengan nilai BSS dari semen dengan tambahan gliserol p.a. Selain itu semen dengan tambahan gliserol p.a memiliki nilai BSS yang lebih besar dibandingkan dengan semen blangko. Jadi, urutan tingkat kehalusan semen yang diperoleh dari penelitian ini ialah semen dengan tambahan CGA hasil penelitian > semen dengan tambahan gliserol p.a > semen blangko. Juga ditemukan bahwa CGA yang paling optimum untuk menghaluskan partikel semen ialah CGA dengan komposisi gliserol murni jarak pagar 95% dan TEA 5% yang dicampur pada suhu 80ºC. Nilai BSS dari semen dengan tambahan CGA ini sebesar 4.836 cm 2 /g. Nilai BSS ini sesuai dengan SNI 15-2049-2004 dan ASTM C150-049, yaitu bahwa nilai minimum BSS semen ialah 2.800 cm 2 /g (Tabel 7). Tabel 7 Perbandingan nilai BSS semen Sumber Nilai BSS (cm 2 /g) SNI 15-2049-2004 Min. 2.800 ASTM C150-049 Min. 2.800 PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk 3.100-3.500 Hasil Penelitian 4.274-4.836

33 Nilai BSS yang diperoleh dari semen dengan tambahan gliserol p.a (0,05% b/b) adalah sebesar 4.139 cm 2 /g. Nilai BSS ini tidak berbeda jauh dengan hasil temuan Jost dan Schrabback (2007), yaitu semen dengan tambahan CGA berbasis glikol (0,05% b/b) memiliki nilai BSS sebesar 4.077 cm 2 /g sedangkan dengan produk buatannya (SikaGrind 0,03% b/b) sebesar 4.117 cm 2 /g. Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan yang diperoleh Maeder et al. (2008), yaitu nilai BSS dari CGA berbasis trietanolamina dengan waktu penggilingan 1 jam sebesar 3.530 cm 2 /g sedangkan CGA berbasis triisopropanolamina sebesar 3.640 cm 2 /g. Perbedaan ini diduga karena komposisi bahan baku semen yang digunakan berbeda dan atau jumlah penggilingg bola yang digunakan berbeda. Hal ini karena komposisi bahan baku dan jumlah penggilingg bola sangat mempengaruhi nilai kehalusan semen walaupun waktu penggilingan yang digunakan sama. Nilai BSS (cm 2 /g) 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Gambar 28 Hasil analisis BSS pada semen blangko dan CGA dengan waktu pengadukan selama 1 jam. Hasil analisis ragam pada α = 5% menunjukkan bahwa komposisi TEA, suhu reaksi, serta interaksi antara keduanya memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada nilai BSS (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa nilai BSS semen dipengaruhi oleh parameter komposisi TEA dan suhu reaksi dari CGA.

34 Uji lanjut Duncan pada α = 5% menunjukkan bahwa pada komposisi TEA 0, 5, dan 15% setiap suhu memberikan pengaruh yang berbeda satu sama lain pada nilai BSS (Lampiran 8). Namun, pada komposisi TEA 10% setiap suhu memberikan pengaruh yang sama satu sama lain pada nilai BSS. Pada suhu 80ºC nilai BSS yang diperoleh sebesar 4.313,64 cm 2 /g sedangkan pada suhu 90ºC sebesar 4.326,70 cm 2 /g. Uji lanjut Duncan pada suhu 80ºC dengan α = 5% menunjukkan bahwa pada komposisi TEA 0 dan 5% memberikan pengaruh yang sama pada nilai BSS sedangkan pada komposisi yang lainnya memberikan pengaruh yang berbeda satu sama lain pada nilai BSS. Uji lanjut Duncan pada suhu 90ºC dengan α = 5% menunjukkan bahwa semua komposisi TEA memberikan pengaruh yang sama pada nilai BSS yang dihasilkan. Residu Selain menggunakan BSS, uji yang dapat digunakan untuk melihat kehalusan semen ialah dengan uji residu. Uji ini dilakukan menggunakan ayakan silinder dengan diameter pori 45 µm. Prinsip dari uji residu ialah semakin kecil % residu yang dihasilkan dari suatu produk maka partikel yang lolos semakin banyak. leh karena itu, semakin kecil % residu maka semen yang dihasilkan semakin halus. Hasil uji residu dari beberapa sampel disajikan pada Lampiran 9 dan rerata % residu disajikan pada Tabel 8. Terlihat bahwa semen blangko (tanpa tambahan CGA) memiliki nilai % residu lebih besar dibandingkan dengan semen yang ditambah CGA. Perbedaan antara semen blangko dan semen dengan tambahan CGA cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa CGA mampu meningkatkan kehalusan semen secara signifikan. Menurut Sottili et al. (2002), sedikit CGA mampu meningkatkan kehalusan semen sebanyak 5 sampai 30% bergantung pada bahan dan kekhasan proses. Dari Tabel 8 juga dapat dilihat bahwa nilai % residu dari semen dengan tambahan gliserol lebih kecil dibandingkan dengan semen blangko. Namun, nilai % residu dari semen dengan tambahan gliserol ini lebih besar dibandingkan dengan semen yang ditambah CGA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kehalusan semen dengan tambahan CGA berbasis gliserol jarak

35 pagar lebih besar dibandingkan dengan semen yang ditambah gliserol p.a. dan lebih besar dibandingkan dengan semen blangko. Semen yang memiliki nilai % residu terkecil diperoleh pada semen dengan tambahan CGA dengan komposisi gliserol jarak pagar 95% dan TEA 5% yang dicampur pada suhu 80ºC. Hal ini menunjukkan bahwa semen yang memiliki ukuran partikel yang paling halus diperoleh dengan tambahan CGA dengan komposisi gliserol murni jarak pagar 95% dan TEA 5% serta proses pembuatannya dilakukan pada suhu 80ºC. Hasil uji residu memiliki simpulan sama dengan uji BSS yang menunjukkan bahwa semen dengan tambahan CGA dengan komposisi gliserol jarak pagar 95% dan TEA 5% yang dicampur pada suhu 80ºC memiliki ukuran partikel yang paling halus dibandingkan lainnya. Tabel 8 Rerata % residu yang diperoleh dari beberapa sampel semen Jenis Sampel Rerata Residu (%) Blangko 2,65±0,01 Gliserol p.a 1,32±0,006 Gliserol 100% + TEA 0% (80ºC) 0,59±0,006 Gliserol 95% + TEA 5% (80ºC) 0,11±0,006 Gliserol 90% + TEA 10% (80ºC) 0,16±0,006 Gliserol 85% + TEA 15% (80ºC) 0,28±0,006 Gliserol 100% + TEA 0% (90ºC) 0,45±0,01 Gliserol 95% + TEA 5% (90ºC) 0,26±0,006 Gliserol 90% + TEA 10% (90ºC) 0,20±0,01 Gliserol 85% + TEA 15% (90ºC) 0,13±0,006 Nilai % residu dari semen dengan bahan baku klinker portland ialah 0,5-8,0% sedangkan nilai % residu hasil penelitian dengan menggunakan klinker plan 4 ialah 0,11-0,59%. Nilai % residu semen salah satunya dipengaruhi oleh komposisi kimia klinker. Semakin banyak kandungan senyawa oksida logam pada klinker, maka semakin mudah klinker tersebut terpisah menjadi muatan positif dan negatif. Hal ini berimbas pada semen yang dihasilkan semakin mudah teraglomerasi sehingga % residu semakin besar. Komposisi oksida logam antara klinker portland dan klinker yang digunakan pada penelitian (klinker plan 4) disajikan pada Tabel 9. Terlihat bahwa komposisi oksida logam klinker portland

36 lebih besar dibandingkan klinker plan 4. leh karena itu, nilai % residu semen berbahan baku klinker portland lebih besar dibandingkan dengan semen berbahan baku klinker plan 4. Tabel 9 Perbandingan komposisi kimia klinker Komposisi Kimia (%) Klinker Portland (Anna et al. 2001 ) Klinker Plan 4 Si 2 25,21 21,3 Al 2 3 5,13 4,85 Fe 2 3 3,97 2,76 Ca 59,99 65,36 Mg 1,29 3,22 S 3 1,32 0,37 Na 2 0,25 0,20 K 2 0,64 0,55 Hasil analisis ragam pada α = 5% menunjukkan bahwa komposisi TEA, suhu reaksi, dan interaksi antara keduanya memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada % residu (Lampiran 10). Uji lanjut Duncan pada α = 5% menunjukkan bahwa pada komposisi TEA 0, 5, dan 15%, setiap suhu memberikan pengaruh yang berbeda satu sama lain pada % residu (Lampiran 11). Uji lanjut Duncan pada suhu 80ºC dan 90ºC dengan α = 5% menunjukkan bahwa setiap komposisi TEA memberikan pengaruh yang berbeda satu sama lain pada % residu. Pembahasan Umum Industri pembuat semen selama beberapa dekade terakhir ini menyisakan persoalan yang sama, yaitu mengenai aglomerasi dan salutan bola. Masalah ini disebabkan oleh gaya tarik elektrostatik antar partikel semen yang memiliki perbedaan muatan, dehidrasi gipsum, dan kenaikan suhu akibat tumbukan antar penggiling bola. leh karenanya perlu ditemukan inovasi untuk mengatasi masalah ini, yaitu dengan menciptakan bahan yang dapat menghambat aglomerasi dan salutan bola yang dikenal sebagai CGA. Hasil penelitian telah membuktikan bahwa semen dengan tambahan CGA berbasis gliserol dari hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dapat

37 menghambat terbentuknya salutan bola. Dengan hilangnya penghalang tersebut, proses penghancuran semen di dalam mesin penggerus berjalan lebih efektif sehingga semen yang dihasilkan semakin halus serta produk semen yang dihasilkan per jam semakin meningkat. Selain itu, penambahan CGA berbasis gliserol dari hasil samping produksi biodiesel jarak pagar mampu menghasilkan partikel dengan dispersi yang lebih baik sehingga menghalangi terjadinya aglomerasi antarpartikel. Cheung (2001) telah membuat CGA berbahan dasar hidroksilamina. Namun, CGA berbasis amina meninggalkan bau yang tidak sedap pada produk akhir semen. Jardine et al. (2006) membuat CGA dengan komposisi air sebanyak 10-30%, trietanolamina sebanyak 10-80%, dan gliserol hasil samping biodiesel sebanyak 10-80%. Penambahan air pada CGA akan terjadi kontak dengan klinker sehingga klinker akan terhidrasi. Proses hidrasi klinker menyebabkan struktur kimianya berubah dan membentuk jeli sehingga kekuatan mekanis semen menjadi rendah. Keunggulan produk CGA berbasis gliserol dari hasil samping produksi biodiesel jarak pagar ialah tidak beracun dan tidak berbahaya, bau yang dihasilkan dari CGA berbasis gliserol tidak menyengat dibandingkan CGA berbasis amina, ramah lingkungan karena memanfaatkan limbah biodiesel, berbentuk cair sehingga mudah diaplikasikan dan konsistensi dosis lebih mudah dikontrol, dapat menghambat terbentuknya salutan bola, serta mampu meningkatkan kehalusan semen dengan nilai BSS sebesar 4.836 cm 2 /g selama waktu penggerusan 1 jam. Dari Uji BSS dan % residu telah membuktikan bahwa semen dengan tambahan CGA berbasis gliserol ini lebih halus dibandingkan dengan cemen tanpa tambahan CGA. CGA yang paling optimum untuk menghaluskan partikel semen ialah CGA dengan komposisi gliserol jarak pagar 95% dan TEA 5% yang dibuat pada suhu 80ºC dengan nilai BSS sebesar 4.836 cm 2 /g.