IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

3. METODE PENELITIAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

3. METODE PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2012 di Laboratorium

II. TINJAUAN PUSTAKA

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BILIS, Thryssa hamiltonii (FAMILI ENGRAULIDAE) YANG TERTANGKAP DI TELUK PALABUHANRATU

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

3. METODE PENELITIAN

Aspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.KUALITAS TELUR IKAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berk. Penel. Hayati: 15 (45 52), 2009

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI IKAN KRESEK (Thryssa mystax) PADA BULAN JANUARI-JUNI DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, JAWA TIMUR LISA FATIMAH

3. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

3. METODE PENELITIAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian

3. METODE PENELITIAN

Kata kunci: ikan nila merah, tepung ikan rucah, vitamin E, TKG, IKG

III. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN TEMBANG (Clupea platygaster) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, GRESIK, JAWA TIMUR 1

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA YANG DIDARATKAN DI PPI MUARA ANGKE, JAKARTA UTARA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan lokasi

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT

J. Aquawarman. Vol. 3 (1) : April ISSN : AQUAWARMAN

KETERKAITAN LAJU EKSPLOITASI DENGAN KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN PETEK Leiognathus equulus (Forsskal, 1775) FAMILI LEIOGNATHIDAE

3. METODE PENELITIAN

APLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK PEMIJAHAN INDUK IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus)

ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI DAN PERTUMBUHAN IKAN LEMURU (Sardirtella lortgiceps C.V) DI PERAIRAN TELUK SIBOLGA, SUMATERA-UTARA

REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHAN RATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT. Ernawati, Y., dan Butet, N.A.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

BAB III BAHAN DAN METODE

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

Transkripsi:

23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Teluk Palabuhanratu Perairan Palabuhanratu merupakan perairan berbentuk teluk yang terletak di sebelah Selatan Jawa Barat. Secara geografis berada pada 6 0 57 7 0 25 LS dan 106 0 49 107 0 00 BT. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat, terdapat empat periode musim penangkapan, yaitu musim barat (Desember-Februari), musim timur (Juni-Agustus), dan dua periode musim peralihan (pancaroba). Musim peralihan terdiri atas musim utara (Maret-Mei) merupakan peralihan dari musim barat ke musim timur dan musim selatan (September-Nopember) yang merupakan musim peralihan dari musim timur ke musim barat. Periode musim barat merupakan musim hujan dimana kondisi perairan relatif buruk sehingga sebagian besar nelayan tidak melaut. Periode musim timur merupakan musim kemarau dimana kondisi perairan relatif lebih tenang sehingga nelayan banyak turun ke laut untuk melakukan penangkapan ikan. Secara umum suhu permukaan air laut di Teluk Palabuhanratu berkisar antara 27 30 0 C dan ini merupakan kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan ikan tropis. Arus di Teluk Palabuhanratu dipengaruhi oleh arus musim di pantai selatan Jawa (Hartami, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Atmadipoera et al. (1994) in Wiyono (2001) bahwa kecepatan arus permukaan maksimum di Teluk Palabuhanratu adalah sekitar 1,28 m/detik dengan arah timur-tenggara. Gelombang besar terjadi selama musim Barat, sedangkan selama musim Timur kondisi perairan Palabuhanratu relatif tenang. Menurut BLH Kabupaten Sukabumi dan PKSPL-IPB (2003) in Wahyudin (2005) bahwa kondisi kualitas air di Teluk Palabuhanratu tergolong bagus tercermin dari penampakan air yang bening dan kecerahan cahaya matahari dapat menembus perairan mencapai 6-7 meter. 4.2 Aspek Pertumbuhan 4.2.1 Sebaran frekuensi panjang ikan bilis (T. hamiltonii) hasil tangkapan Berdasarkan 3 kali pengambilan ikan contoh yang dilakukan per bulan selama tiga bulan, dari bulan Mei - Juli. Pada Gambar 5 terlihat jumlah ikan contoh pada bulan Mei yang didapat sejumlah 200 ekor untuk diukur panjang dan beratnya, kemudian

24 diambil sebanyak 45 ekor untuk dianalisis di laboratorium. Pada bulan Juni dan Juli didapatkan sejumlah 44 ekor dan 43 ekor untuk diukur panjang dan beratnya, kemudian masing-masing setiap bulannya diambil sebanyak 30 ekor untuk dianalisis di laboratorium. Penurunan jumlah ikan bilis yang tertangkap disebabkan karena sedikitnya jumlah nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan pada bulan Juni-Juli. Hal ini dikarenakan kondisi laut yang tidak memungkinkan nelayan untuk menangkap ikan pada bulan tersebut. Keseluruhan ikan contoh yang didapatkan adalah sebesar 287 ekor untuk diukur panjang dan beratnya, dan 105 ekor untuk dianalisis di laboratorium. Gambar 5. Sebaran jumlah ikan bilis selama bulan pengamatan (Mei-Juli) Gambar 6. Sebaran frekuensi panjang

25 Berdasarkan grafik sebaran frekuensi panjang (Gambar 6) ikan bilis (T. hamiltonii) yang tertangkap memiliki kisaran panjang 82-157 mm. Pada bulan Mei ukuran panjang minimum yang didapat adalah 82 mm dan ukuran panjang maksimum 130 mm. Pada bulan Juni dan Juli secara berturut-turut ukuran panjang terkecil yang diperoleh adalah sebesar 108 mm dan 98 mm dan ukuran panjang terbesarnya adalah 157 mm dan 135 mm. Dengan bantuan program FISAT (FAO-ICLARM Stock Assesment Tools) II versi 1.2.2. dengan berbasis data panjang didapat nilai panjang maksimum yang mampu dicapai ikan bilis (T. hamiltonii) adalah sebesar (L ) 161.7 mm dengan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.55. Sedangkan menurut Gray (1835) ikan Bilis dapat mencapai panjang maksimum hingga 222 mm. Hal ini dapat mengidentifikasi bahwa ikan ini sudah mengalami perubahan struktur populasi. Gambar 6 juga memperlihatkan adanya pergeseran modus kelas panjang dari bulan Mei hingga Juli. Pada bulan Mei modus kelas panjang berada pada selang kelas 102-105 mm, kemudian pada bulan Juni modus bergeser ke kanan pada selang kelas 118-121 mm dan pada bulan Juli modus kelas panjang kembali bergeser ke kanan pada selang kelas 122-125 mm. Pergeseran modus kelas panjang ini mengindikasikan adanya pertumbuhan ikan bilis. Pertumbuhan tersebut diduga karena perbedaan musim yang terjadi. Hal ini didukung oleh pernyataan Bishop (1973) bahwa suhu air dapat merangsang dan mempengaruhi pertumbuhan organisme perairan serta mempengaruhi oksigen terlarut untuk respirasi. Setiap organisme mempunyai suhu maksimum, optimum dan minimum untuk kehidupannya. Sehingga dari pengamatan dapat diindikasikan bahwa ikan Bilis memiliki waktu pertumbuhan optimum pada bulan Juli. 4.2.2. Hubungan panjang berat Hubungan panjang-berat ikan bilis adalah W = 7x10-7 L 3,449 dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,827. Hal tersebut berarti bahwa model dugaan mampu menjelaskan data sebesar 82,7% (Walpole, 1995). Dari nilai b yang diperoleh dan setelah dilakukan uji t (α = 0,05) diketahui bahwa ikan bilis memiliki pola pertumbuhan allometrik positif yang berarti bahwa pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjangnya seperti yang terlihat pada Gambar 7. Pola

26 pertumbuhan tersebut terkait erat dengan faktor lingkungan seperti suhu, jumlah dan kualitas makanan yang dicerna, umur (Moyle dan Cech, 1988). Selain itu diperoleh hubungan yang erat antara panjang-berat melalui nilai koefisien korelasi (r). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertambahan panjang ikan diikuti dengan pertambahan bobotnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor musim (suhu) dan stok makanan yang ada di daerah penangkapan ikan Bilis. Pernyataan tersebut didukung oleh Effendie (2002) yang menyatakan pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam seperti keturunan, umur, jenis kelamin, hormon dan penyakit; serta faktor luar seperti suhu perairan dan makanan. Gambar 7. Hubungan panjang dan berat 4.2.3 Faktor kondisi Penentuan nilai faktor kondisi didasarkan pada pola pertumbuhan. Pola pertumbuhan ikan Bilis yang ditemukan selama waktu penelitian bersifat allometrik positif. Kisaran nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina ikan Bilis di tiap bulan penelitian disajikan pada Tabel 2.

27 Tabel 2. Faktor kondisi ikan Bilis (T. hamiltonii) jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu Betina Jantan Bulan N Kisaran rata-rata Sb N Kisaran Rata-rata Sb Mei 19 0.97-1.47 1.19 0.11 26 0.88-1.37 1.15 0.11 Juni 18 0.81-1.25 1.06 0.12 12 0.96-1.18 1.07 0.06 Juli 13 0.87-1.22 1.03 0.11 17 0.77-1.18 0.93 0.10 Ket : Sb = Simpangan baku Nilai rata-rata faktor kondisi tertinggi ikan jantan dan betina terjadi pada bulan Mei. Berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa nilai faktor kondisi rata-rata ikan betina pada bulan Mei dan Juli lebih besar dari ikan jantan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan bilis betina pada waktu tersebut lebih montok dari pada ikan jantan. Sementara pada bulan Juni ditemukan hal yang sebaliknya. Nilai faktor kondisi rata-rata ikan betina lebih besar dari ikan jantan. Hal ini dapat dipahami karena bobot gonad ikan betina cenderung lebih berat dari pada gonad ikan jantan akibatnya bobot ikan betina lebih besar dari bobot ikan jantan dan selanjutnya berpengaruh terhadap nilai faktor kondisi. Nilai faktor kondisi ikan betina dan jantan yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu menurun setiap bulannya (Gambar 8 dan Gambar 9). Gambar 8. Sebaran Faktor kondisi ikan Bilis (T. hamiltonii) betina

28 Gambar 9. Sebaran Faktor kondisi ikan Bilis (T. hamiltonii) jantan Nilai faktor kondisi terbesar terdapat pada bulan Mei yaitu sebesar 1.19 (betina) dan 1.15 (jantan). Perbedaan nilai faktor kondisi tiap bulannya dapat menggambarkan faktor lingkungan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Variasi faktor kondisi ini dipengaruhi adanya kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, ketersediaan makanan, jenis kelamin, dan umur (Effendi 1979). Faktor kondisi digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat hidup ikan. Kondisi dimana faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan ini dijumpai pada ikan L. splendens di perairan Teluk Labuan (Saadah, 2000), ikan tunisi Pristipomoides filamentosus, Valenciennes 1830 di Teluk Palabuhanratu (Susanto, 2006). Berdasarkan Gambar 10 kita dapat melihat nilai faktor kondisi berdasarkan selang kelas panjang total. Dari gambar tersebut didapat faktor kondisi terkecil sebesar 0.8924, yaitu pada selang kelas panjang 138-141 mm sedangkan nilai terbesar ada pada selang kelas panjang 102-105 mm sebesar 1.2649. Menurut Lagler (1972) dengan meningkatnya ukuran ikan maka nilai faktor kondisinya akan bertambah. Namun pada penelitian ini hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan pernyataan tersebut. Hal ini diduga karena adanya faktor lingkungan, sehingga mempengaruhi faktor kondisi ikan.

29 Gambar 10. Nilai faktor kondisi berdasarkan selang kelas panjang betina. Tabel 3 menunjukkan hubungan faktor kondisi dengan tingkat kematangan gonad pada ikan bilis (T. hamiltonii) betina. Terlihat bahwa nilai faktor kondisi rata-rata meningkat seiring dengan perkembangan gonad (TKG). Dengan berkembangnya gonad maka ukuran gonad juga akan semakin bertambah, sehingga akan mempengaruhi bobot dari ikan. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya bobot ikan maka nilai faktor kondisinya akan bertambah dengan asumsi faktor lain tidak ada yang mempengaruhi (Lagler,1972). Tabel 3. Hubungan faktor kondisi dengan tingkat kematangan gonad ikan bilis (T. hamiltonii) betina. TKG Jumlah Kisaran FK FK rata-rata Simpangan baku I 1-0.9746 - II 23 0.8133-1.2647 1.0712 0.123227 III 13 0.8956-1.4685 1.1405 0.139902 IV 13 0.9206 1.4261 1.1367 0.15085

30 4.3 Aspek Reproduksi 4.3.1 Nisbah kelamin Perbandingan ikan jantan dan ikan betina dalam suatu populasi, dengan kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu rasio 1:1 (Bal dan Rao, 1984). Data perbedaan nisbah kelamin ini selanjutnya digunakan untuk menduga tingkah laku pemijahan. Data nisbah kelamin ikan bilis yang diamati dapat terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rasio kelamin Jumlah Bulan contoh Jumlah Jantan Jumlah Betina Rasio kelamin Mei 45 26 19 1,3684 Juni 30 12 18 0,6667 Juli 30 17 13 1,3077 Jumlah 105 55 50 1,1 Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa rasio kelamin ikan contoh yang di dapat selama penelitian terjadi perubahan rasio, pada bulan Mei rasio kelamin yang diperoleh sebesar 1,3684 (jantan lebih banyak dibandingkan betina), sedangkan pada bulan Juni diperoleh rasio kelamin sebesar 0,6667 yang berarti betina lebih banyak dibandingkan jantan, dan pada bulan Juli jumlah jantan kembali lebih banyak dibandingkan jumlah betina dengan rasio kelamin sebesar 1,3077. Terjadi penyimpangan rasio kelamin dari batas ideal (1:1), Selain itu penyimpangan rasio kelamin ditemukan juga pada ikan kresek Thryssa mystax (Fatimah, 2006). Penyimpangan yang terjadi dari pola 1:1 disebabkan oleh pola tingkah laku bergerombol antara jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan, pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, dan keseimbangan rantai makanan (Bal dan Rao, 1984; Effendie, 2002). 4.3.2 Tingkat Kematangan Gonad Pengamatan tingkat kematangan gonad ikan betina dilakukan dengan dua cara yaitu cara morfologi dan cara histologis. Sedangkan pada ikan jantan pengamatan hanya dilakukan dengan cara morfologi saja yaitu dengan melihat perkembangan gonad dari

31 penampakan luarnya seperti warna, bentuk dan ukuran. Hal ini dikarenakan penelitian ini lebih difokuskan terhadap ikan betina. Tahap perkembangan kematangan gonad ikan betina baik secara morfologis maupun secara histologis dapat terlihat pada Gambar 11, yaitu sebagai berikut : Tahap I : Awal pertumbuhan (Tidak Masak) Secara morfologi ovarium berbentuk memanjang. Ukuran sel telur relatif kecil dan belum terlihat jelas oleh mata telanjang. Secara histologis, ovarium didominasi oleh oogonium dan dijumpai telah adanya oosit primer hasil dari perkembangan oogonium. Belum dilapisi selaput folikel. Inti sel (nukleus) terletak di tengah dan bentuknya bulat serta dikelilingi oleh sitoplasma. Tahap II : Berkembang (Tidak Masak) Secara morfologi, ovarium berwarna merah jambu, pembuluh darah masih belum terlihat jelas. Ovarium berwarna lebih kuning dari pada TKG I. Sel telur masih belum terlihat jelas oleh mata telanjang. Secara histologis, Ovarium didominasi oleh oosit primer, masih ditemukan oogonium, terlihat adanya lapisan folikel. Tahap awal terjadinya proses vitellogenesis. Tahap III : Dewasa (Hampir Masak) Secara morfologi, ovarium berwarna merah jambu sampai kekuningan, butir telur sudah dapat dilihat oleh mata telanjang namun diameternya lebih kecil dan pembuluh darah mulai terlihat. Secara histologis, oogonium dan oosit sekunder masih ditemukan dan oosit sekunder berkembang menjadi oosit. Butir kuning telur (yolk egg) dan vakuola minyak terlihat jelas yang menyebar dari sekitar nukleus yang mengarah ke tepi. Tahap IV : Matang (Masak) Secara morfologi, ovarium makin membesar berwarna kuning kemerahmerahan, pembuluh darah jelas, telur terlihat jelas, keadaan telur masak berukuran besar berwarna terang. Secara histologis, Ovarium didominasi oleh ovum, inti sel terlihat jelas, butir minyak tersebar di sekitar inti sel.

32 Gambar 11. Histologis Gonad TKG I, II, III, dan IV ikan Bilis (T. hamiltonii) Keterangan : N = Nukleus; Si = Sitoplasma; Os = oosit; Ot = Ootid; Ov = Ovum; Bm = Butir minyak; Bk = butir kuning telur Posterior Berdasarkan perkembangan gonad betina secara histologis terlihat bahwa ikan T. hamiltonii memiliki tipe perkembangan oosit group-synchronous yaitu ovarium memiliki dua kelompok oosit dengan tingkat kematangan yang berbeda (Murua, 2003). Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa ikan bilis sedang dalam musim pemijahan pada waktu penelitian dan mengalami puncak pemijahan pada bulan Mei. Hal ini terlihat dari ikan hasil tangkapan pada bulan Mei yang didominasi oleh ikan yang matang gonad (TKG IV). Berdasarkan Gambar 12, yaitu frekuensi TKG ikan bilis betina yang tertangkap di teluk Palabuhanratu bulan Mei - Juli dengan menggunakan kelompok ukuran panjang, terlihat ikan Bilis betina TKG IV ditemukan pertama kali pada kelas ukuran 110-113 mm. Terlihat tingkat kematangan gonad yang lebih besar didapat pada ikan dengan

33 ukuran panjang yang juga makin besar. Dengan mengetahui TKG ikan, kita selanjutnya dapat mengetahui perbandingan antara ikan yang berada diperairan, ukuran atau unsur ikan pertama kali matang gonadnya, dan apakah ikan sudah memijah atau belum (Nikolsky, 1963). Gambar 12. TKG ikan bilis betina berdasarkan selang kelas panjang Gambar 13. Persentase TKG berdasarkan bulan pengamatan

34 Persentase TKG ikan pada tiap bulan ditunjukan pada Gambar 13. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa selama penelitian, ikan bilis betina dengan TKG IV ditemukan disetiap bulannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa musim pemijahan ikan bilis adalah sepanjang tahun. Jumlah ikan betina yang teridentifikasi tingkat kematangan gonadnya sebanyak 50 ekor, yaitu TKG I ditemukan sebanyak 1 ekor, TKG II sebanyak 23 ekor, TKG III sebanyak 13 ekor, dan TKG IV sebanyak 13 ekor. Persentase terbesar ditemukannya gonad betina TKG IV terdapat pada bulan Mei yaitu sebesar 36.8421%, sebanyak 7 ekor dari 19 ekor ikan yang dibedah. Ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan gonad, yaitu faktor lingkungan dan hormon (Affandi dan Tang 2000). Untuk mengetahui ukuran pertama kali matang gonad, data TKG diolah dengan menggunakan rumus Spareman Karber (Lampiran 8). Sehingga didapatkan ukuran pertama kali matang gonad pada selang kelas 126-129 mm yaitu pada ukuran 127.9875±0.0131. Hasil penelitian Juraida (2004) menunjukan ukuran pertama kali matang gonad ikan tetet betina sebesar 86-100 mm. Perbedaan ukuran ikan pertama kali matang gonad ini dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor luar dan faktor dalam. Beberapa faktor yang diduga dapat menjadi penyebab perbedaan pencapaian ukuran pertama kali matang gonad, seperti sifat genetik populasi, perbedaan letak wilayah (latitude), kualitas perairan, dan besarnya tekanan penangkapan. Selain itu kematangan gonad berhubungan dengan pertumbuhan dan faktor lingkungan terutama ketersediaan makanan baik secara kualitas maupun kuantitas (Toelihere 1985 in Affandi dan Tang 2000). Effendie (1997) menyatakan faktor yang mempengaruhi pertama kali ikan matang gonad ada dua yaitu faktor luar seperti suhu dan arus serta faktor dari dalam seperti umur, jenis kelamin, sifat-sifat fisologis ikan seperti kemampuan beradaptasi dengan lingkungan serta ukuran. 4.3.3 Indeks kematangan gonad Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan nilai yang memberikan informasi mengenai perubahan yang terjadi dalam gonad. Nilai IKG ikan bilis betina TKG III di TPI Palabuhanratu pada bulan Mei berkisar antara 1,111% - 2,0%, sedangkan kisaran

35 pada bulan Juni adalah 1,2767% - 2,6667% dan pada bulan Juli berkisar antara 1,5% - 1,7%. Nilai IKG ikan bilis betina TKG IV di TPI Palabuhanratu pada bulan Mei berkisar antara 1,75% - 2,3077%, sedangkan kisaran pada bulan Juni adalah 1,9231% - 2,1053% dan pada bulan Juli 2,9286%. Gambar 14 menunjukkan bahwa secara keseluruhan rata-rata nilai IKG betina TKG IV lebih besar dari TKG III. Hal ini diduga karena perubahan IKG berkaitan erat dengan tahap perkembangan telur. Effendie (2002) mengatakan bahwa berat gonad akan mencapai maksimum saat ikan akan memijah dan nilai tersebut akan menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai pemijahan selesai. Selain itu, meningkatnya tingkat kematangan gonad akan menyebabkan ukuran diameter telur berat gonad meningkat sehingga nilai IKG juga meningkat. Gambar 14. Indeks kematangan gonad 4.3.4 Fekunditas Fekunditas ikan bilis yang diamati didapat dari pengamatan ikan dengan TKG 3 dan TKG 4. Pada Tabel 5 terlihat bahwa fekunditas ikan bilis pada bulan Mei berkisar antara 288 1152 telur. Fekunditas minimum terjadi pada ikan dengan panjang 10,5 cm

36 dan berat 8 gram, sedangkan fekunditas maksimum terjadi pada ikan dengan panjang 12,5 dan berat 13. Hubungan fekunditas pada bulan Mei dengan panjang dan beratnya disajikan pada Gambar 13. Tabel 5. Fekunditas T. hamiltonii pada bulan Mei Panjang 10,5 10,3 10,8 12 12,5 11,9 Berat 8 9 8 12 13 13 fekunditas 288 486 507 567 1152 846 Berdasarkan hasil regresi pada bulan Mei fekunditas dengan panjang total tubuhnya (Gambar 15) diperoleh koefisien determinasi sebesar 0,694 di TPI Palabuhanratu, menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data sebesar 69,4%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,83 sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara fekunditas dengan panjang tubuh di TPI Palabuhanratu sangat erat. Gambar 15. Grafik hubungan fekunditas dengan panjang dan berat (Mei 2009)

37 Dengan meregresikan fekunditas dengan berat tubuh ikan didapatkan koefisien determinasi sebesar 0,716, hal ini menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data sebesar 71,6%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,84 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara fekunditas dengan berat tubuhnya. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa fekunditas ikan bilis pada bulan Juni berkisar antara 899-2280 telur. Fekunditas minimum terjadi pada ikan dengan panjang 12,6 cm dan berat 11 gram, sedangkan fekunditas maksimum terjadi pada ikan dengan panjang 15,7 dan berat 26. Hubungan fekunditas pada bulan Juni dengan panjang dan beratnya akan disajikan pada Gambar 16. Tabel 6. Fekunditas T. hamiltonii pada bulan Juni Panjang 12,6 12,5 15,7 14,3 13,5 Berat 11 12 26 19 19 fekunditas 898,8 1140 2280 1176,6 1536 Gambar 16. Grafik hubungan fekunditas dengan panjang dan berat (Juni 2009) Berdasarkan hasil regresi fekunditas dengan panjang total tubuh ikan (Gambar 16) diperoleh koefisien determinasi sebesar 0,735 yang menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data sebesar 73,5%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut

38 didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,85 sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara fekunditas dengan panjang tubuh di TPI Palabuhanratu sangat erat. Dengan meregresikan fekunditas dengan berat tubuh ikan didapatkan nilai koefisien determinasi yang sebesar 0,771 yang menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data hingga sebesar 77,1%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,88 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara fekunditas dengan berat tubuhnya. Apabila dibandingkan hasil hasil regresi tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada bulan Juni fekunditas ikan bilis yang tertangkap di teluk Palabuhanratu lebih dipengaruhi oleh berat tubuh daripada panjang total tubuhnya. Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa fekunditas ikan bilis pada bulan Juli berkisar antara 1040-7339 telur. Fekunditas minimum terjadi pada ikan dengan panjang 11,6 cm dan berat 10 gram, sedangkan fekunditas maksimum terjadi pada ikan dengan panjang 12,1 dan berat 14. Hubungan fekunditas pada bulan Juli dengan panjang dan beratnya akan disajikan pada Gambar 17. Tabel 7. Fekunditas T. hamiltonii pada bulan Juli Panjang 11,6 12,1 12 Berat 10 14 10 fekunditas 1040,4 7339,2 1071 Berdasarkan hasil regresi fekunditas dengan panjang total tubuh ikan (Gambar 17) diperoleh koefisien determinasi sebesar 0,444 yang menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data sebesar 44,4%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,67 sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara fekunditas dengan panjang tubuh di TPI Palabuhanratu cukup erat. Dengan meregresikan fekunditas dengan berat tubuh ikan didapatkan nilai koefisien determinasi yang sebesar 0,999 yang menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data hingga sebesar 99,9%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut

39 didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,99 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara fekunditas dengan berat tubuhnya. Gambar 17. Grafik hubungan fekunditas dengan panjang dan berat (Juli 2009) Apabila kita melihat hasil hasil regresi tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara fekunditas ikan bilis yang tertangkap di teluk Palabuhanratu dengan panjang total tubuhnya dan hubungan yang sangat erat dengan berat tubuhnya. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa fekunditas ikan Bilis (T. Hamiltonii) yang tertangkap di teluk Palabuhanratu dipengaruhi oleh berat dan panjang tubuhnya. Hal ini didukung oleh Walker et al. (1998) in Stevens et al. (2000) yang menyatakan fekunditas cenderung meningkat dengan ukuran tubuh yang besar, sehingga potensi reproduksi ikan berukuran besar lebih besar dibandingkan dengan ikan yang berukuran kecil. Selanjutnya Bagenal (1978) in Syandri (1996) yang menyatakan bahwa pertambahan berat tubuh dan panjang ikan meningkatkan fekunditas secara linear.

40 4.3.5 Diameter telur Diameter telur pada ikan Bilis hasil tangkapan Mei-Juli di Teluk Palabuhanratu memiliki nilai terkecil sebesar 0,2 mm dan nilai terbesarnya 0,67 mm. Berdasarkan Gambar 18, terlihat beberapa puncak pada grafik sebaran diameter sehingga dapat diduga bahwa ikan bilis mengeluarkan telur secara sebagian sewaktu memijah (partial spawner) dengan waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus. Hal ini didasarkan oleh ukuran telur yang berbeda-beda di dalam ovarium (Prabu, 1956 in Liana, 2003). Gambar 18. Grafik sebaran diameter telur ikan Bilis (T. hamiltonii) pada TKG IV Berdasarkan Gambar 19 terlihat bahwa diameter rata-rata telur ikan bilis rata-rata pada bulan Mei didapat sebesar 0.4153, sedangkan pada bulan Juni diameter rata-rata telur sebesar 0.3509 dan pada bulan Juli diameter rata-rata telur didapat sebesar 0.4743. Perkembangan diameter telur umumnya dikarenakan terjadinya akumulasi kuning telur selama proses vitelogenesis yang menyebabkan telur dari ukuran kecil menjadi besar (Utiah, 2006). Selain itu, adanya ukuran diameter telur yang beragam setiap spesies ikan dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, ketersediaan makanan dan umur (Chambers dan Leggett, 1996; Scott 1979 in Syandri, 1996).

41 Gambar 19. Nilai rata-rata diameter telur ikan bilis (T. hamiltonii) pada setiap bulan pengamatan 4.3.6 Kandungan protein Rata-rata kandungan protein telur ikan bilis (T. hamiltonii) diperoleh dari ratarata panjang, berat tubuh dan berat gonad, pada tiap bulan penelitian disajikan pada Tabel 8. Kadar protein tertinggi ditemukan pada bulan Mei (20,76%) dan yang terkecil pada bulan Juni (14,44%). Rata-rata kandungan protein selama penelitian adalah sebesar 17,74%. Kadar protein yang terdapat pada ikan bilis (T. hamiltonii) dianalisis dari telurnya yang memiliki TKG IV. Penghitungan analisis proksimat dari telur ikan ini menggunakan berat basah telur karena berat keringnya menunjukkan nilai yang tidak dapat dianalisis. Kandungan protein yang didapat selama waktu penelitian (Mei-Juli) masih tergolong tinggi, yaitu sebesar 15%-20% (www.nbin.lipi.go.id). Tetapi pada bulan Juni kadar proteinnya didapat sebesar 14,44%.

42 Tabel 8. Kadar protein telur ikan bilis (T. hamiltonii) di setiap bulan penelitian Rata-rata nilai Parameter Bulan Kadar Protein L W BG (%) Mei 120 11,6667 0,1833 20,76 Juni 145 12,3333 0,2067 14,44 Juli 123 21,3 0,235 18,18 Total 130,125 15,5 0,205 17,74 Keterangan : L = rata-rata panjang ikan (mm); W = rata-rata berat ikan (gr); BG = rata-rata berat gonad contoh (gram); F = rata-rata fekunditas contoh (butir) Perbedaan kandungan protein ikan bilis (T. hamiltonii) pada tiap bulan penelitian tersebut diduga karena adanya komposisi yang ada dalam makanan yang dimakan oleh induk. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Castel dan Kean (1994) in Trijoko (1998) menyatakan bahwa pada induk ikan Homarus americanus yang diambil dari beberapa waktu yang berbeda menghasilkan telur dengan komposisi nutrisi yang berbeda. Penyebab terjadinya perbedaan komposisi tersebut dikarenakan perbedaan jenis dan jumlah pakan alami yang dimakan oleh induk. Selanjutnya Toelihere (1985) in Affandi dan Tang (2000) menyatakan bahwa kualitas makanan tergantung pada komposisi nutrisinya seperti lemak, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin. Pada penelitian ini tidak dianalisis kandungan lemak dari telur ikan karena berat kering yang dibutuhkan adalah 5 gram, sedangkan berat basah dari telur yang didapat tidak mencukupi sehingga tidak dapat memenuhi syarat dalam analisis kandungan lemak (wawancara pribadi). 4.3.8 Alternatif Pengelolaan Tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan bilis (T. hamiltonii ) adalah untuk menjamin kesediaan stok ikan di alam, dimana aspek reproduksi sangat berperan. Cara termudah yang dapat dipakai dalam pengelolaan sumberdaya hayati ikan agar terjamin ketersediaannya di alam adalah dengan menjaga waktu dan tempat proses pemijahan.

43 Upaya pengelolan ikan T. hamiltonii yang disarankan meliputi pengaturan (regulasi) penangkapan, pengurangan intensitas penangkapan pada musim pemijahan ikan, dan penentuan ukuran ikan yang dapat ditangkap serta perlindungan habitat. Untuk ukuran ikan yang boleh ditangkap, yang disarankan adalah setelah ikan berukuran lebih dari 127.9875±0.00131 mm atau dengan menggunakan jaring tangkap dengan diameter lebih besar dari 28.86 mm. Hal ini bertujuan memberikan kesempatan ikan bilis untuk memijah terlebih dahulu. Selanjutnya pada bulan Mei sebaiknya tidak melakukan aktivitas penangkapan karena pada bulan tersebut merupakan puncak pemijahan ikan bilis.