Peterson dan Seligman (2004) mendefinisikan syukur sebagai rasa berterimakasih dan bahagia sebagai respon penerimaan karunia, baik karunia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Indera penglihatan merupakan salah satu potensi vital yang dimiliki manusia

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. adiktif). Guna menanggulangi hal tersebut maka para pelaku pelanggaran

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia yang tercantum dalam

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

EFEKTIVITAS PELATIHAN RASA SYUKUR TERHADAP PENINGKATAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA ORANGTUA DENGAN ANAK TUNARUNGU ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. yakni angkanya dapat berbeda-beda dari satu objek ke objek yang lain.

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keterikatan siswa pada sekolah didefinisikan seberapa terlibat dan tertarik

HUBUNGAN ANTARA KEBERSYUKURAN DENGAN EFIKASI DIRI PADA GURU TIDAK TETAP DI SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah pretest-posttest control group design

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan suatu kondisi apabila individu memiliki tekanan

Peningkatan Hasil Belajar, Pembelajaran Kooperatif, Team Assisted Individualization

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu cara mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas : Terapi Kebermaknaan Hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa yang sangat penting. Masa remaja adalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Kerja Siswa (LKS). Penggunaan LKS sebagai salah satu sarana untuk

Pengantar. ujian Nasional mengalami perubahan peraturan dan kenaikan nilai standar.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : B. Definisi Operasional

I. PENDAHULUAN. mengatur dan menyelesaikan tugas-tugas yang mempengaruhi kehidupannya

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

MAKNA KEBERSYUKURAN BERDASARKAN KAJIAN PSIKOLOGIS DAN KAJIAN TAFSIR AL MISBAH

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

MODEL PEMBELAJARAN BERTUKAR PASANGAN UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENGARUH METODE PEMBELAJARAN TUTOR SEBAYA (PEER TEACHING) TERHADAP MINAT DAN PRESTASI BELAJAR SISWA

Surakarta, Indonesia ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesejahteraan subjektif merupakan suatu hal yang penting dan sangat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu

EFEKTIVITAS STRATEGI COPING SKILLS UNTUK MENGURANGI KEJENUHAN BELAJAR (BURNOUT) SISWA

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual anak.

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGHITUNG PERBANDINGAN SKALA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STUDENT TEAMS- ACHIEVMENT DIVISIONS (STAD)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

HUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Fase usia remaja merupakan saat individu mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... viii DAFTAR BAGAN... DAFTAR GRAFIK...

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan belum termasuk pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan. 1. Penghayatan hidup tak bermakna yang menyertai pengalaman derita di

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. dibandingkan dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lain.

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. (Langeveld, dalam Hasbullah, 2009: 2). Menurut Undang-Undang Republik. Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

6. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Penekanan dari upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum masa remaja terbagi menjadi tiga bagian yaitu, salah satunya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan di RSUD Kota

, 2015 EFEKTIVITAS GRATITUDE TRAINING TERHADAP PENINGKATAN SUBJECTIVE WELL BEINGPADA BURUH PABRIK SARUNG ALIMIN MAJALAYA

Pengaruh Layanan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Adlerian Terhadap... di Jakarta Timur

Bab 5. Simpulan, Diskusi dan Saran

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

SIMPOSIUM GURU. Oleh ASEP INDRAYANA, S.Pd., M.Pd.,M.Pd.,Kons NIP Guru Bimbingan Konseling SMK Negeri 5 Surakarta

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

BAB IV. HASIL dan PEMBAHASAN. anak-anak yang tersubordinasi dan termarginalisasi. khususnya. secara sosial, ekonomi dan seksual.

School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan dan sepanjang hidup serta segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB II. KAJIAN KONSEPTUAL TENTANG PROGRAM BIMBINGAN KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera,

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: B. Definisi Operasional

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam konteks ini, tujuan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan

SURVEI RASA SYUKUR MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan pondasi bagi kemajuan suatu bangsa. Pendidikan yang

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

Transkripsi:

Pendahuluan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2009) menyatakan bahwa adanya rasa memiliki terhadap sekolah merupakan hal penting kedua setelah rasa memiliki terhadap keluarga. Rasa memiliki ditemukan menjadi faktor protektif yang paling kuat, baik untuk laki-laki dan perempuan untuk mengurangi penggunaan obat-obatan, ketidak hadiran di sekolah, inisiasi seksual dini, kekerasan, dan risiko ketidaksengajaan menyakiti diri. Hasil wawancara dengan guru salah satu SMP Negeri di Kabupaten Tulungagung pada tanggal 05 Oktober 2016 menunjukkan bahwa beberapa siswa memiliki tingkat kehadiran dan antusiasme yang rendah dalam mengikuti pembelajaran di kelas ataupun aktivitas di sekolah. Bahkan dalam tahun ajaran 2016/2017 ini tercatat sebanyak 4 siswa memutuskan untuk putus sekolah. Wawancara yang dilakukan kepada siswa ditemukan bahwa beberapa hal yang dikeluhkan adalah siswa merasa kurang diperhatikan, kurang didukung, serta merasa diperlakukan dengan tidak baik dan tidak adil oleh guru. Selain permasalahan yang berhubungan dengan guru, beberapa siswa mengeluh merasa kurang nyaman ketika berada di lingkungan sekolah disebabkan oleh permasalahan yang berhubungan dengan teman. Beberapa siswa merasa kurang memiliki kedekatan secara emosi dengan teman. Siswa merasa bahwa teman di sekolah memiliki sikap yang buruk, dan adapula yang merasa kurang diterima oleh kelompok teman sebaya di sekolah, sehingga lebih memilih menghasbiskan waktu belajar di sekolah untuk bermain dengan teman kolompok di luar sekolah. Berbagai kondisi emosional siswa yang negatif terhadap sekolah tersebut menggambarkan bahwa siswa merasa kurang memiliki terhadap sekolah. Konsep rasa memiliki terhadap sekolah dalam ilmu psikologi dikenal dengan berbagai istilah seperti sense of school belonging (Goodenow, 1993), school connectedness (Jose, Ryan, & Pryor, 2012), school bonding (Hawkins dkk., 1996), school identification (Wang & Eccles, 2012), school attachment (Hallinan, 2008) dan sense of community (Osterman, 2000).

Goodenow (1993) menjelaskan bahwa sense of school belonging (SoSB) atau psychological membership in the school or classroom adalah kondisi dimana siswa merasa diterima secara personal, diperhatikan, dilibatkan dan didukung oleh orang lain di lingkungan sosial sekolah. Belonging juga dapat diartikan sebagai sebuah kebutuhan psikologis untuk membentuk dan mempertahankan ikatan sosial (Baumeister & Leary, 1995). Secara spesifik sense of belonging di sekolah meliputi sebuah komitmen terhadap sekolah dan sebuah keyakinan bahwa sekolah adalah hal penting. SoSB juga meliputi sebuah persepsi positif mengenai hubungan antara siswa dengan guru, hubungan dengan teman sebaya dan kesempatan untuk terlibat dalam kehidupan sekolah (Prince & Hadwin, 2013). Berbagai hasil penelitian dalam bidang pendidikan menunjukkan kesimpulan yang sama bahwa kebutuhan untuk memiliki (need for belonging) adalah kebutuhan paling penting bagi seluruh siswa agar dapat berfungsi secara baik dalam berbagai bidang di lingkungan pembelajaran (Finn, 1989; Osterman, 2000). Merasa memiliki (feeling of belonging) dapat memberikan pengaruh yang langsung dan kuat bagi motivasi siswa (Goodenow, 1993). Goodenow (1993) menjelaskan bahwa rasa memiliki dapat meningkatkan harapan untuk sukses (dengan mendukung keyakinan bahwa seseorang tidak hanya memiliki keterampilan individual namun juga tersedia sumber-sumber sosial untuk mengatasi hambatan atau kesulitan yang dihadapi siswa) dan keyakinan siswa dalam menilai hasil kerja mereka. Becker dan Luthar (2002) mendukung hal ini, bahwa salah satu faktor kunci yang mempengaruhi motivasi akademik dan keterlibatan dalam kelas pada siswa minoritas dari keluarga dengan ekonomi rendah adalah rasa memiliki (sense of belonging). Penelitian Lam dkk. (2015) pada 406 siswa sekolah menengah pertama menunjukkan kesimpulan bahwa siswa yang memiliki sense of school belonging yang lebih besar mengalami emosi positif lebih sering, dan kurang menunjukkan emosi negatif, yang berkontribusi kepada keberhasilan akademik mereka. Selain itu siswa yang merasa memiliki atau didukung secara emosional oleh guru, merasa akan lebih dapat fokus kepada tujuan utama (Wang & Eccles, 2012),

memiliki kesenangan, antusiasme, kebahagiaan, ketertarikan, dan lebih percaya diri untuk terlibat dalam aktivitas pembelajaran (Furrer & Skinner, 2003). Sebaliknya, siswa yang merasa ditolak di sekolah mereka merasa lelah, putus asa, bosan, dan tertekan, dan juga kurang merasa puas, kurang merasa tenang, dan nyaman ketika belajar, yang pada akhirnya beberapa tendensi ini dapat menurunkan performa akademik siswa (Lam dkk., 2015). Selain itu, teori menyatakan bahwa ketika rasa memiliki dalam diri siswa terhadap sekolah tidak dimiliki, siswa akan menunjukkan proses ketidakterlibatan secara bertahap, yang pada akhirnya mengarah kepada putus sekolah. Beberapa domain yang berkontribusi besar terhadap persepsi belonging pada siswa adalah: iklim kelas, hubungan antara siswa dengan guru, hubungan dengan teman sebaya atau persahabatan, dan juga dukungan dari orangtua atau keluarga. Iklim di lingkungan kelas yang baik adalah lingkungan yang menjadikan siswa merasa dilibatkan dan dapat berpendapat dengan leluasa (Goodenow, 1993), yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, saling mendukung, peduli dan bekerja sama antar teman kelas sehingga dapat menjadikan siswa memiliki school belonging yang kuat (Anderman, 2003). Guru, teman sebaya dan orangtua merupakan kelompok dimana hubungan yang dekat bagi siswa berasal, dan hubungan ini membentuk perasaan siswa terhadap sekolah. Pittmman dan Richmond (2008) menyatakan bahwa siswa yang mendapati diri mereka memiliki kelompok teman sebaya yang mendukung akan merasa lebih puas dengan kerja sekolah dan mengembangkan sikap yang baik terhadap sekolah. Berdasar pada literatur ini pula, ketika siswa merasakan hubungan yang mendukung dengan guru, mereka merasa dihargai, percaya diri, dan menunjukkan sikap positif terhadap sekolah. Faktor keluarga tidak kalah penting dalam hal ini. Uslu & Gizir (2016) menekankan bahwa remaja membutuhkan dukungan penuh dari orangtua mereka untuk memaksimalkan potensi dari sekolah. Keterlibatan keluarga pada kehidupan sekolah anak mengarah kepada sebuah kesenangan dan penyesuaian yang baik

pada individu yang memiliki hubungan yang positif dengan guru dan teman sebaya (Osterman, 2000). Selain itu, keterlibatan keluarga memudahkan guru untuk mendapatkan informasi yang lebih jauh mengenai siswa sehingga dapat mengkomunikasikan perkembangan siswa dengan cara yang efektif, yang kemudian keterlibatan keluarga dilihat sebagai perantara agar siswa merasa diterima oleh guru (Stewart, 2008). Faktor inernal yang membentuk sense of school belonging pada siswa adalah persepsi terhadap hubungan sosial di sekolah. Prince & Hadwin (2013) menyatakan bahwa sense of school belonging terbentuk dengan adanya sebuah persepsi positif mengenai hubungan antara siswa dengan guru, hubungan dengan teman sebaya dan kesempatan untuk terlibat dalam kehidupan sekolah. Sedangkan kebutuhan individu untuk berinteraksi dan diterima berbeda-beda, dimana kebutuhan tersebut dipengaruhi oleh persepsi terhadap keadaan dan pengalaman kepemilikan mereka (belongingness). Kebutuhan untuk memiliki (belong) berhubungan dengan perbedaaan proses kognitif. Adanya rasa keterhubungan atau memiliki mempengaruhi persepsi seseorang terhadap orang lain, yang kemudian mengarahkan individu untuk melihat teman dan anggota kelompok dan memikirkan tentang mereka dalam cara yang lebih kompleks (Osterman, 2000). Penelitian ini memfokuskan kepada aspek internal siswa, dimana faktor internal yang menjadi penyebab permasalahan sense of school belonging siswa adalah adanya persepsi negatif terhadap sekolah yang kemudian termanifestasi dalam perilaku. Permasalahan ini dapat dijelaskan melalui teori kognitif perilaku seperti yang disampaikan oleh Trower, Casey, and Dryden (2008) bahwa interpretasi terhadap pengalaman merupakan hipotesis atau mengarah kepada sebuah keyakinan semata dari pada fakta, dan hal tersebut dapat benar namun dapat pula salah. Ketika seseorang memegang teguh keyakinan yang tidak realistis dan negatif mengenai dirinya atau pengalamannya, maka akan terjadi gangguan emosi dan akhirnya mempengaruhi tindakan seseorang. Rendahnya sense of school belonging juga dipengaruhi oleh kurang adanya rasa syukur pada siswa terhadap berbagai kontribusi guru, teman, ataupun staff. Kurang adanya rasa

syukur ini pada akhirnya menjadikan siswa selalu berfokus kepada hal-hal yang tidak menyenangkan dan kurang menyadari kontribusi positif berbagai pihak di sekolah bagi diri siswa. Selain itu dengan kurangnya syukur menjadikan siswa selalu menilai peristiwa yang dianggap kurang menguntungkan dengan penilaian negatif dan pada akhirnya menjadikan siswa mengeluh dan rasa memiliki terhadap sekolah semakin berkurang. Diebel (2016) telah membuktikan bahwa intervensi berupa buku harian syukur (gratitude diaries) pada siswa sekolah dasar dapat meningkatkan rasa syukur dan rasa memiliki terhadap sekolah (sense of school belonging). Menurut Diebel (2016), syukur dapat meningkatkan kesadaran mengenai perilaku prososial dan positif dari staff dan teman sebaya, meningkatkan persepsi didukung oleh orang lain di sekolah, penguatan persahabatan oleh teman sebaya dan apresiasi perilaku positif dari staff sekolah. Selain itu perlakuan syukur secara terus menerus pada siswa dapat membantu mengatasi penilaian negatif terhadap pengalaman akademik dan dapat meningkatkan ikatan dengan sekolah serta penyesuaian sosial bagi siswa (Bono & Froh, 2009). Peneliti memberikan arti yang sama antara kata gratitude dan syukur. Hal ini didasarkan pada kata syukur yang berasal dari Bahasa Arab yaitu "syakara-yasykuru-syukran", yang berarti "memuji" atau "menghargai" atau berterimakasih (Nawawi, 2008). Sedangkan Gratitude atau Grateful berasal dari kata gratus yang berarti pleasing atau thankful. Penggunaan kata grateful adalah ketika seseorang merasakan kesenangan/ kepuasan yang mendalam (pleased) (Watkins, 2004). Park & Peterson (2006) berpendapat bahwa: Gratitude is most simply defined as being aware of and thankful for the good things that happen. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa secara bahasa, terdapat makna yang sama antara syukur dengan gratitude, yaitu sama-sama mengandung arti apresiasi, penghargaan dan terimakasih. Peterson dan Seligman (2004) mendefinisikan syukur sebagai rasa berterimakasih dan bahagia sebagai respon penerimaan karunia, baik karunia

tersebut merupakan keuntungan yang diterima dari orang lain maupun momen kedamaian yang ditimbulkan oleh keindahan alamiah. Orang yang bersyukur mampu mengidentifikasi diri mereka sebagai orang yang sadar dan berterimakasih atas anugerah Tuhan, pemberian orang lain, dan menyediakan waktu untuk mengekspresikan rasa terimakasih mereka. Syukur merupakan sebuah rasa yang timbul dalam pertukaran berbasis hubungan ketika seorang mengetahui bahwa Ia menerima sebuah kebaikan yang bernilai dari orang lain. Dalam istilah ini, syukur seperti emosi sosial lainnya, berfungsi untuk meregulasi hubungan, menguatkan dan mengeratkan mereka (Algoe & Stanton dalam Watkins, 2014). Syukur adalah sebuah kesadaran dan secara kognitif mempengaruhi emosi (Watkins, 2014). Syukur dapat terjadi dengan adanya proses penilaian kognitif dimana kondisi ini dikarakteristikkan sebagai The Recognitions of Gartitude Watkins (2014). Rekognisi adalah mengetahui atau mengapresiasi kebenaran, atau identifikasi seseorang, sesuatu, atau situasi karena seseorang telah merasakan sebelumnya. Watkins (2014) menjelaskan bahwa yang mendahului (antecedents) syukur yang paling penting adalah kognisi. Syukur secara kognisi mengilhami emosi, dan penilaian syukur menggambarkan pemikiran manusia yang paling mulia. Ketika mengalami sebuah kenikmatan, beberapa penilaian menjadi penting agar syukur dapat terjadi. Mengakui pemberian, mengakui kebaikan dari pemberian, mengakui kebaikan pemberi, dan mengakui pemberian-pemberian yang tidak terduga, merupakan ciri pikiran syukur. Lebih jauh lagi, syukur juga sering terjadi ketika mengenali bahwa berkah mungkin suatu saat tidak akan ia terima lagi atau tidak lagi menjadi miliknya, dan ketika mengapresiasi keindahan alam. Penilaian kondisi kognitif syukur sangat penting dalam mengembangkan perlakuan untuk meningkatkan syukur. Watkins (2014) menyebutkan tiga komponen dasar syukur yang disebut sebagai three pillars of gratitude, sebagai berikut: 1) Seorang yang bersyukur akan memiliki rasa keberlimpahan yang kuat (sense of abundence), atau meletakkan segala negatifitas dimana mereka kurang memiliki sebuah rasa kerugian. Seorang yang bersyukur merasa bahwa hidup telah memperlakukan

mereka dengan baik (sungguh, pemberian hidup adalah sebuah keberlimpahan yang banyak), dan mereka tidak akan merasakan hidup memperlakukan mereka dengan tidak adil, atau mereka merasa kekurangan mendapatkan kebaikan sehingga mereka merasa pantas mendapatkannya. 2) Seorang yang memiliki kecenderungan syukur yang tinggi akan mengapresiasi kenyamanan sederhana (appreciation of simple pleasures). Jika seluruh hidup adalah pemberian, maka seorang yang bersyukur akan memberikan apresiasi yang lebih besar dari hari ke hari terhadap kebaikan yang datang kepada mereka. 3) Seorang yang bersyukur akan memiliki karakter yang disebut social appreciation atau appreciation of others; mereka mengakui pentingnya apresiasi terhadap kontribusi orang lain bagi kehidupan mereka, dan juga mengakui pentingnya mengekspresikan apresiasi tersebut. Kesimpulannya, sikap yang mendukung terwujudnya kecenderungan syukur dikarateristikkan dengan adanya sebuah rasa keberlimpahan yang kuat, sebuah apresiasi terhadap kenikmatan sederhana dan adanya apresiasi sosial. Intervensi syukur dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, diantaranya jurnal syukur atau gratitude journal (Seligman dkk., 2005), kurikulum berbasis learning schematic help appraisals (Froh dkk., 2014), grateful recounting (Watkins, 2014), grateful reflection (Watkins, 2014), grateful expression (Seligman dkk., 2005) grateful reappraisal (Watkins, Cruz, Holben, & Kolts, 2008), dan pelatihan kebersyukuran (Mukhlis, 2015; Maulina, 2015; Anggarani, Andayani & Karyanta, 2014). Berdasarkan penelitian Mukhlis (2015), intervensi kebersyukuran melalui pelatihan bagi remaja dapat membantu siswa remaja mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai cara bersyukur dan bagaimana mengambil hal-hal positif dari sebuah pengalaman baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dalam hidup. Partisipan dalam pelatihan kebersyukuran tersebut juga mengungkapkan bahwa materi yang diberikan mudah dimengerti, dan

partisipan merasa mudah menerapkan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari (Mukhlis, 2015). Penelitian ini menggunakan modul pelatihan kebersyukuran yang disusun oleh Mukhlis (2015), yang dimodifikasi oleh peneliti sesuai dengan tujuan penelitian, kemudian dilihat nilai validitas isi melalui penilaian ahli. Russel (1974) menjelasan bahwa sebuah modul agar dapat dikatakan memiliki sebuah validitas isi yang baik, maka harus memenuhi beberapa kondisi sebagai berikut: (1) Memenuhi populasi yang ditargetkan, dimana modul disusun berdasarkan latar belakang dan perilaku subjek yang diteliti, (2) Situasi dalam implementasi modul adalah baik dan memuaskan, (3) Waktu yang dialokasikan untuk modul adalah cukup, (4) Terdapat peningkatan performa atau prestasi setelah melakukan aktivitas dalam modul (5) Terdapat perubahan sikap yang lebih baik setelah melaksanakan aktivitas dalam modul. Modul pelatihan kebersyukuran pada penelitian ini mengajarkan empat langkah syukur dari Watkins (2014) yang terdiri dari recounting, reflection, reappraisal, dan expressing. Siswa diharapkan mengalami peningkatan sense of school belonging setelah mendapatkan perlakuan berupa pelatihan kebersyukuran dengan empat langah syukur ini. Dinamika pengaruh pelatihan kebersyukuran terhadap peningkatan sense of school belonging dijelaskan dalam paragraf berikut. Tahap recounting menumbuhkan kesadaran siswa mengenai berbagai kebaikan dan kontribusi-kontribusi yang datang dari orang-orang di sekolah, sekecil apapun kebaikan atau nikmat tersebut Watkins (2014) menyebutnya sebagai appreciation of simple pleasure. Watkins (2014) menyimpulkan bahwa perlakuan menghitung nikmat melatih orang untuk lebih menyadari mengenai halhal baik yang ada dalam kehidupan mereka, dan hal tersebut juga melatih individu untuk memproses kebaikan-kebaikan yang mereka peroleh dalam sebuah cara syukur. Watkins (2014) menyebut tahapan awal bersyukur ini dengan istilah recognize. Recognizing merupakan aspek kognitif dimana orang yang bersyukur mengidentifikasi peristiwa yang pernah dialami dan kemudian mengakui dan

mengapresiasi kebenaran dalam beberapa aspek penting pada sebuah situasi (Watkins, 2014). Kesadaran dan rekognisi syukur ini dapat membantu siswa untuk tidak selalu berfokus kepada hal-hal negatif berupa persepsi mengenai tidak adanya dukungan, penerimaan, dan berbagai situasi sosial yang kurang mendukung lainnya, sehingga dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap sekolah yang mengarah kepada rendahnya sense of school belonging. Selanjutnya, dengan aktifitas pencatatan kebaikan yang diperoleh dan dinilai sebagai hal yang menguntungkan, berarti bahwa partisipan telah mengakui dan menghargai (grateful appraisal) kebaikan-kebaikan sekecil apapun yang telah diterima di sekolah. Adanya pengakuan dan penilaian berupa penghargaan atas kontribusi orang lain di sekolah, dapat membantu siswa dalam memberikan persepsi yang lebih positif terhadap orang lain di sekolah yang pada akhirnya dapat mempengaruhi peningkatan sense of school belonging. Penemuan Verkuyten & Thijs (dalam Bono & Froh, 2009) menunjukkan bahwa menghitung nikmat berhubungan dengan kepuasan dengan sekolah bahkan hingga dua minggu setelah perlakuan. Menghitung nikmat yang diterima seseorang pada sebuah periode waktu memberikan kesempatan kepada seseorang untuk melihat dunia melalui lensa atau cara pandang yang lebih apresiatif dan berterimakasih (Froh dkk., 2008). Tahap reflection mengajarkan siswa untuk merefleksikan nikmat dan kebaikan yang diterima di sekolah, kemudian mentransformasikan penghargaan atas nikmat dan kebaikan yang diterima di sekolah tersebut menjadi rasa syukur. Refleksi pada tahap ini bertujuan agar siswa dapat lebih merasakan bahwa kebaikan yang datang dari orang-orang yang ada di sekolah kepada mereka memberikan manfaat yang besar. Watkins (2014) menjelaskannya sebagai sense of abundance yang menggambarkan bahwa seorang yang bersyukur memiliki rasa keberlimpahan yang kuat. Latihan refleksi memiliki dampak yang bersifat langsung terhadap kesejahteraan emosional, karena refleksi membantu seseorang untuk merenungkan kenikmatan dalam sebuah cara yang dapat membuka kembali adanya penyesuaian (Watkins, 2014). Selain itu refleksi kebaikan ini dapat

meningkatkan penilaian atau evaluasi menyenangkan atas orang lain (Hedstrom, 1994 dalam Emmons & McCullough, 2003). Tahap ketiga dalam pelatihan kebersyukuran adalah reapprasial, yang mengajarkan kepada siswa untuk memahami konsep bahwa selalu ada hikmah (hal-hal positif yang dapat disyukuri) dari setiap pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami di sekolah. Sesi ini mengarah kepada prinsip syukur yang dikemukakan Watkins (2014) sebagai lack of deprivation yaitu seorang yang bersyukur kurang memiliki sebuah rasa kerugian. Individu yang memiliki kecenderungan syukur akan lebih menggunakan penilaian kembali yang lebih positif (poitive reframing) sebagai sebuah cara dalam menginterpretasi peristiwa negatif, yang kemudian membantu mereka untuk melihat hidup dengan lebih teratur, bermakna, dan dapat difahami (Lambert dkk., 2009). Lebih lanjut Watkins dkk. (2008) memaparkan bahwa grateful reappraisal (penilaian kembali terhadap rasa syukur) membantu individu menutup memori menyakitkan, yang menurunkan dampak negatif dan gangguan yang timbul dari memori tersebut. Expressing merupakan tahap keempat yang diajarkan dalam pelatihan. Siswa pada tahap ini mengungkapkan apresiasi atau rasa berterimakasih secara langsung kepada orang-orang yang berjasa di sekolah melalui sebuah surat. Tahap ini merupakan bentuk pembelajaran untuk mengaplikasikan prinsip appreciation of others yaitu bahwa orang yang bersyukur merasa penting untuk mengekspresikan apresiasi kepada orang yang berkontribusi dalam kehidupan mereka. Mengekspresikan syukur kepada seorang teman meningkatkan rasa hormat terhadap teman, membuat partisipan lebih nyaman dalam menyuarakan pentingnya persahabatan kepada teman (Lambert, & Fincham, 2009) dan meningkatkan persepsi terhadap kekuatan hubungan dalam persahabatan (Lambert, Clark, Graham, Durtschi, & Fincham, in press). Lambert dkk., (2016) dalam penelitiannya mendapatkan kesimpulan yang serupa, bahwa partisipan yang memiliki skor ekspresi syukur yang lebih tinggi secara signifikan, juga memiliki persepsi terhadap hubungan yang kuat bahkan hingga 6 minggu kemudian.

Berikut dinamika hubungan pengaruh pelatihan kebersyukuran terhadap perubahan sense of school belonging partisipan sebelum dan setelah perlakuan Rasa Memiliki terhadap Sekolah Rendah - Merasa kurang diterima, dan kurang dilibatkan oleh teman - Merasa tidak diperhatikan, kurang didukung dan diperlakukan dengan tidak adil oleh guru. Pelatihan Kebersyukuran - Recounting - Reflection - Reappraisal - Expressing Rasa Memiliki terhadap Sekolah Tinggi - Lebih merasa diterima, didukung dihargai dan dilibatkan oleh teman di sekolah - Lebih merasa diperhatikan dan didukung oleh guru Keterangan: Gambar 1. Bagan Dinamika Dampak Perlakuan = Dapat ditingkatkan dengan = Dapat meningkatkan Berdasarkan beberapa kajian dari berbagai penelitian sebelumnya, pengamatan terhadap fenomena, serta informasi yang diperoleh dari lapangan, menghasilkan gagasan peneliti untuk melihat validitas isi modul kebersyukuran yang dimodifikasi oleh peneliti, dan kemudian menguji bagaimana pengaruh pelatihan kebersyukuran terhadap perubahan sense of school belonging pada siswa SMP. Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan gain score (skor posttest dikurangi skor pretest) skala sense of school belonging yang signifikan antara kelompok eksperimen yang diberikan pelatihan kebersyukuran dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan, dimana gain score kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa alternatif upaya untuk meningkatkan rasa memiliki terhadap sekolah pada siswa SMP

dengan menggunakan modul yang sudah teruji, serta diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang psikologi pendidikan.