II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum 2.1.1 Sayuran Sayuran selain sebagai bahan pangan bagi manusia juga memiliki kontribusi terhadap perekonomian negara diantaranya berkontribusi terhadap PDB nasional dan sebagai sumber mata pencaharian warga untuk memperoleh pendapatan. Menurut Rahardi (2006), sebagai salah satu produk agribisnis, sayuran memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan komoditas hortikultura lainnya. Karakteristik yang dimiliki sayuran antara lain: 1. Tidak tergantung musim Sayuran dapat dibedakan menjadi sayuran semusim dan tahunan. Meskipun ada beberapa sayuran yang sifatnya tahunan, namun konsumen masih dapat menemukan walaupun jumlahnya sedikit dan harganya mahal. Sehingga sayuran dapat dibudidayakan kapan saja asal syarat tumbuhnya terpenuhi. 2. Tinggi risiko Produk sayuran umumnya mudah rusak, mudah busuk, dan voluminous. Jika tidak ada penanganan lebih lanjut pada pasca panen maka harganya pun akan turun bahkan tidak bernilai sama sekali. 3. Perputaran modalnya lebih cepat. Walaupun berisiko tinggi, namun perputaran modal usaha sayuran terbilang cepat dibandingkan dengan komoditas pertanian yang lainnya. Hal ini terkait dengan umur tanam untuk produk sayuran lebih singkat dan disertai dengan permintaan konsumen terhadap berbagai jenis sayuran tidak akan pernah berhenti. Menurut Kurnia et al. (2004), pertumbuhan dan perkembangan tanaman sayuran tidak lepas dari pengaruh lingkungan seperti iklim dan topografi lingkungan lahan tanam. Secara umum, sentra produksi sayuran dataran tinggi terletak pada ketinggian 700-2500 m di atas permukaan laut (dpl), dengan suhu udara rata-rata sekitar 22 0 C. Selain itu, curah hujan di sentra produksi sayuran dataran tinggi berkisar 2.500 hingga 4.000 mm/tahun dan merupakan daerah yang
dipengaruhi oleh aktivitas gunung merapi baik statusnya masih aktif maupun yang sudah tidak aktif lagi. Sukabumi mempunyai curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.805 mm dengan suhu udara berkisar 20 hingga 30 0 C. Curah hujan antara 3.000-4.000 mm/tahun terdapat di daerah utara, sedangkan curah hujan antara 2.000-3.000 mm/tahun terdapat dibagian tengah sampai selatan Kabupaten Sukabumi sedangkan ketinggiannya bervariasi antara 0-2.958 m dpl. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan wilayah Sukabumi sangat mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan komoditas sayuran termasuk untuk komoditas cabai merah dan tomat. 2.1.2 Budidaya Tomat Menurut Dewa (2007), tomat dapat diusahakan diberbagai daerah. Namun, pertumbuhan optimal tomat hanya dapat terjadi pada daerah di ketinggian lebih dari 750 m dpl dengan kemasaman lahan sekitar 5,5-6,5. Suhu antara 15 0 C-28 0 C sangat cocok agar tomat tumbuh optimal. Tomat akan cenderung kuning pada suhu di atas 32 0 C dan warna buah tidak merata jika berada pada suhu yang tidak stabil. Curah hujan yang cocok untuk pertumbuhan tomat antara 750-125 mm/tahun dengan sistem pengairan yang baik. Selama siklus hidupnya, selain dipengaruhi oleh perubahan cuaca dan iklim budidaya tomat tidak lepas dari serangan hama dan penyakit. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5. Hama Ulat Tanah Jenis OPT Lalat Penggorok Daun Aphis sp Kutu Putih Heliothis sp Penyakit Bercak Hari Setelah Tanam 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 Busuk Daun/Buah Gambar 5. Organisme Pengganggu Tumbuhan Selama Siklus Hidup Tomat Sumber: Syngenta (2008) Gambar 5 menunjukkan bahwa serangan hama dan penyakit pada tomat mulai terjadi ketika tanaman berumur 7 hari setelah masa tanam. Namun,
serangan lebih banyak terjadi ketika tanaman berumur 28 hari setelah masa tanam dan merupakan masa dimana tanaman tomat mulai berbunga. Hama yang banyak menyerang pada masa ini yaitu jenis hama yang menyerang bunga. Menurut Purwati (2009), penggunaan varietas hibrida mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena varietas tomat hibrida merupakan varietas unggul yang memiliki daya hasil tinggi, kualitas buah yang baik dan seragam, serta keberadaannya tersedia secara kontinu. Tabel 5 menunjukkan beberapa produktivitas tomat hibrida di daerah medium Garut. Tabel 5. Produktivitas Tomat Hibrida di Daerah Medium Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 (ton/ha) No Nama Genotip Produktivitas (ton/ha) 1 IVEGRI 06-01 40,10 2 IVEGRI 06-02 54,75 3 IVEGRI 06-03 55,55 4 IVEGRI 06-04 48,05 5 IVEGRI 06-05 56,60 6 Blts 05-07 48,55 7 Blts 05-08 40,00 8 Blts 05-09 50,75 Sumber: Purwati (2009) 2.1.3 Budidaya Cabai Merah Menurut Wardani dan Purwanta (2008), tanaman cabai merah dapat tumbuh baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah, yaitu antara 0-1000 m dpl dengan ph tanah antara 6-7 dan sistem irigasi yang baik. Selama siklus hidupnya, pengusahaan cabai merah pun tidak lepas dari adanya serangan hama dan penyakit yang dapat dilihat pada Gambar 6. Pada tanaman cabai merah, serangan hama sudah mulai terjadi serangan sejak tanaman cabai merah berumur 14 hari setelah tanam, kemudian ketika cabai merah berumur 28 setelah hari tanam. Baik pada tomat maupun pada cabai merah, ketika hama dan penyakit muncul maka petani akan melakukan penyemprotan dengan pestisida. Kegiatan penyemprotan ini akan mengurangi serangan hama dan penyakit tersebut tetapi juga akan mengundang hama dan penyakit sekunder lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. No Nama Genotip Produktivitas (ton/ha) 9 Blts 05-10 43,75 10 Blts 05-02 47,70 11 Arthaloka 45,55 12 Idola 56,70 13 Permata 49,70 14 Marta 49,25 15 Spirit 53,75 16 IVEGRI 06-16 48,25
Hari Setelah Tanam Jenis OPT 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 Hama Thrips Kutu Daun Tungau Ulat Daun Heliothis sp Lalat Buah Kutu Kebul Pengisap Daun Penyakit Bercak Daun Antraks Busuk Buah/Daun Gambar 6. Organisme Pengganggu Tumbuhan Selama Siklus Hidup Cabai Merah Sumber: Syngenta (2008) Dari banyak varietas cabai merah yang ada di Indonesia. Tabel 6 menunjukkan varietas cabai merah hibrida dan non hibrida yang telah dilepas di Indonsia. Dapat disimpulkan bahwa, produktivitas cabai merah hibrida lebih tinggi dibandingkan produktivitas cabai merah nonhibrida. Tabel 6. Produktivitas Cabai Merah di Indonesia Tahun 2010 (ton/ha) No Nama Genotip Varietas Produktivitas (ton/ha) 1 TM 999 Hibrida 14 2 Inko Hot Hibrida 15-18 3 Biola Hibrida 20-22 4 Hot Beauty Hibrida 16-18 5 Hot Chili Hibrida 30 6 Premium Hibrida 13 7 Lembang-1 Nonhibrida 9 8 Tanjung-2 Nonhibrida 12 Sumber: Piay S, et al (2010) 2.2 Tinjauan Alat Pengukuran Risiko Penelitian mengenai risiko pada sektor pertanian sudah dilakukan sebelumnya dan komoditas yang ditelitipun beragam. Dalam melakukan penelitian khususnya penelitian yang menganalisis risiko produksi sebaiknya harus menyesuaikan antara masalah penelitian dengan alat yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya analisis yang dilakukan oleh Fariyanti (2008), dalam
melakukan penelitiannya menggunakan alat analisis GARCH untuk mentransformasikan data menjadi informasi. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Tarigan (2009), Utami (2009), Ginting (2009), Sembiring (2010), dan Jamilah (2010), dimana varian (Variance), simpangan baku (Standard Deviation), dan koefisien variasi (Coefficient Variation) menjadi alat yang digunakan untuk menentukan tingkat risiko yang dihadapi oleh para petani. 2.3 Tinjauan Risiko Risiko merupakan suatu peluang yang memungkinkan sesorang memperoleh hasil yang tidak diinginkan sehingga keberadaannya cenderung terkait dengan situasi yang memunculkan situasi negatif dan terkait dengan kemampuan untuk memperkirakan terjadinya hasil yang negatif (Basyaib 2007). Sumber risiko yang dihadapi oleh para petani dan cara penanganannya pun berbeda tergantung komoditas yang diusahakannya. Misalnya, pada komoditas wortel dan bawang daun yang diteliti oleh Jamilah (2010). Berdasarkan hasil pengukuran risiko yang dilakukan, diperoleh bahwa risiko produksi wortel lebih rendah dibandingkan dengan risiko produksi pada bawang daun. Risiko produksi ini muncul karena adanya ketergantungan terhadap aktivitas produksi yang meliputi benih, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, ketersediaan infrastruktur pertanian seperti pengairan, pengaruh hama dan penyakit, serta pengaruh iklim dan cuaca. Fariyanti (2008), melakukan penelitian terhadap kentang dan kubis, ternyata risiko produksi kentang dan kubis dipengaruhi oleh risiko produksi pada musim sebelumnya. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa kentang (0,329) lebih tinggi risiko produksinya dibandingkan kubis (0,280). Namun, ketika keduanya diusahakan secara bersamaan dengan sistem diversifikasi maka tingkat risiko produksinya lebih rendah (0,124) dibandingkan jika usahatani kedua komoditas tersebut dilakukan secara spesialisasi. Selanjutnya, penelitian terhadap kegiatan spesialisasi (komoditas brokoli, caisin, sawi putih dan tomat) dan kegiatan portofolio (tomat dengan caisin, tomat dengan sawi putih dan brokoli dengan tomat) dilakukan oleh Sembiring (2010). Pada kegiatan spesialisasi, brokoli memiliki risiko produksi tertinggi (0,54) dan yang paling rendah tingkat risiko produksinya yaitu caisin (0,24). Sedangkan
untuk kegiatan diversifikasi ternyata diversifikasi tomat dan caisin lebih rendah tingkat risiko produksinya (0,26) dibandingkan dengan kegiatan spesialisasi antara tomat dan brokoli (0,38). Tarigan (2009), dalam penelitiannya melakukan perbandingan tingkat risiko produksi antara brokoli, bayam hijau, tomat dan cabai keriting kemudian usahatani spesialisasi tersebut dibandingkan dengan tingkat risiko pada usahatani diversifikasi antara tomat dengan bayam hijau dan cabai keriting dengan brokoli. Hasilnya yaitu pada kegiatan spesialisasi dari keempat komoditas yang dibandingkan ternyata risiko produksi bayam hijau yang paling tinggi (0,225) dan yang paling rendah yaitu cabai keriting (0,048). Hal ini dikarenakan bayam hijau sangat rentan terhadap penyakit terutama pada musim penghujan. Sedangkan pada kegiatan diversifikasi, risiko produksi komoditas cabai keriting dan brokoli lebih rendah (0,067) dibandingkan komoditas brokoli dalam kegiatan spesialisasi (0,112). Utami (2009) membandingkan hasil penelitiannya dengan yang dilakukan oleh Tarigan (2009), dimana hasilnya jika dibandingkan dengan tingkat risiko produksi pada komoditas brokoli (0,112), tomat (0,055), dan cabai keriting (0,048) maka risiko produksi bawang merah lebih tinggi (0,203). Penelitian yang dilakukan oleh Situmeang (2011) bahwa risiko produksi cabai merah keriting yang dihadapi oleh petani dalam kelompok tani yaitu sebesar 0,5. Risiko produksi yang dihadapi oleh petani disebabkan oleh serangan hama dan penyakit, keadaan cuaca dan iklim, keterampilan tenaga kerja, serta kondisi tanah. 2.4 Tinjauan Strategi dalam Mengurangi Risiko Strategi dalam mengurangi risiko merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk meminimalisir kerugian dalam berbisnis. Beberapa upaya yang dilakukan untuk meminimalkan tingginya tingkat kerugian seperti menggunakan benih yang tahan terhadap penyakit dan kekeringan, pengembangan teknologi irigasi dan diversivikasi terhadap kegiatan usahataninya. Selain itu dilakukan upaya penyediaan sarana dan prasarana penyimpanan secara berkelompok, melakukan sistem kontrak baik secara vertikal maupun horizontal, dan menciptakan kelembagaan pemasaran sebagai upaya untuk meminimalisir risiko harga yang dihadapi para petani (Fariyanti 2008).
Penanganan risiko menurut Tarigan (2009) dan Sembiring (2010) yaitu dengan melakukan diversifikasi, kemitraan dalam pengguanaan input, pengendalian hama dan penyakit tanaman, perlakuan pada saat pemanenan dan pengemasan, serta perbaikan manajemen usaha. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamilah (2010), penanganan risiko yang dilakukan antara lain penyiraman pada musim kemarau sesuai dengan kebutuhan, pengendalian hama secara terpadu (PHT), meningkatkan kesuburan lahan dengan pemupukan dan sistem rotasi tanaman, penggunaan input yang sesuai, meningkatkan sumberdaya manusia melalui pelatihan dan penyuluhan, dan melakukan diversifikasi dengan cara tumpang sari. Utami (2009) menerapkan strategi preventif yang bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko. Adapun tindakan preventif yang dilakukan antara lain, meningkatkan kualitas perawatan sebagai upaya untuk menghindari risiko yang diakibatkan oleh cuaca dan iklim, membersihkan area yang dijadikan kumbung untuk mencegah datangnya hama, melakukan perencanaan pembibitan yang dilakukan dengan memastikan semua bahan baku memiliki kualitas yang baik, mengembangkan sumberdaya manusia dengan pelatihan dan penyuluhan seputar jamur tiram putih, dan menggunakan peralatan yang steril. Dapat dilihat bahwa masing-masing unit usaha akan memiliki risiko yang berbeda sehingga penanganan terhadap risiko yang dilakukan oleh berbagai pihak bermacam-macam. Namun, diharapkan komoditas yang memiliki risiko yang paling tinggi harus didahulukan dalam penanganannya walaupun strategi penanganan risiko hanya digunakan untuk mengurangi tingkat risiko yang ada bukan untuk menghilangkan risiko. 2.5 Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Persamaan yang terdapat pada penelitian ini dengan beberapa penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Persamaan dan Perbedaan Penelitian yang Dilakukan dengan Penelitian Terdahulu No. Uraian Perbedaan Persamaan 1 Fariyanti (2008) Fokus analisis yaitu kentang dan kubis Metode yang digunakan dalam pengukuran risiko yaitu GARCH Menganalisis produksi sayuran risiko tentang 2 Jamilah (2010) Fokus analisis yaitu wortel dan bawang daun 3 Sembiring (2010) Fokus analisis yaitu brokoli, caisin, sawi putih dan tomat 4 Tarigan (2009) Fokus analisis yaitu brokoli, bayam hijau, tomat dan cabai keriting 5 Utami (2009) Fokus analisis yaitu bawang merah dan dikaitkan dengan perilau penawarannya Metode yang digunakan dalam pengukuran risiko, yaitu varian (Variance), simpangan baku (Standard Deviation), dan koefisien variasi (Coefficient Variation) Tempat dan subjek yang akan diteliti Menganalisis risiko produksi tentang sayuran