I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Menurut Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir dan memelihara kesuburan tanah. Berdasarkan pengertian menurut versi undang-undang 41 tersebut maka hutan lindung merupakan sumberdaya alam berupa stock yang dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang sifatnya intangible. Menurut Basuni (2003) pemanfaatan sumberdaya beragam yang dihasilkan dari fungsi-fungsi intangible hutan akan mengakibatkan terjadinya interdependensi antar pengguna. Kartodihardjo et al. (2004) mengemukakan bahwa sumberdaya alam bisa digolongkan dalam bentuk stock atau modal alam (natural capital) seperti daerah aliran sungai (DAS), danau, kawasan lindung, pesisir yang keberadaannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi. Sumberdaya alam dalam bentuk stock mempunyai fungsi-fungsi yang berguna bagi publik dan fungsi tersebut tidak bisa dibagi-bagi kepada perseorangan dan tidak pula dapat dimiliki oleh perorangan. Salah satu kawasan hutan yang bersifat stock seperti itu adalah hutan lindung Gunung Damar (HLGD) di Provinsi Gorontalo. Hutan lindung Gunung Damar ditunjuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 452/Kpts-II/1999 dengan luas 20.117 ha atau 12% dari seluruh total kawasan hutan lindung di Propinsi Gorontalo. Meskipun luasanya hanya 12% dari total hutan lindung di Propinsi Gorontalo, HLGD menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat khususnya di Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo karena merupakan hulu dari 3 DAS besar yaitu DAS Bionga, DAS Limboto dan DAS Bolango. Secara administrasi HLGD terletak di dua kabupaten yaitu; Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango. Disamping sebagai hulu dari 3 DAS penting, HLGD juga mempunyai fungsi sosial dan ekonomi bagi masyarakat sebagai tempat untuk melakukan aktivitas pertanian, perkebunan dan memanfaatkan jasa lingkungan seperti air. Beberapa pihak seperti Universitas Gorontalo memanfaatkan HLGD sebagai lokasi penelitian dan perkemahan, perusahaan daerah air minum (PDAM) memanfaatkan HLGD sebagai sumber air baku. 1
2 Jika dilihat dari karakteristik sumberdaya maka HLGD merupakan sumberdaya milik bersama (common pool resource) yang dikuasai negara. Penguasaan negara terhadap hutan lindung telah ditegaskan dalam Undang- Undang 41 Tahun 1999. Sejak sistem otonomi daerah diberlakukan maka terjadi perubahan kelembagaan pengelolaan hutan. Perubahan ini terjadi pada pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelola kawasan hutan lindung. Kewenangan tersebut antara lain mengeluarkan beberapa perizinan yang berkaitan dengan pemanfatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan berdasarkan keadaan daerah; dan memberikan usulan-usulan tentang kebijakan makro ke pemerintah pusat. Pendelegasian kewenangan pengelolaan hutan lindung terjadi sejak tahun 1998 berdasarkan PP No 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan dibidang kehutanan kepada daerah. Selanjutnya pengaturan pendelegasian beberapa kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah diperkuat lagi melalui Undang-Undang No 32 tahun 2004, yang mulai diundangkan dan berlaku pada tanggal 15 Oktober 2004; Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan demikian terjadi perubahan paradigma pembangunan dari sentralistik menjadi desentralistik. Pada dasarnya desentralisasi dibidang kehutanan mengandung sisi positif yaitu kelembagaan kehutanan daerah bersifat mandiri dengan tugas dan fungsi yang jelas, mempunyai legitimasi untuk menentukan kebijakan-kebijakan di bidang kehutanan sesuai dengan kondisi dan potensi spesifik daerah, kebijakan-kebijakan kehutanan yang dikeluarkan lebih banyak berpihak kepada masyarakat, dan membuka peluang pengembangan pusatpusat perekonomian di daerah. Hal ini sesuai pendapat para ahli, bahwa kebijakan sentralisasi telah memberikan kontribusi terhadap degradasi hutan akibat kurang jelasnya property right lokal dan kurangnya insentif yang terkait dengan collective
3 action 1. Sebagai contoh, kurang jelasnya kepemilikan hutan di Thailand dan Nepal merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap deforestasi (Vandergeest 1996; Ma 1999; Nagendra 2002). Namun faktanya selama hampir 12 tahun ditunjuk menjadi kawasan hutan lindung, di lapangan masih ditemukan adanya kasus illegal logging, perambahan hutan, pembangunan jalan yang menghubungkan antar desa dan terdapatnya pemukiman. Bahkan pada tahun 2004 berdasarkan penuturan dari kepala Desa Malahu Kabupaten Gorontalo sebagian lahan yang dikuasai oleh masyarakat telah mendapat sertifikat. Harapan pengelolaan hutan diera otonomi menjadi semakin baik ternyata dalam perjalanannya menemui permasalahan. Permasalahan yang ditemukan di HLGD membuat kualitas lingkungan yang terdapat di HLGD menurun salah satunya adalah tingkat kekritisan hulu DAS. Menurut Fadhli (2011) luas lahan kritis hulu DAS Bionga yang terdapat di HLGD mencapai 2316.76 ha. Selanjutnya BP-DAS Bone Bolango (2009) melaporkan total erosi diwilayah hulu DAS Bionga mencapai 8.222 ton/tahun sedangkan DAS Bolango mencapai 5.939 ton/tahun. Saat musim kemarau debit air sungai Bionga pun menurun menjadi 0.50 m 3 /detik, jika dibandingkan dengan debit air rata rata DAS lainnya yang ada di Propinsi Gorontalo yang mencapai 37.14 m 3 /detik. Kerusakan HLGD yang berada di hulu DAS Limboto telah menyebabkan pendangkalan di Danau Limboto karena tingginya sedimentasi. Menurut Firman (2006), akibat tingginya sedimentasi, luas Danau Limboto tinggal 30 km 2 atau berkurang sekitar 62.5% dengan kedalaman 2.5 4 meter. Semua permasalahan yang mengemuka di atas mengindikasikan bahwa pemerintah selaku penguasa atas sumberdaya belum berhasil melakukan pengelolaan HLGD karena tujuan pengelolaan hutan sebagai mana yang diamanatkan dalam peraturan perundangan belum tercapai. Diduga salah satu penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah faktor kelembagaan. Sehingga penelitian tentang kelembagaan pengelolaan HLGD menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan 1 Collective action adalah suatu aksi yang dilakukan oleh sekolompok individu baik secara langsung maupun tidak langsung melalui suatu organisasi untuk mencapai tujuan bersama (Marshal, 1998). Selanjutnya Ostrom (2004) menambahkan bahwa aksi kolektif akan timbul bila dalam mencapai satu tujuan perlu kontribusi lebih dari satu individu
4 1.2. Kerangka Pikir Sebagai salah satu sumberdaya bersama (common pool resource) yang dikuasai negara, maka pemerintah menetapkan serangakaian peraturanperundangan untuk melakukan pengelolaan kawasan hutan di Indonesia termasuk HLGD di Provinsi Gorontalo. Dalam mengelola sebuah sumberdaya alam bersama (CPR 2 ) tantangan terbesarnya adalah kebebasan individu-individu di setiap komunitas lokal untuk melakukan penguasaan terhadap CPR makin besar. Akibatnya terjadi konflik, tumpang tindih penggunaan lahan dan berlangsungnya fenomena tragedy of the common. (Dharmawan et al, 2004). Menurut Tjitradjaja (2008) pada sumberdaya milik bersama yang bebas akses melekat pula situasi ketiadaan jaminan kepastian. Seorang pengguna tidak mungkin secara sukarela mengekang perilaku pemanfaatan sumberdaya yang menguntungkannya, meskipun perilaku tersebut berakibat merugikan banyak orang. Baland and Platteau (1996) menyatakan bahwa, tidak adanya aturan yang jelas pada regim CPR cenderung menyebabkan degradasi sumber daya jika (1) populasi pengguna relatif besar terhadap sumber daya, dan (2) pendapatan dari mengeksploitasi sumber daya relatif tinggi atau jika pengguna tidak memiliki pilihan pekerjaan di tempat lain. Secara teoritis sistem pengelolaan CPR dapat menjadi dasar pengaturan hak-hak individual yang efektif. Struktur penguasaan lahan bersama dalam CPR yang dikukuhkan oleh masyarakat serta pemerintah lokal dapat menghindarkan konflik. Namun pada kenyatannya banyak CPR tidak lagi berfungsi secara sempurna karena masuknya beragam kepentingan ekonomi dan politik atas sumberdaya tertentu yang justru memicu pertentangan dan perseteruan sosial. Persoalan ini bertambah rumit setelah sistem otonomi daerah diberlakukan. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur pengguna sumberdaya hutan mengingat karakteristik HLGD sebagai CPR. Namun demikian peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah belum menjamin keberhasilan pengelolaan tersebut, sehingga 2 Common pool resource adalah sumber daya yang tersedia bagi siapa saja, sehingg sangat sulit untuk mengontrol sumberdaya tersebut dan sumberdaya menjadi sangat mudah terdegrdasi (McKean, 2000)
5 diperlukan aspek lain yaitu kelembagaan untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pengelolaan HLGD. Kerangka analisis kelembagaan yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi konsep analisis kelembagaan yang dikemukakan oleh Oakerson (1992) dan Heltberg (2001). Penggunaan pendekatan ini diharapkan dapat memahami bagaimana seharusnya suatu kelembagaan dapat menjamin kejelasan hubungan atau relasi sosial antar stakeholder dalam pemanfaatan hutan lindung. Analisis model kelembagaan ini terdiri dari beberapa tahap: 1) karakteristik spesifik tentang sumberdaya ekologi dan sosial ekonomi 2) Pengambilan keputusan pemerintah yang mengatur antara pengguna sumberdaya yang satu dengan yang lainnya 3). Perilaku sejumlah pengambil keputusan 4) Outcome. Karakteristik spesifik sumberdaya akan mempengaruhi fungsi dan institusi dalam mengelola sumberdaya alam. Karakteristik sumberdaya dan institusi akan mempengaruhi pola penggunaan sumberdaya. Sedangkan pola penggunaan sumberdaya akan mempengaruhi perilaku pengguna dan perilaku pengguna pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja atau outcome. Hayes (2007) mengungkapkan bahwa dalam rangka untuk memahami bagaimana property right mempengaruhi pengelolaan sumber daya maka kita harus mengetahui karakteristik sumber daya dan pengguna sumberdaya tersebut. Pemahaman tentang karakteristik sumberdaya dan institusi menjadi sangat penting untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Kinerja atau outcome dapat tercapai jika institusi yang berlaku mampu mengarahkan perilaku dan kelompok masyarakat untuk tidak melakukan pemanfaatan hutan lindung secara illegal. Untuk lebih jelasnya konsep penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat pada gambar 1
6. Ekologi SITUASI HLGD Sosial Ekonomi Karakteristik Hutan Lindung Gunung Damar (common pool resources) Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango Kebijakan Pemerintah Tentang Hutan Lindung KELEMBAGAAN Aturan Formal Organisasi PERILAKU 1. Masyarakat sekitar hutan lindung 2. Pemerintah dan Pemerintah daerah Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango 3. Lembaga Swadaya Masyarakat 4. Individu: tokoh masyarakat, perguruan tinggi Model Kelembagaan Pengelolaan HLGD Gambar 1. Kerangka Pikir (diadopsi dan modifikasi dari Oakerson (1992), Heltberg (2001) 1.3. Perumusan masalah OUTCOME Perubahan tutupan lahan a. Kabupaten Gorontalo b. Kabupaten Bone Bolango Penunjukkan hutan Gunung Damar menjadi kawasan hutan lindung merupakan salah satu cara penting untuk menjamin agar sumberdaya hutan tersebut dapat dilestarikan sehingga mampu menjadi salah suatu sistem penyangga kehidupan. Akan tetapi penunjukkan hutan lindung oleh pemerintah telah menyebabkan ketidakpastian bagi masyarakat yang sejak lama telah
7 memanfaatkan hutan lindung Gunung Damar. Akibatnya timbul permasalahan serius dalam pengelolaan HLGD seperti kegiatan ladang berpindah, permukiman dan pengambilan hasil hutan. Situasi permasalahan ini menunjukkan rendahnya kinerja pemerintah dalam mewujudkan tujuan pengelolaan HLGD. Menurut Schmid (1987) rendahnya kinerja institusi disebabkan oleh faktor-faktor seperti ketidakpastian kepemilikan hak, rendahnya kapasitas lembaga dan tidak efisiennya mekanisme pasar. Schmid (2004) memaparkan kepastian hak pemilikan sumberdaya menjadi insentif bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Sedangkan rendahnya kapasitas lembaga menjadi akar penyebab ketidakmampuan sebuah organisasi untuk melakukan fungsinya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dalam rangka menudukung misi organisasi. Mengacu pada pendapat North (1990) dan Agrawal (2001) permasalahan yang juga harus diperhatikan dan sangat krusial adalah berkenaan dengan aturan formal atau policy yang mengatur hubungan antar kelompok dalam hubungannya dengan HLGD dan saling hubungan antar kelompok dengan sumberdaya hutan, karena aturan formal menentukan perilaku kelompok. Oleh karena itu untuk mengungkapkan kelembagaan dalam pengelolaan HLGD oleh pemerintah daerah, permasalahan aturan formal juga harus diketahui, khususnya aturan formal yang mengatur pengelolaan hutan lindung oleh lembaga pemerintah yang berkepentingan. Berdasarkan uraian di atas maka masalah penelitian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kinerja pengelolaan HLGD? 2. Bagaimana situasi ekologi dan sosial ekonomi di HLGD? 3. Apakah penguatan fungsi hutan lindung dan optimalisasi pemanfaatannya sudah diatur dalam peraturan formal pengelolaan hutan lindung? 4. Bagaimana perilaku pengelolaan dan pemanfaatan HLGD? 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan model kelembagaan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar guna memperbaiki kinerjanya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan pencapaian beberapa tujuan antara dari penelitian yaitu
8 1. Mengukur kinerja pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango 2. Menganalisis situasi ekologi, sosial ekonomi HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango 3. Menganalisis aturan-aturan formal yang mengatur aspek-aspek penetapan, pemantapan kawasan hutan lindung, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan kawasan hutan lindung 4. Menilai perilaku pengelolaan dan pemanfaatan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi bagi penguatan kelembagaan pengelolaan HLGD yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan bagi pengelolaan HLGD 1.6. Novelty Kebaharuan dari penelitian ini adalah penerapan metodologi dan teori kelembagaan pada situasi yang baru yaitu merumuskan kelembagaan pengelolaan hutan lindung yang dilaksanakan oleh pemerintah dan stakeholders lainnya.