4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
PENENTUAN SEBARAN Sa (Backscattering Area) DI LAUT FLORES BERDASARKAN METODE PROGRESSIVE THRESHOLD

3. METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Diagram TS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting dan echo integration

PENDAHULUAN Latar Belakang

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

HASIL DAN PEMBAHASAN

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian.

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

STUDI VARIASI TEMPERATUR DAN SALINITAS DI PERAIRAN DIGUL IRIAN JAYA, OKTOBER 2002

Gambar 8. Lokasi penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN PERBEDAAN ANTARA IKAN DENGAN MEGAPLANKTON MELALUI ANALISIS BEDA MEAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH ( MVBS) Oleh: Fahad C

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS CURAH HUJAN DASARIAN III MEI 2017 DI PROVINSI NTB

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB II KAJIAN PUSTAKA

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Analisis Kondisi Atmosfer Pada Saat Kejadian Banjir Bandang Tanggal 2 Mei 2015 Di Wilayah Kediri Nusa Tenggara Barat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pemantauan Kondisi Ekosistem Pesisir dan Biota Laut di Pulau Ambon dalam kaitannya dengan Isu Perubahan Iklim

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

SIKLON TROPIS YVETTE DAN DAMPAKNYA TERHADAP KONDISI CUACA DI INDONESIA (19 23 Desember 2016) Disusun oleh : Kiki, M. Res Rudy Hendriadi

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN.

6 HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL DENGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik. Oleh

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PRAKIRAAN TINGGI GELOMBANG

Estimasi Arus Laut Permukaan Yang Dibangkitkan Oleh Angin Di Perairan Indonesia Yollanda Pratama Octavia a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

Transkripsi:

25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Integrasi Threshold Integrasi file-file data memperlihatkan jumlah kohort atau kelompok yang beragam (Tabel 5), dalam satu file data ada yang memiliki hingga 3 sampai 4 kohort. Tabel 5. Hasil integrasi pada 60 file data dengan threshold berjenjang File Kohort Threshold File Kohort Threshold 1 4-79.5/-73.5/-67.5/-60 31 2-67.5/-57 2 2-73.5/-57 32 2-70.5/-57 3 3-75/-61.5/-55.5 33 2-72/-60 4 3-75/-61.5/-55.5 34 2-69/-60 5 2-73.5/-61,5 35 2-70.5/-60 6 1-67.5 36 2-70.5/-54 7 1-69 37 2-70.5/-55.5 8 1-67.5 38 2-70.5/57 9 1-67.5 39 2-70.5/-60 10 1-69 40 2-72/-55.5 11 3-75/-64.5/-60 41 2-72/-63 12 2-73.5/-61.5 42 2-73.5/-60 13 2-73.5/-55.5 43 2-70.5/-55.5 14 2-76.5/-66 44 2-70.5/-57 15 2-73.5/-58.5 45 3-73.5/-61/-55.5 16 2-72/-57 46 2-73.5/-60 17 2-76.5/-60 47 2-73.5/57 18 2-73.5/-58.5 48 2-72/-66 19 2-73.5/-60 49 2-75/-60 20 3-73.5/-61.5 50 2-70.5/-60 21 3-72/-70.5 51 4-73.5/-64.5/-60/-55.5 22 1-70.5 52 2-73.5/-60 23 2-70.5/-57 53 1-72 24 2-69/-55.5 54 2-70.5/-61.5 25 2-67.5/-55.5 55 1-73.5 26 2-73.5/-60 56 1-58.5 27 1-60 57 0-28 1-70.5 58 1-63 29 1-72 59 1-63 30 1-61.5 60 0 - Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu wilayah perairan memiliki karakteristik akustik yang berbeda. Sehingga dalam menentukkan range threshold untuk melihat sebaran Sa di suatu perairan perlu dilakukan pengintegrasian threshold 25

26 terlebih dahulu. Kohort-kohort yang dominan (sering muncul padaa file-file data yang lain) ini yang nantinya akan digunakan untuk melihat sebaran Sadi Laut Flores. Frekuensi kemunculan kohort yang dominan dapat dilihat pada Gambar 10. Frekuensi Kemunculan 16 12 8 4 0-79.5-76.5-75 -73.5-72 -70.5-69 -67.5-66 -64.5-63 -61.5-60 Threshold -58.5-57 -55.5 Gambar 10. Grafik frekuensi kemunculan puncak threshold semua file data Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat terdapat dua puncak threshold yang paling dominan (frekuensi kemunculan >15 kali). Kedua puncak tersebut yaitu -73,5 db dan -60 db yang memiliki frekuensi kemunculan sebesar 16 kali. Setelah dilakukan penambahan batas atas dan bawah masing-masing 3 db, maka akan diperoleh range threshold masing -76,5 db sampai -70,5 db, dan -63 db sampai -57 db. Range threshold tersebut yang akan digunakan untuk melihat sebaran Sa di perairan Laut Flores. Puncak threshold -70,5 db yang memiliki nilai kemunculan 14 kali akan tercover oleh puncak threshold -73,5 db setelah dilakukan penambahan batas atas dan bawah. Puncak-puncak threshold yang memiliki frekuensi kemunculan kurang dari 15 kali tidak digunakan untuk melihat sebaran Sa di perairan Laut Flores.

27 4.2. Sebaran Sa (Backscattering Area) Sebaran Sa di perairan Laut Flores dilihat berdasarkan leg, dimana terdapat 7 leg. Leg 1 sampai leg 4 terletak di perairan NTB dan leg 6 sampai 7 terletak di perairan NTT, sedangkan leg 5 terletak diperbatasan antara perairan NTB dan NTT (Gambar 6). 4.2.1. Sebaran Sa pada range threshold -76,5 db sampai -70,5 db Sebaran Sa pada leg 1 dan leg 2 menyebar secara kontinu. Sa banyak tersebar di permukaan perairan dan bagian dasar kolom, namun Sa yang paling banyak tersebar pada dasar kolom perairan. Sebaran Sa pada kedua leg tersebut membentuk suatu pola, pada pertengahan kolom perairan tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 11 dan Gambar 12). Sa tidak ditemukan pada kolom perairan, diduga pada kolom tersebut terdapat internal wave atau pelapisan massa air. Sebaran Sa pada leg 2, pertengahan kolom perairan yang tidak ditemukan adanya Sa kurang lebih berada pada kedalaman 27 73 m. Gambar 11. Sebaran Sa pada Leg 1

28 Gambar 12. Sebaran Sa pada Leg 2 Gambar 13. Sebaran Sa pada Leg 3 Sebaran Sa pada leg 3 dan leg 4 tidak terlalu banyak, terutama pada leg 4 hampir tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 14). Sebaran Sa pada leg 3 masih terlihat adanya Sa yang bergerombol (Gambar 13). Gambar 14. Sebaran Sa pada Leg 4

29 Gambar 15. Sebaran Sa pada Leg 5 Sebaran pada leg 5, Sa menyebar hampir diseluruh perairan. Hanya terdapat sedikit celah-celah kosong perairan yang tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 15). Gambar 16. Sebaran Sa pada Leg 6 Sebaran Sa pada leg 6 hanya terlihat gerombolan-gerombolan kecil, yaitu pada bagian dasar kolom. Sa tidak tersebar merata di perairan, pada bagian permukaan terlihat tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 16). Sa yang menyebar pada leg 6 adalah Sa yang memiliki nilai besar. Sedangkan pada leg 7 sebaran Sa lebih banyak dari pada leg 6. Pada leg 7 ukuran gerombolan Sa lebih besar dari

30 pada leg 6 (Gambar 17). Gambar 17. Sebaran Sa pada Leg 7 Berdasarkan gambar sebaran Sa setiap leg di atas, Sa banyak tersebar pada leg 1, 2, 3, 5 dan 7. Sebaran Sa pada leg 4 dan 6 hanya sedikit yang ditemukan. Hal ini diduga karena pengaruh dari ARLINDO. Laut Flores merupakan salah satu perairan Indonesia yang dilintasi oleh ARLINDO, sehingga sebaran target (ikan, zooplankton, dll) di Laut Flores dipengaruhi oleh massa air yang diangkut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Bersama massa air tersebut juga terangkut massa air bersalinitas maksimum, bahang dan nutrient. Ketiga unsur ini sangat mempengaruhi kelimpahan suatu target, baik ikan, plankton maupun organisme laut lainnya. Pengambilan data akustik yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober, pada bulan tersebut merupakan musim peralihan dua (MP- II), yaitu pola angin peralihan dari pola angin musim timur bergerak ke musim barat. Pada MP-II ini diduga salinitas di Laut Flores tinggi (Hadikusumah 2009). Selama musim timur, dibeberapa bagian dari perairan Indonesia seperti Selat Makassar, Laut Banda, dan beberapa perairan lainnya mengalami upwelling dan

31 percampuran massa air yang mengakibatkan terjadinya pengkayaan nutrient pada lapisan permukaan tercampur dan mengakibatkan tingginya produktivitas primer perairan bila dibandingkan dengan musim barat (Hadikusumah 2009). 4.2.2. Sebaran Sa tiap grid kedalaman kelipatan 10 m Sebaran Sa di perairan Laut Flores dilihat mulai dari grid kedalaman 6-150 m. Sebaran Sayang dibahas dalam bab ini hanya pada grid kedalaman kelipatan 10 m. Hal ini dianggap sudah mewakili grid kedalaman yang lainnya. Gambar sebaran Sapada grid kedalaman yang lainnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m Sa bergerombol pada leg 1, leg 2, leg 5 dan sedikit padaa leg 7, sedangkan pada leg yang lainnya tidak ditemukan gerombolan Sa (Gambar 18). Gambar 18. Sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m Nilai Sa pada grid kedalaman 10 m sedikit beragam. Sebaran Sa lebih banyak terdapat pada wilayah laut Nusa Tenggara Barat (NTB) dari pada wilayah laut Nusa Tenggara Timur (NTT). Sa juga banyak terdapat pada wilayah laut perbatasan antara NTB dan NTT.

32 Gambar 19. Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m semakin berkurang jika dibandingkan dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m. Hal ini dapat dilihat dari jumlah nilai Sa pada leg 1 dan leg 2 yang berkurang (Gambar 19). Sebaran Sa pada leg 7 terdapat sedikit penambahan penambahan Sa dari pada grid kedalaman sebelumnya. Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m pada leg 7 sedikit lebih banyak dari pada grid kedalaman 10 m. Sebaran Sa pada leg 5 terlihat tidak berubah. Gambar 20. Sebaran Sa pada grid kedalaman 30 m Sebaran Sa pada grid kedalaman 30 m terlihat semakin sedikit jika dibandingkan dengan grid kedalaman sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari

33 banyaknya sebaran Sa yang semakin berkurang (Gambar 20). Menurunnya sebaran Sa pada grid kedalaman ini terjadi pada semua leg (leg 1, leg 2, leg 5 dan leg 7), namun sebaran Sa paling banyak berada pada leg 5. Gambar 21. Sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m Sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m jauh lebih sedikit dari pada sebaran Sapada grid kedalaman sebelumnya. Bahkan Bahkan pada leg 1 dan 2 hampir tidak ditemukan adanya sebaran Sa. Gerombolan Sa terlihat pada leg 5 dan sedikit pada leg 7 (Gambar 21). Gambar 22. Sebaran Sa pada grid kedalaman 50 m Sebaran Sa pada grid kedalaman 50 m sama dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m. Tidak ditemukan adanya Sa pada leg 2 dan sedikit pada

34 leg 1. Gerombolan Sa terlihat pada leg 5 dan leg 7 (Gambar 22). Gambar 23. Sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m Sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m, gerombolan Sa banyak ditemukan pada leg 5. Sebaran Sa pada leg 1 dan leg 3 hanya terlihat sedikit sekali target, sedangkan pada leg-leg yang lain tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 23). Gambar 24. Sebaran Sa pada grid kedalaman 70 m Sebaran Sa pada grid kedalaman 70 m, gerombolan Sa juga banyak ditemukan pada leg 5 (Gambar 24). Pada leg 1, leg 2 dan leg 3 hanya terlihat sedikit sekali target, tetapi jika dibandingkan dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m jumlah Sa pada leg 1 dan leg 3 lebih banyak. Tidak ditemukan adanya Sa pada leg-leg yang lain.

35 Gambar 25. Sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m Sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m, Sa ditemukan pada pada sepanjang leg 5 dan leg 2 (Gambar 25). Sebaran Sa pada leg 1, leg 3 dan leg 7 hanya terlihat sedikit target. jumlah Sa pada leg 3 lebih banyak dari pada leg 1 dan leg 7. Gambar 26. Sebaran Sa pada grid kedalaman 90 m Sebaran Sa pada grid kedalaman 90 m sama dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m. Gerombolan Sa juga banyak ditemukan pada leg 5 dan leg 2 (Gambar 26). Sebaran Sa pada leg 1, leg 3 dan leg 7 terlihat lebih banyak jika dibandingkan dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m.

36 Gambar 27. Sebaran Sapada grid kedalaman 100 m Sebaran Sa pada grid kedalaman 100 m sama seperti sebaran Sa pada grid kedalaman 90 meter, yang berbeda adalah besarnya nilai Sa (Gambar 27). Nilai Sa pada grid kedalaman 100 m lebih kecil dari pada nilai Sa pada grid kedalaman 90 m. Gambar 28. Sebaran Sa pada grid kedalaman 110 m Gambar 29. Sebaran Sa pada grid kedalaman 120 m

37 Gambar 30. Sebaran Sa pada grid kedalaman 130 m Sebaran Sa pada pada grid kedalaman 110, 120 dan 130 m terlihat lebih padat jika dibandingkan dengan grid kedalaman yang lainnya. Sebaran Sa terdapat pada leg 1, leg 2, leg 3, leg 5 dan leg 7 (Gambar 28, Gambar 29 dan Gambar 30). Sebaran Sa pada leg 3 hanya sedikit dan sebaran sebaran Sa pada leg 7 lebih banyak jika dibandingkan dengan sebaran pada grid kedalaman sebelunya. Gambar 31. Sebaran Sapada grid kedalaman 140 m Pada grid kedalaman 140 m sebaran Sa hanya ditemukan pada 3 leg, yaitu leg 1, leg 5 dan leg 7. Namun hanya sedikit sekali ditemukan Sa pada leg leg tersebut (Gambar 31).

38 Gambar 32. Sebaran Sa pada grid kedalaman 150 m Pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa (Gambar 32). Berdasarkan gambar-gambar diatas, sebaran Sa banyak menyebar dari kedalaman 6 30 m dan 70 130 m. Sebaran Sa berkurang pada grid kedalaman 40 70 m dan 140 m dan pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa sama sekali. 4.2.3. Sebaran Sa pada Range Threshold -63 db sampai -57 Nilai Sa pada range threshold -63 db sampai -57 db tidak sebanyak pada range threshold -76,5 db sampai -70,5 db. Sa pada range threshold ini saat dikonversi dari satuan mil ke satuan meter hasilnya semua nol. Sehingga tidak dilakukan pengeplotan data. 4.3. Kelompok Sa Kelompok Sa di perairan Laut Flores terlihat pada range threshold -63 db sampai -57 db. Pada range threshold -76,5 db samapi -70,5 db sebaran data bersifat kontinu (Gambar 9 Gambar 15), sehingga tidak ditemukan adanya kelompok Sa. Kelompok Sa di perairan Laut Flores ditemukan pada semua leg kecuali leg 7. Pada leg 7 Sa yang terekam bersifat kontinu dan tidak membentuk kelompok.

39 Kelompok Sa banyak ditemukan pada leg 1, leg 3, leg 4 dan leg 6, berturut-turut 9, 11, 7, dan 5 kelompok target. Pada leg 2 dan leg 5, hanya ditemukan 1 kelompok target, pada leg tersebut data banyak bersifat kontinu dari pada membentuk kelompok. Pada umumnya panjang horizontal kelompok Sa lebih panjang dari pada panjang vertikalnya. Panjang horizontal kelompok Saberkisar antara 309-5243 m, dan panjang vertikal Saberkisar antara 3 40 m. Tabel 6. Panjang horizontal dan vertikal kelompok Sa setiap leg Leg Kelompok Horizontal Panjang Esdu Persentase Vertikal (m) (m) ( ) (m) 1 1 1349 74 1821 9 2 1373 1854 5 3 1040 1403 6 4 1117 1507 5 5 1057 1427 9 6 762 1029 10 7 668 901 6 8 1255 1695 30 9 866 1169 7 2 1 1890 94 2001 34 3 1 2621 74 3538 9 2 1250 1688 10 3 1414 1909 9 4 4905 6621 13 5 1293 1746 4 6 1874 2530 6 7 220 297 3 8 1678 2265 6 9 2031 2741 18 10 3777 5099 18 11 2927 3951 9 4 1 3033 93 3276 40 2 503 543 7 3 1242 1341 12 4 309 333 23 5 1585 1712 9 6 540 583 4 7 2753 2973 6 5 1 5243 59 8952 17 6 1 2284 76 2991 7 2 2448 3206 6 3 493 646 4 4 1189 1557 13 5 2209 2893 5 Setiap leg memiliki panjang ESDU berbeda-beda. ESDU terpanjang ditemukan pada leg 2, yaitu sebesar 94 m. sedangkan panjang ESDU terkecil

40 ditemukan pada leg 5, yaitu sebesar 59 m. Jika panjang horizontal Sa dibandingkan dengan panjang ESDU maka diperoleh kisaran persentase antara 293 8952. Kisaran persentase 293 8952 diartikan bahwa panjang horizontal Sa yang ditemukan pada setiap leg memiliki panjang 293 8952 kali lebih besar dari panjang ESDU. Persentase terendah berada pada leg 3, sedangkan persentase tertinggi berada pada leg 5. Secara horizontal kelompok Sa terpanjang ditemukan pada leg 5 dan terpendek ditemukan pada leg 4 kelompok ke-4. Secara vertikal kelompok Saterpanjang ditemukan pada leg 4 kelompok ke-1 dan terpendek pada leg 3 kelompok ke-7 (Tabel 6). Mengutip dari pernyataan Steel (1976) in Lytle dan Maxwell (1983) bahwa densitas zooplankton umumnya terdistribusi tidak homogen atau dikatakan sebagai bagian-bagian yang terpisah, maka Sa yang terdeteksi di perairan Laut Flores diduga sebagai nilai Sa dari zooplankton (krill). Kelompok Sa yang ditemukan di perairan Laut Flores ini dianggap sebagai bagian-bagian dari distribusi zooplankton yang terpisah. Selain itu jika dilihat dari sebaran nilai Sv (Backscettering volume strength) yang diperoleh yaitu berkisar antara -81 db sampai -63 db, namun Sv yang paling banyak berkisar antara -81 db sampai -71 db (Gambar 33). Mengutip dari hasil penelitian Duror (2004) menyebutkan bahwa kisaran nilai backscattering volume zooplankton (krill) pada kedalaman 5-200 m untuk frekuensi 120 khz berkisar antara -92,75 db sampai -73,49 db, sementara untuk frekuensi 38 khz antara -86,75 db sampai dengan -62,64 db. Penelitian ini menggunakan frekuensi 120 khz. Kisaran Sv yang diperoleh pada penelitian ini

41 masuk dalam kisaran Sv krill pada penelitian Duron (2004), sehingga dapat disimpulkan Sayang terdeteksi pada range threshold -63 db sampai -57 db adalah krill. -63-64 -65-66 -67-68 -69-70 -71-72 -73-74 -75-76 -77-78 -79-80 -81 Sv (db) 1500 1000 500 0 Frekuensi Kejadian Gambar 33. Grafik sebaran Sv keseluruhan di perairan Laut Flores (leg 1 leg 7) depth 6 150 m.