DELIMITASI BATAS MARITIM ANTARA PROVINSI BALI DAN PROVINSI NUSA TENGARA BARAT: SEBUAH KAJIAN TEKNIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

Abstrak. Ria Widiastuty 1, Khomsin 1, Teguh Fayakun 2, Eko Artanto 2 1 Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya, 60111

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

KAJIAN KEPEMILIKAN SUMBER DAYA ALAM NON HAYATI DALAM WILAYAH 12 MIL LAUT (STUDI KASUS : Pulau Pagerungan Besar dan Kecil, Kabupaten Sumenep) Abstrak

ANALISIS ALTERNATIF BATAS WILAYAH LAUT KOTA SEMARANG DAN KABUPATEN KENDAL

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut

Jurnal Geodesi Undip Januari 2017

Abstrak PENDAHULUAN.

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Pengaruh Perubahan UU 32/2004 Menjadi UU 23/2014 Terhadap Luas Wilayah Bagi Hasil Kelautan Terminal Teluk Lamong antara

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III IMPLEMENTASI PENENTUAN BATAS LAUT KABUPATEN SELAYAR

BAB IV GAMBARAN UMUM

Departemen Teknik Geomatika, FTSLK-ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia Abstrak

BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK

STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN. Klaten, 21 Oktober 2015

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah

BAB I PENDAHULUAN I.1

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB III PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA - FILIPINA DI LAUT SULAWESI. Tabel 3.1 Tahapan Penetapan Batas Laut

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Jurnal Geodesi Undip Juli 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Posisi Foot Of Slope (FOS) Titik Pangkal N (m) E (m) FOS N (m) E (m) Jarak (M)

Pengertian Sistem Informasi Geografis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. prinsip proyeksi dari bidang lengkung muka bumi ke bidang datar kertas

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

ASPEK TEKNIS PEMBATASAN WILAYAH LAUT DALAM UNDANG UNDANG NO. 22 TAHUN 1999

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB IV GAMBARAN UMUM

MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR

BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER

MODUL 3 REGISTER DAN DIGITASI PETA

Bab IV Analisa dan Pembahasan. Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai analisa dari materi penelitian secara menyeluruh.

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017

Bab III KAJIAN TEKNIS

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

ANALISA PETA LINGKUNGAN PANTAI INDONESIA (LPI) DITINJAU DARI ASPEK KARTOGRAFIS BERDASARKAN PADA SNI

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan

Kebijakan Pemprov Banten Mengenai Penegasan Batas Daerah

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA

IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6

BAB III PENENTUAN GARIS BATAS MARITIM INDONESIA SINGAPURA PADA SEGMEN TIMUR MENGGUNAKAN PRINSIP EKUIDISTAN

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

BAB IV ANALISIS. IV.1.1 Perbandingan Antara Peta Garis Dasar Normal dengan Peta Generalisasi Pemendagri 1/2006

MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

2012, No Batas Daerah di Darat

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2016 TENTANG BATAS DAERAH KABUPATEN TABANAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 3 KOREKSI KOORDINAT

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

MENATA WILAYAH PESISIR, PULAU KECIL, DAN TANAH REKLAMASI

Transkripsi:

DELIMITASI BATAS MARITIM ANTARA PROVINSI BALI DAN PROVINSI NUSA TENGARA BARAT: SEBUAH KAJIAN TEKNIS I Gede Pasek Sutrana Adnyana 1 igedde@yahoo.co.id I Made Andi Arsana 1 madeandi@ugm.ac.id Sumaryo 1 sumaryo@ugm.ac.id 1 Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM Jl. Grafika No 2 Yogyakarta http://www.geodesi.ugm.ac.id ABSTRAK Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah yang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pekerjaan delimitasi batas wilayah maritim antara provinsi di Indonesia harus berpedoman pada Peraturan Menteri tersebut. Penetapan batas maritim penting dilakukan karena berkaitan erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di laut. Ketentuan ini juga berlaku untuk Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan batas-batas dan cakupan kewenangan wilayah laut Provinsi Bali dan Provinsi NTB di Selat Lombok yang dilakukan secara kartometrik. Dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan penentuan jenis garis dasar yang digunakan sebagai awal penarikan klaim maritim, kemudian dilakukan simulasi penarikan klaim sejauh 12 mil laut dari masing-masing provinsi. Dengan melakukan simulasi ini, maka diketahui terjadinya pertampalan klaim, baru kemudian dilakukan penentuan batas maritim kedua provinsi dengan prinsip garis tengah (median line). Kajian ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah masing-masing provinsi dalam menentukan batas kewenangan wilayah di laut. Batas-batas provinsi yang telah jelas dan pasti serta berkekuatan hukum juga diharapkan dapat menghindari adanya konflik perebutan sumberdaya alam pada lokasi pertampalan klaim maritim pada provinsi yang bersangkutan. Kata kunci: batas maritim, delimitasi, permendagri No.1/2006 1. Pendahuluan Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka daerah mempunyai wewenang yang relatif lebih luas dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan yang berada di wilayah lautnya. Dalam hal ini batas daerah di laut menjadi bernilai strategis sehingga penentuan dan penegasan batas daerah di laut juga menjadi semakin penting (Abidin, 2001). Namun pada kenyataannya, UU No. 22/1999 dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti

dengan undang-undang yang baru. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No 22/1999 rawan terjadi salah interpretasi oleh daerah karena UU tersebut menyatakan bahwa provinsi terdiri dari wilayah daratan dan wilayah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai (Pasal 3). Ini adalah definisi membagi teritori bahwa ada laut provinsi dan laut kabupaten/kota sehingga dapat memicu konflik perebutan sumber daya alam di laut. Padahal yang dimaksud adalah mengatur kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini kemudian disempurnakan dalam UU No. 32/2004 Pasal 18 dengan menyebutkan istilah kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kewenangan ini hanya berlaku untuk mengelola sumber daya laut, bukan untuk menguasai secara penuh wilayah laut seperti kekuasaan daerah atas wilayah darat (Arsana, 2005). UU No 32/2004 Pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut pada provinsi paling jauh 12 mil laut diukur dari garis dasar ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan dan sepertiganya untuk wilayah kewenangan laut kabupaten/kota. Ditegaskan di sini bahwa tidak disebutkan 4 mil laut untuk kewenangan laut kabupaten/kota mengingat tidak mungkin bagi kabupaten/kota mengklaim selebar 4 mil laut apabila provinsinya juga tidak bisa mengklaim wilayah laut secara penuh hingga 12 mil laut (makna Pasal 18 ayat (5)). Dengan memperhatikan hal tersebut, maka sangat penting bagi pemerintah daerah masing-masing provinsi dan kabupaten/kota sebagai pelaksana utama otonomi untuk memahami, mengatur, dan menetapkan wilayah kewenangannya di laut. Hal ini berkaitan erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di laut agar dapat dikelola secara maksimal (Arsana, 2005). Hal ini juga berlaku untuk Provinsi Bali dan Provinsi NTB yang berbatasan langsung di Selat Lombok. Selat Lombok memiliki potensi bahari yang cukup melimpah dan perlu diperhatikan oleh kedua provinsi. Selain itu Bali dan Lombok merupakan dua pulau sebagai tujuan pariwisata bahari yang sangat menarik dan banyak menyedot perhatian baik bagi turis domestik maupun mancanegara (Rosalina, 2003). Berdasarkan pengukuran awal yang dilakukan di atas peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) lokasi penelitian, didapat bahwa lebar perairan Selat Lombok adalah kurang dari 24 mil laut. Ini berarti bahwa masing-masing provinsi tidak dapat mengklaim 12 mil laut tanpa menggangu klaim provinsi lainnya, sehingga perlu dilakukan delimitasi batas wilayah maritim antara Provinsi Bali dan Provinsi NTB. Agar seluruh pekerjaan penentuan batas wilayah dilaksanakan secara optimal, maka Menteri Dalam Negeri mengeluarkan petunjuk teknis yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 (Permendagri No.1/2006) tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah yang mengacu kepada UU No 32/2004. Pedoman inilah yang akan dijadikan petunjuk teknis terbaru di dalam pekerjaan penetapan batas daerah di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri tersebut, maka setiap provinsi dan kabupaten/kota yang belum dan akan menentukan batas kewenangan di wilayah laut, harus berpedoman pada Permendagri No.1/2006.

Mengingat provinsi Bali dan NTB belum menetapkan batas maritimnya maka kajian delimitasi ini menjadi penting dilakukan. 2. Tinjauan Pustaka Adapun beberapa dasar teori dan landasan hukum yang berkaitan dengan penentuan batas daerah yaitu: 2.1. Penegasan batas daerah Penegasan batas daerah adalah kegiatan penentuan batas secara pasti di lapangan. Permendagri No.1/2006 pasal 2 menjelaskan bahwa penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan dan dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan titik koordinat batas di atas peta. Batas daerah merupakan pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah lain. Batas daerah dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu batas daerah di darat dan batas daerah di laut. 2.1.1. Batas daerah di darat Dalam Permendagri No.1/2006 pasal 1 ayat (5), batas daerah di darat merupakan pemisah wilayah administrasi pemerintahan antara daerah yang berbatasan berupa pilar batas ataupun bentuk-bentuk batas alam (seperti danau, sungai, dan watershed) di lapangan dan daftar koordinat di peta. Secara garis besar, penegasan daerah di darat terdiri dari 5 (lima) kegiatan yaitu: a. Penelitian dokumen, bertujuan untuk mengetahui sumber-sumber hukum yang berkaitan dengan batas daerah di darat. b.pelacakan batas, bertujuan untuk menentukan letak batas daerah secara nyata di lapangan berdasarkan garis batas sementara pada peta melalui kesepakatan bersama. c. Pemasangan pilar batas, bertujuan untuk menandai batas daerah yang berupa bangunan fisik pilar batas. d.pengukuran dan penentuan posisi pilar batas. e. Pembuatan peta batas dan pengesahan batas daerah yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. 2.1.2. Batas daerah di laut Dalam Permendagri No.1/2006 pasal 1 ayat (6), batas daerah di laut adalah pemisah antara daerah yang berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dan daftar koordinat di peta yang dalam implementasinya merupakan batas kewenangan pengelolaan sumber daya di laut. Penentuan batas daerah di laut merupakan kelanjutan dari pekerjaan penegasan batas daerah di darat di mana suatu daerah tersebut terdiri dari suatu daratan dan lautannya yang berbatasan langsung dengan daerah lain ataupun yang berbatasan langsung dengan laut perairan dalam NKRI. 2.2 Dasar hukum penegasan batas daerah 2.2.1. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah ini merupakan UU terbaru yang menggantikan UU No. 22/1999 yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Adapun pasal dalam UU No. 32/2004 yang berkaitan tentang penegasan batas laut, yaitu :

a. Pasal 18 ayat (1). Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. b.pasal 18 ayat (2). Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan. c. Pasal 18 ayat (3). Kewenangan mengelola yang dimaksud pada ayat (1) meliputi: Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan kekayaan laut; Pengaturan administratif; Pengaturan tata ruang; Penegakan hukum; Ikut serta memelihara keamanan; Ikut serta mempertahankan kedaulatan negara. d.pasal 18 ayat (4). Batas kewenangan paling jauh bagi provinsi adalah 12 mil, sementara untuk kabupaten/kota adalah sepertiganya. e. Pasal 18 ayat (5). Apabila jarak antar provinsi kurang dari 24 mil, maka kewenangan mengelola dibagi sama jarak atau dengan prinsip garis tengah (median line) untuk kabupaten/kota adalah sepertiga kewenangan provinsi. 2.2.2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 Permendagri No.1/2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah ini merupakan petunjuk teknis untuk penegasan batas yang mengacu pada UU No. 32/2004. Pasalpasal pada Permendagri No.1/2006 yang terkait tentang penegasan batas laut antara lain : a. Pasal 1 ayat (6). Batas daerah di laut adalah pemisah antara daerah yang berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dan daftar koordinat di peta yang dalam implementasinya merupakan batas kewenangan pengelolaan sumber daya di laut. b.pasal 15 ayat (2). Pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : 1.Batas antara dua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berdampingan seperti pada Gambar 1, diukur mulai dari titik batas sekutu pada garis pantai antara kedua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota kearah laut yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak. Gambar 1. Prinsip sama jarak (Permendagri No.1, 2006). 2.Batas antara dua daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 24 mil laut seperti pada Gambar 2, diukur berdasarkan prinsip garis tengah.

Gambar 2. Prinsip garis tengah (Permendagri No.1, 2006). 3.Batas antara dua daerah kabupaten dan daerah kota dalam satu daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 8 mil laut, diukur berdasarkan prinsip garis tengah. 4.Batas wilayah laut pulau kecil yang berada dalam satu daerah provinsi dan jaraknya lebih dari dua kali 12 mil laut seperti pada Gambar 3, diukur secara melingkar dengan lebar 12 mil laut. Hasil pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan daftar koordinat titik batas daerah di wilayah laut. Gambar 3. Pulau kecil berjarak lebih dari 24 mil (Permendagri No.1, 2006). 2.4. Penentuan batas secara kartometrik Penentuan batas secara kartometrik dilakukan di atas peta. Berdasarkan Permendagri No.1/2006, peta dasar yang digunakan adalah peta laut dan peta LLN skala 1:500.000 untuk batas provinsi, dan peta laut dan peta LPI skala 1:50.000 untuk batas daerah kabupaten dan kota. Karena skalanya yang kecil, maka garis pantai di peta dianggap sama dengan garis pantai pada surut rendah, sehingga dapat dipilih titik-titik dasar pada peta yang berupa titik-titik yang menonjol (salient points) pada kedua sisi masing-masing provinsi. Hasil peta batas secara kartometrik ini digunakan sebagai peta kerja jika survei dan penegasan batas dilakukan di lapangan. Dalam istilah Bahasa Inggris disebut juga Survey and Delimitation yaitu pengukuran batas di atas peta, sedangkan Survey and Demarcation adalah pengukuran batas di lapangan dan menempatkan tanda batas (mark) di lapangan yang umumnya berupa pilar beton yang kokoh (Rais, 2003). Seandainya seluruh wilayah Indonesia harus dipetakan dengan akurat, misalnya lekukan pantai dengan foto udara atau citra satelit, air surut terendah dengan data pasut dan batimetri, maka akan diperlukan waktu yang sangat lama dan biaya yang sangat

besar. Jadi langkah awal adalah pengukuran kartometrik menggunakan peta-peta yang sudah ada (Amhar dkk., 2001). Adapun tahap-tahap dalam melakukan pekerjaan penetapan batas daerah di laut secara kartometrik berdasarkan Permendagri No.1/2006 yaitu : 1.Menyiapkan Peta-peta Laut, Peta Lingkungan Laut Nasional (Peta LLN) dan Peta Lingkungan Pantai Indonesia (Peta LPI). 2.Menelusuri secara cermat cakupan daerah yang akan ditentukan batasnya dengan memperhatikan garis pantai yang ada. Mempelajari kemungkinan penerapan garis dasar normal dan garis dasar lurus dengan memperhatikan panjang maksimum yakni 12 mil laut. 3.Memberi tanda rencana titik awal yang akan digunakan untuk penarikan garis normal dan garis dasar lurus. 4.Melihat peta laut dengan skala terbesar yang terdapat pada daerah tersebut, kemudian membaca dan mencatat titik awal dengan melihat angka lintang dan bujur yang terdapat pada sisi kiri dan atas atau sisi kanan dan bawah dari peta yang digunakan. 5.Mengeplot dalam peta titik-titik awal yang diperoleh dan menghubungkan titik-titik dimaksud untuk mendapatkan garis dasar lurus yang tidak lebih dari 12 mil laut. 6.Menarik garis sejajar dengan garis dasar yang berjarak 12 mil laut atau sepertiganya. 7.Batas daerah di wilayah laut tergambar beserta daftar koordinatnya. 8.Membuat peta batas daerah di laut lengkap dengan daftar koordinatnya yang akan ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri. Rais (2003) dalam studi kasusnya mengenai batas wilayah laut antara Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bangka-Belitung mengemukakan bahwa batas maritim perlu ditetapkan mengingat lebar Selat Bangka kurang dari 24 mil laut. Karena posisi pantainya berhadapan (opposite), maka penentuan batas laut menggunakan prinsip garis tengah (median line). Tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai jenis garis dasar yang gunakan sebagai acuan penarikan batas, namun apabila dilihat dari peta batas yang dihasilkan, maka jenis garis dasar dalam studi kasus ini adalah garis dasar lurus. 3. Kedudukan Geografis Wilayah penelitian Penelitian dilakukan pada daerah Selat Lombok dengan lokasi geografis antara 08 o 08 LS-09 o 02 LS dan 115 o 30 BT-116 o 06 BT yang dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Lokasi penelitian (Peta Ms. Encarta) Provinsi Bali terletak antara 8 03 40 LS - 8 50 48 LS dan 114 25 53 BT - 115 42 40 BT membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Wilayahnya di utara berbatasan dengan Laut Jawa, di selatan dengan Samudera Hindia,

di timur dengan Selat Lombok, dan di barat dengan Selat Bali. Luas keseluruhan kawasan daratan Bali adalah 5.632,86 km 2. Pulau Bali merupakan bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Tempat-tempat penting di Bali yaitu Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan (http://id.wikipedia.org/wiki/bali). Provinsi NTB terletak antara 8 5 LS-9 5 LS dan 115 45 BT-119 10 BT. Wilayahnya di utara berbatasan dengan Laut Jawa, di selatan dengan Samudera Hindia, di timur dengan Selat Sepadan dan di barat dengan Selat Lombok. Luas wilayah keseluruhan adalah 49.312,11 km 2 yang terdiri atas daratan 20.153,07 km 2 dan lautan 29.159,04 km 2. Provinsi NTB memiliki dua buah pulau besar yaitu Pulau Lombok dengan luas wilayah daratan 4.738,70 km 2 (23,51%) dan Pulau Sumbawa 15.414,37 km 2 (76,49%). Selong merupakan kota yang mempunyai ketinggian paling tinggi, yaitu 148 m dari permukaan laut sementara Raba terendah dengan 13 m dari permukaan laut. Provinsi NTB dikelilingi ratusan pulau kecil. Beberapa dari pulau-pulau tersebut menjadi tujuan pariwisata yang telah terkenal seperti Gili Air, Gili Meno, Gili Trawangan dan Pulau Moyo (http://www.ntb.go.id). 4. Data dan Perangkat Lunak Data yang digunakan pada penelitian ini adalah peta LLN analog. Penggunaan peta LLN ini sesuai dengan Permendagri No.1/2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, yang menyatakan bahwa peta yang digunakan dalam penentuan batas wilayah maritim untuk provinsi adalah peta LLN Skala 1:500.000. Peta LLN ini diperoleh dari Pusat Pelayanan Informasi Kebumian (PPIK) yang merupakan salah satu outlet resmi Bakosurtanal. Adapun spesifikasi dari peta LLN lokasi penelitian yaitu sebagai berikut : 1. Judul utama : Bali (termasuk Jawa Timur dan NTB) 2. Nomor peta : Peta LLN - 17 3. Skala : 1:500.000 4. Datum Horizontal : ID-1974 5. Datum Vertikal : Muka Laut di Tanjung Priok Jakarta 6. Sistem koordinat : Geografis dan UTM Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1.Geographic Calculator 2.06 untuk transformasi datum yang diperoleh dari jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM. 2.CARIS LOTS Limits and Boundariesi 4.0 Service Pack 5 untuk analisis dan penentuan batas kewenangan wilayah laut yang diperoleh dari UNSW, Australia. Adapun fitur-fitur penting pada perangkat lunak CARIS LOTS yang banyak dimanfaatkan untuk tahapan proses penarikan batas (Anonim, 2003), yaitu: 1.Fitur untuk melakukan impor berbagai macam jenis data masukan 2.Fitur untuk melakukan proses registrasi atau georeferensi peta 3.Fitur untuk melakukan simulasi klaim maritim sejauh 12 mil laut baik menggunakan jenis garis dasar normal maupun garis dasar lurus

4.Fitur untuk melakukan penarikan garis tengah (median line) terhadap suatu kondisi garis pantai yang berhadapan maupun berdampingan 5.fitur untuk menampilkan titik-titik koordinat suatu garis dengan interval tertentu 6.fitur untuk melakukan perhitungan luas suatu area 7.fitur untuk mengetahui jarak lurus antara dua titik 5. Metode dan Pelaksanaan Penelitian Delimitasi batas maritim yang dilakukan pada penelitian ini hanyalah sebatas kajian melakukan penentuan batas secara kartometrik di atas peta dengan perangkat lunak yang telah disebutkan di atas. Adapun tahap-tahap pelaksanaan penelitian ini dijelaskan dalam sub bab sebagai berikut : 5.1 Konversi data analog ke digital (penyiaman) Karena seluruh proses pengolahan data akan dilakukan secara digital dengan menggunakan perangkat komputer, maka peta LLN analog (ukuran A0) tersebut harus dikonversi terlebih dahulu menjadi data digital. Alat yang digunakan untuk mengkonversi adalah scanner A0 dengan resolusi penyiaman 300 dpi (dot per inch). Hasil dari proses penyiaman ini disimpan dalam format data raster tiff. 5.2. Proses transformasi datum dan georeferensi Gambar raster berformat tiff hasil penyiaman tersebut masih dalam koordinat monitor atau piksel. Dalam hal ini diperlukan proses georeferensi untuk membawa gambar raster ini kembali ke sistem koordinatnya semula yaitu sistem koordinat tanah. Pada proses georeferensi ini, dibutuhkan titik-titik kontrol tanah (Ground Control Points) sebagai titik-titik sekutu antara gambar raster hasil penyiaman dengan peta LLN analog untuk mewakilkan titik-titik di lapangan. Untuk memudahkan identifikasi pembacaan koordinat tanah pada peta LLN, maka titik-titik kontrol tanah yang digunakan sebagai titik-titik sekutu adalah titik-titik yang terletak pada perpotongan grid peta. Semakin banyak titik-titik kontrol tanah, maka hasil transformasi akan semakin baik. Mengingat titik-titik kontrol tanah tersebut masih berada pada sistem Indonesia Datum 1974 (ID-74), sementara hasil akhir yang akan diperoleh nantinya adalah koordinat batas dalam sistem DGN-95 (elipsoid referensi WGS-84, sesuai dengan spesifikasi teknis Permendagri No.1/2006), maka sebelum proses georeferensi terlebih dahulu dilakukan pekerjaan transformasi datum ke dalam sistem DGN-95 untuk titik-titik kontrol yang dipilih. Perangkat lunak yang digunakan untuk transformasi datum ini adalah Geographic Calculator versi 2.06. Titik-titik kontrol tanah yang telah dipilih kemudian ditransformasikan satu persatu kedalam sistem DGN-95. Setelah proses transformasi datum, dilanjutkan dengan melakukan proses georeferensi dengan menggunakan titiktitik kontrol tanah dalam sistem DGN-95 yang baru tersebut dengan perangkat lunak CARIS LOTS. Hasil akhir dari proses georeferensi ini adalah gambar raster peta LLN yang telah memiliki koordinat tanah (data geotiff). 5.3. Vektorisasi lokasi penelitian Proses vektorisasi ini adalah pekerjaan membuat format data vektor dari lokasi penelitian. Pekerjaan ini bertujuan agar data geotiff yang berformat raster di atas mempunyai format data vektor yang nanti dipakai untuk proses selanjutnya. Proses vektorisasi ini dilakukan dengan cara digitasi garis pantai Provinsi Bali dan NTB secara

on-screen (pada layar monitor). Format data vektor dipilih karena memiliki kelebihan selain ruang penyimpanannya yang relatif kecil, berbagai macam pekerjaan baik editing, manipulasi, maupun simulasi untuk penentuan batas daerah dapat dilakukan dengan lebih cepat. 5.4. Penentuan titik dasar (Basepoint) Pemberian titik-titik dasar pada peta dilakukan di sepanjang garis pantai pada Provinsi Bali dan Provinsi NTB (Pulau Lombok) pada lokasi penelitian di mana titik-titik dasar tersebut dapat dikatakan mewakili batas paling terluar dari provinsi yang bersangkutan. Titik-titik dasar tersebut digunakan sebagai rencana awal untuk penarikan garis dasar. 5.5. Penentuan garis dasar (Baseline) Penentuan garis dasar dilakukan untuk menentukan jenis garis dasar yang digunakan sebagai acuan penarikan batas maritim antara ke dua provinsi. Seperti dalam Permendagri No.1/2006, definisi garis dasar adalah garis yang menghubungkan dua titik awal dan terdiri dari garis dasar lurus dan garis dasar normal. Garis dasar lurus adalah garis lurus yang menghubungkan dua titik awal berdekatan dan berjarak tidak lebih dari 12 mil laut sedangkan garis dasar normal adalah garis antara dua titik awal yang berhimpit dengan garis pantai Untuk penentuan garis dasar pada penelitian ini, diambil dua alternatif kemungkinan pemilihan garis dasar yang dapat diterapkan untuk kedua provinsi yaitu : a. Garis dasar normal Pemilihan jenis garis dasar ini didasari pertimbangan bahwa kedua provinsi belum pernah mendeklarasikan secara umum jenis garis dasarnya, sehingga dapat diasumsikan bahwa penentuan batas maritim antara kedua provinsi menggunakan garis dasar normal sebagai acuan penarikan batasnya. Garis dasar normal yang diplot adalah berhimpit dengan garis pantai di peta maka titik dasar ada di sepanjang garis pantai. b. Garis dasar lurus Pemilihan jenis garis dasar ini didasari pada kenyataan bahwa kedua provinsi ini memiliki beberapa pulau-pulau kecil sebagai batas terluar provinsinya. Karena jarak pulau-pulau terkecil tersebut adalah kurang dari 12 mil laut, maka dapat diterapkan jenis garis dasar lurus yaitu dengan memperhatikan panjang maksimal 12 mil laut tersebut. Untuk garis dasar lurus, dibutuhkan titik dasar-titik dasar yang terletak di setiap ujung dan pangkal tiap segmen garis dasar lurus tersebut. Maka untuk alternatif ini dibutuhkan banyak plotting titik-titik dasar sebagai langkah awal sebelum menarik garis dasar lurus. 5.6. Simulasi klaim maritim Setelah menentukan garis dasar yang digunakan maka proses selanjutnya adalah melakukan simulasi untuk mengklaim wilayah maritim sejauh 12 mil laut ke arah Selat Lombok pada masing-masing provinsi. Dengan melakukan simulasi klaim maritim sejauh 12 mil laut, maka akan diketahui sejauh mana tumpang tindih yang terjadi. Langkah berikutnya adalah melakukan perhitungan luas pertampalan klaim wilayah maritim yang terjadi secara numeris.

5.7. Penentuan batas provinsi Penentuan (delimitasi) batas provinsi dilakukan karena terjadi overlapping atau tumpang tindih atas wilayah maritim yang mungkin diklaim masing-masing provinsi di Selat Lombok. Dengan melakukan simulasi wilayah maritim sejauh 12 mil laut, maka akan diketahui sejauh mana tumpang tindih yang terjadi untuk selanjutnya melakukan delimitasi batas maritim antara kedua provinsi ini. Penentuan batas dilakukan sesuai dengan Permendagri No.1/2006 yaitu dengan prinsip garis tengah atau median line karena kondisi garis pantai yang saling berhadapan (opposite) dengan jarak kurang dari 24 mil laut. Penentuan batas ini dilakukan dengan dua kondisi garis dasar yang berbeda yaitu penerapan untuk garis dasar normal dan garis dasar lurus. 6. Hasil dan Pembahasan Pada bab ini disajikan hasil-hasil yang telah dicapai dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan berikut dengan pembahasan dan analisa pada hasil yang diperoleh. 6.1. Penyiaman Proses penyiaman pada peta LLN analog untuk menjadikannya sebagai data digital dilakukan dengan alat scanner Xerox A0 dengan resolusi 300 dpi dimana resolusi piksel dapat dicari dengan perhitungan sederhana sebagai berikut (Anonim, 2001): Resolusi piksel = angka skala peta resolusi penyiaman Jika diketahui skala peta LLN adalah 1:500000, resolusi penyiaman yaitu 300 dpi, dan 1 inci sama dengan 2.54 cm, maka : Nilai resolusi piksel adalah = 500000 300 = 1666,67 inci = 42,333418 m 42 m Jadi dapat dikatakan bahwa dalam bentuk digital, setiap piksel peta memiliki resolusi 42 m. Nilai resolusi piksel ini akan dikaitkan hubungannya dengan nilai residu hasil proses georeferensi. Setelah menjadi data digital dalam format data raster berekstensi tif, kemudian dilakukan proses pemilihan (cropping) pada liputan area penelitian agar format data raster memiliki ruang penyimpanan yang relatif lebih kecil (menghemat memori) pada komputer. Selain itu ukuran file yang lebih kecil juga dapat mempercepat proses pengolahan data pada tahap-tahap selanjutnya dengan perangkat lunak yang sesuai. 6.2. Transformasi Datum dan Georeferensi Untuk proses georeferensi, pemberian titik-titik kontrol sebagai titik-titik sekutu antara gambar raster hasil pnyiaman dengan peta LLN analog adalah sebanyak 9 (sembilan) buah titik kontrol yang terletak pada perpotongan grid peta. Karena titik-titik kontrol tersebut masih dalam sisterm ID-74, maka terlebih dahulu dilakukan transformasi datum ke dalam sistem yang baru yaitu sistem DGN-95 (elipsoid referensi WGS-84). Berikut disajikan koordinat titik-titik kontrol dalam sistem ID-74 dan sistem DGN-95.

Tabel 1. Titik kontrol dalam sistem ID-74 dan sistem DGN-95 No. Titik Sistem ID-74 Sistem DGN-95 Kontrol Lintang (ϕ) Bujur (λ) Lintang (ϕ) Bujur (λ) 1 9 o 30 00 S 113 o 40 00 E 9 o 29 59.96 S 113 o 40 0.93 E 2 9 o 30 00 S 115 o 00 00 E 9 o 29 59.96 S 115 o 00 0.94 E 3 9 o 30 00 S 116 o 50 00 E 9 o 29 59.95 S 116 o 50 0.95 E 4 8 o 30 00 S 116 o 50 00 E 8 o 29 59.94 S 116 o 50 0.95 E 5 8 o 30 00 S 115 o 00 00 E 8 o 29 59.95 S 115 o 00 0.93 E 6 8 o 30 00 S 113 o 40 00 E 8 o 29 59.95 S 113 o 40 0.92 E 7 7 o 30 00 S 113 o 40 00 E 7 o 29 59.94 S 113 o 40 0.92 E 8 7 o 30 00 S 115 o 00 00 E 7 o 29 59.94 S 115 o 00 0.93 E 9 7 o 30 00 S 116 o 50 00 E 7 o 29 59.94 S 116 o 50 0.95 E Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa titik-titik tersebut tidak mengalami perubahan posisi yang signifikan karena perubahan koordinat yang terjadi hanya bergesar < 1 (kurang dari satu detik). Hal ini disebabkan karena pusat koordinat atau origin kedua datum (ID- 74 dan DGN-95) relatif dekat sehingga faktor translasi relatif kecil dengan X = - 19,743 m, Y = -9,860 m dan Z = -13,589 m (Handoko dan Abidin, 2002) sedangkan faktor rotasi dan skala dapat diabaikan. Setelah titik-titik kontrol tersebut berada dalam sistem DGN-95, maka proses selanjutnya adalah melakukan georeferensi menggunakan perangkat lunak CARIS LOTS. Adapun tabel nilai residu yang terjadi pada hasil proses georeferensi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai residu titik kontrol antara koordinat yang belum teregistrasi dan yang telah teregistrasi No Unregistered CPs Registered CPs Residuals x y Latitude longitude xr yr mean 1 0.013067 0.022820 9-29-59.96S 113-40-0.93E 0.8476961702108-4.568923351588 2.708309760899 2 0.145864 0.023787 9-29-59.96S 115-00-0.94E -6.151251466945 12.86076533166 9.506008399301 3 0.327763 0.025706 9-29-59.95S 116-50-0.95E 5.321156229824-8.339586274233 6.830371252028 4 0.328483 0.126144 8-29-59.94S 116-50-0.95E -6.873251561075 7.653146463679 7.263199012377 5 0.146200 0.124197 8-29-59.95S 115-00-0.93E 3.39388798736-4.352294847718 3.873091417539 6 0.013141 0.123174 8-29-59.95S 113-40-0.92E 3.446444639936-3.209488307475 3.327966473706 7 0.013145 0.223488 7-29-59.94S 113-40-0.92E -4.270552232862 7.726054570172 5.998303401517 8 0.146467 0.224564 7-29-59.94S 115-00-0.93E 2.715800195932-8.416745925322 5.566273060627 9 0.329108 0.226571 7-29-59.94S 116-50-0.95E 1.570070039481 0.647072340944 1.108571190212 Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa nilai rata-rata (mean) residu yang terjadi antara 1,108 sampai 9,506 meter. Nilai residu ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan yaitu akibat salah pengeplotan posisi pada titik-titik belum teregistrasi atau bisa diakibatkan karena proses penyiaman yang kurang tegak lurus pada peta analog sebelumnya sehingga gambar raster yang dihasilkan sedikit miring walaupun tidak dapat dilihat oleh mata. Jika dikaitkan dengan nilai resolusi piksel = 42 m, maka nilai residu antara 1,108 m sampai 9,506 m adalah sangat kecil (kurang dari 1 piksel) sehingga tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Jika dicetak pada peta analog dengan skala kecil yaitu 1:500.000 dimana 0,1 mm di peta sama dengan 50 m di lapangan maka perubahan yang tampak juga tidak terlalu signifikan sehingga nilai residu yang terjadi masih masuk dalam toleransi. Hasil akhir dari proses georeferensi ini adalah gambar raster peta LLN yang telah memiliki koordinat geodetik (data geotiff).

6.3. Penentuan titik dasar Setelah proses vektorisasi lokasi penelitian, maka dilanjutkan dengan pemberian titiktitik dasar pada peta di sepanjang garis pantai Provinsi Bali dan Provinsi NTB (Pulau Lombok) pada lokasi penelitian di mana titik-titik dasar tersebut dapat mewakili batas terluar dari kedua provinsi yang bersangkutan. Pemberian titik-titik dasar dilakukan terhadap penerapan jenis garis dasar lurus dengan titik dasar yang terletak di setiap ujung dan pangkal pada tiap segmen garis dasar lurus. Sementara untuk penerapan jenis garis dasar normal tidak diperlukan pemberian titik-titik dasar karena garis dasar normal mewakili garis pantai yang didigitasi. Penentuan titik-titik dasar dilakukan pada garis pantai Provinsi Bali bagian timur dan Provinsi NTB bagian barat. Hasil dari penentuan titik-titik dasar ini yaitu untuk Provinsi Bali menggunakan 41 titik-titik dasar sedangkan untuk Provinsi NTB menggunakan 25 titik-titik dasar sebagai langkah awal penarikan garis dasar lurus. 6.4. Penarikan garis dasar (Baseline) Hasil dari penarikan garis dasar ini dapat dilihat dari dua garis dasar yang digunakan yaitu: a. Penarikan garis dasar normal (Normal baseline) Karena garis dasar normal adalah garis yang berhimpit dengan garis pantai maka penarikan garis dasar normal ini telah dilakukan seiring dengan pendigitasian garis pantai pada tahap vektorisasi sebelumnya sehingga tinggal melakukan simulasi klaim maritim masing-masing provinsi. b. Penarikan garis dasar lurus (Straight baseline) Penarikan jenis garis dasar ini dilakukan setelah pemberian titik-titik dasar pada sepanjang garis pantai lokasi penelitian yaitu dengan memperhatikan panjang maksimal garis dasar lurus adalah 12 mil laut (definisi garis dasar lurus dalam Permendagri No.1/2006). Karena garis dasar lurus membutuhkan titik dasar yang terletak di setiap ujung dan pangkal pada tiap segmen garis dasar lurus tersebut, maka penarikan garis dasar lurus ini dilakukan dengan cara menghubungkan secara berurutan titik-titik dasar yang berdekatan. 6.5. Simulasi klaim maritim dan perhitungan luas pertampalan klaim maritim Simulasi klaim maritim pada penelitian ini berasumsi bahwa kedua provinsi dapat mengklaim wilayah maritimnya secara penuh yaitu sejauh 12 mil laut (berdasarkan Permendagri No.1/2006) ke arah Selat Lombok tanpa mempertimbangkan garis klaim tersebut melewati daratan provinsi di sekitarnya. Namun karena terjadi pertampalan klaim antara kedua provinsi, maka dilakukan delimitasi batas maritim yaitu dengan prinsip garis tengah. Simulasi klaim maritim secara penuh 12 mil laut yang dilakukan pada masing-masing provinsi bertujuan untuk mengetahui adanya pertampalan klaim wilayah maritim yang terjadi. Hasil dari simulasi klaim ini berupa dua alternative yang berbeda dari dua penerapan jenis penarikan garis dasar yang digunakan yaitu garis dasar normal dan garis dasar lurus. a. Simulasi klaim untuk penerapan garis dasar normal Simulasi klaim dengan garis dasar normal adalah klaim wilayah maritim dimulai atau berpangkal dari garis dasar normal tersebut. Penarikan klaim maritim dilakukan pada pulau-pulau terluar yang mewakili batas paling luar sebuah provinsi. Pertampalan

daerah maritim yang terjadi dari hasil penarikan klaim wilayah maritim pada kedua provinsi disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Daerah pertampalan (diarsir) yang terjadi untuk penerapan garis dasar normal b. Simulasi klaim untuk penerapan garis dasar lurus Simulasi klaim dengan garis dasar normal adalah penarikan klaim wilayah maritim dimulai atau berpangkal dari garis dasar lurus tersebut. Garis dasar lurus menghubungkan titik-titik terluar suatu provinsi dengan panjang maksimal 12 mil laut. Penarikan klaim wilayah maritim adalah sejauh 12 mil laut dari garis dasar lurus kedua provinsi. Pertampalan daerah maritim yang terjadi dari hasil penarikan klaim wilayah maritim pada ke dua provinsi disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Daerah pertampalan (diarsir) yang terjadi untuk penerapan garis dasar lurus Dengan melihat perbandingan antara Gambar 5 dan Gambar 6, maka tidak mudah mengidentifikasi perbedaan luas diantara keduanya. Perbedaan akan diketahui dengan melakukan perhitungan luas terhadap masing-masimg kawasan pertampalan c. Perhitungan luas pertampalan klaim maritim Secara numeris dapat diidentifikasi bahwa kawasan pertampalan klaim maritim yang terjadi antara Provinsi Bali dan Provinsi NTB berbantuk memanjang dari

8 o 14 34,09 LS sampai 8 o 58 50,25 LS dengan lebar maksimal pertampalan adalah dari 115 o 38 24,41 BT sampai 115 o 48 50,18 BT. Karena koordinat titik-titik batas kawasan pertampalan telah diketahui, maka perhitungan luas pertampalan klaim maritim dapat dilakukan dengan metode numeris yaitu dengan koordinat. Dapat dibandingkan hasil luas pertampalan klaim yang terjadi yaitu 1021,36 km 2 atau 297,78 ml 2 (mil laut persegi) untuk penerapan garis dasar normal dan 1035,45 km 2 atau 301,88 ml 2 untuk penerapan garis dasar lurus. Perbedaan luasan sebesar 14,09 km 2 atau 4,1 ml 2 disebabkan karena klaim wilayah maritim menggunakan garis dasar lurus maka batas klaim maritim akan lebih jauh dari daratan ke arah laut bila dibandingkan dengan menggunakan garis dasar normal. Bisa dikatakan bahwa adanya pulau-pulau kecil di sekitar pulau utama yang berjarak kurang dari 12 mil laut akan menguntungkan bagi sebuah provinsi dalam hal penarikan klaim wilayah maritim karena dapat menerapkan jenis garis dasar lurus. Adapun selisih luasan tersebut dapat dilihat pada Gambar 7 yang ditunjukkan dengan tanda panah. Gambar 7. Selisih luas pertampalan klaim maritim (diarsir) 6.6. Penentuan batas provinsi Penentuan batas provinsi dilakukan dengan prinsip garis tengah atau median line karena kondisi garis pantai yang saling berhadapan (opposite) dengan jarak kurang dari 24 mil laut (Permendagri No.1/2006 pasal 15 ayat (2)). Hasil dari penentuan batas antara Provinsi Bali dan NTB dapat dilihat dari dua penerapan jenis garis dasar yang digunakan yaitu pada Gambar 8 dan Gambar 9. Adapun perbandingan garis tengah yang terjadi dengan menggunakan garis dasar normal dan garis dasar lurus disajikan pada Gambar 10.

Gambar 8. Penentuan batas untuk penerapan garis dasar normal Gambar 9. Penentuan batas untuk penerapan garis dasar lurus

Prov. Bali B A Prov. NTB A B Keterangan : Garis A = Garis tengah menggunakan garis dasar normal Garis B = Garis tengah menggunakan garis dasar lurus Gambar 10. Perbandingan garis tengah Dengan melihat Gambar 10, maka untuk untuk penerapan garis dasar lurus, Provinsi Bali dapat mengklaim wilayah maritim yang lebih luas pada daerah timur laut dari Pulau Nusa Penida yaitu dengan cakupan koordinat 8 o 34 14.22 LS sampai 8 o 40 03.90 LS dan 115 o 46 35.01 BT sampai 115 o 43 35.71 BT. Hal ini disebabkan karena adanya garis dasar lurus yang menghubungkan pulau Bali dan pulau Nusa Penida yang jaraknya kurang dari 12 mil laut yang merupakan pangkal dari penarikan batas wilayah maritim Provinsi Bali. Sebagai imbasnya, maka klaim wilayah maritim dari Provinsi NTB pada daerah tersebut berkurang bila dibandingkan dengan penerapan garis dasar normal. Untuk Provinsi NTB, penerapan jenis garis dasar lurus membuat provinsi ini dapat mengklaim wilayah maritimnya lebih luas pada daerah barat daya dari Gili Trawangan dengan cakupan koordinat 8 o 23 24.43 LS sampai 8 o 27 45.98 LS dan 115 o 51 24.97 BT sampai 115 o 51 35.68 BT (walaupun tidak seluas keuntungan klaim dari Provinsi Bali sebelumnya) dan sebaliknya bagi Provinsi Bali, klaim wilayah maritim pada daerah tersebut berkurang bila dibandingkan dengan penerapan garis dasar normal. Meski demikian, adil tidaknya hasil dari suatu penentuan batas secara kartometrik ini tergantung pada persetujuan dan kesepakatan dari kedua provinsi yang bersangkutan. Pada akhirnya, kesepakatan batas maritim akan dicapai melalui negosiasi oleh kedua pemerintah provinsinya tersebut. 7. Kesimpulan dan Saran 7.1.Kesimpulan 1.Penentuan batas maritim antara Provinsi Bali dan Propinsi NTB adalah dengan prinsip garis tengah (median line) karena kondisi garis pantainya yang saling berhadapan (opposite) dengan jarak kurang dari 24 mil laut sesuai Permendagri No.1/2006. 2.Penerapan jenis garis dasar cukup berpengaruh terhadap luasan pertampalan klaim wilayah maritim yang didapat sehingga akan berpengaruh juga terhadap garis batas

yang dihasilkan. Untuk provinsi yang berbentuk kepulauan, penggunaan jenis garis dasar lurus cenderung akan menambah luas klaim wilayah maritim. 3.Cakupan areal pertampalan klaim maritim antara Provinsi Bali dan NTB adalah memanjang dari 8 o 14 34,09 LS sampai 8 o 58 50,25 LS dengan lebar maksimal 115 o 38 24,41 BT sampai 115 o 48 50,18 BT. 4.Luas daerah pertampalan klaim maritim antara Provinsi Bali dan Propinsi NTB untuk penerapan garis dasar normal adalah 1021,36 km 2 atau 297,78 ml 2 (mil laut persegi) sedangkan untuk penerapan garis dasar lurus adalah 1035,45 km 2 atau 301,88 ml 2. 5.Penerapan garis dasar lurus pada Provinsi Bali adalah menguntungkan karena dapat mengklaim wilayah maritimnya lebih luas pada daerah timur laut dari Pulau Nusa Penida yaitu dengan cakupan koordinat antara 8 o 34 14.22 LS sampai 8 o 40 03.90 LS dan 115 o 43 35.71 BT sampai 115 o 46 35.01 BT. 6.Penerapan garis dasar lurus pada Provinsi NTB adalah menguntungkan karena provinsi ini dapat mengklaim wilayah maritimnya lebih luas pada daerah barat daya dari Gili Trawangan dengan cakupan koordinat 8 o 23 24.43 LS sampai 8 o 27 45.98 LS dan 115 o 51 24.97 BT sampai 115 o 51 35.68 BT. 7.2.Saran 1.Penentuan batas secara kartometrik di atas peta, seyogyanya dilanjutkan dengan pekerjaan penegasan batas secara pasti di lapangan terutama untuk pengukuran titiktitik dasar. 2.Perlu dilakukan penelitian mengenai perbandingan hasil penentuan batas antara perangkat lunak CARIS LOTS dengan perangkat lunak yang lainnya. 3.Perlu dilakukan kajian mengenai implementasi penetapan dan penegasan batas maritim terkait dengan pemberlakuan otonomi daerah, misalnya dikaitkan dengan penentuan luas daerah dalam rangka perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU). 8. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Kepala Laboratorium Hidrografi Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM atas izin pemakaian lab dan segala prasarana yang mendukung penelitian ini dan juga kepada UNSW Australia atas perangkat lunaknya. 9. Daftar Pustaka -----------, 2001, PCI Geomatics Manuals, Richmond Hill, Ontario, Kanada. -----------, 2003, Advanced CARIS LOTS Limits and Boundaries, Caris Training Manual, Kanada. -----------, 2004, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. -----------, 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Abidin, 2001, Beberapan Pemikiran Tentang Penetapan dan Penegasan Batas di Laut, Geo-Informatika, Vol. 8 No. 2-3, November 2001. Amhar, Patmasari, dan Kencana, 2001, Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Sebuah Tinjauan Komprehensif, Geo-Informatika, Vol. 8 No. 1, Agustus 2001.

Arsana, 2005, Menetapkan Wilayah Laut Daerah, Suara Pembaruan-Opini, 6 Juli 2005, http://www.suarapembaruan.co.id/news/2005/07/06/editor/edit03.htm, diakses 14 September 2006. Handoko dan Abidin, 2002 Analisis Transformasi Datum dari Datum Indonesia 1974 ke Datum Geodesi Nasional 1995, Jurnal Surveying dan Geodesi, Vol.XII No.3, September 2002. http://id.wikipedia.org/wiki/bali, diakses 20 September 2006. http://www.ntb.go.id, diakses 20 September 2006. Rais, J., 2003, Studi Kasus Batas Wilayah Laut antara Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bangka-Belitung, Seri Reformasi Hukum, Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003. Rosalina, 2003, Kabupaten Lombok Barat, Kompas, 03 April 2003, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/03/otonomi/235374.htm, diakses 27 September 2006.