APLIKASI GEOMORFOLOGI DAN PENGINDERAAN JAUH DALAM PENENTUAN LOKASI RAWAN BENCANA LONGSOR DI DAERAH DLINGO DAN SEKITARNYA ABSTRAK Heru Asbi Rahmanda 1 I Nyoman Sutyawan 1 Julio Hosang 1 Prima Putra Setiawan 1 Dr. Ir. Bambang Kuncoro, M.T. 2 1 Mahasiswa Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta 2 Dosen Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta *corresponding author: heruasbi@gmail.com Kajian geomorfologi merupakan petunjuk geologi yang sesuai dan sangat membantu dalam menentukan lokasi rawan longsor. Geomorfologi membahas tentang bentuklahan, pola pengaliran dan proses-proses geomorfologi yang sangat erat kaitannya dengan lokasi rawan longsor. Selain kajian geomorfologi, penggunaan teknik penginderaan jauh dengan citra juga dapat membantu penelitian pada daerah rawan longsor. Kedudukan interpretasi citra untuk geologi bukan merupakan alternatif dari suatu kerja lapangan, tetapi merupakan suatu teknik (alat) dalam survei geologi untuk memberikan kelengkapan data dalam geologi lapangan. Pendekatan berbasis petunjuk geomorfologi dan penginderaan jauh saling berkaitan dan sangat membantu dalam menentukan lokasi rawan longsor. Penelitian ini dilakukan di daerah Dlingo. Jika ditinjau dari kondisi geomorfologinya, daerah ini berpotensi rawan terhadap longsor. Kelerengan, tebal tanah, penggunaan lahan, iklim, vegetasi serta kondisi geologi merupakan parameter yang digunakan dalam menentukan lokasi rawan longsor. Berdasarkan hasil interpretasi dan pengamatan lapangan, dapat diketahui bahwa daerah penelitian memiliki potensi terjadinya bencana longsor. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan dengan geomorfologi dan penginderaan jauh sangat membantu dalam penentuan lokasi rawan longsor. Kata Kunci: bencana longsor, geomorfologi, penginderaan jauh, kelerengan 1. Pendahuluan Bencana longsor merupakan bencana terbanyak kedua terjadi setelah puting beliung di Indonesia pada tahun 2015 berdasarkan data BNPB 4 Januari 2016. Dampak yang dihasilkan mulai dari kerugian harta sampai hilagnya nyawa manusia. Sehingga perlu dilakukan penanggulangan bencana bersama oleh seluruh rakyat Indonesia agar dampaknya dapat dikurangi ataupun dicegah. Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Dimana gangguan kestabilan lereng ini dikontrol oleh kondisi morfologi (terutama kemiringan lereng), kondisi batuan ataupun tanah penyusun lereng dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. Kajian ilmu geomorfologi erat kaitannya dengan kajian penginderaan jauh. Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), penginderaan jauh dalah ilmu, seni dan teknik untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah, dan/atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa harus kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Kajian ilmu geomorfologi dan penginderaan jauh memiliki banyak pemanfaatan di dunia geologi terutama di bidang mitigasi, misalnya untuk kajian penentuan daerah rawan longsor di Daerah Dlingo, Kecamatan Mangunan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.Menurut Van Zuidam (1985), longsor adalah gerakan massa tanah atau batuan dengan jumlah yang cukup besar dari suatu tempat ke tempat lain yang memiliki kemiringan lereng dan disebabkan oleh gravitasi atau media air. 1737
Gerakan massa tanah atau batuan tersebut dapat terjadi dengan kecepatan yang tinggi dan kecepatan yang rendah. Tiga jenis utama gerakan massa tanah atau batuan, yaitu luncuran (slide), aliran (flow) dan jatuhan (heave). Pada jenis luncuran, gerakan perpindahan blok massa tanah atau batuan secara alami terjadi dari bagian tertinggi lereng yang curam ke arah bagian lereng yang landai. Gerakan perpindahan massa tanah dan batuan tersebut memiliki kecepatan yang cukup tinggi, sehingga menimbulkan kerusakan pada lereng yang dilalui. Untuk jenis longsor aliran, gerak perpindahan massa tanah atau batuan dipengaruhi oleh faktor air dengan kecepatan yang relatif cepat, sehingga tidak menimbukan kerusakan. Kemudian untuk jenis longsor jatuhan, gerak perpindahan massa tanah atau batuan yang dipengaruhi oleh faktor gaya gravitasi. Gerakan massa tanah atau batuan memiliki kecepatan relatif lambat dan berlangsung pada daerah yang tidak luas. Van Zuidam (1985), juga menggambarkan klasifikasi kemiringan lereng dan kestabilan lereng. Kemiringan lereng digunakan untuk menghitung dan mengetahui tingkat erosi yang berlangsung serta kemungkinan gerakan tanah yang akan terjadi pada lereng tersebut. Van Zuidam 1975 membagi kemiringan lereng menjadi 6 kelas lereng. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya longsor adalah erosi. Erosi merupakan proses pengikisan terhadap permukaan bumi oleh hujan, sehingga partikel permukaan bumi terangkut oleh aliran air atau sungai. Jika kecepatan aliran tenang dan memiliki kecepatan yang rendah, maka perpindahan partikel-partikel hasil pengikisan tersebut tidak menunjukkan telah terjadi erosi, sedangkan jika kecepatan aliran meningkat, maka erosi berlangsung dengan cepat. Jenis erosi dapat dibedakan menjadi: 1. Erosi permukaan (sheet erosion) berlangsung akibat dari limpasan air permukaan yang tidak terpusat dan biasanya berlangsung pada saat hujan berlangsung, sehingga curah hujan yang jatuh dipermukaan tanah mulai mengalir. Kondisi erosi permukaan sangat sulit diinterpretasi melalui foto udara, namun ciri suatu daerah yang mengalami erosi permukaan pada foto udara akan menunjukkan vegetasi yang jarang. 2. Erosi alur (riil erosion) berlangsung ketika limpasan air permukaan terpusat membentuk suatu alur dan terjadi pengikisan pada alur-alur aliran tersebut. Erosi alur memiliki ciri yang hampir sama dengan erosi permukaan, tetapi pada foto udara dengan skala yang besar akan tampak alur pengikisan pada daerah yang terbuka, sehingga erosi alur dapat dipetakan pada skala peta yang besar. 3. Erosi parit (gully erosion) berlangsung ketika semakin tinggi debit hujan dan debit aliran pada alur yang terbentuk, maka semakin kuat erosi vertikal dan horisontal mengakibatkan alur semakin besar dan menjadi parit. Erosi parit pada peta topografi dicerminkan oleh lekukan garis kontur sebagai aliran air dari suatu punggungan dan bersatu menjadi saluran arus aliran air. Kenampakan pada foto udara sangat jelas, sehingga erosi parit dapat dipetakan dengan skala peta sedang sampai besar. Selain faktor air yang mempengaruhi terjadinya erosi, maka faktor ketahanan batuan terhadap pengikisan atau penggerusan merupakan salah satu factor yang berperan. Tampilan ketahanan batuan terhadap pengikisan atau penggerusan pada peta topografi dan foto udara akan ditunjukkan oleh kerapatan pengaliran. Semakin rapat pola aliran, maka batuan mudah mengalami pengikisan atau penggerusan, sedangkan semakin renggang pola aliran berarti batuan semakin tahan terhadap pengikisan atau penggerusan. Varnes ( 1978) membagi jenis longsor menjadi beberapa klasifikasi, yaitu: 1738
1. Longsor luncuran (slide) disebabkan oleh memisahnya bagian tanah yang lemah dari bagian tanah yang kokoh. Longsor luncuran ini dibagi menjadi 3 jenis yaitu rotational slide, block slide dan translational slide. Rotational slide merupakan jenis longsor luncuran yang arah luncurannya paralel dengan permukaan tanah, dan bekasnya membentuk semacam lengkungan pada permukaan tanah. Block slide merupakan jenis longsor luncuran yang arah luncurannya lurus namun materialnya berukuran halus sampai bongkah. Sedangkan translational slide merupakan longsor yang bergerak sepanjang bidang planar dari permukaan tanah. 2. Longsor jatuhan (rockfall) merupakan jenis longsor yang biasanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan kelerengan. Material yang dibawa biasanya berupa bongkahan batu. Longsor jenis ini biasa terjadi di sepanjang zona lemah akibat adanya kekar atau sesar. 3. Longsor runtuhan (topples) disebabkan oleh adanya pengaruh gravitasi dan rekahan yang membesar sehingga mengakibatkan struktur tanah tersebut kehilangan daya tahannya dan runtuh ke arah depan. 4. Longsor aliran, longsor jenis ini dibagi menjadi 5 subjenis yaitu; a) debris flow : terdiri dari >50% material-material halus seperti pasir lepas, material organik yang dikontrol oleh aliran air yang cepat dan kelerengan miring. b) debris avalanche, masih bagian dari debris flow namun lebih cepat, c) earth flows, hasilnya berbentuk seperti jam pasir. Di bagian atas membentuk semacam depresi pada area awal permukaan dan mengalir kemudian di bagian deposisional membentuk semacam kipas. d) mud flow, jenis longsor aliran yang materialnya >50% berukuran pasir, lanau hingga lempung yang pergerakannya didominasi oleh aliran air yang deras. e) creep, longsor jenis ini terjadi perlahan-lahan dan menghasilkan deformasi permanen pada tanah. 5. Longsor melampar (spread) sangat jarang terjadi karena biasanya longsor jenis ini terjadi pada kelerengan yang landai hingga datar dan bergerak secara lateral. Longsor jenis ini biasa terjadi pada material lepas, material sedimen yang kehilangan gaya kohesinya, serta pada material yang semula padat lalu perlahan menjadi lumpur akibat terlalu banyak menyerap air. 2. Metode Penelitian 2.1 Metode Interpretasi Studio Metode yang digunakan adalah dengan pengumpulan data-data serta pustaka mengenai geologi regional daerah telitian. Kemudian melakukan interpretasi peta topografi daerah telitian serta interpretasi dari citra foto udara dari google earth. Dari hasil interpretasi didapatkan daerah daerah yang terindikasi rawan longsor, dilihat dari kelerengannya, rresistensi batuan geomorfologi daerah telitian. Kemudian pencarian data tingkat curah hujan dan tata guna lahan daerah telitian. 2.2 Metode Observasi Metode berikutnya yang digunakan adalah observasi, yaitu pengecekan langsung ke daerah telitian (field check) untuk memastikan hasil interpretasi peta dan foto udara tersebut. 3. Data Data yang dibutuhkan untuk keperluan interpretasi antara lain peta topografi, dan peta tataguna lahan. Dari peta topografi, kemudian dibuat peta pola pengaliran, peta kelerengan, peta resistensi batuan dan peta geomorfologi. 1739
- Peta Pola Pengaliran dibuat menggambarkan pola pengaliran di daerah telitian. Hal ini berkaitan dengan proses erosi, air limpasan dan mata air yang berpotensi sebagai zona rawan longsor. - Peta kelerengan, menggambar-kan tingkat kelerengan di daerah telitian. - Peta resistensi menggambarkan tingkat resistensi batuan di daerah telitian. - Peta geomorfologi, yang menggambarkan bentuklahan di daerah telitian. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Geomorfologi Daerah Telitian Berdasarkan pengamatan di citra foto udara dan pengecekan lapangan, kondisi geomorfologi daerah telitian berupa perbukitan yang terbentuk akibat adanya gaya endogen dari proses tektonik. Daerah telitian juga memiliki kelerengan yang relatif miring sampai curam, yang mengindikasikan daerah tersebut rawan longsor. 4.2 Geologi daerah Telitian Berdasarkan peta geologi daerah Yogyakarta tahun 1995, daerah telitian termasuk ke dalam Formasi Nglanggeran dengan litologi penciri berupa breksi gunung api dan breksi aliran. Material longsorannya pun terdiri dari bongkah batuan beku andesit hingga tanah yang berwarna kemerahan yang berasal dari pelapukan batuan beku. 4.3 Potensi Longsor Daerah Telitian Berdasarkan interpretasi citra dan geomorfologi daerah telitian, serta observasi langsung di beberapa titik di daerah telitian, potensi longsor yang dapat terjadi adalah jenis longsor jatuhan (rock falls) dan longsor luncuran (translational slide). Longsor rockfall pernah dan berpotensi terjadi di pinggir jalan yang bagian sampingnya merupakan material tanah dan bongkah bongkah batu. Hal ini sudah dibuktikan di observasi lapangan. Sedangkan untuk longsor tipe luncuran biasa terjadi di dekat pemukiman warga di sepanjang aliran sungai. Longsor yang terjadi dalam intensitas yang tidak terlalu besar sehingga belum membahayakan rumah penduduk. Potensi longsor luncuran juga terdapat di pinggir jalan raya menuju arah Kebun Buah Mangunan dimana terdapat tebing curam dengan material berupa soil yang berwarna kemerahan yang di atasnya terdapat rumah penduduk. 5. Kesimpulan Pada daerah telitian yang terletak di Dlingo memiliki beberapa titik yang berpotensi sebagai daerah rawan longsor. Hal ini dilihat dari geomorfologi daerah Dlingo yang berupa perbukitan struktural dengan kelerengan miring curam. Penginderaan Jauh digunakan sebelum ke lapangan dengan memperhatikan aspek aspek geomorfologi daerah telitian dari sebuah citra. Setelah dilakukan observasi lapangan, pada titik penelitian jenis longsor yang berpotensi terjadi adalah longsor jenis jatuhan (rockfall) dan longsor luncuran (translational slide) Longsor jatuhan (rockfall) terjadi pada tempat yang kelerengannya curam dan mengandung material dari yang berukuran halus sampai bongkah. Longsor luncuran (translational slide) terjadi di daerah yang kelerengannya landai-miring dengan material longsoran biasanya berukuran halus sampai kasar. Potensi longsor yang dimiliki daerah telitian cukup berbahaya karena bisa menutup jalan dan mengganggu lalu lintas serta aktivitas warga setempat, 1740
meskipun sejauh ini longsor yang terjadi di beberapa titik di daerah telitian tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Acknowledgements Seluruh pendanaan untuk pembuatan paper ini berasal berasal dari biaya pribadi penulis. Ucapan terima kasih dipanjatkan kapada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah dan karunianya paper ini dapat selesai pada waktunya. Terima kasih kepada dosen yang telah membantu selama proses pengerjaan. kepada kedua orang tua yang selalu memberikan doa yang tak henti-hentinya. Daftar Pustaka Arifin, Samsul, dkk. 2006. Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk inventarisasi Daerah Rawah Bencana Longsor (Propinsi Lampung). Lampung. LAPAN. Nugroho, Lillesand and Kiefer. 1993. Remote Sensing And Image Interpretation. Jhon Villey and Sons. New York. Novotny, Jan. 2013. Varnes Landslide Classification (1978). Czech Republic. Charles University. Rahardjo, Wartono, Sukandarrumidi (1995) Peta Geologi Regional Yogyakarta skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Sutopo Purwo. 2016. Evaluasi Penanggulangan Bencana 2015 dan Prediksi Bencana 2016. Jakarta. BNPB. Van Bemmelen, RW. 1949. The Geology Of Indonesia. Government Printing Office The Hague Zuidam, R A van, and Zuidam Cancelado. 1983. Terrain Analysis and Classification using Aerial Photographs Geomorphological Approach ITC. Text Book 1741
Gambar 1. Jenis-jenis longsoran menurut Klasifikasi Varnes (1978) yang menjadi dasar klasifikasi longsor yang dipakai penulis dalam paper ini. 1742
Gambar 2. Merupakan kenampakan daerah telitian dari citra foto udara dari google earth yang menjadi dasar interpretasi sebelum observasi. 1743
Gambar 3.1 Peta Topografi Daerah Dlingo yang menjadi dasar interpretasi peta Gambar 3.2 Peta Pola Pengaliran Daerah Dlingo yang menjadi dasar interpretasi peta geomorfologi 1744
Gambar 3.3 Peta Kelerengan Daerah Dlingo yang menunjukkan kelerengan miring curam daerah telitian sehingga menjadi indikasi kuat daerah rawan longsor. Gambar 3.4 Peta Resistensi Batuan Daerah Dlingo yang menunjukkan tingkat resistensi batuan di daerah telitian yang diinterpretasi dari kerapatan kontur dan peta kelerengan 1745
Gambar 3.5 Peta Geomorfologi Daerah Telitian yang didapatkan dari interpretasi pola pengaliran Gambar 3.7 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Bantul 1746
Gambar 4.1 Peta Geologi Regional Yogyakarta 1747
Gambar 4.2. Salah satu titik longsoran jenis rockfall. Gambar 4.3. Salah satu titik longsor tipe slide yang tertutup vegetasi 1748
Gambar 4.4. Salah satu titik yang berpotensi terjadi tanah longsor da membahayakan, karena terdapat bangunan rumah dan jika hujan terus turun, tanah dikhawatirkan bisa ambles begitupun rumahnya. Tabel 1. 1 Klasifikasi lereng dan karakteristiknya menurut Van Zuidam 1985 Kelas Lereng 0-20 (0-2 %) 20-40 (2-7 %) 40-80 (7-15 %) 80-160 (15-30 %) 160-350 (30-70 %) 350-550 (70-140 %) Proses, Karakteristik dan Kondisi lahan Datar atau hampir datar, tidak ada erosi yang besar, dapat diolah dengan mudah dalam kondisi kering. Lahan memiliki kemiringan lereng landai, bila terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah, pengikisan dan erosi akan meninggalkan bekas yang sangat dalam. Lahan memiliki kemiringan lereng landai sampai curam, bila terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah, sangat rawan terhadap erosi. Lahan memiliki kemiringan lereng yang curam, rawan Lahan memiliki kemiringan lereng yang curam sampai terjal, sering terjadi erosi dan gerakan tanah dengan kecepatan yang perlahan - lahan. Daerah rawan erosi dan longsor Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjal, sering 1749
> 550 ( > 140% ) Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjal, singkapan batuan muncul di permukaan, rawan tergadap longsor batuan. Tabel 1. 2 Media erosi dan proses erosi MEDIA PENGARUH PROSES YANG TERJADI PROSES MUATAN MATERIAL AIR PERMUKAAN Kegiatan hidrolik Traksi, saltasi, suspensi, larutan dan apungan. AIR TANAH Pencucian, korosi Larutan OMBAK, ARUS dan PASANG NAIK. Kegiatan hidrolik Traksi, saltasi, suspensi, larutan dan apungan. ANGIN Abrasi dan deflasi Traksi, saltasi dan suspensi. GLASIAL Penggerusan dan saluran. Traksi dan suspensi GRAVITASI Gerakan massa Aliran, luncuran dan penurunan. Traksi dan suspensi. 1750