BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Turnover 1. Intensi a. Pengertian Intensi Intensi (intention) adalah satu perjuangan guna mencapai satu tujuan, ciri-ciri yang dapat dibedakan dari proses-proses psikologis, yang mencakup referensi atau kaitannya dengan satu objek (Chaplin, 2004). Intensi merupakan probabilitas atau kemungkinan yang bersifat subjektif, yaitu perkiraan seseorang mengenai seberapa besar kemungkinannya untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Anwar dkk, 2005). Intensi adalah komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Hal-hal yang diasumsikan dapat menangkap faktor -faktor yang memotivasi dan yang berdampak kuat pada tingkah laku (Fishbein dan Ajzen, 1975). Sebuah peristiwa akan menimbulkan respon dari individu dan kemudian akan melibatkan proses internal untuk suatu pencapaian keputusan, tingkah laku tersebut akan dilakukan atau tidak dilakukan (Fishbein dan Ajzen, 1975). Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan secara umum bahwa intensi adalah komponen dalam diri individu yang mempengaruhi seberapa besar kemungkinan individu melakukan suatu 9
tindakan tertentu. Intensi akan memberikan petunjuk tentang kemungkinan seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ajzen dan Fishbein (1975) bahwa intensi berperilaku adalah kemungkinan subjektif subjek untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Norma subjektif subjek ditentukan oleh keyakinannya pada apa yang dianggap penting oleh orang-orang yang dianggap penting, oleh subjek (significant person), orang yang dianggap penting oleh subjek dapat memberikan dukungan bagi subjek untuk menentukan keyakinannya, orang yang dekat dengan subjek atau orang yang dianggap penting dan pendapatnya dipercayai oleh subjek. Intensi adalah bagian penting teori tindakan beralasan (Theory of reasoned action) dari Fishbein dan Ajzen (1975). Intensi merupakan prediktor sukses dari perilaku karena ia menjembatani sikap dan perilaku. Intensi dipandang sebagai ubahan yang paling dekat dari individu untuk melakukan perilaku, maka dengan demikian intensi dapat dipandang sebagai hal yang khusus dari keyakinan yang obyeknya selalu individu dan atribusinya selalu perilaku (Fishbein dan Ajzen, 1975). Intensi dapat menunjukkan seberapa besar kemauan seseorang untuk berusaha melakukan suatu tingkah laku tertentu. 10
b. Faktor Penentu Intensi Intensi perilaku menururt Fishbein dan Ajzen (1975) dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : 1) Keyakinan perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukan norma subyektif. Di dalam sikap terhadap perilaku terdapat dua aspek pokok, yaitu keyakinan individu bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu, dan merupakan aspek pengetahuan individu tentang obyek sikap dapat pula berupa opini individu, hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap obyek tersebut, demikian pula sebaliknya (Fisbein dan Ajzen, 1975). 2) Keyakinan normatif, yaitu keyakinan individu akan norma, orang sekitarnya dan motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. Di dalam norma subyektif terdapat dua aspek pokok yaitu keyakinan akan harapan, referensi norma harapan, merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh individu yang menyarankan individu untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu serta motivasi untuk mematuhi harapan normatif. 3) Kontrol perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukan kontrol perilaku yang dipersepsikan. Kontrol perilaku yang dipersepsi merupakan persepsi terhadap kekuatan faktor-faktor yang 11
mempermudah atau mempersulit. Persepsi terhadap faktor-faktor yang memudahkan atau menghalau faktor yang menyulitkan penampilan perilaku tertentu. Intensi seringkali terlihat sebagai komponen konatif dari sikap, dan pada umumnya diasumsikan bahwa komponen konatif tersebut berkaitan dengan komponen afektif dari sikap. Konsepsi/pengertian tersebut telah mengacu pada asumsi terhadap keterikatan yang kuat antara sikap dan intensi (Ajzen dan Fishbein, 1975). c. Aspek-Aspek Intensi Intensi sebagai niat untuk melakukan suatu perilaku demi mencapai tujuan tertentu memiliki beberapa aspek. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975 ) intensi memiliki empat aspek, yaitu : 1) Perilaku (behavior), yaitu perilaku spesifik yang nantinya akan diwujudkan. 2) Sasaran (target), yaitu objek yang menjadi sasaran perilaku. Objek yang menjadi sasaran dari perilaku spesifik dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu orang tertentu/objek tertentu (particular object), sekelompok orang/sekelompok objek (a class of object), dan orang atau objek pada umumnya (any object). 3) Situasi (situation), yaitu situasi yang mendukung untuk dilakukannya suatu perilaku (bagaimana dan dimana perilaku itu akan diwujudkan). Situasi dapat pula diartikan sebagai lokasi terjadinya perilaku. 12
4) Waktu (time), yaitu waktu terjadinya perilaku yang meliputi waktu tertentu, dalam satu periode atau tidak terbatas dalam satu periode, misalnya waktu yang spesifik (hari tertentu, tanggal tertentu, jam tertentu), periode tertentu (bulan tertentu), dan waktu yang tidak terbatas (waktu yang akan datang). Sependapat dengan Fishbein dan Ajzen, Smet (1994) juga mengemukakan bahwa intensi memiliki empat aspek, yaitu: 1) Tindakan (action), bahwa intensi akan menimbulkan suatu perilaku. 2) Sasaran (target), merupakan objek yang menjadi sasaran dari perilaku. 3) Konteks (context), menunjukkan pada situasi yang mendukung munculnya perilaku. 4) Waktu (time), menunjukkan kapan suatu perilaku muncul. Dari teori intensi yang dikemukakan Fisbean dan Ajzen serta Smet maka dapat disimpulkan bahwa aspek intensi yaitu: perilaku, sasaran, situasi, dan waktu. 2. Turnover a. Pengertian Turnover Mobley (1986) memberikan batasan pengertian pada turnover atau pergantian karyawan sebagai berhentinya individu sebagai anggota suatu organisasi/perusahaan yang bersangkutan. Jewell (dalam Utami, 2008) memberikan pengertian khusus pada turnover yaitu mengacu pada anggota organisasi yang keluar. 13
Jackofsky dan Peter (dalam Kurniawan, 2010) memberi batasan turnover sebagai perpindahan karyawan dari pekerjaannya yang sekarang. Cascio (1987) mendefinisikan turnover sebagai berhentinya hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dengan karyawannya. Maier (1971) menyebutkan turnover sebagai perpisahan antara perusahaan dan pekerja, sedangkan Scott (dalam Utami, 1977) mendefinisikan gejala turnover sebagai perpindahan tenaga kerja dari dan ke sebuah perusahaan. Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa turnover adalah keluar atau berpindahnya karyawan dari perusahaan baik secara sukarela maupun terpaksa dan disertai pemberian imbalan. b. Indikasi Turnover Menurut Harnoto (2002) turnover ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain absensi yang meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya. Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan terjadinya turnover karyawan dalam sebuah perusahaan. 14
a. Absensi yang meningkat Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya. b. Mulai malas bekerja Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan bersangkutan c. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya d. Peningkatan protes terhadap atasan Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan 15
berbeda dari biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover. 3. Intensi Turnover a. Pengertian Intensi Turnover Berdasarkan pengertian dari intensi dan turnover di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa intensi turnover adalah keinginana atau niat karyawan dari suatu perusahaan atau organisasi untuk keluar dari tempatnya bekerja secara sadar dan sukarela. b. Aspek-aspek Intensi Turnover Aspek intensi turnover merupakan gabungan dari aspek intensi dari Ajzen dan Fishben (1975) dan indikasi turnover dari Harnoto (2002) yaitu: 1) Perilaku (behavior), yaitu perilaku spesifik yang nantinya akan diwujudkan. Dalam konteks tunover, perilaku spesifik yang akan diwujudkan yaitu bentuk-bentuk perilaku yang mengarah ke arah turnover yaitu sering membolos, tidak maksimal bekerja, berusaha mencari kerja lain dan berbuat curang. 2) Sasaran (target), yaitu objek yang menjadi sasaran perilaku. Objek yang menjadi sasaran dari perilaku spesifik dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu orang tertentu/objek tertentu (particular object), sekelompok orang/sekelompok objek (a class of object), dan orang atau objek pada umumnya (any object). Dalam konteks tunover, objek yang menjadi 16
sasaran yaitu pekerjaan yang lebih baik, atasan, rekan kerja, absen, dan upah. 3) Situasi (situation), yaitu situasi yang mendukung untuk dilakukannya suatu perilaku (bagaimana dan dimana perilaku itu akan diwujudkan). Situasi dapat pula diartikan sebagai lokasi terjadinya perilaku. Dalam konteks tunover, situasi yang menyebabkan turnover yaitu tidak mendapat promosi dan masa depan. 4) Waktu (time), yaitu waktu terjadinya perilaku yang meliputi waktu tertentu, dalam satu periode atau tidak terbatas dalam satu periode, misalnya waktu yang spesifik (hari tertentu, tanggal tertentu, jam tertentu), periode tertentu (bulan tertentu), dan waktu yang tidak terbatas (waktu yang akan datang). c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Turnover Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover cukup kompleks dan saling berkait satu sama lain. Menurut Maier (1971), faktorfaktor yang mempengaruhi intensi turnover yaitu: 1) Usia Maier (1971) mengemukakan pekerja muda mempunyai tingkat turnover yang lebih tinggi daripada pekerja-pekerja yang lebih tua. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dan intensi turnover dengan arah hubungan negatif. Artinya semakin tinggi usia seseorang, semakin rendah intensi untuk melakukan turnover. Karyawan yang lebih muda lebih tinggi 17
kemungkinan untuk keluar. Hal ini mungkin disebabkan pekerja yang lebih tua enggan berpindah-pindah tempat kerja karena berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga, mobilitas yang menurun, tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan di tempat kerja baru, atau karena energi yang sudah berkurang, dan lebih lagi karena senioritas yang belum tentu diperoleh di tempat kerja yang baru walaupun gaji dan fasilitasnya lebih besar. 2) Lama Kerja Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat. Interaksi dengan usia, kurangnya sosialisasi awal merupakakan keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya turnover tersebut. Karyawan sering pula menemukan harapan-harapan mereka terhadap pekerjaan atau perusahaan itu berbeda dengan kenyataan yang didapat. Disamping itu, umumnya pekerja-pekerja baru itu masih muda usianya, masih punya keberanian untuk berusaha mencari perusahaan dan pekerjaan yang sesuai dengan yang diharapkan. 3) Tingkat pendidikan dan inteligensi. Dalam hal ini Maier (1971) membahas pengaruh intelegensi terhadap turnover. Dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat intelegensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah akan tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak aman. 18
4) Keikatan terhadap perusahaan. Pekerja yang mempunyai rasa keikatan yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup, serta gambaran diri yang positif. Akibat secara langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan. 5) Kepuasan kerja. Ketidakpuasan yang menjadi penyebab turnover memiliki banyak aspek, diantara aspek-aspek itu adalah ketidakpuasan terhadap manajemen perusahaan, kondisi kerja, mutu pengawasan, penghargaan, gaji, promosi dan hubungan interpersonal. 6) Budaya perusahaan. Budaya perusahaan merupakan suatu kekuatan tak terlihat yang mempengaruhi pemikiran, perasaan, pembicaraan maupun tindakan manusia yang bekerja di dalam perusahaan. Budaya perusahaan mempengaruhi persepsi mereka, menentukan dan mengharapkan bagaimana cara individu bekerja sehari-hari dan dapat membuat individu tersebut merasa senang dalam menjalankan tugasnya. Robbins (2006) menyatakan bahwa budaya perusahaan yang kuat memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara langsung mengurangi turnover. Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai utama sebuah organisasi atau perusahaan sangat dipegang teguh dan tertanam pada seluruh 19
karyawannya. Semakin banyak karyawan yang menerima nilai-nilai tersebut dan semakin besarkomitmen terhadapnya maka semakin kuat budaya perusahaan itu. B. Hardiness 1. Pengertian Hardiness Kobasa dan Maddi (2005) menjelaskan hardiness sebagai suatu konstelasi karakteristik kepribadian yang berfungsi sebagai sumber daya untuk menghadapi peristiwa-peristiwa hidup yang menimbulkan stres. Mc.Cubbi (dalam Smet, 1994) mengungkapkan bahwa hardiness merupakan kekuatan dasar individu untuk menemukan kapasitas dalam menghadap tekanan. Menurut Sheridan dan Radmacher (dalam Smet 1994) hardiness merupakan kepercayan bahwa seseorang akan survive dan mampu tumbuh, belajar dan menghadapi tantangan. Cotton (dalam Heriyanto, 2011), lebih jelas lagi mengartikan hardiness sebagai komitmen yang kuat terhadap diri sendiri, sehingga dapat menciptakan tingkah laku yang aktif terhadap lingkungan dan perasaan bermakna yang menetralkan efek negatif stres. Sementara Quick (1997) menyatakan hardiness sebagai konstruksi kepribadian yang merefleksikan sebuah orientasi yang lebih optimistis terhadap hal-hal yang menyebabkan stres. Ini sesuai dengan pendapat Kobasa dan Maddi (2005) yang melihat hardiness sebagai kecenderungan untuk mempersepsikan atau memandang peristiwa-peristiwa hidup yang 20
potensial mendatangkan stres sebagai sesuatu yang tidak terlalu mengancam. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan secara umum bahwa hardiness merupakan suatu konstelasi karakteristik kepribadian yang menjadi kekuatan dasar untuk menemukan kapasitas dalam menghadapi tekanan, sehingga dapat menciptakan tingkah laku yang aktif terhadap lingkungan dan perasaan bermakna yang menetralkan efek negatif stres. 2. Aspek Hardiness Franken (dalam Heriyanto, 2011) menjelaskan adanya tiga aspek hardiness. Ketiga aspek itu adalah : a. Kontrol Kontrol adalah keyakinan individu bahwa dirinya dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang terjadi atas dirinya, Kobasa dan Maddi (2005). Aspek ini berisi keyakinan bahwa individu dapat memengaruhi atau mengendalikan apa saja yang terjadi dalam hidupnya. Individu percaya bahwa dirinya dapat menentukan terjadinva sesuatu dalam hidupnya, sehingga tidak mudah menyerah ketika sedang berada dalam keadaan tertekan. Individu dengan hardiness yang tinggi memiliki pandangan bahwa semua kejadian dalam lingkungan dapat ditangani oleh dirinya sendiri dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang harus dilakukan sebagai 21
respon terhadap stres. b. Komitmen Komitmen adalah kecenderungan untuk melibatkan diri dalam aktivitas yang sedang dihadapi, Kobasa dan Maddi (2005). Aspek ini berisi keyakinan bahwa hidup itu bemakna dan memiliki tujuan. Individu juga berkeyakinan teguh pada dirinya sendiri walau apapun yang akan terjadi. Individu dengan hardiness yang tinggi percaya akan nilai-nilai kebenaran, kepentingan dan nilai-nilai yang menarik tentang siapakah dirinya dan apa yang marnpu ia lakukan. Selain itu, individu dengan hardiness yang tinggi juga percaya bahwa perubahan akan membantu dirinya berkernbang dan mendapatkan kebijaksanaan serta belajar banyak dari pengalaman yang telah didapat. c. Tantangan Tantangan adalah kecenderungan untuk memandang suatu perubahan yang terjadi sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri, bukan sebagai ancarnan terhadap rasa amannya, Kobasa dan Maddi (2005). Aspek ini berupa pengertian bahwa hal-hal yang sulit dilakukan atau diwujudkan adalah sesuatu yang umum terjadi dalam kehidupan, yang pada akhirnya akan datang kesempatan untuk melakukan dan mewujudkan hal tersebut. Dengan demikian individu akan secara ikhlas bersedia terlibat dalam segala perubahan dan melakukan segala aktivitas baru untuk bisa lebih 22
maju. Individu seperti ini biasanya menilai perubahan sebagai sesuatu yang menyenangkan dan menantang daripada sesuatu yang sifatnya mengancam. Dengan pandangan yang terbuka dan fleksibel, tantangan dapat dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan harus dihadapi. Bahkan, tantangan dilihat sebagai kesempatan untuk belajar lebih banyak. 3. Fungsi hardiness Menurut Florian (dalam Heriyanto, 2011) fungsi hardiness adalah: a. Membantu individu dalam proses adaptasi dan lebih memiliki toleransi terhadap stres. b. Mengurangi akibat buruk dari stres kemungkinan terjadinya burnout dan penilaian negatif terhadap suatu kejadian yang mengancam dan meningkatkan pengharapan untuk melakukan coping yang berhasil. c. Membuat individu tidak mudah jatuh sakit. d. Membantu individu mengambil keputusan yang baik dalam keadaan stress. Dari beberapa penjabaran mengenai fungsi hardiness diatas maka dapat disimpulkan secara umum bahwa hardiness dapat mengurangi efek buruk dari stres yang dialami oleh individu dan dapat memberi penilaian yang lebih positif terhadap suatu kejadian sehingga meningkatkan harapan yang akhirnya dapat membantu individu mengambil keputusan yang baik. 23
4. Faktor yang mempengaruhi hardiness Faktor yang mempengaruhi hardiness menurut Florian (dalam Heriyanto, 2001) antara lain : a. Kemampuan untuk membuat rencana yang realistis, dengan kemampuan individu merencanakan hal yeng realistis maka saat individu menemui suatu masalah maka individu akan tahu apa hal terbaik yang dapat individu lakukan dalam keadaan tersebut. b. Memiliki rasa percaya diri dan positif citra diri, individu akan lebih santai dan optimis jika individu memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan citra diri yang positif maka individu akan terhindar dari stres. c. Mengembangkan keterampilan komunikasi, dan kapasitas untuk mengelola perasaan yang kuat dan impuls. Dari beberapa penjabaran diatas maka dapat disimpulkan banyak hal yang dapat mempengaruhi hardiness antara lain faktor dari dalam diri individu itu sendiri seperti kemampuan individu untuk membuat rencana yang realistis, memiliki rasa percaya diri dan positif citra diri, keterampilan individu berkomunikasi. C. Karyawan 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah aset utama perusahaan yang menjadi perencana dan pelaku aktif dari aktivitas organisasi. Karyawan adalah seorang pekerja tetap yang bekerja dibawah perintah orang lain dan mendapat kompensasi serta 24
jaminan (Hasibuan, 2000). Undang-undang RI No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Karyawan adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainnya kepada pemberi kerja (id.wikipedia.com). Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa karyawan adalah orang yang bekerja dalam suatu organisasi/perusahaan dan mendapatkan upah/kompensasi serta jaminan. D. Hubungan Antara Hardiness dengan Intensi Turnover Pada Karyawan Intensi turnover adalah keinginan individu yang secara sadar dan penuh pertimbangan untuk meninggalkan perusahaan dimana ia bekerja sekarang. Kobasa dan Maddi (2005) menjelaskan hardiness sebagai suatu konstelasi karakteristik kepribadian yang berfungsi sebagai sumber daya untuk menghadapi peristiwa -peristiwa hidup yang menimbulkan stress. Hardiness merupakan suatu kepribadian untuk menghadapi berbagai stresor. Individu dengan hardiness yang baik dapat menghadapi berbagai stresor yang muncul dalam kerjannya sehinggan bisa menangkal dampak negatif stres yaitu intensi (keinginanatau niat) untuk keluar (turnover) dari suatu organisasi/perusahaan, begitupun sebaliknya bagi individu yang memiliki hardiness rendah maka akan memiliki kemampuan yang rendah 25
dalam menghadapi stresor sehingga akan memunculkan intensi (keinginan atau niat )untuk keluar (turnover) dari suatu organisasi/perusahaan karena kurangnya kemampuan untuk menghadapi efek negatif stres. E. Kerangka Berpikir Individu dengan hardiness yang baik dapat menghadapi berbagai stresor yang muncul dalam kerjannya sehingga bisa menangkal dampak negatif stres yaitu keinginan untuk keluar dari suatu organisasi/perusahaan, begitupun sebaliknya bagi individu yang memiliki hardiness rendah maka akan memiliki kemampuan yang rendah dalam menghadapi stresor sehingga akan memunculkan keinginan untuk keluar dari suatu organisasi/perusahaan karena kurangnya kemampuan untuk menghadapi efek negatif stres. ka Karyawan Stresor Hardiness Rendah Tinggi Intensi Turnover Tinggi Intensi Tunover Rendah Gambar kerangka berpikir 26
F. Hipotesis Berdasarkan uraian tentang kerangka berpikir di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa ada hubungan negatif antara hardiness dengan intensi turnover pada karyawan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk di wilayah Gombong. 27