BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Undang-undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009, menyebutkan bahwa penyelenggaraan rumah sakit bertujuan antara lain untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia yang berada dalam rumah sakit, agar tercapai pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Mutu pelayanan dapat diukur dengan membandingkan persepsi antara pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang diterima dan dirasakan oleh konsumen (Kurtin dan Stucky, 2009). Selain itu, mutu layanan kesehatan dapat diketahui dari kesesuaian layanan dengan standar pelayanan medis dan pedomanpedoman pelayanan yang disepakati oleh sesuai kode etik profesi (Praptiwi, 2009). Indikator mutu layanan kesehatan jiwa antara lain adalah kepuasan pelanggan, keselamatan pasien, indikator lama perawatan, waktu remisi rata-rata, tingkat kekambuhan, dan efektivitas pelayanan (EPA, 2012; Rogers, 2011; Kepmenkes Nomor 129 Tahun 2008). Selain itu, mutu layanan kesehatan dapat diketahui dengan cara mengukur kesesuaian layanan dengan clinical pathway yang sudah disepakati (Depkes, 2005; King, 2004). Clinical pathway di rumah sakit adalah suatu alur proses kegiatan pelayanan pasien mulai pasien masuk sampai pasien pulang yang merupakan integrasi dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan farmasi dan pelayanan kesehatan lainnya. Clinical pathway merupakan konsep pra perawatan yang disusun berdasarkan standar prosedur dari setiap profesi yang mengacu pada standar pelayanan dari profesi masing-masing, disesuaikan dengan strata sarana pelayanan rumah sakit (PMPK, 2013; Rivany, 2009). Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito, Yogyakarta, clinical pathway untuk layanan kedokteran jiwa belum diterapkan sampai menjelang diberlakukannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan
2 oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada tanggal 1 Januari 2014. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013, clinical pathway digunakan sebagai alat pengontrol tarif yang ditetapkan pada paket pembiyaan berdasarkan sistem case-mix, Indonesian Based Related Groups (INA CBGs). Selain itu, dokumen clinical pathway juga dipersyaratkan sebagai alat pembuktian, ketika paket biaya yang tidak terkendali membutuhkan klarifikasi dari tim multidisplin yang melaksanakan kontrak pelayanan tersebut. Tanpa clinical pathway, maka sistem INA CBGs tidak dapat diterapkan dengan baik (PMPK, 2013). Pengembangan dan penerapan clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta diharapkan dapat menjadi salah satu instrumen dalam upaya peningkatan mutu layanan pasien skizofrenia rawat inap sesuai standar akreditasi rumah sakit internasional dan proses pembelajaran sistem pelayanan sebagai rumah sakit pendidikan. Pada layanan kesehatan jiwa terutama di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, diperlukan efisiensi dan efektivitas pelayanan yang baik, karena sumberdaya kesehatan jiwa masih sangat terbatas, baik sumber daya manusia maupun dana (Marchira, 2011; Saxema, dkk., 2007; Atlas, 2005). Pasien gangguan jiwa seperti skizofrenia pada umumnya memerlukan perawatan dalam jangka panjang sehingga hal ini akan berpengaruh pada biaya perawatan (cost effective), kemampuan kehidupan sehari-hari (activity of daily living) dan sosialisasinya. Hal ini antara lain disebabkan oleh konsep WHO Services Organization for An Optimal Mix of Services for Mental Health belum diterapkan secara optimal (WHO, 2009). Pengkajian standar pelayanan yang baik, jelas dan berkelanjutan dalam kegiatan pelayanan rawat inap pasien skizofrenia sangat diperlukan agar dapat diketahui mutu pelayanan rawat inap layanan kesehatan jiwa, karena skizofrenia merupakan diagnosis terbanyak (70 80% dari Bed of Occupancy Rate (BOR) di rumah sakit jiwa) (ARSAWAKOI, 2013; Kintono, 1997). Namun, proses pengembangan clinical pathway skizofrenia di pelayanan rawat inap belum ada hasil penelitiannya secara nasional. Begitu pula dengan publikasi ilmiah tentang
3 penerapan clinical pathway di layanan psikiatri belum banyak dilakukan (Chan dan Wong, 1999). Skizofrenia adalah sindroma klinik yang ditandai oleh psikopatologi berat dan beragam, mencakup seluruh aspek kognisi, emosi, persepsi dan perilaku. Awitan biasanya sebelum usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup dan bisa diderita oleh semua kalangan sosial ekonomi. Prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi, berkisar antara satu sampai 1,5% (Sadock dan Sadock, 2007). Prevalensi seumur hidup skizofrenia di Amerika Serikat adalah sebesar satu persen (Kolegium Psikiatri, 2008), sedangkan insiden tiap tahun di seluruh dunia sebesar 0,7 kasus per 1000 (Muesser dan Jeste, 2008; Africa dan Schwartz, 1995). Manifestasi klinis, respon terapi dan perjalanan penyakit berbeda-beda tiap penderita (Sadock dan Sadock, 2007; Buchanan dan Carpenter, 2005), namun cenderung ke arah kronis. Direktorat Kesehatan Jiwa melaporkan dengan pengobatan secara dini dan baik, 20% pasien skizofrenia akan menjadi kronis, sedangkan 38% cenderung menjadi kambuhan, dan sekitar 40% mengalami remisi yang relatif menetap (Laporan Dirkeswa, 2007). Karakteristik pasien skizofrenia yang demikian, menyebabkan biaya perawatan yang cukup besar, sehingga perlu diterapkan clinical pathway agar kendali mutu dan kendali biaya dapat diterapkan dengan baik (Prince, 2006; Sulastomo, 2005). Diperlukan suatu perencanaan penatalaksanaan yang tepat dalam kompleksitas gangguan, baik dalam farmakoterapi, psikoterapi dan dukungan sosial untuk melakukan perawatan pasien-pasien skizofrenia (Africa dan Schwartz, 1995). Berdasarkan pengkajian beberapa hasil penelitian penerapan clinical pathway di beberapa negara menunjukkan bahwa penerapan clinical pathway dapat meningkatkan cost effectiveness dan menurunkan angka rata-rata lama perawatan di rumah sakit secara signifikan (Susi, 2009; Chan dan Wong, 1999). Dalam studi yang dilakukan Prince (2006) dan Marchisio, dkk. (2007), disebutkan bahwa clinical pathway merupakan alat yang dapat digunakan sebagai perbaikan layanan pada pasien skizofrenia, yang dapat dilihat dari penurunan angka rehospitalisasi tiga bulan sesudah dipulangkan dari layanan rawat inap. Sebelum
4 dilakukan intervensi didapatkan rata-rata re-hospitalisasi pada kelompok intervensi sebesar 30,38% dan 27,54% pada kelompok kontrol. Sesudah dilakukan intervensi penerapan clinical pathway, terjadi penurunan angka re-hospitalisasi sebesar sekitar 20% pada pasien skizofrenia, yaitu sebesar 24% pada pasien skizofrenia yang sudah diterapkan clinical pathway, sedangkan yang tidak diterapkan clinical pathway sebesar 64%. Dalam layanan kesehatan jiwa seringkali terlambat merespon perubahan yang terjadi berkaitan dengan kebijakan layanan kesehatan jiwa, termasuk dalam pengembangan clinical pathway. Hal tersebut menyebabkan praktisi kesehatan jiwa seringkali menghadapi posisi sulit karena harus merespon kebijakan dan standar akreditasi yang terus berkembang (Dykes, 1998). Pengembangan clinical pathway diharapkan dapat membantu praktisi kesehatan mental untuk memenuhi kebutuhan antara pemangku kebijakan, kepentingan praktisi sendiri, maupun kepentingan klinis pasien (Dykes, 1998). Pengembangan clinical pathway dalam kesehatan jiwa sering menghadapi berbagai kendala, antara lain kegagalan mengintegrasikan dokumentasi ke dalam clinical pathway, sehingga clinical pathway hanya dianggap sebagai kertas kerja. Selain itu juga kurangnya resolusi terkait dengan komorbiditas, manajemen luaran dan varian (Dykes, 1998). Menurut Panella et al. (2003). Kendala penerapan clinical pathway dapat dikurangi dengan kesepakatan pemahaman dan koordinasi masing-masing profesi yang terlibat dalam kinerja tim multidisiplin yang terintegrasi. Diperlukan monitoring dan evaluasi terhadap penerapan yang sudah dilakukan oleh tim multidisiplin yang terlibat sebagai upaya perbaikan berkesinambungan (Basudewa, 2013; Varkey, 2010). Monitoring dan evaluasi merupakan elemen kunci pengembangan suatu kebijakan dan perbaikan program. Di dalam penerapan clinical pathway diperlukan monitoring dan evaluasi terhadap kesesuaian tahapan proses pengembangan, kesesuaian aktivitas yang diterapkan dengan perencanaan, dan realisasi tujuan. Evaluasi terhadap ketidaksesuaian penerapan harus dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor penyebabnya (Varkey, 2010; WHO, 2007).
5 Berbagai teknik evaluasi dapat diterapkan, baik penelitian kuantitatif, kualitatif, maupun kombinasi keduanya. Penelitian dengan tujuan pendalaman (indepth research) dapat dilakukan dengan disain eksperimental, randomized control trial, atau wawancara mendalam (WHO, 2007). Kesulitan evaluasi luaran pada program kebijakan kesehatan jiwa seringkali menjadi kendala penerapan monitoring dan evaluasi. Metode penelitian yang sesuai dan peneliti yang berpengalaman diperlukan dalam evaluasi suatu program, namun banyak negara yang kekurangan sumber daya dan keterampilan tentang hal tersebut (WHO, 2007). Hal ini sesuai dengan pendapat Berwick (2008) yang disitasi oleh Marchisio, dkk. (2009), yang menyatakan bahwa lebih baik fokus pada upaya pemahaman organisasi dalam menyesuaikan penerapan proses pelayanan yang baru daripada membandingkan luaran klinis secara kuantitatif. Waktu observasi yang terbatas dan sistem dokumentasi rekam medis serta pelaporan monitoring standar pelayanan medis yang belum didukung oleh data yang diharapkan, seringkali menjadi keterbatasan evaluasi penerapan clinical pathway dengan metode penelitian kuantitatif. Analisis kualitatif pada penelitian ini diharapkan dapat memahami lebih mendalam terhadap proses penerapan clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. B. Fokus Kegiatan Penelitian Fokus kegiatan penelitian ini adalah evaluasi proses pengembangan dan penerapan clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Proses penerapan clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta adalah proses yang dilakukan oleh tim multidisiplin yang terlibat dalam perawatan pasien skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta mulai dari tahap persiapan, penyusunan clinical pathway, sampai tahap penerapan clinical pathway dalam pelayanan pasien skizofrenia rawat inap. Terdapat beberapa dimensi yang diukur dalam evaluasi penerapan clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta dalam penelitian ini, yaitu: 1) Karakteristik layanan pasien skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta; 2) Tahapan proses penerapan clinical pathway
6 skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta; 3) Pentingnya clinical pathway bagi pelayanan pasien skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta; 3) Peran tim multidisiplin dalam penerapan clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta; 4) Evaluasi proses pelayanan selama penerapan clinical pathway, yang meliputi evaluasi kelengkapan pengisian form clinical pathway skizofrenia rawat inap dan ketepatan jam visite psikiater sesuai standar pelayanan minimal di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta; dan 5) Evaluasi outcome layanan pasien skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, yang meliputi rata-rata lama rawat inap pasien skizofrenia dan ketenangan pasien gaduh gelisah tidak lebih dari 48 jam sejak pasien diterima di Instalasi Gawat Darurat. C. Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: Rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan layanan yang aman, bermutu, dan terjangkau sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Hal tersebut dapat diketahui dengan membandingkan persepsi antara layanan yang diharapkan dengan layanan yang dirasakan pasien, kesesuaian layanan dengan standar pelayanan medis dan clinical pathway yang disepakati (Kurtin dan Stucky, 2009; Praptiwi, 2009; Depkes, 2005; King, 2004). Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional yang diterapkan sejak tanggal 1 Januari 2014, clinical pathway merupakan salah satu persyaratan utama pengendali biaya dan pengendali mutu layanan pasien dalam sistem pembayaran berdasarkan case-mix INA-CBGs, terutama pada kasus terbanyak dan berpotensi menghabiskan sumber daya yang besar, seperti skizofrenia (PMPK, 2013; Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013). Berbagai hambatan yang dihadapi dalam pengembangan clinical pathway di layanan kesehatan jiwa antara lain kegagalan mengintegrasikan dokumentasi ke dalam clinical pathway, yang dapat diketahui melalui upaya monitoring dan
7 evaluasi penerapan yang sudah dilakukan (Basudewa, 2013; Varkey, 2010; Panella, dkk., 2003). Di dalam penerapan clinical pathway diperlukan monitoring dan evaluasi terhadap kesesuaian tahapan proses pengembangan, aktivitas yang diterapkan, dan realisasi tujuan yang diharapkan, namun seringkali terdapat keterbatasan waktu observasi, sistem dokumentasi rekam medis, serta pelaporan monitoring standar pelayanan medis (Berwick dalam Marchisio, dkk., 2009; WHO, 2007). Pelayanan kesehatan jiwa, seringkali terlambat merespon perubahan, termasuk dalam pengembangan clinical pathway, sehingga praktisi kesehatan jwa sering kesulitan dalam menghadapi standarisasi akreditasi layanan yang terus berkembang (Dykes, 1998), sehingga perlu diketahui sejauh mana efektivitas penerapan clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Pengembangan dan penerapan clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta diharapkan dapat menjadi salah satu instrumen dalam upaya peningkatan mutu layanan pasien skizofrenia rawat inap. Beberapa indikator mutu layanan harus diukur dan dianalisis sebagai alat untuk mengetahui efektivitas pelayanan pasien skizofrenia rawat inap yang diberikan. Penelitian ini difokuskan pada evaluasi efektivitas mutu layanan pasien skizofrenia rawat inap selama penerapan clinical pathway. Beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai alat ukur keberhasilan penerapan clinical pathway antara lain kelengkapan pengisian form clinical pathway, analisis variasi layanan, dan beberapa indikator mutu layanan seperti ketepatan jam visite psikiater sesuai standar pelayanan minimal, rata-rata lama rawat inap pasien skizofrenia, dan ketenangan pasien gaduh gelisah tidak lebih dari 48 jam sejak pasien diterima di Instalasi Gawat Darurat (EPA, 2012; Rogers, 2011; Kepmenkes Nomor 129 Tahun 2008; Dykes, 1998). Berdasarkan hal di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah proses penerapan clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta sudah dilakukan secara efektif?
8 2. Apakah pelayanan pasien skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta selama penerapan clinical pathway sudah dilakukan secara efektif? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui efektivitas proses penerapan clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. 2. Mengetahui efektivitas proses pelayanan pasien skizofrenia rawat inap selama penerapan clinical patway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan: Hasil penelitian dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang proses penerapan dan evaluasi clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. 2. Manfaat bagi penerapan ilmu pengetahuan: a. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai evaluasi proses penerapan clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar upaya peningkatan mutu layanan pasien skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. c. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar tindak lanjut pengembangan disain clinical pathway skizofrenia rawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.