I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan sumber pangan utama penduduk Indonesia, yang sebagian besar dibudidayakan sebagai padi sawah. Beras dikonsumsi oleh hampir 95% penduduk Indonesia (Suryana, 2004), namun produksi beras dalam negeri sampai sekarang masih belum memenuhi kebutuhan. Laju pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras yang relatif masih tinggi menuntut peningkatan produksi yang berkelanjutan. Total luas lahan sawah juga semakin berkurang karena laju konversi lahan menjadi fungsi non pertanian lebih cepat dari pencetakan sawah baru (Simatupang & Irawan, 2011). Sekitar 1,01 juta ha atau 79% dari lahan yang dikonversi terdapat di Jawa dan sebagian besar merupakan lahan sawah (Irawan, 2003). Luas bahan baku sawah terlalu sempit untuk dapat memenuhi kecukupan pangan bagi penduduk Indonesia (Dawe, 2014). Permasalahan utama padi adalah produktivitasnya yang stagnan (Hatta, 2012). Produksi padi tahun 2011 sebesar 65,39 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), mengalami penurunan sebanyak 1,08 juta ton (1,63%) dibandingkan tahun 2010. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 29,07 ribu hektar (0,22%) dari produktivitas sebesar 0,71 kw ha -1 (BPS, 2011). Tingginya nilai impor pangan menunjukkan bahwa ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan Indonesia dinilai belum kokoh. Nilai impor beras pada tahun 2011 sebesar 1,6 juta ton dan pada tahun 2012 mencapai 1,9 juta ton (Pujiasmanto, 2013). Pada tahun 2012 Kementerian Pertanian menargetkan produksi beras mencapai 41 juta ton atau setara 74,1 juta ton gabah kering giling dan pada tahun 2014 Indonesia diharapkan mencapai swasembada. Mengingat tingkat permintaan beras yang cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka pemerintah telah melakukan dua strategi pengembangan. Strategi yang pertama adalah intensifikasi pada lahan sawah yang telah ada melalui perbaikan teknologi, penggunaan benih varietas baru, keterpaduan pengelolaan sumberdaya, serta strategi ilmu pengetahuan yang lebih intensif untuk pemanfaaatan semua masukan. Tujuan utama intensifikasi adalah meningkatkan indeks penanaman dan produktivitas per hektar. Dalam upaya pencapaian target program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian melalui badan pengembangan dan
penelitian telah banyak mengeluarkan rekomendasi untuk diaplikasikan oleh petani. Salah satu rekomendasi ini adalah penerapan sistem tanam yang benar dan baik melalui pengaturan jarak tanam. Jarak tanam merupakan faktor produksi penting dalam budi daya padi dengan sistem tanam pindah. Penanaman padi dengan jarak tanam yang lebih rapat dari yang diperlukan akan meningkatkan biaya tanam dan kemungkinan menyebabkan tanaman rebah. Di sisi lain, jarak tanam yang lebih lebar akan menurunkan hasil karena jumlah tanaman lebih rendah dari jumlah optimal yang diperlukan untuk memperoleh hasil yang tinggi (de Datta, 1981). Sistem tanam Jajar Legowo merupakan salah satu sistem tanam yang bertujuan untuk peningkatan produktivitas padi. Sistem tanam Jajar Legowo adalah penanaman padi dengan cara berselang-seling antara dua atau lebih baris tanaman dan satu baris kosong. Arah baris tanaman terluar memberikan ruang tumbuh yang lebih longgar dengan populasi yang lebih tinggi. Sistem tanam ini memberikan sirkulasi udara dan pemanfaatan sinar matahari yang lebih baik bagi tanaman. Selain itu, pemeliharaan seperti penyiangan, gulma, pengendalian hama dan penyakit, serta pemupukan menjadi lebih mudah. Baris tanaman (dua atau lebih) dan baris yang kosong (setengah lebar di kanan dan kiri) disebut satu unit legowo. Bila terdapat dua baris tanam per unit legowo maka disebut legowo 2:1, sementara jika empat baris tanam per unit legowo disebut legowo 4:1, dan seterusnya (Widiarta et al., 2016). Menurut Nurjanah (2015), sistem tanam Jajar Legowo 2:1 akan menghasilkan jumlah populasi tanaman per ha sebanyak 213.300 rumpun, serta akan meningkatkan populasi 33,31% dibanding pola tanam tegel (25x25) cm yang hanya 160.000 rumpun per hektar. Sedangkan dengan sistem tanam Jajar Legowo 4:1 peningkatan populasi tanaman mencapai 60% yaitu sebanyak 256.000 rumpun per hektar dibanding pola tegel (25x25) cm. Berdasarkan hasil penelitian Abdulrachman et al. (2011) menunjukkan bahwa pada pertanaman legowo 2:1 dengan jarak tanam (25x12,5x50) cm mampu meningkatkan hasil antara 9,63-15,44% dibanding model tegel. Jumlah anakan/rumpun dan jumlah malai/rumpun adalah komponen yang mendukung peningkatan hasil tersebut. Hasil gabah jering giling (GKG) dengan kadar air 14% pada sistem tanam Jajar Legowo 2:1 pada musim tanam pertama diperoleh hasil 8,08 ton per hektar dan pada musim tanam kedua diperoleh hasil 8,60 ton per hektar. Sedangkan hasil GKG dengan sistem tegel dengan jarak tanam (25x25) cm pada musim tanam pertama diperoleh hasil 7,31 ton per hektar dan pada musim tanam kedua diperoleh hasil 7,45 ton per hektar. Dengan demikian ada peningkatan
produktivitas sebesar 0,77 ton per hektar pada musim tanam pertama dan 1,15 ton per hektar pada musim kedua. Selain peningkatan produktivitas per hektar, keuntungan sistem tanam Jajar Legowo adalah menekan perkembangan patogen dikarenakan kondisi iklim mikro dibawah kanopi tidak terlalu menguntungkan bagi perkembangan patogen (Widiarta et al., 2003). Tanam Jajar Legowo mengakibatkan habitat kurang disukai tikus karena lebih menyukai memakan tanaman yang berada di tengah petakan. Kemudahan yang diperoleh pada sistem legowo menurut Kamandalu et al. (2006) dalam hal cara penyiangan, pemupukan serta pemeliharaan tanaman. Sementara itu, permasalahan yang masih dihadapi petani dalam penerapan sistem tanam legowo 4:1 menurut Nazlah (2011) antara lain adalah : adanya petani yang belum yakin terhadap teknologi sistem tanam legowo, kurangnya modal, terbatasnya alat mesin pertanian, dan kurangnya informasi yang mendetail untuk sistem tanam legowo. Jarak tanam yang tepat juga akan memaksimalkan penggunaan pupuk N oleh tanaman. Nitrogen merupakan unsur hara yang paling penting untuk pertanaman padi. Tanaman membutuhkan unsur hara N lebih banyak dibandingkan dengan unsur hara yang lain. Oleh karena itu nitrogen merupakan unsur hara pembatas bagi tanaman padi, bila kekurangan unsur ini maka pertumbuhan padi tidak akan optimal dan bila kelebihan unsur hara N akan mencemari lingkungan (Duan et al., 2007). Pada tanaman padi-padian, pemberian nitrogen dapat memperbesar ukuran butir dan meningkatkan persentase protein dalam biji (Buckman & Brady, 1982). Menurut Syekhfani (1997) nitrogen berperan dalam penyusunan komponen penting organ tanaman, sebagai unsur yang terlibat dalam proses fotosintesis, merupakan unsur kehidupan sel tanaman, penyusun klorofil dan senyawa organik penting lainnya. Jarak tanam yang tepat berdampak pada pembagian zat zat hara dan sinar matahari secara merata, jumlah anakan produktif dalam keadaan optimal, pembuahan dan masaknya merata, mencegah kerebahan, mengurangi pertumbuhan gulma dan serangan hama dan penyakit, mengefisiensikan pemakaian benih dan mengakibatkan jumlai malai menjadi optimal dengan panjang malai yang merata (Hatta, 2011). Strategi yang kedua adalah dengan ekstensifikasi pada lahan baru yang dilakukan melalui pencetakan sawah baru yang umumnya ditemukan di luar pulau Jawa. Namun, di tengah meningkatnya permintaan akan kebutuhan pangan justru laju konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian juga semakin tinggi. Saat
ini, ekstensifikasi untuk pengembangan tanaman pangan dengan perluasan areal pertanaman semakin kecil peluangnya untuk dikembangkan karena terbatasnya lahan subur di Indonesia dan tingkat konversi lahan yang relatif tinggi. 1.2 Permasalahan Salah satu bahan pangan dengan tingkat konsumsi tertinggi di Indonesia adalah beras. Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian ke depan. Komoditas pertanian penghasil beras adalah padi. Dengan demikian usaha budidaya padi memegang peranan penting dalam menjaga ketersediaan pangan di Indonesia. Saat ini permintaan masyarakat akan beras Rojolele semakin meningkat tetapi yang terjadi adalah langkanya produksi beras yang terkenal enak, pulen dan wangi ini. Penyebab langkanya produksi beras Rojolele karena banyaknya kendala dalam budidaya padi lokal yang berasal dari Delanggu, Klaten. Kendala tersebut antara lain umur tanaman yang relatif lama yaitu 155 hari. Tinggi tanaman yang bisa mencapai 146-155 cm menyebabkan tanaman ini mudah roboh, selain itu juga peka terhadap serangan hama terutama wereng coklat. Dengan demikian Pemerintah Kabupaten Klaten berupaya untuk meningkatkan produksi padi lokal asli dari Delanggu ini dengan memanfaatkan teknologi yaitu dengan pemanfaatan radisasi sinar gamma untuk merakit varietas unggul baru. Penyinaran sinar gamma pada benih padi diharapkan dapat memperbaiki sifat yang tidak terlalu diinginkan dari padi Rojolele ini yaitu mengurangi tinggi tanaman, sehingga nantinya varietas baru yang tercipta tidak mudah roboh. Selain dengan perbaikan genetika tanaman, usaha lain yang bisa dilakukan adalan perbaikan sistem budidaya dengan cara pengaturan jarak tanam. Jarak tanam yang optimum akan memberikan hasil lebih tinggi dengan kualitas yang lebih baik. Jarak tanam yang tepat pembagian zat zat hara dan sinar matahari merata, jumlah anakan produktif dalam keadaan optimal, pembuahan dan masaknya merata, mencegah kerebahan, mengurangi pertumbuhan gulma dan serangan hama dan penyakit, mengefisiensikan pemakaian benih dan mengakibatkan jumlai malai menjadi optimal dengan panjang malai yang merata. Simpulan rumusan masalah meliputi:
1. Bagaimana pengaruh dosis radiasi sinar gamma yang berbeda terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan dan umur padi Rojolele? 2. Bagaimana pengaruh sistem jarak tanam terhadap penyerapan hara Nitrogen dan produktivitas padi Rojolele? 3. Kombinasi perlakuan dosis radiasi sinar gamma dan sistem jarak tanam yang mana, yang memberikan produktivitas paling tinggi? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh dosis radiasi sinar gamma terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan benih padi Rojolele. 2. Mengetahui pengaruh jarak tanam terhadap penyerapan hara Nitrogen dan produktivitas padi Rojolele. 3. Mengetahui kombinasi perlakuan dosis radiasi sinar gamma dan sistem jarak tanam yang paling baik untuk memperoleh produktivitas paling tinggi. 1.4 Manfaat Penelitian Saat ini semakin banyak penduduk Indonesia yang menginginkan makanan yang berkualitas tinggi, baik dari segi rasa maupun gizinya. Beras Rojolele merupakan beras berkualitas tinggi karena rasanya enak, pulen dan wangi, akan tetapi keberadaan tanaman padi Rojolele termasuk langka, karena umur padi varietas ini bisa mencapai 155 hss. Bukan cuma usianya yang lama, tanaman ini juga tinggi, bisa mencapai 146-155 cm sehingga mudah roboh. Sifat tanaman yang kurang menguntungkan seperti ini yang menyebabkan petani enggan untuk membudidayakannya. Oleh karena itu produksi padi Rojolele belum bisa memenuhi permintaan pasar. Penelitian ini bertujuan mengetahui kombinasi perlakuan dengan jarak tanam yang optimal untuk pertumbuhan dan produksi padi Rojolele.