BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari

II. TinjauanPustaka A. Definisi Sasi

Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang

1. Pendeta Karel Burdam 1) Apa makna dan manfaat sasi? Sasi itu merupakan suatu larangan untuk mengambil/memanen sebelum waktunya (buka sasi)

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kabupaten Maluku Tengah merupakan salah satu. kabupaten di Provinsi Maluku, yang diapit oleh Laut Seram di

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL SASI DALAM SISTEM ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI RAJA AMPAT

Nama WAKATOBI diambil dengan merangkum nama. ngi- wangi, Kaledupa. dan Binongko

BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah

penelitian ini akan diuraikan beberapa konsep yang dijadikan landasan teori penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian adalah.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN TEOR DI KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR

14 LEMBARAN DAERAH Agustus KABUPATEN LAMONGAN 10/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN NEGERI ADMINISTRATIF SILOHAN DI NEGERI HOTE KECAMATAN BULA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Letak wilayah yang strategis dari suatu daerah dan relatif mudah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN DESA NEREKEH KECAMATAN LINGGA KABUPATEN LINGGA

BAB I PENDAHAULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBENTUKAN DESA ELFANUN KECAMATAN PULAU GEBE KABUPATEN HALMAHERA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEMASYARAKATAN

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 16/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG KERJASAMA DESA

PEMERINTAH DESA KUCUR

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Masyarakat berasal dari kata musyarak (arab), yang artinya bersama-sama, yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DUSUN

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. batas-batas wilayah dihuni oleh sejumlah penduduk dan mempunyai adat-istiadat

14 LEMBARAN DAERAH Agustus KABUPATEN LAMONGAN 13/E 2006 SERI E

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 29 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN DESA BUKIT BELAH KECAMATAN SINGKEP BARAT KABUPATEN LINGGA

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN DESA GONTAR BARU DI KECAMATAN ALAS BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KECAMATAN

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

PEMERINTAH KABUPATEN LANDAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan, luas wilayah lautnya lebih besar

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terpanjang di dunia. Letak geografis antara dua benua (Asia dan Australia) serta dua samudra

BAB I PENDAHULUAN. Keterpencilan membuat sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini masih

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. demikian ini daerah Kabupaten Lampung Selatan seperti halnya daerah-daerah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. akan berjalan dengan lancar apabila masyarakat ikut berpartisipasi dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tanah yang subur, yang merupakan sumber daya alam yang sangat berharga bagi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

SASI TERIPANG: UPAYA KONSERVASI DALAM MEMBANGUN DESA PESISIR. Akhmad Solihin

LATAR BELAKANG. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECAMATAN RUMBAI PESISIR. orang jawa yang masuk dalam Wilayah Wali Tebing Tinggi. Setelah itu

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN ALAK KECAMATAN ALAK KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura

BAB III PENDEKATAN EMPIRIK. 1. Sekilas Sejarah Negeri Kamarian. Sejarah Kamarian bermula dari peristiwa perang Hoamoal yang terjadi kira-kira

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH KEPENGHULUAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

BAB I PENDAHULUAN. tempat obyek wisata berada mendapat pemasukan dari pendapatan setiap obyek

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap manusia harus memenuhi kebutuhannya, guna kelangsungan hidup.

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

BAB I PENDAHULUAN. berkembang. Pentingnya sektor pariwisata karena sektor pariwisata ini

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 7 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya tumbuh berbagai Suku, Agama, dan bahasa daerah berbeda sehingga

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam sejarah masyarakat Maluku, budaya sasi merupakan kearifan lokal masyarakat yang telah ada sejak dahulu kala dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa tanpa lingkungan masyarakat tidak dapat hidup dengan layak, sehingga sasi harus dipertahankankan oleh generasi ke generasi (Karepesina dkk, 2013). Praktek sasi merupakan sebuah upaya perlindungan dalam mengelola sumber daya alam yang ada di Kepulauan Maluku (Kusapy dkk, 2005). Menurut Kissya (1993), sasi pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga atau penduduk setempat. Renjaan (2013) juga menyebutkan bahwa sasi adalah suatu bentuk larangan pengambilan sumber daya alam baik di darat maupun di laut dalam kurun waktu tertentu sehingga memungkinkan sumberdaya alam dapat tumbuh, berkembang dan dilestarikan. Ini artinya, masyarakat memang telah menyadari bahwa alam adalah bagian yang tidak dapat dilepaspisahkan dengan kehidupan mereka. Keberadaan sasi tentunya sangat bermanfaat bagi masyarakat dan membantu masyarakat agar dapat memanfaatkan semua potensi yang ada pada alam ini dengan sebijaksana mungkin, agar hasil-hasil alam yang melimpah tidak saja di manfaatkan oleh masyarakat yang hidup pada saat ini, tetapi juga bagi generasi di masa yang akan datang. Pelaksanaan sasi di Maluku juga tidak terlepas dari aturan-aturan yang berlaku, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang dikenal dengan hukum sasi. Hukum sasi adalah suatu sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk mengambil potensi sumber daya alam untuk jangka waktu tertentu (Pattinama dan Pattipelohy, 2003). Tujuan utama dilakukannya sasi adalah untuk menjaga keseimbangan antara alam, manusia, dan dunia spiritual, dan 1

pelanggaran atas pelaksanaan sasi akan memperoleh sanksi berdasarkan dunia spiritual dan sanksi masyarakat. Beberapa negeri di Maluku, masih melestarikan budaya sasi. Salah satu negeri 1 yang masih melakukan sasi terhadap tanaman-tanaman mereka, baik tanaman umur pendek maupun tanaman umur panjang ialah Negeri Administratif Hatuhenu, yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah atau lebih tepatnya terletak di sebelah Barat Kabupaten Maluku Tengah. Mayoritas masyarakat di negeri ini beragama Kristen Protestan, sehingga sasi yang dilakukan pun sudah tidak lagi menggunakan peran adat, tetapi sudah menjadi tanggung jawab gereja, karena itu sering dikenal dengan istilah sasi Gereja. Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan Risakotta (2014) 2, diketahui bahwa masyarakat Negeri Administratif Hatuhenu merupakan masyarakat pengungsi akibat kerusuhan di Maluku, dan telah di tempatkan di relokasi tetap, yakni di daerah Kilometer 6. Awalnya, masyarakat Negeri Hatuhenu merupakan anak dusun dari Negeri Sepa. Ketika masih menjadi bagian dari Negeri Sepa, kehidupan masyarakat sebagai masyarakat yang hidup di pesisir pantai, membuat masyarakat sangat dekat dengan laut, karena itu laut menjadi bagian dari kehidupan mereka untuk bertahan hidup. Mata pencaharian mereka adalah melaut, menangkap ikan, mencari lola, teripang, dan hasil laut lainnya tetapi setelah terjadinya konflik mereka pun dipindahkan ke tempat relokasi 1 Masyarakat Kabupaten Maluku Tengah pada umumnya merupakan masyarakat adat, dikenal kesatuan masyarakat hukum adat dengan nama Negeri yang diatur berdasarkan hukum adat setempat, kesatuan-kesatuan masyarakat adat tersebut beserta perangkat pemerintahannya telah lama ada, hidup dan berkembang serta dipertahankan dalam tata pergaulan hidup masyarakat. Negeri di Kabupaten Maluku Tengah sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak, asal usul Negeri, adat istiadat dan hukum adat yang diakui dalam Sistem Pemerintahan Nasional. Di lain pihak terdapat Negeri Administratif sebagai akibat perkembangan dan kemajuan masyarakat yang juga harus diperhatikan hak asal usul dan kepentingan masyarakat setempat. Adanya Negeri/Negeri Administratif menempatkan adat istiadat dan hukum adat dalam konteks yang susungguhnya. Oleh karena itu otonomi Negeri sebagai otonomi bawaan dan otonomi Negeri Administrati sebagai otonomi yang diberikan, hendaknya dikembangkan untuk kepentingan masyarakat Negeri/Negeri Administratif yang tidak terlepas dari kendali Pemerintah (Pemerintah Provinsi Maluku dan Kabupaten Maluku Tengah) sepanjang menyangkut kepentingan Nasional yang harus dilaksanakan. Dikutip dari http://fhukum.unpatti.ac.id/pemerintahan-dan-hukumadat/279-sistem-pengangkatan-dan-pemilihan-kepala-pemerintah-negeri-di-maluku-tengah-kajiandari-perspektif-pembangunan-demokrasi-di-indonesia. Pada tanggal 21 Agustus 2016, Pukul 10.00 WIB 2 Risakota Ferdinansye. 2014. Skripsi Dari Nelayan Menjadi Petani (Suatu Kajian Teologi Pemberdayaan Terhadap Jemaat GPM Hatuhenu). Fakultas Teologi UKIM (tidak dipublikasikan) 2

yang baru di daerah pegunungan. Ini tentunya mempengaruhi orientasi pekerjaan mereka, yang semula bekerja sebagai nelayan, kini beralih sebagai petani. Di tempat tinggal masyarakat Hatuhenu yang lama, pelaksanaan sasi masih dilakukan masyarakat dan di pantau oleh pemerintah adat atau pemerintah negeri. Artinya pemerintah adat atau sering juga disebut pemerintah negeri, mempunyai tanggung jawab terhadap pelaksanaan sasi, dari buka sasi hingga tutup sasi. Sehingga apabila ada yang mencuri tanaman yang sementara di sasi dapat dikenakan sanksi sesuai hukum sasi yang telah diberlakukan. Dalam pelaksanaan sasi di tempat tinggal yang lama, jenis tanaman masyarakat yang di sasi hanyalah kelapa, dan tidak berlaku untuk jenis tanaman atau hasil laut lainnya. 3 Kehidupan masyarakat Hatuhenu sebagai masyarakat pengungsi saat itu, sangat terbatas. Perekonomian masyarakat juga sangat memprihatinkan, sebab masyarakat tidak memiliki pekerjaan atau keahlian lain yang dapat menolong mereka. Keterbatasan masyarakat atau jemaat secara ekonomi saat itu, membuat pihak Gereja bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, dan masyarakat Haruru untuk dapat memberikan lahan bagi masyarakat agar dapat bercocok tanam, seperti menanam kelapa, ubi-ubian, singkong, dan beberapa tanaman jenis holtikutura lainnya. Kerja sama tersebut cukup berhasil, sebab masyarakat Haruru menyetujui untuk memberikan lahan mereka bagi masyarakat Hatuhenu untuk di pakai dalam kegiatan bercocok tanam. Masyarakat Hatuhenu yang semula berprofesi sebagai nelayan, akhirnya harus menjadi petani, dan mengolah lahan yang telah diberikan masyrakat Haruru. Menariknya lahan yang diberikan kepada masyarakat ini, luasnya tidaklah sama untuk semua petani di Hatuhenu, tergantung bagaimana pendekatan pribadi antara masing-masing petani dan pemilik lahan. Jadi, sebelum memberikan lahan untuk di pakai, ada kesepakatan antara pemilik lahan dengan petani di Hatuhenu. 4 Oleh karena tingkat perekonomian jemaat yang masih rendah, maka membuat jemaat juga terbatas dalam berusaha. Dengan demikian, hampir semua jemaat masih bergantung pada tanaman yang di sasi untuk kemudian dimanfaatkan untuk konsumsi sehari-hari, ataupun dijual. Masyarakat Hatuhenu juga masih tetap menjadikan ubi-ubian sebagai makanan lokal mereka, sehingga lahan sebagai tempat bercocok tanam yang selama ini dilakukan masyarakat benar-benar dikelola dengan baik. 3 Hasil Wawancara dengan Bpk. Benny Maollo, tanggal 05 Mei 2016 4 Hasil Wawancara dengan Bpk. Benny Maollo, tanggal 05 Mei 2016 3

Selain itu, tujuan utama masyarakat atau jemaat melakukan sasi juga adalah agar tanaman mereka tidak di curi orang. Pelaksanaan sasi sebagai bagian dari pelestarian sumber daya alam di Negeri Administratif Hatuhenu, ternyata tidak dilakukan oleh semua masyarakat yang juga merupakan anggota jemaat GPM Hatuhenu. Walaupun banyak manfaat yang di rasakan oleh jemaat yang masih melakukan sasi, namun masih juga terdapat keluarga-keluarga jemaat yang tidak melakukan sasi terhadap tanaman-tanamannya. Dari gambaran praktek sasi yang dilakukan masyarakat atau jemaat Negeri Administratif Hatuhenu, penulis melihat adanya sebuah keselarasan dengan konsep modal sosial, yang di dalamnya meliputi hubungan, sikap dan nilai-nilai yang mengatur interaksi antara individu dan memiliki kontribusi yang positif dalam kehidupan jemaat. Bagi Bebbington (1999), aset modal sosial sangat penting bagi kehidupan masyarakat pedesaan, dengan modal sosial yang dimiliki dapat memperluas akses untuk memperoleh aset yang lain sehingga kesulitan hidup dapat teratasi dan keberlangsungan hidup terus berjalan. Konsep modal sosial meliputi hubungan sosial, norma sosial, dan kepercayaan (trust). Pada dasarnya antar anggota masyarakat atau jemaat di Negeri Administartif Hatuhenu telah memiliki relasi atau hubungan satu dengan yang lain, juga dengan Gereja. Relasi yang dilakukakan ini tentunya karena kepentingan pertanian, ekonomi dan sosial, budaya, bahkan juga politik. Dengan berjejaring masyarakat merasa lebih aman dan survive (bertahan hidup). Berjejaring merupakan salah satu modal sosial yang dimiliki masyarakat, sehingga modal sosial pada prinsipnya merupakan pola hubungan dan norma yang dibuat oleh masyarakat, untuk mendukung keberadaannya dan untuk tetap bertahan (Suwartiningsih, 2010). Selain relasi sosial dalam masyarakat, pelaksanaan sasi juga secara tidak langsung membentuk adanya norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya masyarakat tidak boleh mencuri tanaman milik masyarakat lain yang sementara di sasi, karena tentunya ada sanksi yang akan diterima. Dari relasi sosial dan norma sosial ini, secara tidak langsung menimbulkan kepercayaan masyarakat satu dengan yang lainnya atau kepada pihak Gereja yang melakukan sasi. Beberapa daerah mayoritas kristen di Maluku, khususnya di Kabupaten Maluku Tengah merasa lebih aman jika sasi dikelola oleh pihak gereja. Menurut beberapa penelitian sebelumnya yang di lakukan di Desa Eti, Kabupaten Maluku Tengah (Judge, 2008) maupun di Desa Rambatu, Kabupaten Seram Bagian Barat (pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah) yang diteliti oleh Ngamelubun dkk (2013), menyebutkan 4

bahwa sasi yang dilakukan oleh lembaga adat sekarang sudah jarang bahkan tidak dilaksanakan lagi oleh masyarakat Kristen di sana. Sejak masuknya agama Kristen, maka peranan mauweng 5 sebagai pendeta adat pun digantikan dengan pendeta atau penatua Gereja, yang biasanya bertugas untuk berdoa saat upacara buka ataupun tutup sasi. Persepktif masyarakat terhadap pengelolaan sasi juga sudah berbeda. Bagi masyarakat tanaman yang mereka serahkan ke Gereja untuk di sasi tentunya akan lebih baik karena didoakan kepada Yang Maha Kuasa supaya terlindung dari kejahatan duniawi, seperti pencurian. Apabila kedapatan ada yang mencuri, tentunya yang bersangkutan akan berurusan dengan Tuhan. Dalam pelaksanaan sasi Gereja ini memang tidak ada sanksi hukum yang berlaku jika kedapatan ada yang mencuri, namun masyarakat percaya Tuhan yang akan membalasnya, sesuai cara dan waktu Tuhan sendiri. 6 Sementara itu, untuk desa atau negeri yang mayoritasnya beragama muslim, masyarakatnya juga masih melakukan sasi, yakni sasi mesjid. Bila ritual sasi Gereja yang dilakukan masyarakat Kristen sudah tidak dibantu dengan peran pemerintah negeri atau lembaga adat, lain halnya dengan sasi Masjid yang masih mempertahankan kerja sama antara pemerintah adat dan pihak Masjid. Beberapa penelitian terdahulu telah memperkenalkan budaya sasi, sebagai salah satu wujud kearifan lokal masyarakat Maluku yang bertujuan untuk melindungi sumber daya alam, agar dapat digunakan dengan tertanggung jawab. Namun, dari penelitian-penelitian tersebut, fokus para peneliti hanya kepada pelaksanaan hukum sasi (Nendissa Renny, 2010), pengaruh sosial ekonomi kewang atau polisi hutan (Nendissa Adriana, 2014), manajemen konflik dalam pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup lewat hukum adat sasi (Kausapy, dkk, 2005), serta beberapa penelitian lainnya yang menurut penulis hanya terbatas pada usaha melindungi sumber daya alam. Bagi penulis, penelitian ini sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut dengan menggunakan pendekatan modal sosial, sebab dengan tiga komponen modal sosial yang dimiliki masyarakat Negeri Administratif Hatuhenu, masyarakat dapat mempertahankan hidup dan menjaga 5 Mauweng merupakan salah satu jabatan dari struktur pemerintahan adat. Mauweng dapat dikatakan sebagai pendeta adat, yang menjadi perantara antara para leluhur dengan anak cucu yang masih ada. Ia juga bisa meramal kehidupan anak cucu, serta menyampaikan informasi dari para leluhur untuk anak cucu yang masih ada. Namun saat ini, jabatan ini sudah tidak ada lagi. 6 Hasil Wawancara dengan Ibu Yanti Sorey, tanggal 06 Mei 2016 5

eksistensi kearifan lokal sasi yang juga merupakan identitas masyarakat itu sendiri. Perumusan Masalah Bagaimana sejarah dan dinamika sasi Gereja di Negeri Administratif Hatuhenu? Bagaimana makna sasi Gereja sebagai kearifan lokal masyarakat atau jemaat di Negeri Administratif Hatuhenu? Bagaimana peran modal sosial masyarakat atau jemaat Negeri Administratif Hatuhenu dalam menjalankan sasi Gereja di Negeri Administratif Hatuhenu? Tujuan Penelitian Menjelaskan sejarah dan dinamika sasi Gereja di Negeri Administratif Hatuhenu. Menjelaskan makna sasi Gereja sebagai kearifan lokal masyarakat atau jemaat di Negeri Administratif Hatuhenu. Menjelaskan peran modal sosial masyarakat atau jemaat Negeri Administratif Hatuhenu dalam menjalankan sasi Gereja di Negeri Administratif Hatuhenu. Manfaat Penelitian a. Secara Teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan, yang berhubungan dengan peran modal sosial dalam pelaksanaan kearifan lokal sasi, khususnya sasi Gereja. b. Secara Praktis : Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat atau jemaat, bahkan Gereja Protestan Maluku (GPM) untuk mempererat modal sosial yang sudah terjalin dengan baik, dalam semangat pemberdayaan melalui kearifan lokal sasi. 6