EVALUASI PENGEMBANGAN ITIK MA DI TINGKAT PETERNAK: SUATU ANALISIS EKONOMI (Evaluation of MA Duck Rearing Implementation in Rural Farm Enterprise: An Economic analysis) SUMANTO, E. JUARINI, B. WIBOWO dan L.H. PRASETYO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT Result of the previous research (2001 2003) showed that the rearing of the MA/AM commercial duck introduced in Cirebon and Blitar has been successful. This was indicated by a good egg production level of 65% per year production, both in Blitar and in Cirebon. This result was not much different from to its production at Balai Penelitian Ternak, but the implememtation of cross and inter mating among the AM/MA commercial duck in the field held by the farmers (cooperator) tends to decrease egg production. This degradation was most probably because of immeasurable treatment at different environment, and this might have resulted in the appearance of the trait, which (was) not desired and have been succeeded eliminated or lessened at the parent. Therefore an evaluation on the performance of the laying MA/AM commercial duck in the field was conducted to see the technical and social-ekonomic profile of those laying MA/AM commercial duck and to see the elegibility of this effort economically.this research covered 3 farmers in Cirebon and Brebes and 4 farmers in Blitar. Each farmer rear at least 100 crossbred MA duck in addition to another ownership of hundred local duck used as control. Technical and economical data were collected (growth, feed intake, mortality and egg production, expenses for feed, duck, cage, labour; and earnings from egg yield and also sale of duck disposal), and expected to be monitored over one year production. Economic and Technical data presented descriptively and Revenue analysis was done using a simple financial Analysis. Results showed that the egg production of the filial of the MA duck hatched and reared by the cooperator farmers over three month period of egg production ranged from an average of 55% at Cirebon and Brebes up to 70% at Blitar. Over 8 months period the production tend to be decreasing and lower than its parent (an average of 55% in Blitar and 50% in Cirebon) although the egg production of those duck was lower than its parent but it still tends to be higher than those of local duck Key words:ma duck, rural farm enterprice, economic analysis ABSTRAK Penelitian untuk melihat kinerja itik keturunan itik MA/AM di tingkat peternak telah dilakukan dan merupakan lanjutan penelitian uji multilokasi yang telah dilakukan sejak tahun 2001 di Cirebon, Brebes dan Blitar dengan melibatkan 3 peternak kooperator di Cirebon/Brebes dan 4 peternak di Blitar. Identifikasi dan pemilihan peternak kooperator dilakukan berdasarkan jenis dan jumlah itik yang dipelihara, yaitu itik keturunan MA/AM yang ditetaskan oleh peternak pembibit dengan jumlah pemilikan 100 ekor atau lebih itik betina keturunan MA/AM dan 100 ekor atau lebih itik lokal. Pengamatan yang dilakukan meliputi aspekaspek teknis, biologis dan ekonomis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi telur dari keturunan itik MA yang ditetaskan dan dibesarkan sendiri oleh peternak kooperator bervariasi, selama 3 bulan produksi di Blitar mencapai rata-rata 70% dan tampaknya menurun setelah masa produksi 8 bulan yaitu 55%. Sementara itu, di Brebes dan Cirebon selama 12 bulan produksi rata-rata hanya berkisar 50,4 55,6%, lebih rendah dibanding dengan tetuanya yaitu itik MA komersial yang berasal dari Balai (68,0% di Cirebon dan Brebes dan 71,6% di Blitar), namun demikian pada kondisi yang sama produktivitas itik keturunan MA ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan produksi telur itik lokal yang biasanya rataan produksi bisa mencapai 50%. Untuk lokasi Cirebon/Brebes dan Blitar, meskipun besarnya keuntungan usaha yang diperoleh peternak dengan bibit itik MA yang disilangkan dari peternak sendiri, ternyata lebih rendah dari keuntungan usaha yang memakai bibit itik MA yang didapat dari Balai Penelitian Ternak (Balitnak). Namun usaha tersebut 628
dianggap mereka masih menguntungkan, dengan permintaan bibit MA/AM oleh peternak disekitar lokasi masih banyak dan tampaknya selalu belum dapat terpenuhi. Kata kunci: Itik MA, peternak pedesaan, analisis ekonomi PENDAHULUAN Performan itik niaga dari Balitnak yang disebarkan ke peternak di Brebes, Cirebon dan Blitar memberikan hasil yang baik dan tampaknya dapat diterima oleh masyarakat peternak itik di wilayah tersebut (SUMANTO et al., 2000). Oleh karena itu, bibit itik niaga Balitnak banyak permintaannya, namun persediaan tidak cukup memadai. Untuk mengantisipasi kemungkinan kekurangan penyediaan DOD di lapangan, para peternak kooperator di Blitar, Brebes dan Cirebon telah membibitkan sendiri-sendiri melalui persilangan itik niaga yang ada yaitu antara jantan MA/AM dengan betina MA/AM dan sebaliknya atau dipersilangkan dengan bangsa (breed) lainnya seperti terjadi di Blitar. Pada tahun 2002, DOD hasil persilangan tersebut telah dijualbelikan ke beberapa peternak di sekitar lokasi penelitian. Untuk itu maka perlu dilakukan studi lebih lanjut tentang kinerja itik hasil persilangan tersebut. Dari hasil tersebut diharapkan dapat memberi masukan bahwa apakah usaha yang dilakukan oleh para peternak tersebut masih layak dilakukan baik secara teknis maupun sosial ekonomi. MATERI DAN METODE Dalam melaksanakan penelitian ini diperlukan tahapan kegiatan sebagai berikut: Tahap I: Identifikasi dan pemilihan peternak yang memelihara itik hasil persilangan tersebut di Cirebon, Brebes dan Blitar. Jumlah kooperator meliputi 3 orang di Cirebon/Brebes dan 3 orang di Blitar dan jumlah ternak yang diamati paling sedikit 100 ekor per peternak atau disesuaikan dengan kondisi lapangan dengan jumlah pemilikan yang sama untuk kontrol. Tahap II: Monitoring data secara periodik (bulanan) dilakukan oleh peneliti/teknisi dari Balitnak atau dibantu oleh petugas yang ditunjuk (yang telah dilatih untuk pencatatan data) di wilayah penelitian. Data yang diambil meliputi data teknis (pertumbuhan, konsumsi pakan, kematian, produksi) dan sosialekonomi (biaya untuk pakan, bibit, kandang, tenaga kerja; dan pendapatan dari hasil produksi telur maupun penjualan itik afkir). Lama monitoring diharapkan setahun masa produksi itik. Data teknis dan ekonomi disajikan dengan cara tabulasi dan deskriptif. Analisis pendapatan dilakukan dengan Analisis finansial secara sederhana. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan penelitian telah sampai pada tahap pelaksanaan, yang mencakup sampai 8 12 bulan masa produksi dan kegiatan lanjutan masih tetap ditekankan pada pengamatan secara monitoring bulanan sampai masa itik sudah afkir. Profil kooperator Sebelum mengupas kinerja produksi itik, model profil peternak itik kooperator (Tabel 1). Kematian itik dewasa Kematian itik di lokasi penelitian banyak terjadi pada itik umur muda, namun pada umur mulai bertelur tampak jarang terjadi dan biasanya (apabila tidak ada wabah penyakit) hanya dibawah 1%. Rataan harga telur/itik afkir Rataan harga telur itik dan itik afkir selama setahun (Tabel 2). Pakan ransum Secara garis besar jenis bahan pakan dan harga ransum di masing-masing lokasi penelitian (Tabel 3). 629
Tabel 1. Tabel profil kooperator penelitian di 3 lokasi Lokasi Nama kooperator Populasi itik (ekor) Itik MA (ekor) Keterangan Blitar Sumiran 900 350 Itik MA bertelur selama 8 bulan, rataan 58,9% Boniran 270 270 Yang dimonitor 270 ekor, bertelur selama 8 bulan, rataan 53,4%. Meseri - 230 Sudah 8 bulan bertelur, rataan 52,8% Brebes/ Cirebon Dardji 1000 160 Sudah bertelur 12 bulan (rataan 55,4%) Tatang Tatang 1000 2000 190 Jumlah itik tidak menentu, profesi peternak adalah pedagang. MA telah bertelur pada bulan ke 12 (rataan 55,6%) Yusmanto- Bibit itik MA dari Tatang Sumber: JUARINI et al. (2002) 2000 100 Itik MA telah bertelur pada bulan ke 12 (rataan 50,4%) Tabel 2. Harga telur di lokasi penelitian Lokasi Rataan harga itik afkir/ekor (Rp) Rataan harga telur/butir (Rp) Harga itik siap telur Rp/ekor Blitar 12.500 435+ 25.000 Brebes 13.000 565* 25.000 Cirebon, Bandung 13.000 13.500 595** 700++ 25.000 + Penjualan telur melalui koperasi * Pembeli datang ke lokasi ** Pembeli datang ke lokasi atau dapat diantar melalui pesanan ++ Peternak drop ke warung/konsumen di kota Tabel 3. Jenis pakan dan harga ransum di lokasi penelitian Lokasi *Harga ransum/kg Jenis bahan pakan Jumlah pemberian g/hari/ekor Blitar 1300 Konsentrat, kebi, kepala udang, dedak 150 Brebes 1100 Dedak, sisa ikan laut, loyang 160 Cirebon Bandung 1200 1250 * Sudah termasuk upah tenaga kerja Konsentrat, ampas tahu, dedak, kebi 155 160 Lokasi Blitar Pakan utama itik MA adalah berupa konsentrat yang telah dibuat oleh Mahmudi. Para peternak yang tergabung dalam kelompok Rahayu Mandiri biasanya selalu mengambil konsentrat dan kepala udang (kalau diperlukan) dari Mahmudi dan akan dibayar dalam bentuk 630
setoran telur itiknya kemudian hari. Potensi ketersediaan bahan-bahan konsentrat dari Mahmudi adalah cukup baik (diantisipasi hingga kebutuhan 6 bulan kedepan). Sementara itu, bahan lainnya, seperti kebi/dedak akan diusahakan sendiri oleh para peternak. Jumlah pemberian ransumnya rataan adalah 150/g/ekor/hari dan perkiraan harganya adalah Rp 1300,-/kg, dimana sudah termasuk biaya tenaga kerja. Lokasi Cirebon dan Brebes Bahan pakan ternak itik untuk lokasi Cirebon dan Brebes pada umumnya adalah masih banyak yang memakai bahan konsentrat, sisa ikan, dedak, loyang dan ampas tahu (Cirebon). Ransum (misalnya campuran konsentrat + ampas tahu atau dedak+ loyang + cacahan ikan laut) di Brebes dan Cirebon, dibuat secara dadakan, mengingat kondisi ransum tersebut akan cepat bau dan akibatnya dapat menimbulkan penyakit. Jumlah pemberian ransumnya berkisar antara 155 160 g/ekor/hari dan perkiraan harganya berkisar Rp. 1100 Rp. 1250/kg, dimana sudah termasuk biaya tenaga kerja. Produksi telur Lokasi Blitar Kinerja produksi telur MA di lokasi penelitian dapat diinformasikan seperti berikut: Umumnya produksi telur itik di kelompok lokasi Blitar telah mencapai 50-79% dari total populasi yang dipelihara oleh masing-masing peternak kooperator. Umur produksi telur itik MA yang terdapat di peternak binaan masih belum lama, yaitu berkisar berjalan 8 bulan produksi (kecuali itik di Mahmudi). Mahmudi merupakan pusat penangkaran keturunan itik MA. Produksi telur itik tertingi dicapai oleh pak Mahmudi (>70%). Peternak lainnya di Kabupaten Ngajuk (Abdulgoni), tampaknya juga telah mengikuti cara pemeliharaan dari Mahmudi. Sebelumnya telah diketahui bahwa model pemeliharaan ternak itik petelur di kedua peternak tersebut diatas, memang berbeda dengan peternak-peternak lainnya. Kedua peternak tersebut selalu melakukan seleksi induknya yang kurang produktif dengan cara langsung diafkir (dijual). Disamping itu dari ketersediaan permodalan, tampaknya kedua peternak adalah sangat mampu. Tujuan dari model tersebut adalah untuk mempertahankan agar produksi telur tetap stabil (kurang lebih dapat mencapai diatas 70%/tahun). Untuk peternak lainnya, model tersebut diatas tidak dilakukan, karena umumnya disebabkan mereka kurang modal. Walaupun model tersebut (tidak melakukan pergantian induk secara cepat-kurang produktif), namun dengan cara pemeliharaan yang baik (salah satunya ketersediaan pakan dan air yang kontinyu), ternyata produksi telur itik masih cukup baik yaitu rataan sekitar 55% dan kondisi ternak itik terlihat sehat dan tampak bersih bulunya (Misal di Meseri). Namun produktifitas itik MA/AM keturunan yang dipelihara ketiga peternak (Buniran, Mesri dan Sumiran) terdapat kecenderung menurun bila dibandingkan dengan hasil persilangan-persilangan sebelumnya (55,0 vs 71,5% (PRASETYO et al., 2003). Lokasi Cirebon dan Brebes Produksi itik MA di Cirebon dan Brebes tampaknya tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 50,4-55,6%. Masalah utama rendahnya produksi telur adalah ketersediaan pakannya, terutama keberadaan potensi ikan sangat fluktuatif (di Brebes dan Cirebon). Pemberian ikan, sebagai pakan basis protein, ke itik tidak kontinyu dan ini menyebabkan produksi telur itik tidak stabil. Disamping masalah utama tersebut sering muncul, terdapat faktor cuaca yang kurang mendukung. Pada saat musim kemarau dan hujan datang, produksi telur itik cenderung turun drastis. Hal ini sering dialami oleh peternak Yusmanto di Bandung. Kejadian pada musim hujan adalah produksi telur itik dapat mencapai hingga 35%. Turunnya produksi tersebut dapat juga disebabkan ketersediaan pakan konsentrat terlambat datang (kasus Kusmanto), dimana pakan konsentrat diperoleh dari Tatang di Cirebon. Dilihat dari produksi telur itik MA/AM keturunan selama 12 bulan terlihat bahwa tampaknya juga mengalami menurunan bila dibandingkan dengan pemerliharaan itik MA/AM sebelumnya (DOD dapat pemberian dari Balitnak) (55,6 vs 68,0% PRASETYO et al., 631
2003). Kelemahan lainnya mungkin disebabkan kooperator dalam cara persilangan untuk perbanyakan DODnya tidak melakukan seleksi yang benar untuk induknya. Biaya lain Biaya yang dikeluarkan terbanyak adalah berasal dari pakan ternak, sedangkan biaya lainnya adalah berupa susut kandang, peralatan dan obat-obatan. Susut kandang/alat adalah Rp. 480/ekor/tahun di Blitar, Rp. 204/ekor/tahun di Cirebon/Brebes. Sementara itu, untuk perkiraan biaya obat-obatan adalah Rp. 150/ekor/tahun. Analisa ekonomi Analisis terhadap aspek usaha ini di masing-masing peternak kooperator difokuskan pada perhitungan antara biaya dan hasil produksi. Perlu diketahui bahwa kondisi di masing-masing peternak masih terdapat perbedaan kondisi, misalnya menyangkut hal: lama waktu produksi, produktifitas itik, biaya pakan dan harga jual telur. Analisis ekonomi dilakukan untuk memberi gambaran, sambil melanjutkan pelaksanaan monitoring bulanan hingga satu periode (satu tahun produksi khusus di Blitar). Melalui koefisien teknis di masing-masing peternak maka analisis finansial secara rinci untuk masing-masing peternak di tiga lokasi (Tabel 4). Dari tabel tersebut dapat disampaikan bahwa besarnya keuntungan yang diperoleh untuk masing-masing peternak kooperator tampak berbeda, karena perbedaan skala usaha, harga jual telur dan besarnya produktivitas telur itik. Sekilas keuntungan terbanyak terdapat di Tatang yaitu sebesar Rp. 819.869/ bulan/190 ekor dibandingkan dengan Yusmanto sebanyak Rp. 455.450/bulan/100 ekor. Tetapi bila dilihat dari keuntungan/ekor, maka keuntungan terbanyak diperoleh dari usaha Yusmanto, karena hasil telur dapat langsung dijual ke konsumen dengan harga jual yang lebih baik daripada kondisi di Mahmudi (harga telur Rp. 700/butir vs Rp. 595/butir). Tabel 4. Analisa usaha itik MA di lokasi Blitar dan Cirebon/Brebes Lokasi Blitar* Lokasi Cirebon/Brebes Item Buniran Meseri Samiran Dardji Tatang Yusmanto Skala usaha (ekor) 270 230 350 160 190 100 Biaya (Rp 000): Itik siap telur 6.750,0 5.750,0 8.750,0 4.000,0 4.750,0 2.500,0 Pakan/tenaga kerja 12.636,0 10.764,0 16.380,0 10.137,6 12.722,4 7.200,0 Susut kandang/alat 86,4 73,6 112,0 32,6 38,8 20,4 Obat-obatan 27,0 23,0 35,0 24,0 28,5 15,0 Total A: 19.499,4 16.610,0 25.277,0 14.194,2 17.539,7 9.735,4 Penerimaan (Rp 000): Penjualan telur 15.052,4 12.678,3 21.522,06 18.029,4 22.628,1 12.700,8 Itik produksi-belum diafkir 6.750,0 5.750,0 8.750,0 4.000,0 4.750,0 2.500,0 Total B 21.802,4 18.428,3 30.272,06 22.029,4 27.378,1 18.200,8 Keuntungan/bulan 287,9 227,2 624,4 652,9 819,8 455,5 Keuntungan/bulan/ekor 1,066 0,988 1,784 4,061 4,315 4,555 B/C Ratio 1,118 1,109 1,198 1,552 1,561 1,561 * Masa produksi 8 bulan, masih dimonitor ** Masa produksi 12 bulan 632
KESIMPULAN Sebagian data/informasi pengamatan dari peternak kooperator belum mencapai satu siklus produksi, karena awal produksi itik tidak sama. Jumlah keuntungan pemeliharaan itik petelur, dipengaruhi oleh perbedaan skala usaha, harga pakan dan jual telur serta besarnya produktivitas telur itik. Produktivitas itik MA hasil persilangan sendiri oleh peternak di Brebes dan Cirebon ada kecenderungan lebih rendah dari yang dihasilkan di Balitnak sebelumnya. Akibat tidak langsung sementara adalah keuntungan usaha di masing-masing lokasi tampaknya lebih rendah bila dibandingkan dengan usaha dari bibit sebelumnya (Balai Penelitian Ternak). DAFTAR PUSTAKA JUARINI E., SUMANTO, BROTO W., L.H. PRASETYO, PIUS K., ARGONO R.S., BRAM B. dan SUGENG. 2002. Uji multilokasi bibit itik niaga petelur. Laporan Akhir. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. PRASETYO, L.H. P.P. KETAREN, A.R. ARGONO, SUMANTO, E. JUARINI, B. WIBOWO, D. ANDRINITA, P. SITUMORANG, T. SUGIARTI, E. TRIWULANINGSIH, D.A. KUSUMANINGRUM, R.G. SIANTURI, B. BRAHMATIYO, T. SUSANTI, S. WIDODO dan SUHENDI. 2003. Pembibitan itik lokal sebagai komponen pengembangan agribisnis itik. Edisi Khusus. Kumpulan Hasil- Hasil Penelitian APBN Tahun 2002. (Buku II Non Ruminansia). Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. SUMANTO, E.JUARINI, B.WIBOWO, L.HARDI PRASETYO dan MAIJON PURBA. 2000. Analisis ekonomik bibit itik niaga. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. 633