BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pemberian OAT fase awal di BP4 (Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan tuberkulosis yang menyerang organ diluar paru-paru disebut

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB V. KESIMPULAN, SARAN & RINGKASAN. V.1. Kesimpulan. anti tuberkulosis akhir fase intensif pada 58 subyek penelitian ini. V.

I. PENDAHULUAN. prevalensi tuberkulosis tertinggi ke-5 di dunia setelah Bangladesh, China,

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, terdapat 8.6 juta orang

PERBEDAAN KADAR UREUM-KREATININ SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN OBAT ANTITUBERKULOSIS FASE AWAL

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

PERBEDAAN KADAR LEUKOSIT SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN OBAT ANTITUBERKULOSIS PADA FASE AWAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

INTISARI. Hubungan Kadar Hidrazin (Metabolit Isoniazid) dengan Kadar SGPT pada Akhir Fase Intensif Pengobatan Pasien Tuberkulosis Paru

I. PENDAHULUAN. mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang paru,

BAB I LATAR BELAKANG

Gambaran enzim transaminase pada pasien tuberkulosis paru yang diterapi dengan obat-obat anti tuberkulosis di RSUP Prof. Dr. R. D.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mycobacterium tuberculosis. Insidensi TB di Asia Tenggara pada tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr.

Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

I. PENDAHULUAN. Rifampisin (RFP) dan isoniazid (INH) merupakan obat lini pertama untuk

Meti Kusmiati, Danil Muharom Program Studi DIII Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya

BAB I PENDAHULUAN. mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang paru,

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... HALAMAN PERNYATAAN... HALAMAN PRAKATA... DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

PERBEDAAN KADAR SGPT PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU SEBELUM DAN SESUDAH FASE INTENSIF DI POLIKLINIK PARU RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU.

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB IV METODE PENELITIAN. Dilaksanakan pada bulan Maret Juni 2015 di klinik VCT RSUP Dr.

BAB I PENDAHULUAN. Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh

HUBUNGAN PEMBERIAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) DENGAN KADAR ASAM URAT SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Perbedaan Rerata Berat Badan Tikus Putih (Rattus novergicus) Pre

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

MOHAMMAD REZA AZHARI J

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian survei cross-sectional,

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru ( Tb Paru ) masih menjadi

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam. Semarang Jawa Tengah. Data diambil dari hasil rekam medik dan waktu

Suharmiati Betty Roosihermiatie Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Jl. Indrapura 17 Surabaya

BAB 5 PEMBAHASAN. Sistematika pembahasan dilakukan pada masing-masing variabel meliputi

III. METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERSEMBAHAN ii HALAMAN MOTTO. iii HALAMAN PERNYATAAN. iv HALAMAN BIMBINGAN. v HALAMAN PENGESAHAN

EFEK KURKUMA TERHADAP KADAR ALANINE MINOTRANSFERASE PADA PEMAKAIAN OBAT ANTI TUBERKULOSA DI POLIKLINIK ANAK RSUD ARIFIN ACHMAD PROPINSI RIAU

BAB IV METODE PENELITIAN. Ginjal-Hipertensi, dan sub bagian Tropik Infeksi. RSUP Dr.Kariadi, Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr.

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB 1 PENDAHULUAN (Sari, 2007). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara termasuk

BAB V HASIL PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di klinik RSUD Gunung Jati Cirebon, dengan populasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup waktu penelitian ini adalah tahun 2015

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Empat puluh pasien karsinoma mammae stadium III B yang memenuhi kriteria

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

ABSTRAK. Aldora Jesslyn O., 2012; Pembimbing I : Penny Setyawati M, dr., Sp.PK, M.Kes. Pembimbing II : Sijani Prahastuti, dr., M.Kes.

Ethical Clearance 64

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. zat-zat asing (xenobiotic). Zat-zat ini dapat berasal dari alam (makanan, dibuang melalui urin atau asam empedu.

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat dunia termasuk Indonesia (global epidemic). World

HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) DENGAN KADAR ENZIM TRANSAMINASE PADA PASIEN TUBERKULOSIS KASUS BARU DI RSUD TEMANGGUNG SKRIPSI

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam, Sub-bagian

Gizi Kurang sebagai Faktor Risiko Hepatitis Drug Induced karena Obat Anti Tuberkulosis

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri

PENGARUH OBAT ANTI-TUBERKULOSIS TERHADAP PERUBAHAN ENZIM TRANSAMINASE HATI DALAM DUA BULAN PENGOBATAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2015

Lampiran 1. Surat Persetujuan Komisi Etik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Perbedaan Rerata Berat Badan Tikus Putih (Rattus novergicus)

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara

HEPATITIS C VIRUS CO- INFECTION INCREASES THE RISK OF ANTI- TUBERCULOSIS DRUG- INDUCED HEPATOTOXICITY AMONG PATIENTS WITH PULMONARY TUBERCULOSIS

BAB 4 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post

PEMBAHASAN. 1. Air beroksigen 2. Pemakaian masker 3. Rokok elektronik 4. Iklan kanker paru 5. MDR TB

BAB IV METODE PENELITIAN

PENGARUH EKSTRAK DAUN DEWA (Gynura divaricata) TERHADAP KADAR SGOT DAN SGPT

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan Randomized control

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Evaluasi Penggunaan Obat Tuberkulosis pada Pasien Rawat Inap di Ruang Perawatan Kelas III di Salah Satu Rumah Sakit di Bandung

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan metode pre and post

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

KARAKTERISTIK PASIEN TUBERCULOSIS MULTI DRUG RESISTANCE DI KOTA SURABAYA TAHUN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 5 PEMBAHASAN. Penelitian telah dilakukan pada 40 pasien epilepsi yang menjalani monoterapi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Universitas Sumatera Utara

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PASIEN ANAK DI INSTALASI RAWAT JALAN BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT KLATEN TAHUN 2010

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik. Waktu penelitian adalah Desember April 2010.

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental quasi dengan desain pre post test. Pasien pencabutan gigi di RSGM UMY. { } N = Jumlah subyek yang diperlukan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian pra-eksperimental dengan pendekatan one

GAMBARAN NILAI SGOT DAN SGPT PASIEN TUBERKULOSIS PARU YANG DIRAWAT INAP DI RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU TAHUN 2013

Diagnosis danpengobatan TB ParuDewasa

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pretest dan posttest

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

KOMBINASI OBAT ANTITUBERKULOSIS PADA PASIEN ANAK RAWAT JALAN ASKES DI RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian Penelitian tentang perbedaan kadar SGOT-SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal di BP4 (Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru) Ngadinegaran, Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan di BP4 dimulai dari bulan September-Desember 2014. Responden dari BP4 pada saat penelitian dilaksanakan berjumlah 19 orang. Pengukuran kadar SGOT-SGPT dilakukan di laboratorium BP4 Yogyakarta. Pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi yaitu manifestasi klinis dan telah terdiagnosis dokter menderita penyakit TB paru berusia 16 sampai 65 tahun pada saat penelitian dilaksanakan, bersedia menjadi responden penelitian dan bekerjasama selama proses penelitian berlangsung. Bersedia dilakukan pemeriksaan SGOT-SGPT dan diambil darahnya sebelum minum OAT, bersedia mengkonsumsi OAT sebagai perlakuan dengan dosis dan waktu yang telah ditentukan, bersedia dilakukan pemeriksaan SGOT-SGPT dan diambil darahnya setelah minum OAT fase awal. B. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Subjek Pemilihan subjek dilakukan dengan teknik Accidental Sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia karena terbatasnya responden yang ada 32

33 untuk mengikuti penelitian. Responden diperoleh setelah peneliti melakukan penjelasan tentang jalannya penelitian, tujuan, dan manfaat penelitian ini. Responden memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan informed consent. Subyek pada penelitian ini berjumlah 19 responden dengan pemeriksaan kadar SGOT-SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal dengan beberapa responden mengalami peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Berdasarkan usia, dapat dikategorikan menjadi 5 kelompok, kelompok usia 15-25 tahun sebanyak 7 orang (37 %), kelompok 26-35 tahun sebanyak 2 orang (10%), kelompok usia 36-45 tahun sebanyak 3 orang (16%), kelompok usia 46-55 tahun sebanyak 3 orang (16%), dan kelompok usia 56-65 tahun sebanyak 4 orang (21%). Tabel. 1 Distribusi sampel berdasarkan usia Kategori umur Jumlah (orang) % 15-25 7 37 % 26-35 2 10 % 36-45 3 16 % 46-55 3 16 % 56-65 4 21 % Total 19 100 Dari data di atas menunjukkan bahwa penderita TB paru terbanyak pada usia 15-25 tahun dikarenakan pada penelitian ini jumlah responden yang berusia 15-25 tahun cenderung lebih banyak daripada usia yang lain. Menurut penelitian yang dilakukan Pramastuti, Ike dan kawan-kawan (2011) tentang Hubungan antara Pemberian OAT dengan Kadar Enzim

34 Transaminase pada Pasien TB Kasus Baru di RSUD Temanggung menunjukkan persentse peningkatan SGOT-SGPT terbanyak pada kelompok usia 50-59 tahun meskipun jumlah responden pada usia tersebut tidak banyak. Ditinjau dari jenis kelamin, 10 orang laki-laki (53%) dan 9 orang perempuan (47%). Tabel. 2 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin Kategori jenis kelamin Jumlah (orang) % Laki-laki 10 53 % Perempuan 9 47 % Total 19 100 Dari data tersebut menunjukkan bahwa penderita TB paru laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Jumlah subyek laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah subyek perempuan juga ditunjukkan dari penelitian yang dilakukan oleh Ahmed Salah Edalo dan kawan-kawan (2010) tentang Evaluation of The Effect of Anti Tuberculosis Drug on The Liver and Renal Functions Tests in a Sudanese Cohort. Dalam penelitian tersebut menunjukkan subyek penelitian laki-laki lebih dominan (n=84, 84%). Salah satu faktor pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu karena faktor sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi dan budaya menjadi hambatan dalam mengakses pelayanan kesehatan yang dapat menyebabkan tidak tercatatnya pasien TB pada perempuan, khususnya di negara-negara berkembang (Neyrolles, 2009).

35 2. Data Hasil Pemeriksaan SGOT & SGPT Pada penelitian ini telah didapatkan data hasil pemeriksaan kadar SGOT-SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal. a. Data kadar SGOT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal Kadar SGOT dari 19 responden pada penelitian ini didapatkan bahwa kadar SGOT sebelum pemberian OAT berkisar antara 11 mg/dl sampai 60 mg/dl dan kadar SGOT sesudah pemberian OAT fase awal berkisar antara 11 mg/dl sampai 586 mg/dl. Grafik 1. Kadar SGOT sebelum dan sesudah pemberian OAT 700 600 500 400 300 SGOT sebelum SGOT sesudah 200 100 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819 Kadar SGOT sesudah pemberian OAT fase awal cenderung meningkat. b. Data kadar SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal Kadar SGPT sebelum pemberian OAT dari 19 responden penelitian ini didapatkan bahwa kadar SGPT berkisar antara 8 mg/dl

36 sampai 62 mg/dl dan kadar SGPT sesudah pemberian OAT fase awal berkisar antara 6 mg/dl sampai 1026 mg/dl. Grafik 2. Kadar SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT 1200 1000 800 600 400 SGPT sebelum SGPT sesudah 200 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819 Kadar SGPT sesudah pemberian OAT fase awal cenderung meningkat. Pengujian normalitas data menggunakan Shapiro-Wilk karena sampel kurang dari 50 didapatkan nilai signifikansi pada SGOT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal yakni sebesar 0.000 (p<0,05). Nilai signifikansi pada SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal yakni sebesar 0.000 (p<0,05). Dari data tersebut menunjukkan bahwa distribusi data pada SGOT SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal tidak normal sehingga uji hipotesis yang digunakan adalah uji nonparametrik menggunakan Wilcoxon test.

37 Tabel 3. Tabel rerata (mean) dan Wilcoxon-test pada SGOT Pemberian OAT N Kadar SGOT Mean ± SD Wilcoxon-Test pre 19 22.8421 mg/dl p = post fase awal 19 58.6316 mg/dl 0.023 Pada tabel di atas memperlihatkan bahwa dari 19 orang responden yang diperiksa kadar SGOT, didapatkan ringkasan statistik dari kedua sampel kadar SGOT sebelum pemberian OAT rata-rata (mean) 22.8421 mg/dl, sedangkan sesudah pemberian OAT fase awal responden mempunyai rata-rata (mean) SGOT 58.6316 mg/dl. Nilai rata-rata (mean) pada kadar SGOT didapatkan nilai sesudah pemberian OAT fase awal lebih besar daripada nilai sebelum pemberian OAT. Hasil dari Wilcoxon test didapatkan signifikansi sebesar p=0.023 (p<0.05). Hal ini berarti kadar SGOT sesudah pemberian OAT fase awal terdapat peningkatan kadar SGOT yang signifikan. Tabel 4. Tabel rerata (mean) dan wilcoxon-test pada SGPT Pemberian OAT N Kadar SGPT Mean ± SD Wilcoxon-Test Pre 19 21.3684 mg/dl p = Post fase awal 19 80.8421 mg/dl 0.007 Pada tabel diatas menunjukkan bahwa dari 19 orang responden yang diperiksa kadar SGPT, didapatkan ringkasan statistik dari kedua sampel rata-rata (mean) kadar SGPT sebelum pemberian OAT 21.3684 Umg/dl, sedangkan nilai rata-rata (mean) sesudah pemberian OAT fase

38 awal 80.8421 mg/dl. Nilai rata-rata (mean) pada kadar SGPT didapatkan nilai sesudah pemberian OAT fase awal lebih besar daripada nilai sebelum pemberian OAT. Hasil dari Wilcoxon test didapatkan signifikansi sebesar p=0.007 (p<0.05). Hal ini berarti kadar SGPT sesudah pemberian OAT fase awal terdapat peningkatan kadar SGPT yang signifikan. Untuk membedakan signifikansinya bermakna atau tidak dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5. Sampel yang mengalami peningkatan dan penurunan pada SGOT-SGPT post pemberian OAT Sampel N Negative Positive Ranks Ranks SGOT 19 7 12 SGPT 19 5 14 Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 19 orang responden pada kadar SGOT sebelum dan susudah pemberian OAT fase awal terdapat 12 orang yang mengalami peningkatan kadar SGOT dan 7 orang yang mengalami penurunan kadar SGOT. Sedangkan pada kadar SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal menunjukkan bahwa dari 19 orang responden terdapat 14 orang yang mengalami peningkatan kadar SGPT dan 5 orang yang mengalami penurunan kadar SGPT. Hal tersebut berarti sebagian besar sampel yang diperiksa baik kadar SGOT dan SGPT sama-sama mengalami peningkatan.

39 Hal tersebut berarti pada responden yang diperiksa kadar SGOT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal terdapat peningkatan kadar SGOT yang signifikan, dan pada responden yang diperiksa kadar SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal terdapat peningkatan kadar SGPT yang signifikan. Hasil dari data tersebut menunjukkan bahwa H1 diterima yaitu terdapat perbedaan kadar SGOT-SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal. C. PEMBAHASAN Peningkatan kadar SGOT-SGPT setelah pemberian OAT fase awal dikaitkan dengan kombinasi Rifampisin dan INH yang telah dihubungkan dengan peningkatan risiko hepatotoksik. Rifampisin menginduksi hidrolasi INH, sehingga meningkatkan produksi hydrazine ketika dikombinasikan dengan INH (terutama pada asetilator lambat) yang dapat meningkatkan toksisitas. Rifampisin telah diketahui sebagai induser kuat sistem CYP450 pada hati dan usus, yang dapat meningkatkan metabolisme dari senyawa lain (Tostmann, A., et.al., 2007). Rifampisin dapat menginduksi hepatotoksik terkait dengan efek meningkatnya CYP pada homeostasis kalsium. Hal ini terjadi melalui stres oksidan, sehingga terjadi peningkatan peroksidasi lipid. Ketika Rifampisin dan INH digunakan bersama-sama, Rifampisin dapat meningkatkan toksisitas isoniazid, karena asetil-isoniazid dari isoniazid diubah menjadi hidrazin monoacetyl, yang dikatalisis oleh CYPs (Chen, J., et.al., 2006).

40 Selain itu metabolisme utama INH yang diasetilasi oleh enzim n- asetiltransferase 2 (NAT2) dan CYP 2E1 dan menghasilkan hepatotoksin. Hidrazin merupakan penyebab hepatotoksisitas pada penggunaan INH. Penelitian pada mikrosom liver tikus menunjukkan bahwa terbentuk radikal NO2 selama proses metabolisme hidrazin secara oksidasi, yang kemungkinan merupakan penyebab utama hepatotoksisitas. Penelitian menunjukkan bahwa ATDH (Anti Tuberculosis Drug-induced Hepatotoxicity) lebih mudah terjadi dan dapat menjadi parah pada kelompok asetilator lambat. Pada asetilator lambat lebih banyak INH yang tertinggal untuk dihidrolisis langsung menjadi hidrazin serta terakumulasi sebagai asetil hidrazin yang berubah menjadi hidrazin (Tostmann, A., et al., 2007). Pirazinamid (PZA) mungkin memperlihatkan hepatotoksisitas yang idiosinkratis dan tergantung dosis. Beberapa dekade yang lalu, dosis harian pirazinamid sebanyak 40-50 mg/kg dapat menyebabkan hepatotoksik. Pirazinamid bekerja dengan mengubah kadar nikotinamid acetil dehydrogenase pada hati tikus, yang mungkin menghasilkan radikal bebas. Cedera sel hati yang terjadi mungkin karena mekanisme obat yang sinergis antara INH dengan PZA (Saukkonen et al, 2006). Efek samping dari pirazinamid yang paling serius adalah kerusakan hepar. Peningkatan kadar transaminase dalam plasma menunjukkan abnormalitas awal yang diakibatkan oleh pirazinamid (Goodman & Gilman, 2008) Rifampisin (R), Isoniazid (H), dan Pirazinamid (Z) merupakan OAT lini pertama yang bersifat hepatotoksik. Faktor resiko hepatotoksik : faktor klinis

41 (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, konsumsi alkohol, mempunyai dasar penyakit hepar, karier hepatitis B, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TB lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan faktor genetik (Kishore,dkk, 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar SGOT-SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT fase awal mengalami peningkatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nelwan, Ayu R.P., Palar, S., & Lombo, J.C.M. (2014) dengan judul Kadar Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase dan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase pada Pasien Tuberkulosis Paru Selama Dua Bulan Berjalannya Pemberian Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012-Desember 2012 di Poliklinik Paru BLU RSUP Prof. Dr.R.D. Kandou Manado. Jumlah sampel yang dipakai dalam penelitian ini sebanyak 100 orang. Pemeriksaan kadar transaminase dilakukan sebelum pasien mendapat terapi dan 2 bulan setelah terapi dimulai. Hasil penelitian, rata-rata kadar transaminase pada pasien meningkat setelah diberikan terapi dibanding sebelum diterapi dan penelitian yang dilakukan oleh Ahmed Salah Edalo, et al dengan judul Evaluation of The Effect of Antituberculous Drugs on The Liver and Renal Functions Tests in A Sudanese Cohort. Penelitian ini dilakukan di Sudan dari Desember 2009-Juli 2010. Jumlah sampel 100 pasien TB paru dengan fungsi hati dan ginjal yang normal. Hasil penelitian tersebut terjadi kenaikan transaminase pasca pengobatan secara signifikan. Juga penelitian yang dilakukan oleh oleh Dharmik, Preeti et al dengan judul Effect of

42 Antituberculosis Treatment on Human Liver. Jumlah sampel 20 pasien, yang meliputi 14 laki-laki dan 6 perempuan. Hasil penelitian terjadi peningkatan serum SGPT pada pasien laki-laki sedangkan pada pasien perempuan serum dalam batas normal. Hasil dari penelitian ini terdapat satu pasien yang mengalami peningkatan SGOT-SGPT setelah pemberian OAT fase awal lebih dari 10 kali dibandingkan kadar SGOT-SGPT sebelum diberikan OAT sehingga rekomendasi nasional untuk mengelola hepatotoksik imbas obat yaitu jika pasien terdiagnosis hepatitis imbas obat maka pemberian OAT harus dihentikan, jika terdapat jaundice maka tunggu sampai jaundice hilang terlebih dahulu, jika jaundice muncul lagi dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif (fase awal pengobatan) maka dapat diberikan Isoniazide, Streptomisin, dan Etambutol selama 2 bulan dan diikuti oleh Isoniazide dan Etambutol selama 10 bulan, dan jika pasien sudah menyelesaikan tahap intensif maka berikan Isoniazide dan Etambutol selama 8 bulan pengobatan atau 12 bulan untuk regimen standar (Khisore,dkk, 2010) Adapun kelemahan dari penelitian ini antara lain : tidak melakukan pemeriksaan kadar SGOT-SGPT secara berkala baik sebelum, saat, dan setelah pemberian OAT fase awal dan tidak mengendalikan variabel pengganggu yang dapat menyebabkan kenaikan kadar SGOT-SGPT pada saat penelitian berlangsung sampai berakhirnya penelitian seperti faktor klinis yang meliputi usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, konsumsi alkohol, mempunyai dasar penyakit hepar, karier hepatitis B, prevalensi tinggi

43 di negara berkembang, hipoalbumin, TB lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya serta faktor genetik (Kishore,dkk, 2010).