I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan di Indonesia sampai saat ini masih sering dihadapkan dengan berbagai masalah, salah satunya yaitu kurangnya ketersediaan pakan. Ketersediaan pakan khususnya hijauan masih sering mengalami fluktuasi, hal ini karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Saat musim hujan hijauan mudah didapatkan, sedangkan musim kemarau sebaliknya sulit didapatkan. Hijauan merupakan sumber pakan utama ternak ruminansia sehingga ketersediaannya harus selalu ada, disamping itu harus memiliki kualitas dan kuantitas yang baik karena akan berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Pada saat ketersediaan hijauan ini berkurang, limbah pertanian dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pakan untuk ternak ruminansia. Salah satu limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia adalah pucuk tebu. Pucuk tebu merupakan limbah tanaman tebu yang ketersediaannya cukup banyak dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, pada tahun 2014 luas panen perkebunan tebu nasional adalah 473.338 hektar dengan total produksi mencapai 2.632.242 ton, dan limbah pucuk tebu yang dihasilkan adalah 368.513 ton per tahun. Melimpahnya produksi pucuk tebu ini harus bisa dimanfaatkan secara maksimal sebagai pakan ternak. Pucuk tebu mempunyai kandungan PK 5,6%, LK 1,83%, SK 39,78%, abu 10,18%, dan TDN 56,2% (Balitnak, 2015), serta lignin 14% (Alvino, 2012).
Penggunaan pakan berserat tinggi sebagai ransum ternak ruminansia tidak hanya menurunkan efisiensi penggunaan pakan tetapi juga dapat menurunkan tingkat degradasi pakan dan meningkatkan produksi gas metan. Tingkat degradasi pakan dapat digunakan sebagai indikator kualitas pakan yang dipengaruhi oleh populasi mikroba rumen, sedangkan gas metan merupakan gas yang dihasilkan oleh ternak ruminansia yang berasal dari metabolisme mikroba rumen. Upaya untuk mengoptimalkan populasi bakteri dalam rumen dan meningkatkan kemampuan degradasi pakan yang berserat tinggi serta menekan produksi gas metan dapat dilakukan melalui penambahan bahan aditif dalam pakan. Complete Rumen Modifier (CRM) merupakan mixed feed additive yang terdiri atas campuran produk pakan yang mengandung senyawa-senyawa alami, dimana senyawa tersebut memiliki kemampuan untuk menekan populasi protozoa dan bakteri pembentuk metan. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh tingkat penambahan Complete Rumen Modifier (CRM) dalam ransum berbasis pucuk tebu (Saccharum officinarum) terhadap degradasi bahan kering dan produksi gas metan (in vitro). 1.2 Identifikasi Masalah 1) Bagaimana pengaruh tingkat penambahan Complete Rumen Modifier (CRM) dalam ransum berbasis pucuk tebu terhadap degradasi bahan kering dan produksi gas metan (in vitro). 2) Pada tingkat berapa persen Complete Rumen Modifier (CRM) dalam ransum berbasis pucuk tebu yang memberikan pengaruh terhadap degradasi bahan kering paling tinggi dan produksi gas metan paling rendah (in vitro).
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1) Mengetahui adakah pengaruh tingkat penambahan Complete Rumen Modifier (CRM) dalam ransum berbasis pucuk tebu terhadap degradasi bahan kering dan produksi gas metan (in vitro). 2) Mengetahui berapa persentase penambahan Complete Rumen Modifier (CRM) dalam ransum berbasis pucuk tebu yang memberikan pengaruh terhadap degradasi bahan kering paling tinggi dan produksi gas metan paling rendah (in vitro). 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi ilmiah mengenai pemanfaatan pucuk tebu dengan penambahan CRM dalam ransum agar menurunkan produksi gas metan. Selain itu menambah pengetahuan mengenai metode in vitro baru, yakni metode RUSITEC (Rumen Simulation Technique). 1.5 Kerangka Pemikiran Pucuk tebu merupakan salah satu limbah pertanian yang dihasilkan dari tanaman tebu yang sangat potensial dijadikan sebagai pakan ternak karena jumlahnya yang banyak tersedia dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Pucuk tebu adalah bagian dari ujung atas batang tebu antara 4 sampai 7 lembar daun yang dipotong dari tanaman tebu pada saat panen (Muhtarudin, 2007). Luas panen perkebunan tebu pada tahun 2014 adalah 473.338 hektar dengan total produksi mencapai 2.632.242 ton (Ditjenbun, 2014) dan limbah pucuk tebu yang dihasilkan adalah 368.513 ton atau sekitar 14% dari berat tebu pada saat panen (Sukria dan Krisnan, 2009).
Melimpahnya jumlah pucuk tebu diharapkan dapat mengurangi ketergantungan ternak pada rumput yang ketersediaannya terbatas. Pemberian pucuk tebu pada ternak ruminansia hanya dapat mencukupi kebutuhan hidup pokok, sehingga apabila akan digunakan untuk tujuan produksi ternak maka perlu dilakukan suplementasi protein atau bahan aditif. Pemanfaatan pucuk tebu sebagai pengganti hijauan pakan secara maksimal memiliki keterbatasan, diantaranya kandungan protein kasar rendah, serat kasar tinggi, dan kecernaan yang rendah serta tingginya kandungan lignin. Kandungan lignin pada pucuk tebu adalah 14% (Alvino, 2012). Sistem pencernaan ternak ruminansia sangat bergantung pada perkembangan populasi mikroba rumen dalam mendegradasi setiap bahan pakan yang dikonsumsi. Mikroba rumen berperan mencerna pakan berserat yang berkualitas rendah dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein bagi induk semang, sehingga kebutuhan asam-asam amino untuk ternak tidak sepenuhnya bergantung pada protein pakan yang diberikan. Kualitas suatu bahan pakan selain ditentukan oleh kandungan zat-zat gizinya juga ditentukan oleh kemampuan degradasi dan adaptasi mikroba rumen yang berpengaruh terhadap kecernaan pakan, terutama kandungan lignin (Suhartanto, dkk., 2000; Wati, dkk., 2012). Tingkat degradasi pakan dipengaruhi oleh populasi mikroba rumen. Adanya bakteri dan protozoa yang hidup dalam rumen menyebabkan ternak ruminansia dapat mendegradasi pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Keberadaan protozoa dalam rumen dapat mengganggu ekosistem bakteri karena mempunyai sifat memakan bakteri. Jika populasi protozoa tidak terkendali maka jumlah populasi bakteri akan turun dan mempengaruhi proses degradasi
pakan. Sejumlah bakteri metanogen hidup dalam rumen dengan cara menempel di permukaan dinding sel protozoa, sehingga apabila populasi protozoa menurun akibat terdefaunasi, maka populasi metanogen akan menurun karena kehilangan sebagian habitatnya. Complete Rumen Modifier (CRM) adalah salah satu produk Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor yang merupakan mixed feed additives (feed aditif campuran yang memiliki komponen multi fungsi) dimana dapat berperan sebagai defaunator, inhibitor metanogenesis, dan faktor pertumbuhan bakteri. CRM memiliki komponen berupa buah Lerak (Sapindus rarak), Sesbania, Albizia, molases, urea dan beberapa mineral mikro yang terdiri atas Cu, Zn, dan Fe. Buah lerak (Sapindus rarak) merupakan salah satu tanaman tropis yang mengandung saponin dalam jumlah tinggi. Berdasarkan penelitian, bahwa dengan penambahan ekstrak buah lerak sebagai defaunator dalam ransum yang terdiri atas rumput Raja dan konsentrat dilaporkan dapat menurunkan produksi metan sebesar 31% (Thalib, 2004). Selain itu, berdasarkan penelitian Thalib, dkk., (1998) bahwa dengan penambahan komponen molases, Cu, dan Zn terhadap ekstrak saponin buah lerak dilaporkan dapat lebih meningkatkan populasi dan aktivitas bakteri fibrolitik. Disamping lerak, sesbania dan albizia juga diketahui mengandung saponin yang cukup tinggi, yaitu masing-masing 8,4% dan 12,96% (Laboratorium Kimia, Balitnak, 2004). Saponin dapat digunakan untuk menekan populasi protozoa. Saponin dapat mengganggu perkembangan protozoa dengan terjadinya ikatan antara saponin dengan sterol pada permukaan membran sel protozoa sehingga menyebabkan membran sel protozoa pecah, sel protozoa lisis dan akhirnya mati (Suparjo, 2008).
Dalam sistem pencernaan rumen, senyawa-senyawa organik bahan pakan difermentasi oleh mikroba rumen menjadi asam lemak terbang (Volatile Fatty Acids, VFA), karbondioksida (CO2), hidrogen (H2) dan ammonia (NH3). Asam propionat dan butirat oleh bantuan bakteri asetogenik dapat diubah menjadi asam asetat, dan asam asetat dapat diuraikan lebih lanjut menjadi gas metan (CH4) dengan adanya bantuan bakteri metanogen (Rahmi, 2009; Felix, dkk., 2012). Gas metan yang terbentuk dapat keluar melalui eruktasi (sekitar 83%), pernapasan (sekitar 16%) dan anus (sekitar 1%) (Thalib, dkk., 2010). Persentase produksi gas metan bervariasi bergantung pada berbagai faktor, antara lain jenis dan tipe ternak, kandungan bahan organik dalam pakan, kandungan komponen serat di dalam pakan dan kondisi lingkungan rumen. Berdasarkan penelitian penambahan CRM sebanyak 2% dalam ransum domba yang terdiri atas jerami padi fermentasi, menyebabkan terjadinya penurunan populasi protozoa sebesar 56-59% dan meningkatkan populasi bakteri sebesar 33-50% (Thalib, dkk., 2010). Selain itu dilaporkan juga penambahan CRM sebanyak 2% dalam ransum kambing perah PE yang terdiri atas rumput gajah dan konsentrat dapat meningkatkan jumlah bakteri 36,84% dan menurunkan konsentrasi gas metan 65,71% (Sukmawati, dkk., 2011). Berkurangnya konsentrasi gas metan adalah akibat berkurangnya jumlah protozoa yang merupakan tempat simbiosis bakteri metanogenik. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik hipotesis bahwa penambahan 2% CRM dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan degradasi bahan kering dan penurunan produksi gas metan pada ransum yang berbasis pucuk tebu.
1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 01 sampai 21 Februari 2016. Lokasi penelitian di Laboratorium Fisiologi Nutrisi Ternak Ruminansia dan Laboratorium Rusitec - Metan, Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.