4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Febyansyah Nur Abdullah, Anhar Solichin*), Suradi Wijaya Saputra

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3.3 Pengumpulan Data Primer

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

3. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

3. METODE PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

3. METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL

PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TERI PEKTO (Stolephorus Waitei) DI PERAIRAN BELAWAN KOTA MEDAN SUMATERA UTARA

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN STOK IKAN LAYANG (Decaterus ruselli) BERBASIS PANJANG BERAT YANG DIDARATKAN DI PASAR IKAN TAREMPA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS

BAB III BAHAN DAN METODE

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal

The study of Sardinella fimbriata stock based on weight length in Karas fishing ground landed at Pelantar KUD in Tanjungpinang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

3. METODE PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Abstrak. Kata Kunci : Ikan ekor Kuning, pertumbuhan, laju mortalitas, eksploitasi. Abstract

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pengumpulan Data

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

Length-Weight based Stock Assessment Of Eastern Little Tuna (Euthynnus affinis ) Landed at Tarempa Fish Market Kepulauan Anambas

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

EVALUASI TINGKAT EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN GULAMAH (Johnius sp) BERDASARKAN DATA TPI PPS CILACAP

FAKTOR KONDISI DAN HUBUNGAN PANJANG BERAT IKAN SELIKUR (Scomber australasicus) DI LAUT NATUNA YANG DIDARATKAN DI PELANTAR KUD KOTA TANJUNGPINANG

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

Transkripsi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang garis Pantai Utara Jawa sekitar 1 100 km, perairan ini dikenal memilki sumberdaya ikan pelagis yang melimpah, terutama kelompok ikan pelagis kecil (Wijopriono & Genisa 2003). Namun hasil tangkapan utama yang didaratkan di PPN Brondong didominasi oleh ikan demersal. Daerah penangkapan nelayan di Kecamatan Brondong berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan 712 (WPP 712) yaitu Laut Jawa yang meliputi daerah Masalimbu, Matasiri, Kramean, dan sekitar Bawean (Ditjen-Tangkap DKP 2009). Menurut Durand & Petit (1994) beberapa daerah tersebut merupakan area kepulauan dan terumbu karang yang menjadi habitat ikan bii nangka (U. sulphureus Cuvier, 1829). Oleh karena itu, ikan biji nangka banyak ditangkap di daerah-daerah tersebut. Durand & Petit (1994) juga menyatakan bahwa kedalaman rata-rata perairan Laut Jawa kurang lebih 40 m, kedalaman maksimal terdapat di sebelah utara Pulau Madura. Secara ekologis, perairan Pantai Utara Jawa kaya akan zooplankton. Jumlah zooplankton yang teridentifikasi pada tahun 2001 mencapai 35 taksa yang sebagian besar didominasi oleh Copepoda terutama genus Calanoida dengan kisaran antara 1 000 3 000 ind m -3 dari 2 100 9 000 ind m -3 total zooplankton yang ada. Suhu perairan relatif cukup tinggi karena termasuk dalam ekuator yaitu berkisar antara 27.1-29.7 C dengan dua nilai maksimum dan dua nilai minimum dalam setahun. Nilai maksimum pertama berkisar antara 29.1-29.7 C pada bulan April sampai Mei sedangkan nilai maksimum kedua antara 28.8-29.2 C. pada bulan Oktober sampai November. Nilai minimum pertama berkisar antara 27.4-28.3 C pada bulan Desember sampai Januari sedangkan nilai minimum kedua berkisar antara 27.5-28.5 C pada bulan Agustus (Ilahalude 1979 in BRKP-DKP 2001). Salinitas perairan Laut Jawa juga memiliki dua nilai maksimum dan dua nilai minimum dalam setahun. Nilai maksimum pertama berkisar antara 32.5-33.0

29 pada bulan November, sedangkan nilai maksimum kedua berkisar antara 31.7-32.0 pada bulan Mei. Nilai maksimum juga dipengaruhi oleh adanya musim kemarau. Nilai minimum pertama berkisar antara 30.6-31.0 sedangkan nilai minimun kedua sebesar 31.0-31.4 pada Bulan Juli (Suriaatmadja 1956 & Ilahude 1975 in BRKP-DKP 2001). Tertdapat dua pola musim di Perairan Utara Jawa tepatnya di wilayah Kecamatan Brondong yang berpengaruh terhadap aktifitas penangkapan ikan, yaitu musim timur dan musim barat. Musim timur berlangsung Juni hingga September, musim timur adalah ketika angin bertiup dari selatan ke tenggara dan terjadi pada musim kemarau. Kondisi perairan pada musim timur relatif tenang, angin serta gelombang tidak begitu besar sehingga aktifitas penangkapan ikan cukup tinggi pada musim ini. Pada musim barat, angin bertiup dari utara ke arah barat terjadi pada bulan November hingga Mei. Angin dan gelombang cukup tinggi pada musim ini, sehingga aktifitas penangkapan ikan menurun. Bulan Oktober merupakan musim peralihan (Widayanti 2006). Menurut Hanan (2006) musim penangkapan di Perairan Pantai Utara Jawa bagian timur yaitu di PPN Brondong terdapat dua musim penangkapan yaitu musim sedang pada bulan November sampai Juni dan musim puncak pada bulan Juli hingga Oktober. 4.1.2. Kondisi perikanan biji nangka di PPN Brondong Terdapat dua jenis nelayan di PPN Brondong, yaitu musiman dan penuh. Sebagian besar nelayan dogol termasuk jenis nelayan penuh, dengan lama melaut 5 sampai 15 hari. Nelayan jenis ini melakukan aktifitas penangkapan sepanjang tahun, dengan musim puncak penangkapan pada bulan Maret dan Oktober untuk ikan biji nangka (Ditjen-Tangkap DKP 2009). Di PPN Brondong alat tangkap yang paling dominan dipakai nelayan untuk menangkap ikan yaitu alat tangkap dogol. Ikan biji nangka sendiri ditangkap dengan alat tangkap dogol baik besar maupun kecil dengan kapal motor berukuran 10-20 GT untuk dogol besar dan < 10 GT untuk dogol kecil. Berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan ukuran mata jaring dogol yang digunakan adalah 1.25 inchi, 2 inchi, 2.5 inchi, 3 inchi sampai 4 inchi. Alat tangkap ini dioperasikan pada kedalaman perairan 40-50 m (Ditjen-Tangkap DKP 2008).

30 Alat tangkap dogol merupakan alat tangkap ikan demersal, ikan-ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan-ikan demersal. Diantaranya ikan biji nangka, swanggi, kakap merah, beloso, manyung, serta terdapat jenis ikan pelagis seperti ikan layang dan layur. Komposisi hasil tangkapan dengan alat tangkap dogol di PPN Brondong disajikan pada Gambar 6. Sumber : Ditjen-Tangkap DKP (2009) Gambar 6. Diagram komposisi hasil tangkapan dogol di PPN Brondong tahun 2008 Daerah penangkapan nelayan di Kecamatan Brondong berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan 712 (WPP 712) yaitu Laut Jawa yang meliputi daerah Masalimbu, Matasiri, Kramean, dan sekitar Madura. Namun, menurut nelayan Brondong, mereka hanya mampu menempuh daerah penangkapan Masalembu, Bawean, dan Madura karena keterbatasan daya tempuh kapal. Sedangkan daerah Matasiri dan Kramean jarang dijangkau oleh nelayan-nelayan yang kekuatan kapalnya >10 GT. Pemasaran ikan biji nangka tidak hanya dijual di pasar lokal saja. Bentuk produk yang dipasarkan selain dalam kondisi segar, serta sudah berupa produk olahan yaitu asap dan asin. Hal ini bertujuan agar ikan tetap awet dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Harga jual ikan biji nangka segar bervariasi menurut ukurannya, ikan yang berukuran kecil dijual dengan harga sangat murah bahkan seringkali dibuang lagi ke laut karena tidak memberikan keuntungan. Berdasarkan

31 Ditjen-Tangkap DKP (2008) rata-rata harga jual ikan biji nangka per kg adalah Rp 8 600,00. 4.1.3.Hubungan panjang bobot Hubungan panjang bobot ikan sangat penting artinya dalam ilmu dinamika populasi, antara lain : memberikan pernyataan secara matematis hubungan antara panjang dan bobot ikan, mengukur variasi bobot harapan untuk panjang tertentu sebagai suatu petunjuk kegemukan, dan untuk mengetahui faktor koefisien kondisi ikan yang menunjukkan kegemukan relatif (Sumiono & Nuraini 2007). Berikut ini adalah hubungan panjang bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh di PPN Brondong yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hubungan panjang bobot ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh di Perairan Utara Jawa. Pengambilan contoh ke- Waktu b R² Pola pertumbuhan 1 07 Februari 2010 2.52 0.89 allometrik negatif 2 15 Februari 2010 2.68 0.96 allometrik negatif 3 23 Februari 2010 2.73 0.93 allometrik negatif 4 03 Maret 2010 2.51 0.90 allometrik negatif 5 11 Maret 2010 2.64 0.96 allometrik negatif 6 19 Maret 2010 2.39 0.93 allometrik negatif 7 27 Maret 2010 2.40 0.89 allometrik negatif Berdasarkan tabel di atas, diperoleh pola pertumbuhan ikan biji nangka pada pengambilan contoh I hingga VII adalah allometrik negatif yang menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang lebih cepat dari pada pertumbuhan bobot. 4.1.4. Sebaran frekuensi panjang Ikan biji nangka yang diamati selama penelitian berjumlah 1 050 ekor. Hasil sebaran frekuensi panjang ikan biji nangka pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Sebaran frekuensi panjang ikan biji nangka 32

33 4.1.5. Parameter pertumbuhan Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan biji nangka menggunakan metode NORMSEP disajikan pada Gambar 8. Gambar 8. Kelompok ukuran panjang ikan biji nangka ( : Pertumbuhan populasi )

34 Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa pada setiap waktu pengambilan contoh menghasilkan kelompok ukuran panjang ikan contoh yang berbeda-beda. Pengambilan contoh I diperoleh tiga kelompok ukuran panjang. Pengambilan contoh II, III, dan IV diperoleh empat kelompok ukuran panjang. Pengambilan contoh V dan VI diperoleh tiga kelompok ukuran panjang. Dan pada pengambilan contoh VII diperoleh empat kelompok ukuran panjang. Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan biji nangka yaitu panjang ratarata, jumlah populasi dan indeks separasi masing-masing kelompok ukuran disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Sebaran kelompok ukuran ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Tanggal 07 Februari 2010 15 Februari 2010 23 Februari 2010 03 Maret 2010 11 Maret 2010 19 Maret 2010 27 Maret 2010 Kelompok Ukuran Nilai Tengah Indeks Sparasi 1 124.50 ± 10.81 2 147.45 ± 5.28 2.85 3 167.22 ± 7.48 3.10 1 145.50 ± 3.91 2 173.49 ± 6.54 5.36 3 201.36 ± 6.01 4.44 4 230.85 ± 6.80 4.60 1 142.91 ± 9.64 2 178.66 ± 8.17 4.01 3 213.98 ± 6.76 4.73 4 259.50 ± 8.33 6.03 1 169.99 ± 9.77 2 201.48 ± 7.16 3.72 3 233.67 ± 6.03 4.88 1 164.62 ± 9.93 2 211.96 ± 7.05 5.58 3 233.69 ± 2.93 4.35 1 163.81 ± 15.15 2 234.67 ± 6.87 6.44 3 264.35 ± 5.50 4.35 1 148.70 ± 11.76 2 175.53 ± 5.12 3.18 3 206.31 ± 5.12 4.35 4 260.82 ± 7.63 6.54

35 Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan biji nangka yaitu koefisien pertumbuhan (K) dan panjang infinitif (L,) serta umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (t 0 ) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanfy (L, K) dan t 0 ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa (Februari-Maret 2010) Parameter Nilai K (per tahun) 0.28 L (mm) 313.43 t o (tahun) -0.55 Berdasarkan Tabel 4 diperoleh persamaan pertumbuhan Von Bertallanfy ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Timur sebagai berikut. L t 313.43 1 e 0.28 t 0.55 Kurva pertumbuhan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Timur (Gambar 9) diperoleh dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang total ikan (mm) sampai ikan berumur 30 bulan. 350 L Panjang total (mm) 300 250 200 150 100 L t 313.43 1 e 0.28 t 0.55 50 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Umur (bulan) Gambar 9. Kurva pertumbuhan ikan biji nangka

36 4.1.6. Mortalitas dan laju eksploitasi Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan mortalitas penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Ketiga jenis mortalitas tersebut perlu dianalisis. Pendugaan mortalitas total (Z) ikan biji nangka dilakukan dengan kurva hasil penangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang (length converted catch curve), seperti yang disajikan pada Gambar 10. 7 6 y = -2.17 x + 11.19 R² = 0.72 Ln [C(L1,L2)/delta t] 5 4 3 2 1 0 0 2 4 6 8 10 12 t (L1/L2)/2 Gambar 10. Kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z) Berdasarkan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang diperoleh dugaan laju mortalitas total (Z) = -b. Dugaan mortalitas alami (M) ikan biji nangka dihitung menggunakan persamaan Pauly (1984) dengan nilai T yaitu rata-rata suhu perairan Pantai Utara Jawa Timur sebesar 28.4 0 C (BRKP-DKP 2001). Menurut Pauly (1984), faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L ) dan laju pertumbuhan (K). Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan biji nangka disajikan pada Tabel 5.

37 Tabel 5. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan biji nangka di Peariran Utara Jawa Laju Nilai (per tahun) Mortalitas Total (Z) 2.18 Mortalitas Alami (M) 0.32 Mortalitas Penangkapan (F) 1.86 Eksploitasi (E) 0.85 4.1.7. Model stok ikan biji nangka Di PPN Brondong, ikan biji nangka merupakan ikan yang dominan ditangkap menggunakan alat tangkap dogol. Menurut hasil wawancara dengan nelayan-nelayan di PPN Brondong, ikan biji nangka juga ditangkap dengan alat tangkap selain dogol yaitu payang. Alat tangkap payang merupakan alat tangkap ikan-ikan pelagis, oleh karena itu hasil tangkapannya lebih didominasi ikan-ikan pelagis seperti ikan layang, layur, tongkol, sedangkan ikan biji nangka sangat sedikit tertangkap, bahkan sering kali tidak tertangkap sama sekali. Pada penelitian ini, dikhususkan untuk sumberdaya ikan biji nangka yang ditangkap dengan alat tangkap dogol. Karena selain ikan ini lebih dominan ditangkap dengan alat tangkap tersebut, di PPN Brondong sendiri hanya menyediakan data hasil tangkapan ikan biji nangka dengan alat tangkap dogol, dengan asumsi ikan biji nangka sangat sedikit tertangkap dengan alat tangkap payang. Sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan standarisasi upaya penangkapan. Data hasil tangkapan (catch), upaya penangkapan (effort), dan CPUE (Catch per Unit Effort) di Perairan Utara Jawa dan didaratkan di PPN Brondong yang menggunakan alat tangkap dogol dengan perahu motor berukuran 10 GT dan 10-20 GT berdasarkan Statistik Perikanan PPN Brondong dari tahun 2003-2009 disajikan pada Tabel 6.

38 Tabel 6. Hasil tangkapan (C), upaya penangkapan (f), dan CPUE Tahun C (ton) f (unit) CPUE (ton/unit) 2003 6 576 453 14.52 2004 9 063 453 20.00 2005 8 182 836 9.79 2006 7 446 961 7.75 2007 11 318 965 11.73 2008 12 555 1 393 9.01 2009 15 917 1 386 11.48 Sumber : Ditjen Tangkap-DKP PPN Brondong (2003-2009) Hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer dan Fox disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12, sedangkan hubungan upaya penangkapan denagn hasil tangkapan disajikan pada Gambar 13. CPUE (ton/unit) 25 20 15 10 5 0 CPUE = -0.0071 Effort + 18.85 R² = 0.50 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Effort (unit) Gambar 11. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer Ln CPUE (ton/unit) 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 ln CPUE = -0.0001 effort + 2.95 R² = 0.44 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Effort (unit) Gambar 12. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Fox

39 Hasil tangkapan (ton) 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 MSY 0 400 800 1200 1600 2000 2400 Effort (unit) Schaefer Gambar 13. Hubungan upaya penangkapan dengan hasil tangkapan f msy 4.2. Pembahasan 4.2.1. Hubungan panjang bobot Berdasarkan grafik hubungan panjang bobot ikan biji nangka (Gambar 14) diperoleh persamaan W = 0.0001 L 2.47 dengan koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 93 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa model dugaan mampu menjelaskan data sebesar 93 % (Dowdy et al. 2004). Dan hasil uji t (uji parsial) terhadap nilai b yang dilakukan, pola pertumbuhan ikan biji nangka yang di tangkap di Pantai Utara Jawa Timur adalah allometrik negatif, artinya pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan bobot menurut Ricker (1970) in Effendie (2002). Pertumbuhan allometrik merupakan perubahan yang bersifat sementara misalnya perubahan yang berhubungan dengan kematangan gonad (Effendie 2002). Sedangkan pola pertumbuhan allometrik negatif menunjukkan bentuk tubuh ikan yang cenderung kurus, hal ini diduga pada bulan Februari hingga Maret ikan biji nangka berada pada akhir siklus pemijahannya. Karena menurut Sumiono & Nuraini (2007) musim pemijahan ikan biji nangka terjadi pada bulan Januari hingga Februari. Hal tersebut juga dapat dilihat pada Tabel 2, nilai b yang diperoleh cenderung semakin menurun pada pengambilan contoh I hingga VII. Selain itu, faktor lain yang diduga mempengaruhi pola pertumbuhan ikan biji nangka di

40 Perairan Utara Jawa adalah perubahan kondisi lingkungan perairan terutama ketersediaan makanan ikan biji nangka yang semakin menurun dan perubahan suhu yang mempengaruhi tingkat konsumsi suatu biota air (Effendie 2002). Akan tetapi, untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan suatu penelitian lanjutan tentang kualitas Perairan Utara Jawa dan aspek biologi kebiasaan makan ikan biji nangka. 350 300 250 W = 0.0001 L 2.47 R² = 0.93 n = 1050 ekor Bobot (g) 200 150 100 50 0 0 50 100 150 200 250 300 350 Panjang total (mm) Gambar 14. Grafik hubungan panjang bobot total contoh ikan biji nangka Suatu penelitian mengenai pertumbuhan ikan biji nangka pernah dilakukan oleh Sumiono & Nuraini (2007) di lokasi yang sama menghasilkan persamaan W = 0.14 L 2.22 dengan pola pertumbuhan allometrik negatif setelah dilakukan uji t terhadap nilai b. Hal tersebut menunjukkan bahwa belum terjadi perubahan pada pola pertumbuhan ikan ini pada tahun 2007 hingga 2010. Penelitian lain pernah dilakukan oleh Sjafei & Susilawati (2001) di perairan Teluk Labuan, Banten dengan spesies Upeneus moluccensis Blkr. menyebutkan bahwa hasil dari regresi panjang dan bobot untuk ikan ini adalah W = -4.78 L 2.93 dengan pola pertumbuhan isometrik. Perbedaan pola pertumbuhan tersebut diduga karena faktor internal berupa perbedaan spesies atau genetik dan faktor eksternal berupa kondisi perairan baik suhu, ketersediaan makanan, waktu penangkapan, kapal penangkapan, dan ketersediaan makanan di perairan tersebut (Osman 2004 in Lelono 2007). Menurut Moutopoulos & Stergiou (2002) in Kharat et al. (2008) menyatakan bahwa

41 perbedaan pola pertumbuhan juga dapat disebabkan adanya perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati. 4.2.2. Sebaran frekuensi panjang Menurut Boer (1996), penggunaan histogram frekuensi panjang sering dianggap teknik yang paling sederhana diterapkan untuk mengetahui tingkatan stok ikan, tetapi yang perlu dicatat bahwa struktur data panjang sangat bervariasi tergantung letaknya baik secara geografis, habitat, maupun tingkah laku. Pada Gambar 7 terdapat pergeseran modus kelas panjang dari pengambilan contoh I hingga pengambilan contoh VII. Pergeseran yang terjadi cenderung ke arah kanan dan membentuk kelompok ukuran baru pada setiap pengambilan contoh yang dilakukan. Pergeseran tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan pada setiap pengambilan contoh. Pada pengambilan contoh V hingga VII terlihat munculnya kelompok-kelompok ukuran baru di bagian kiri, hal ini diduga adanya individuindividu baru yang masuk (rekruitment) sehingga membentuk kelompok ukuran panjang yang baru. Karena menurut Sumiono & Nuraini (2007) bulan Januari- Februari merupakan musim pemijahan ikan biji nangka sehingga diduga pada bulan Maret sudah terbentuk individu-individu baru yang berupa ikan-ikan biji nangka berukuran kecil. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, sekitar 55 % dari jumlah total contoh ikan yang diambil berukuran 80 mm hingga 120 mm banyak tertangkap dan didaratkan di PPN Brondong, sedangkan ikan baru pertama kali matang gonad berukuran 115-120 mm (Herianti & Subani 1993). Hal ini diduga karena masih ada nelayan yang menggunakan jaring dogol dengan mesh size 1.25 inchi hingga 1.50 inchi, sehingga diduga banyak ikan yang belum sempat memijah ikut tertangkap. Pada pengambilan contoh I hingga VII, panjang ikan yang dominan tertangkap berkisar 170-175 mm dan 200-205 mm, sedangkan panjang ikan yang paling sedikit tertangkap berkisar 80-85 mm. Panjang maksimum ikan yang diamati berdasarkan pengambilan contoh di PPN Brondong adalah 300 mm, hal ini sesuai dengan Munro (1967) in Fahmi (2002) yang menyebutkan bahwa ikan biji nangka dapat mencapai panjang maksimum 300 mm.

42 4.2.3.Parameter pertumbuhan Dalam pemisahan kelompok ukuran ikan dengan metode Bhattacharya sangat penting untuk memperhatikan nilai indeks separasi yang diperoleh. Indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan, bila indeks separasi kurang dari dua maka tidak mungkin dilakukan pemisahan di antara dua kelompok ukuran karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok ukuran tersebut ( Hasseblad 1996, McNew & Summerfelt 1978 serta Clark 1981 in Sparre & Venema 1999). Berdasarkan hasil analisis pemisahan kelompok ukuran (Tabel 3) terlihat nilai indeks separasi yang lebih dari dua (I > 2), hal ini menunjukkan bahwa hasil pemisahan kelompok ukuran ikan biji nangka dapat diterima dan digunakan untuk analisis selanjutnya. Panjang total maksimum ikan biji nangka yang yang ditangkap di Perairan Utara Jawa dan didaratkan di PPN Brondong adalah 300 mm, panjang ini lebih kecil dari panjang asimtotik (infinitif) ikan biji nangka yaitu 313.43 mm. Koefisien pertumbuhan (K) ikan biji nangka tersebut adalah 0.28 per tahun. Hasil analisis serupa dari beberapa penelitian tentang ikan biji nangka disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Parameter pertumbuhan ikan biji nangka dari beberapa hasil penelitian Koefisien Sumber Lokasi pertumbuhan (K) L (mm) per tahun Ingles & Pauly (1984) Perairan Utara Jawa 1.74 158.00 Syamsiyah (2010) Perairan Utara Jawa 0.28 313.43 Penelitian lain menyebutkan bahwa nilai K ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa pada tahun 2010 menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan pada tahun 1984. Dapat diinterpretasikan bahwa pertumbuhan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa pada tahun 2010 lebih rendah dari pada tahun 1984. Semakin cepat laju pertumbuhannya maka akan semakin cepat pula ikan tersebut mencapai panjang teoritis (L ). Meskipun dua penelitian di atas menggunakan spesies ikan biji nangka yang sama, akan tetapi menghasilkan K dan L yang berbeda. Hal tersebut dipengaruhi

43 oleh adanya perbedaan panjang maksimum ikan yang diperoleh ketika melakukan pengambilan contoh. Selain itu, perbedaan waktu pengamatan serta perubahan kondisi perairan menjadi faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan biji nangka di perairan tersebut. Berdasarkan kurva pertumbuhan ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa (Gambar 9) ketika ikan berumur 30 bulan, secara teoritis panjang total ikan adalah 313.43 mm. Pada kurva terlihat bahwa laju pertumbuhan ikan biji nangka tidak sama selama rentang hidupnya. Ikan berumur muda memilki laju pertumbuhan yang lebih cepat dari pada ikan yang berumur tua. Cepatnya pertumbuhan dan pendeknya umur ikan biji nangka menunjukkan laju kematian yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengelola sumberdaya perikanan dalam penyusunan rencana pengelolaan perikanan agar memperhatikan pemanfaatannya secara berkelanjutan (Suman et al. 2006). 4.2.4. Mortalitas dan laju eksploitasi Laju mortalitas total (Z) ikan biji nangka adalah 2.18 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) adalah 0.32 per tahun. Mortalitas alami dipengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, kelaparan, dan usia. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertallanffy yaitu K dan L. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan begitu juga sebaliknya. Ketika suhu rata-rata perairan meningkat nilai M juga akan meningkat, begitu juga sebaliknya. Namun semakin panjang L maka nilai M akan menurun, karena semakin lama ikan tersebut mencapai panjang maksimum diduga penyebab kematiannya yang paling dominan adalah penangkapan bukan mati secara alami. Menurut Pauly (1984), faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L ) dan laju pertumbuhan (K). Laju mortalitas penangkapan (F) yang didapatkan sebesar 1.86 per tahun, dimana nilai F jika dibandingkan nilai M, maka nilainya jauh lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kematian ikan biji nangka lebih besar disebabkan karena kegiatan penangkapan. Menurut Sparre & Venema (1999), mortalitas alami dipengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, stress, pemijahan, kelaparan, dan usia tua.

44 Selanjutnya laju eksploitasi (E) ikan biji nangka yang diperoleh dari perbandingan mortalitas penangkapan (F) dan mortalitas total (Z) sebesar 0.85 artinya 85 % kematian ikan biji nangka di perairan Perairan Utara Jawa akibat penangkapan. Nilai laju eksploitasi ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa sudah melebihi nilai optimum. Laju eksploitasi optimum suatu sumberdaya adalah 0.5 (Gulland 1971 in Pauly 1984). Tabel 8. Laju mortalitas dan laju penangkapan ikan biji nangka dari beberapa hasil penelitian Sumber Lokasi M (tahun -1 ) F (tahun -1 ) E (tahun -1 ) Dwiponggo et al. (1979) Syamsiyah (2010) Perairan Utara Jawa Tengah Perairan Utara Jawa Timur 1.80 0.91 0.34 0.32 1.85 0.85 Penelitian yang dilakukan oleh Dwiponggo et al. (1979) menunjukkan mortalitas ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa Tengah sebagian besar diakibatkan faktor alami seperti umur, penyakit, dan predator. Penelitian tersebut juga menunjukkan pada tahun 1979 aktivitas penangkapan ikan biji nangka tidak terlalu tinggi, hal tersebut ditunjukkan pula nilai laju eksploitasinya sebesar 0.34 per tahun, jauh di bawah nilai laju eksploitasi optimum yaitu E= 0.5 (Gulland 1971 in Pauly 1984). Berdasarkan kedua hasil penelitian di atas, diduga jumlah upaya penangkapan (effort) di Perairan Utara Jawa Timur pada tahun 2010 lebih banyak dibandingkan jumlah upaya penangkapan di Perairan Utara Jawa Tengah pada tahun 1979. Selain itu, seiring dengan berkembangnya teknologi penangkapan ikan maka teknologi alat tangkap yang digunakan oleh nelayanpun semakin berkembang dan jumlah unit atau trip upaya penangkapannya juga semakin bertambah. 4.4.5. Model stok ikan biji nangka Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan biji nangka dan upaya penangkapan berupa alat tangkap dogol dari tahun 2003-2009 cenderung mengalami peningkatan, jika dilihat dari hasil tangkapan per upayanya cenderung mengalami

45 penuruanan seperti yang disajikan pada Gambar 15. Peningkatan jumlah upaya penangkapan ini dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa khususnya wilayah Jawa Timur. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendugaan lebih lanjut mengenai jumlah upaya penangkapan optimum sehingga dihasilkan penangkapan maksimum lestari atau disebut dengan istilah MSY. Berdasarkan grafik regresi linier antara effort per tahun dengan CPUE menggunakan model Schaefer dan Fox (Gambar 11 dan Gambar 12) didapatkan koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 50 % dan 44 %. Koefisien determinasi model Fox lebih kecil dari pada koefisien determinasi model Schaefer. Hal ini menunjukkan model Schaefer lebih cocok digunakan untuk menggambarkan dinamika stok ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa pada periode 2003-2009. 25 20 CPUE (ton/unit) 15 10 5 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Gambar 15. Tangkapan per satuan upaya ikan biji nangka di PPN Brondong Potensi lestari merupakan suatu parameter pengelolaan yang dihasilkan dalam pengkajian stok sumber daya perikanan dan merupakan suatu unsur penunjang bagi peluang pengembangan di suatu wilayah (Badrudin 1992 in Suman 2006). Hasil analisis model stok ikan biji nangka yang mengikuti model Schaefer memperoleh nilai upaya penangkapan optimum (f msy ) sebesar 1 274 unit per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) sebesar 12 012.40 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar 8 648.93 ton per tahun.

46 Berdasarkan Gambar 13 secara umum menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa bagian timur di bawah potensi lestarinya (MSY) kecuali pada tahun 2008-2009, sedangkan pada tahun 2007 hingga tahun 2009 jumlah tangkapan di PPN Brondong melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar 8 648.93 ton per tahun. Jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun jumlah tersebut belum melebihi jumlah upaya optimum kecuali pada tahun 2008 dan 2009. Menurut Widodo & Suadi (2006) beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil yang kemudian diikuti penurunan produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya). Berdasarkan tangkapan per satuan upaya ikan biji nangka di PPN Brondong (Gambar 15) menunjukkan adanya trend (kecenderungan) yang menurun. Menurut Sukamto (2010), analisis hasil tangkapan yang telah dilaksanakan di PPN Brondong terhadap sumberdaya ikan mata besar (Priacanthus tayenus Richardson, 1846) diperoleh model stok dengan pendekatan Fox. Dari model tersebut, upaya penangkapan optimum yang diperoleh sebesar 1 055 unit lebih kecil dari upaya penangkapan optimum dengan pendekatan Schaefer. Oleh karena itu, untuk pengelolaan perikanan yang bersifat multispesies dengan alat tangkap yang sama digunakan pendekatan Fox. Pertimbangannya, jika dalam pelaksanaannya digunakan upaya penangkapan optimum dengan model Schaefer maka kelestarian sumberdaya ikan mata besar akan terancam. 4.4.6.Alternatif pengelolaan perikanan biji nangka JICA (2009 c ) menyebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan menunjuk pada makna tanpa melakukan penangkapan sama sekali belum tentu dapat mengamankan stok sumberdaya ikan di lautan, akan tetapi dalam kondisi yang berkesinambungan dapat dilakukan penangkapan ikan dalam volume penangkapan terbesar (MSY : Total Potensi Lestari), sehingga kegiatan penangkapan dan kegiatan pecegahan dalam rangka mempertahankan volume sumberdaya alam di lautan dapat

47 berlangsung secara berkesinambungan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terdapat dua garis besar metode pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa bagian timur, yaitu pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap dan pengontrolan jumlah penangkapan. a. Pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengontrol ukuran ikan biji nangka yang tertangkap. Pertama, memodifikasi alat tangkap yang digunakan agar lebih selektif sehingga ikan-ikan yang berukuran kecil dan ukuran pertama kali matang gonad tidak ikut tertangkap, penentuan mesh size mata jaring pada bagian kantong yang disarankan minimal 2.0 inchi. Penentuan ini berdasarkan kondisi di lapangan pada saat pengamatan, ikan biji nangka berukuran 110 mm hingga 120 mm banyak tertangkap dan didaratkan di PPN Brondong, secara ekonomi ikan yang berukuran tersebut tidak bernilai ekonomis bahkan sering kali para bakul dan nelayan membuangnya kembali ke laut. Selain secara ekonomis tidak memberikan keuntungan, secara ekologis ikan biji nangka berukuran 115-120 mm merupakan ukuran pertama kali memijah sehingga ikan yang berukuran tersebut tidak sepatutnya ikut tertangkap menurut (Herianti & Subani 1993). Sekitar 55 % dari jumlah total contoh ikan yang diambil merupakan ukuran pertama kali matang gonad. Hal ini diduga karena masih terdapat nelayan yang menggunakan jaring dogol dengan mesh size 1.25 inchi hingga 1.50 inchi pada bagian kantong, sehingga banyak ikan berukuran kecil dan belum sempat memijah ikut tertangkap. Kedua, pemberlakuan waktu penangkapan dengan tidak melakukan penangkapan pada bulan Januari hingga Februari karena pada bulan-bulan tersebut merupakan musim pemijahan ikan biji nangka (Sumiono & Nuraini 2007). Dalam pengelolaan sumberdaya ikan, sehubungan dengan umur dan laju pertumbuhan serta kematian yang perlu diperhatikan adalah kapan waktu yang tepat untuk menangkap ikan biji nangka, baik ditinjau dari sumberdayanya maupun dari segi ekonominya. Jika terlambat melakukan penangkapan sumberdaya ikan biji nangka akan mati percuma, sedangkan jika terlalu cepat menangkap secara ekonomi dan kelestarian sumberdaya juga kurang menguntungkan (Suman et al. 2006).

48 b. Pengontrolan jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka Laju eksploitasi ikan biji nangka di Perairan Utara Jawa sudah mengindikasikan adanya over eksploitasi. Hal ini juga dapat dilihat pada hasil tangkapan per unit effort yang menunjukkan trend menurun sejak tahun 2003-2009. Jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka cenderung meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2008 dan 2009 jumlah upaya penangkapan sudah melebihi jumlah optimumnya. Peningkatan upaya penangkapan diikuti dengan jumlah tangkapan yang melebihi nilai MSY pada tahun 2009. Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka yang berlebihan dan bersifat destruktif perlu dilakukan suatu pengelolaan sehingga menjamin produktivitas serta pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan biji nangka tetap lestari dan berkelanjutan. Untuk pengelolaan perikanan yang bersifat multispesies dengan satu jenis alat tangkap, pendekatan Fox akan lebih sesuai diterapkan dengan memberlakukan jumlah upaya penangkapan tidak lebih dari 1 055 unit. Dengan demikian, selain ikan biji nangka sumberdaya ikan lainnya akan tetap terjaga kelestariannya. Dari dua garis besar metode pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka di atas, maka yang dapat diaplikasikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan biji nangka secara berkelanjutan di Perairan Utara Jawa adalah pengontrolan ukuran ikan biji nangka yang tertangkap. Pengontrolan atau pembatasan jumlah upaya penangkapan ikan biji nangka sulit untuk dilaksanakan, karena akan timbul beberapa dampak terutama dari segi sosial ekonomi bagi kehidupan nelayan di PPN Brondong.