Nawa Natya sebagai Ajaran Kepemimpinan: Membaca Teks Siwagama karya Ida Pedanda Made Sidemen 1

dokumen-dokumen yang mirip
BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan berarti gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Tim

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi syarat. Dilihat dari segi isinya, karya jenis tutur tidak kalah

BAB I PENDAHULUAN. sastra sebagai milik bersama yang mencerminkan kedekatan antara karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. antara sastra Bali dengan kebudayaan Bali, di antaranya: Sastra Bali sebagai

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

Sekilas tentang LONTAR SIWAGAMA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam keberagaman sering kali lupa terhadap nilai-nilai kebudayaan yang

"Ia [kasih]tidak melakukan yang tidak sopan."

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan karya sastra Bali khususnya kidung masih mendapat tempat di hati

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan Pura Tanah Lot (yang selanjutnya disingkat GPTL)

ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN

INTERAKSI KEBUDAYAAN

BAB 2 DATA DAN ANALISIS Perang Wanara dan Raksasa. satu ksatria yang sangat ditakuti oleh lawannya.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN. kesusastraan Bali adalah salah satu bagian dari karya sastra yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat yang berkembang sesuai dengan lingkungannya. Karya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB I PENDAHULUAN. sastra memiliki kekhasan dari pengarangnya masing-masing. Hal inilah yang

Sambutan Presiden RI pada Pembukaan Pesta Kesenian Bali ke-32, 12 Juni 2010 Sabtu, 12 Juni 2010

BAB I PENDAHULUAN. sistem konvensi sastra tertentu yang cukup ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

MAKALAH : MATA KULIAH ACARA AGAMA HINDU JUDUL: ORANG SUCI AGAMA HINDU (PANDHITA DAN PINANDITA) DOSEN PEMBIMBING: DRA. AA OKA PUSPA, M. FIL.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra tersebut, selain untuk menghibur, juga untuk menyampaikan pesan

BAB I PENDAHULUAN. memikat perhatian para peneliti, salah satunya adalah kakawin yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan kesusastraan Jawa Kuna yang berbentuk prosa liris.

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. yang terkandung dalam novel tersebut sebagai berikut.

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA TIRTA AMERTA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dan refleksinya. Penyajiannya disusun secara menarik dan terstruktur dalam

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN. Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru)

DESKRIPSI PENATAAN TARI ADI MERDANGGA SIWA NATA RAJA DEWATA NAWA SANGA

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. hasil penelitian sebelumnya. Kajian pustaka bersifat mutakhir yang memuat teori,

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

DESKRIPSI SENDRATARI KOLOSAL BIMA SWARGA

BAB I PENDAHULUAN. kerajaan, serta tindakan-tindakan penting lainnya (Kanta dalam Suarka, 1989: 1).

DESKRIPSI DUKUH SILADRI. Dipentaskan pada Festival Seni Tradisional Daerah se- MPU di Mataram, Nusa Tenggara Barat 1 Agustus 2010

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Hari Raya Nyepi tahun Baru Saka 1935, Jakarta, 7 April 2013 Minggu, 07 April 2013

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Dalam survey lapangan yang dilakukan di Museum Wayang Jakarta, dapat dilihat

ETIKA PERGAULAN DI MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BERKURANGNYA PERAJIN PRETIMA DI BANJAR ANGGABAYA PENATIH, DENPASAR TIMUR, BALI. I Wayan Dirana

AGUS SANTOSO PERNIKAHAN ARJUNA. Sebuah Epik Arjunawiwaha Karya Mpu Kanwa

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu

Sambutan Presiden RI pd Dharma Santi Nasional Perayaan Hari Raya Nyepi, di Jakarta, 25 Apr 2014 Jumat, 25 April 2014

BAB I PENDAHULUAN. mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur di medan juang.

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan akar dari kebudayaan nasional. Keberadaan karya sastra dapat

ABSTRAK. Kata Kunci: pendidikan, Pasraman, pengetahuan, agama Hindu

KULIAH BUNG KARNO UNTUK KEBANGSAAN DAN TEHNOLOGI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sambutan Presiden RI pd Silaturahim dan Buka Bersama, di Jakarta, tgl. 30 Juni 2014 Senin, 30 Juni 2014

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Sambutan Presiden RI pd Penganugerahan Gelar Kehormatan Adat Budaya Banjar tgl. 24 Okt 2013 Kamis, 24 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran

KODE ETIK DOSEN LEMBAGA PENJAMINAN MUTU

Sambutan Presiden RI Pd Silaturahmi dg Peserta Musabaqah Hifzil Quran, tgl 14 Feb 2014, di Jkt Jumat, 14 Pebruari 2014

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

David J. Stuart Fox, penulis buku Pura Besakih; Pura, Agama,

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman,

ABSTRAK. Kata Kunci: kritik sosial, bentuk, masalah, syair.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan

Perkebunan produktif di lereng pegunungan

DAFTAR ISI... SAMPUL DEPAN... SAMPUL DALAM... LEMBAR PRASYARAT GELAR... LEMBAR PENGESAHAN... LEMBAR PENETAPAN PANITIA UJIAN... PERSYARATAN KEASLIAN...

Pupuh 1 (bait 1-5) : Manggala dipersembahkan kepada Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia pada zaman Dwapara.

BAB I PENDAHULUAN. keberadaan karya sastra digunakan sebagai alat perekam. Hal yang direkam berupa

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan)

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.3

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

BAB II URAIAN TEORITIS. dengan musik. Gerakan-gerakan itu dapat dinikmati sendiri, pengucapan suatu

Keindahan Desain Tamiang, Menghiasi Hari Raya Kuningan di Desa Penarungan

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. A. Simpulan. asing, kata sapaan khas atau nama diri, dan kata vulgar. Kata konotatif digunakan

ANALISIS NILAI-NILAI MORAL NOVEL RAMAYANA KARYA SUNARDI D.M. DAN IMPLEMENTASI PEMBELAJARANNYA DI SMA

GEGURITAN SUMAGUNA ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI OLEH PUTU WIRA SETYABUDI NIM

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BHISMA DEWABHARATA (BABAK I)

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra mempunyai dua manfaat atau fungsi sebagaimana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2013, No Menetapkan : 3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

Budaya (kearifan local) Sebagai Landasan Pendidikan Indonesia Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa

Transkripsi:

Nawa Natya sebagai Ajaran Kepemimpinan: Membaca Teks Siwagama karya Ida Pedanda Made Sidemen 1 1. Pendahuluan Oleh I.B. Putu Suamba Email: suambaindiya@yahoo.com Ketika masyarakat moderen mencermati adanya penyimpangan-penyimpangan etika/moralitas diperlihatkan oleh pemimpin moderen di dalam mengola pemerintahan, masyarakat sering melirik ajaran-ajaran etika dari sudut yang lain, yaitu dengan melihat ajaran etika seperti diterapkan di dalam dua epos besar terkenal, yaitu Ramayana dan Mahabharata. Rama dipandang sebagai raja yang ideal, sebagai tokoh penegak moral, sebagai putra yang berbhakti kepada orang tua, sebagai kakak yang ideal bagi adik-adiknya, sebagai lawan yang ideal bagi Rahwana. Tidak hanya memperlihatkan raja yang ideal, Ramayana juga memperlihatkan abdi-abdi yang ideal termasuk Wibhisana. Secara implisit di dalam Ramayana diperlihatkan etika abdi yang ideal, seperti diperlihatkan oleh Sugriwa, Hanuman, Jatayu, dan sebagainya. Demikian juga saudara yang ideal seperti Laksamana dan Bharata, istri yang ideal seperti Sita, ayah yang ideal seperti Dasaratha, dan sebagainya. Semuanya memperlihat tindakan etika sesuai dengan status sosialnya. Begitu juga tokoh-tokoh penting di dalam Mahabharata, seperti Yudisthira, Krishna, Bhisma, dan sebagainya menerapkan ajaran-ajaran kepemimpinan yang ideal. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, etika pada sisi lainnya, sepertinya bergerak mundur. Yang lebih memprihatinkankan justru kemerosotan etika melanda oknum aparatur pemerintahan, parleman, dan penegak hukum. Sesungguhnya kita mengharapkan mereka ada di garda terdepan di dalam penegakkan etika dan moralitas masyarakat mengingat degradasi moral sudah begitu besar. Mengkaji ajaran etika di dalam kesusatraan Nusantara untuk bisa memberikan pencerahan bahwa ajaran etika sebagai syarat mutlak mendapaatkan kesejahteraan dan kebahagiaan. 1

Berikut ini dicoba dibahas dan refleksi atas ajaran etika disebut dengan Nawa Natya seperti diperkenalkan oleh Ida Pedanda Made Sidemen di dalam karyanya Siwagama. 2. Teks Siwagama Teks Siwagama digolongkan ke dalam jenis tutur; menggunakan bahasa Kawi- Bali dan Sanskerta berbentuk prosa (gancaran). Di masyarakat khususnya pecinta naskah, teks ini dikenal pula dengan nama Purwa-sasana, Purwa-gama, Siwabuddhagama, dan Widhi Tattwa. Disebut Purwa-gama atau Purwa-sasana, barangkali, karena teks ini menyajikan kembali tradisi atau praktek keagamaan yang pernah dilaksanakan pada zaman-zaman sebelumnya (kuno), terutama pada zaman kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Setting cerita yang disajikan memang suasana yang terjadi pada era Jawa Timur (dalam hal ini Majapahit). Disebut Siwa-Buddhagama karena teks ini mencoba menyajikan tattwa-tattwa Saiwa dan Bauddha yang dipresentasikan oleh totoh-tokoh yang digambarkan di dalam cerita, seperti Candra Bhairawa, Tatagatha, dan sebagainya atau lembaga kependetaan seperti Saiwa dan Saugata. Disebut Widdhi Tattwa karena membahas tattwa/filsafat ketuhanan dan hubungannya dengan dewa, manusia, dan alam. Pada bagian-bagian awal teks ini mengandung diskusi yang sangat menarik menyangkut hakikat Tuhan tertinggi yang disebut dengan berbagai nama seperti Sang Hyang Licin, Sang Hyang Taya, Sanghyang Adisuksma, dan sebagainya. Dengan sebutan Siwagama, teks ini memang membahas ajaran-ajaran Saiwa. Proses penyalinan dari teks asli cukup berhasil terbukti ada sejumlah naskah Siwagama yang tersebar di masyarakat baik dalam bentuk lontar maupun kertas/buku. Hal ini memperlihatkan teks ini cukup digemari oleh pencinta naskah tutur. Teks Siwagama barangkali teks tutur terbanyak jumlah lempir-nya [yaitu 372 dalam 20 sargah (bab)] dibandingkan teks-teks tutur lainnya. Teks ini bukan hanya terbesar dalam ketebalan naskah, juga terbesar dalam genre tutur yang pernah diketahui selama ini. Belum ada teks tutur yang begitu komprehensif membahas berbagai hal menyangkat ajaran tattwa, susila, dan upacara secara umum. Nampak pengarang sangat kaya dengan ide-ide dan di sana sini memperkenalkan konsepkonsep baru yang terasa segar dan menarik. Teks ini diselesaikan pengerjaannya oleh penulisnya, Ida Pedanda Made Sidemen asal gerya Taman Sanur pada tahun 1938 2

ketika Bali berada di bawah penjajah Belanda. Pada tahun yang sama beliau juga menyelesaikan teks geguritan pertama berjudul Salampah Laku, sebuah autobiografi Ida Pedanda Made Sidemen dalam bentuk geguritan. Teks tutur pertama dan terbesar sekaligus master piece pengarangnya. Konon teks ini dibuat atas permintaan raja Badung untuk bisa dijadikan pegangan oleh umat Hindu, pemuka masyarakat, rohaniwan, dan raja di dalam menata kehidupan beragama pada saat itu. Raja Badung waktu ingin menginginkan adanya naskah pegangan yang jelas karena banyak sekali ada perbedaan di masyarakat di dalam pelaksanaan Panca Yajna. Teks ini mengandung banyak topik yang disajikan dalam bentuk dialog diselingi cerita sehingga menjadi menarik. Konsep-konsep tattwa, susila, upacara, dan yoga nampak jelas di dalam teks ini. 3. Ida Pedanda Made Sidemen dan Subhasita Di dalam tradisi Sanskerta, teks-teks yang membahas etika atau moralitas digolongkan ke dalam subhasita, misalnya, Sarasamuccaya, Slokantara, Silakrama, dan sebagainya. Tidak hanya secara khusus ajaran etika dibahas dalam teks etika, ajaran etika banyak dimuat di dalam teks-teks ber-genre lain, seperti kakawin, tutur, parwa dan sebagainya. Ajaran etika juga sudah menjadi bagian dalam ungkapan bahasa sehari-hari, misalnya, paras-paros, salunglung sabayantaka yang mengandung ajaran etika kebersamaan, senasib dan sepenanggungan. Praktek ajaran ini dirasakan semakin melemah justru ketika sistem transportasi dan komunikasi semakin maju. 3

Ida Pedanda Made Sidemen [Foto Koleksi I.B. Nyoman Darma, Gerya Taman, Sanur] Membaca karya-karya Ida Pedanda Made Sidemen memperlihatkan bahwa pengarang tidak hanya tertarik pada bidang-bidang tattwa, upacara, yoga, seni pahat, seni patung, seni bangunan, dan sebagainya namun juga bidang etika (susila) menyangkut ajaran-ajaran kepemimpinan (niti sastra). Aspek-aspek etika yang cakupannya luas beliau selipkan di sana sini di dalam sejumlah karyanya, termasuk geguritan Salampah Laku. Di dalam teks Siwagama beliau sempat menyebutkan sejumlah ajaran etika terkait dengan profesi atau kewajiban seseorang, seperti Resi Sasana, Siwa Sasana, Dewa Sasana, Brati Sasana, Manusa Sasana, Raja Sasana, Matri Sasana, Kamandhaka, Rajakerta, Purwadigama, Tattwa Padesa, dan sebagainya (Sargah XX). Hal ini memang sangat beralasan sebagai seorang suci yang selalu menyucikan diri melalui pelaksanaan etika (sasana). Mungkin karena ketaatannya di dalam sasana kawikon, murid beliau Ida Pedanda Putra dari Gerya Puseh, Intaran melukiskan beliau dalam kakawin berjudul Sang Wredha Pandita Subrata, yaitu sebagai seorang pandita tua yang taat malaksanakan brata utama. Sebagaimana diketahui, sadhaka mempunyai etika tersendiri berbeda dari orang 4

umum, seperti dapat dibaca di dalam teks-teks tergolong sasana, misalnya Siwa sasana, Wreti Sasana, Sila Krama, Rajapati Gondala, dan sebagainya. Pergaulan beliau dengan kehidupan puri nampaknya mendorong membahas konsep-konsep kepemimpinan atau kepemerintahan dengan mengambil ajaran-ajaran yang sama dari tradisi pernaskahan dan tradisi yang masih hidup pada zaman tersebut. Dalam kisah perjalanannya ke sejumlah puri di Bali, beliau sering diminta menjelaskan konsep-konsep kememimpinan yang bisa dijadikan pegangan di dalam pemerintahan. Memang Ida Pedanda Made Sidemen suka memasukkan ajaran-ajaran susila dalam hal ini kepemimpinan ke dalam karya-karyanya, misalnya, Kakawin Singhalanggyala dan Tutur Siwagama. Membaca Siwagama nampak jelas nuansa keraton sentris dimana terdapat percakapan antara orang suci (brahmana) dengan raja yang mendiskusikan berbagai ajaran termasuk ajaran etika atau kepemimpinan (niti sastra). Memang benar pada sargah terakhir secara khusus pengarang membahas ajaran kepemimpinan tersebut. Nampak pengetahuan di bidang niti sastra pegarang sangat luas. 4. Ajaran Kepemimpinan: Antara Asta Brata dan Nawa Natya Ajaran kepemimimpinan yang beliau sebut sebagai Nawa Natya dibahas di dalam teks Siwagama, yaitu pada sargah XX, sekaligus sargah terakhir. Metoda menjelaskan melalui percakapan dan diberikan uraian yang cukup rinci dengan memberikan contoh yang menarik. Banyak tokoh dihadirkan di sini baik lokal maupun dari epos Mahabharata. Contoh-contoh yang diberikan terasa dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga mudah memahami apa yang dimaksudkan. Hampir seluruh sargah ini bernuansa ajaran etika atau kepemimpinan yang disajikan dalam bentuk percakapan, yaitu antara Raja Gondharapati dengan staf bawahan termasuk para pendeta. Pesan-pesan raja wajib dicamkan agar masing-masing bisa menunaikan kewajiban dengan baik demi kesejahteraan negara. Yang menarik ajaran etika tersebut terasa baru dan segar khas pemikiran Ida Pedanda Made Sidemen. Ajaran kepemimpiann Asta Brata, seperti dapat dibaca di dalam Kakawin Ramayana membahas sifat-sifat atau kepribadian seorang raja yang mencerminkan sifat-sifat dewa, seperti Indra Brata, Yama Brata, Surya Brata, Candra Brata, Bayu Brata, Kwera Brata, Baruna Brata, dan Agni Brata 2. Jika sifat-sifat kedewataan itu 5

bisa diwujudkan di dalam diri seorang raja, raja dianggap sebagai manifestasi Tuhan di dunia memerintah. Ajaran Asta Brata ini disampaikan oleh Rama kepada Wibhisana menjelang keberangkatannya ke Alengka; ajaran ini untuk dijadikan bekal dia memerintah, setelah Rahwana bisa dikalahkan dalam pertempuran. Ajaran Asta Brata diperuntukkan bagi raja yang diharapkan bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik agar kesejahteraan, kemakmuran, dan keamanan negara bisa dicapai. Fokus ajaran dialamatkan kepada raja/pemimpin untuk digunakan sebagai bekal memerintah/berkoordinasi dengan staf bawahan termasuk rakyat. Ajaran kepemimpinan Nawa Natya dari Ida Pedanda Made Sidemen, pada sisi lain, mengajarkan tindakan etika kepada staf bawahan raja mulai dari yang tertinggi hingga yang terbawah. Nawa Natya mengajarkan staf bisa memberikan pelayanan kepada atasannya dengan berbagai cara/metoda. Di dalam teks disebutkan sejumlah pejabat sebagai staf pemerintahan seperti sang apatih mangkubhumi, mancanegara, patih, demang, tumenggung, kanuruhan, juru pengalasan, penawon, mantri ino, sirikan, mantra alu, dhyaksa (inspektur), mantri wredddah, senapati (panglima), aryadikara, wiraradyan, mantri bujangga, dan sebagainya (lihat Sargah XX). Teks ini menjelaskan dengan rinci tugas masing-masing pejabat negara yang duduk dalam pemerintahan. Tidak hanya itu, ajaran Nawa Natya juga dipakai landasan staf pemerintahan di dalam berinteraksi atau koordinasi dengan staf yang sejajar/setara dalam jabatan atau pangkat; dan juga kepada staf bawahan termasuk rakyat secara makro. Dengan ajaran ini diharapakan staf pimpinan dengan berbagai tingkatan atau pangkat/jabatan bisa memerankan perannya sebagai abdi atasan dan abdi kepada masyarakat. Jadi cakupan ajaran Nawa Natya tidak hanya menggarap pelayanan kepada staf atasan namun juga staf yang sejajar, bawahan dan rakyat secara luas. Apabila ajaran Asta Brata bisa dikombinasikan dengan ajaran Nawa Natya, keadaan pemerintahan akan lebih baik, memandang raja atau top pimpinan dan staf bawahannya menjadi satu kesatuan yang utuh di dalam sistem pemerintahan. Namun pertanyaan segera muncul: Apakah ajaran Nawa Natya bisa dimasukkan ke dalam ajaran kepemimpinan (niti sastra)? Kesulitan dihadapi karena Nawa Natya pada dasarnya adalah mengajarkan pelayanan bukan memerintah karena yang pertama jalur aktivitas dari bawah ke atas, sementara yang kedua dari atas ke bawah. Jika Nawa Natya dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahah sutau kerajaan/negara/institusi, Nawa Natya bisa dimasukkan ke dalam 6

Niti Sastra. Niti sastra sesungguhnya seni memerintah untuk mencapai suatu tujuan di dalam suatu pemerintahan. Metode yang digunakan bisa bermacam-macam sesuai keadaan masyarakat. Raja tidak selalu memerintah dari atas ke bawah, namun raja juga bisa datang ke tengah-tengah masyarakat/bawahan memberikan semangat, motivasi dan membangun kemauan untuk bekerja. Perhatikan perbedaan arah komunikasi antara Asta Brata dan Nawa Natya di bawah ini. Asta Brata Nawa Natya Raja Raja Bawahan Staf sejajar Bawahan Staf sejajar Bawahan Rakyat Rakyat 5. Ajaran Etika Nawa Natya Nawa Natya artinya sembilan (nawa) cara memandang (natya), dalam hal ini cara bawahan memandang atasan dalam suatu kepemimpinan demi keberhasilan mencapai tujuan pemerintahan. Kesembilan cara pandang tersebuat adalah (1) Mrega, (2) Matsya, (3) Pana, (4) Dyuta, (5) Hasya, (6) Samara, (7) Srama, (8) Kalangwan, dan (9) Srenggara. Masing dijelaskan sebagai berikut: (1) Mrega artinya binatang buruan. Ketika pemburu memburu binatang di hutan, yang bersangkutan harus awas, hati-hati, dan waspada agar bisa menangkap binatang sasaran. Cara menangkap binatang melalui umpan (sikep arigel). Binatang bisa masuk perangkap atau ditembak karena terpikat dengan umpan. Demikianlah 7

seorang abdi/staf bertindak hati-hati, bisa mengambil hati atasan, sesama staf dan masyarakat. Pemimpin agar bisa menarik dan memikat hati masyarakat melalui bahasa, sikap tubuh, dan keseharainnya. Tampilkan diri dengan menarik sehingga rakyat menaruh kepercayaan. (2) Matsya artinya ikan. Dalam pelayanan bak menangkap ikan dengan menggunakan umpan atau jaring. Staf agar bisa menggunakan umpan dengan baik agar tujuan bisa dicapai. Kesabaran, kecermatan, dan ketenangan sangat dibutuhkan dalam pelayanan sehingga bisa menghindari kesalahan dalam menggunakan wewenang atau tanggung awab. (3) Pana artinya minuman. Bawahan bisa menggunakan minuman untuk menarik perhatian atasan. Minuman disajikan menurut posisi/jabatan atasan. Dalam menyajikan minuman kemampuan membuat lelucon, keramah tamahan, kesopanan, sikap memikat hati membantu sehingga atasan merasa nyaman dan bisa menaruh kepercayaan. Namun di sini tidak disebutkan apakah minuman juga termasuk minuman beralkohol. (4) Dyuta artinya judi. Judi di sini tidak semata-maat dimaknai sebagai taruhan dalam judi, namun lebih banyak pada adu pemikiran yang bersemangat bak orang berjudi dimana setiap orang ingin menang, yang bersangkutan harus memahami kelemahan dan keunggulan lawan sebelum menentukan taruhan. Juga adu penampilan menarik, tutur kata yang manis agar atasan tertarik. Adu argumentasi atau pendapat harus dilakukan dengan semangat tinggi dan penuh konsentrasi seperti mengadu dua ujung duri. (5) Pamahasya artinya lelucon. Abdi harus bisa membuat lelucon agar atasan merasa senang, terhibur sehingga bisa memberikan perhatian. Namun ditekankan agar lelucon dibuat tidak melupakan batasbatas kewajaran. (6) Mapasamara artinya berperang. Bawahan terutama staf berhubungan dengan tindakan perang harus memahami dengan baik hal-hal seperti bahaya perang, gerak pasukan maju atau mundur, memperkiran jumlah pasukan dan kereta musuh, memikirkan cara/jalan menghancurkan musuh, membangun atau menggunakan strategi perang, memahami segala jenis senjata, dan mengupayakan kemampuan penglihatan kusir saat di medan perang. Semuanya ini dilakukan agar mendapat perhatian atasan. (7) Mapasrama artinya menunjukkan semangat perang. Jika raja hendak mempertunjukkan tari perang di halaman, abdi wajib mengatahui panji-panji sang raja. Misalnya ada yang berpanji mata, gelang, pusaka jaya, lingga phala, pangkajanawa (teratai berkelopak daun sembilan), belang-belang, dan sebagainya. Kemampuan mengangkat perisai panjang, bambu runcing, tombak, perisai bundar disesuaikan dengan paji-panji. Hal ini dilakukan agar manarik perhatian raja maupun orang yang dilayani. (8) Kalangwan berarti keindahan. Jika raja hendak 8

menikmati keindahan, bawahan harus tahu bagaimana menunjukkannya. Raja kadangkadang suka menikmati keindahan laut dan gunung, karya sastra, taman, payungpayung, bau dan warnanya. Usahakan abdi memenuhi keinginan raja menikmati keindahan. Oleh karena itu abdi harus memahami keindahan-keindahan tersebut dan bisa memperlihatkan. (9) Srenggara artinya cinta kasih 3. Poin ini tidak ada penjelasan. Selanjutnya dijelaskan ajaran Awanatya sebagai bentuk penampakkan ajaran Nawa Natya, yaitu ketika ajaran Nawa Natya disatukan dengan ajaran Raja Wasana Ratu, Mantri Guru, Dwijam Sabha, Sadhya, Kaka, Ari, dan Pandita Adi. Teks Siwagama memberikan penjelasan bagaimana seorang abdi berperilaku di hadapan atasan seperti raja, menteri, guru, jaksa, kakak, adik, dan sebagainya. Jika ada orang/abdi tidak mengetahui ajaran ini bagaikan cacing kremi yang tidak bisa melihat dunia. Sebaliknya jika ada orang mengetahuinya bagaikan bunga semerbak menabur bau harum ke segala arah sehingga yang bersangkutan bisa dijadikan tauladan di dalam kehidupan. Pahala perbuatan seperti tiak ada yang menyamai keluhurannya. Sesuai dengan makna Nawa Natya bahwa cara pandang dijadikan landasan bekerja menunaikan kewajiban. Disebutkan di sini jika menghadap raja tunjukan sikap yang tenang tidak terburu-buru, perhatikan tempat duduknya. Setelah mengetahui keadaan tersebut baru masuk dengan sikap membungkuk seperti singa mendekam, menyembah, pandangan mata meredup, sasaran mata sebatas dada. Setelah itu duduklah sesuai dengan temanmu. Jika disapa jawaban harus membuat sang raja senang, tutur kata supaya lembah lembut. Begitulan ketika mendengar tujuh suara, hanya kata-kata atasan yang didengar dan yang patut dituruti, jangan mengatakan tidak tahu, lanjutkan sampai selesai, cepat pergi, jangan pulang ke rumah tanpa mengajak teman. Itulah tingkah laku natya dalam nawa 4. Dengan demikian cara pandang bisa dimaknai sebagai bentuk pelayanan kepada pihak atasan. Di samping ajaran Nawa Natya, Sargah XX juga mengajarkan Panca Wisaya (lima hal yang bisa menyebabkan celaka---sabda, gandha, rupa, rasa, sparsa), Catur Sarasana, yaitu empat ketrampilan yang harus dikuasai ketika berperang melawan musuh: alangi (berenang), amamanek (memanjat), lumakwing wot (menyebrangi jembatan), dan den agelis melayu (berlari cepat), dan sebagainya. Dengan kemampuan 9

ini seorang abdi bisa menarik simpai atasan. Kualifikasi seseorang yang akan bisa diterima sebagai staf peemerintahan atau bawahan agar memiliki ajaran disampaikan di dalam Nawa Natya. 6. Refleksi: Relevansi Ajaran kepemimpinana seperti Asta Brata dan Nawa Natya digunakan dalam konteks sistem pemerintahan berbentuk kerajaan yang lazim pada zaman kuno. Teks Siwagama sendiri mempunyai setting di dalam kehidupan kerajaan Jawa Kuno sehingga nuansa kerajaan sangat kental. Ketika kita berada di era moderen sekarang ini, apakah nilai-nilai kepemimpinan/pelayanan seperti di dalam Nawa Natya masih relevan? Bagaimana sistem demokrasi yang murni Barat bisa berkolaborasi dengan kearifan-kearifan lokal? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menarik dikemukakan mengingat sistem pemerintahan dengan menggunakan sistem demokrasi atau sistem kerajaan yang berparlementaer bukanlah bentuk negara yang ideal; cuma bentuk negara demokrasi merupakan bentuk negara yang paling mudah dilaksanakan. Pemerintahan dibentuk melalui pemilihan umum. Setiap orang mempunyai satu suara. Jumlah suara tersebut yang menentukan apakah seseorang bisa menang atau tidak di dalam memperebutkan posisi tertentu. Walaupun demikian demokrasi diharapakan tidak menghilangkan nilai-nilai yang masih dijunjung oleh kebudayaan lokal, malah sebaliknya nilai-nilai lokal dimanfaatkan untuk memperkuat demokrasi. Nilai-nilai universal, seperti pelayanan, kebaikan, gigih membela kebenaran, dan sebagainya seperti tersirat di dalam Nawa Natya merupakan nilai-nilai yang tembus zaman, wilayah, dan keadaan. Nilai-nilai tersebut bebas dari ikatan-ikatan tersebut. Memang tidak ada sistem pemerintahan yang sempurna, termasuk demokrasi, justru nilai-nilai bersumber dari kesusastraan kuno yang dibuat jauh sebelum sistem demorasi ada, bisa dimanfaatkan agar sistem pemerintahan lebih kuat, handal dan profesional demi mewujudkan cita-cita bersama yaitu masyarakat yang lebih aman, sejahtera, bermartabat menjunjung nilai-nilai luhur kemanusiaan. Yang perlu dilakukan adalah mencoba menggali nilai-nilai dari khasanah kesusatraan dan kemudian bisa dibahasakan dengan tingkat kemampuan masyarakat sehingga nilai tersebut bisa dijadikan pegangan dan dipadukan dengan nilai-nilai demokrasi. Justru nilai-nilai lokal bisa memberikan nilai tersediri dan membuat penampilan sistem 10

pemerintahan mempunyai kekhasan bersumber dari karya-karya sastra sebagai rekaman pemikiran-pemikiran manusia yang mendiami wilayah ini. Mengamati baik Asta Brata dan khususnya Nawa Natya atau Awanatya di sana nilai pelayanan menjadi sangat ditinggikan. Pelayanan diangkat ke tingkat yang sangat terhormat dan mulia. Pelayan diangkat statusnya. Jika direnungkan, semuanya sebenarnya pelayan-pelayan, paling sedikit melayani pikiran dan indriya-indriyanya. Bahkan karena tidak bisa menghadapi, seseorang bisa menjadi budak indriyaindriyanya. Di sini nampak sekali Ida Pedanda Made Sidemen mencoba menekankan aspak karma sanyasa dengan jnana sanyasa. Artinya Pedanda Made tidak melakukan dikotomi pendekatan di jalan pendakian rohani. Dalam karma sanyasa, perbuatan atau kerja sebagai pelayanan menjadi karakter yang pokok. Kerja tanpa semangat pelayanan tidak memiliki makna penyucian diri. Kerja adalah untuk kerja itu sendiri. Di dalam perspektif ini penyucian lahir bathin bisa dilakukan melalui jalan kerja pelayanan. Melayani bermakna menyembah Tuhan dalam aspeknya sebagai roh (atma) yang bersenayam ada setiap individu. Ketika mampu melihat yang dilayani adalah spirit bukan material/benda dan ketika yang dilihat tersebut pada intinya sama dengan dirinya sebagai spirit, maka pelayanan kepada orang lain sesungguhnya juga memuja Tuhan sekaligus memuliakan dirinya karena dirinya disucikan melalui tindakan pelayanan. Palayanan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, konsentrasi penuh keikhlasan karena semuanya diperuntukkan kepada Tuhan. Persembahan kepada Tuhan mestinya yang terbaik. Profesi apapun dilakukan, pada dasarnya adalah sebuah media dengan mana seseorang bisa memberikan kebaikan, pelayanan kepada pihak lain. Sekalipun raja sebagai top pimpinan di sebuah kerajaan, tetap saja bahwa seorang raja adalah pelayan masyarakat. Dengan demikian kebahagiaan raja bukan terletak pada besar dan kemewahan istana, banyaknya selir, luasnya negara, luasnya negara jajahan, banyaknya angkatan perang dan seterusnya, namun kebahagiaan itu bisa/boleh dinikmati ketika rakyatnya berbahagia, yaitu aspek-aspek Tri Warga: dharma, artha, kama bisa dinikmati oleh masyarakat dengan layak. Indikator keberhasilan atau kebahagiaan adalah rakyat bukan kepemilikan sendiri. Apabila semangat ini yang dipegang tidak ada pemimpin yang memperkaya diri, sementara rakyat hidupnya susah. 7. Penutup 11

Ajaran kepmeimpinan Nawa Natya dibahas di dalam teks Siwagama merupakan ajaran pelayanan kepada pihak atasan, sesama staf dan juga masyarakat dalam bingkai sistem pemerintahan kerajaan. Atasan diharapkan bisa senang, tertarik dengan etos kerja bawahan karena mereka memperlihatkan pelayanan dalam bekerja. Walaupun demikian nilai-nilai tersebut masih terasa relevan di dalam sistem pemerintahan demokrasi di zaman moderen. Pengungapanya memerlukan mode yang sesuai. Sepanjang nilai-nilai universal pelayanan dicamkan, konsep Nawa Natya bisa diakomodir di dalam kehidupan moderen. Nawa Natya merupakan konsep ajaran kepemimpinan yang disodorkan oleh Ida Pedanda Made Sidemen melangkapi konsep-konsep kepemimpinan yang telah ada, seperti Astra Brata. Konsep ini orisinil ciptaan Ida Pedanda Made Sidemen karena belum pernah ada ditemukan hal serupa di tempat lain. Pelayanan pada dasarnya adalah memuja Tuhan dalam manifestasikan sebagai roh individu (atma) yang bersemayam pada setiap individu. Melalui pelayanan bisa menarik hati/simpati baik pihak atasan, sesama, maupun bawahan. Denpasar, 15 September 2016 Catatan dan Referensi 1 Makalah disajikan dalam Parum Param ke-6 dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan, Pemerintah Kota Denpasar, 19 September 2016 di Bali Hotel, Jl, Veteran, Denpasar, Bali. 2 Pembahan Asta Brata lihat Tjok Rai Sudharta, Asta Brata dalam Pembangunan (Denpasar: Upada sastra, 1993); IBG. Agastia, Kakawin Ramayana dan Tutur Wibhisana (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 2013); Usha Satyavrat, Astabrata Tradition of Indonesia: Its Sanskrit Connection dalam Sanskrit in South East Asia: The Harmonizing Factor of Culture (Proceeding of International Sanskrit Conference), Bangkok: Sanskrit Studies Centre, Silpakorn University, 2003, hal. 510-513. 3 Poin ini tidak ada penjelasan. Mungkin saja pengarang beranggapan bahwa maknanya sudah implisit di dalam uraian-uraian pada sargah xx. 4 I Nyoman Suarka, Kajian Lontar Siwagama, Vol. 2 (Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2005), hal. 290-291; lihat juga I Ketut Ginarsa, et.al. Siwagama Karya Ida Pedanda Made Sidemen (Transliterasi) (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985). *** 12