Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

dokumen-dokumen yang mirip

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5. SIMPULAN DAN SARAN


III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 1 : 1-16 (2003)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth.

KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo)

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 1 : 1-16 (2003)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

Statistik Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang Tahun Halaman 34 VI. PERPETAAN HUTAN

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7 Matrik korelasi antara peubah pada lokasi BKPH Dungus

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

RSNI-3. Standar Nasional Indonesia. Klasifikasi penutup lahan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAN PEMETAAN TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 (OLI) DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN

Tabel 3 Kenaikan muka laut Kota Semarang berdasarkan data citra satelit.

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN DATA Lampiran 1. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Kriteria Faktor Utama Penyebab Banjir

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAN PEMETAAN TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 (OLI) DI KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU ADE WIBOWO PUTRO

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

Klasifikasi penutup lahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

III. BAHAN DAN METODE

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ayesa Pitra Andina JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

KLASIFIKASI PENUTUPAN LAHAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BUDURAN, KABUPATEN SIDOARJO, PROPINSI JAWA TIMUR, DENGAN CITRA TERRASAR-X HIGH RESOLUTION

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

Transkripsi:

Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35

36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. Berdasarkan hasil analisis separabilitas yang dilakukan dengan ukuran Transformed Divergence (TD), keterpisahan tiap klaster pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m masih sangat beragam. Terdapat beberapa nilai keterpisahan antar klaster yang nilainya pada kisaran 1600 sampai dengan kurang dari 1800 (kategori separabilitas kurang baik / poor). Selain itu, terdapat juga beberapa nilai keterpisahan antar klaster yang nilainya kurang dari 1600 dan termasuk dalam kategori tidak terpisahkan (inseparable). Oleh karena itu, pada penelitian ini perlu dilakukan penggabungan kelas (merge) pada klaster yang memiliki nilai keterpisahan antar kelas kurang dari 1800. Proses analisis separabilitas dilakukan hingga nilai keterpisahan antar kelas dari seluruh klaster yang ada mencapai lebih dari 1.800 sehingga dapat mencapai kategori keterpisahan yang baik (fair), sangat baik (good), maupun sempurna (excellent). 4.1.3 Penggabungan Klaster (Merge) Proses penggabungan kelas atau klaster (merge) adalah proses menggabungkan dua klaster atau lebih menjadi satu klaster. Proses penggabungan klaster ini dilakukan pada seluruh klaster yang nilai keterpisahan antar kelasnya kurang dari 1800. Klaster-klaster yang memiliki nilai keterpisahan dengan klaster yang lain kurang dari 1600 termasuk dalam kategori tidak terpisahkan (inseparable). Hal ini berarti kedua kelas tersebut tidak dapat terpisahkan sehingga harus digabung (merge) menjadi satu klaster. Untuk klaster-klaster yang nilai keterpisahannya berada pada kisaran 1600 sampai dengan kurang dari 1800 termasuk dalam kategori kurang baik (poor), sehingga perlu dilakukan penggabungan kelas agar klaster-klaster tersebut mencapai kategori keterpisahan yang baik dengan nilai keterpisahan lebih dari 1800. Proses penggabungan klaster ini dilakukan satu per satu, yaitu dari nilai separabilitas yang terkecil hingga nilai separabilitas yang hampir mencapai 1800. Hasil dari proses penggabungan antara dua jenis klaster belum tentu baik nilai separabilitasnya dengan klaster yang lainnya. Oleh karena itu, proses analisis separabilitas perlu dilakukan setiap kali menggabungkan dua klaster untuk memastikan apakah klaster hasil penggabungan

Label C1 C2 C3 C4 C5 C6 C1 0 2000 2000 2000 2000 2000 C2 0 2000 2000 2000 2000 C3 0 1940.14 1998.27 2000 C4 0 1820.26 2000 C5 0 1917.63 C6 0

38 C5 dengan C6 dengan nilai keterpisahan sebesar 1917,63 yang berarti ketiga nilai keterpisahan tersebut termasuk dalam kisaran 1900 sampai dengan kurang dari 2000. Sisanya memiliki nilai keterpisahan sebesar 2000, antara C1 dengan C2; C1 dengan C3; C1 dengan C4; C1 dengan C5; C1 dengan C6; C2 dengan C3; C2 dengan C4; C2 dengan C5; C2 dengan C6; C3 dengan C6; dan yang terakhir adalah antara C4 dengan C6 yang berarti kesebelas nilai keterpisahan tersebut tergolong dalam kategori sempurna (excellent). 4.1.4 Penamaan Klaster (Labeling) Setelah didapatkan enam klaster yang nilai keterpisahannya sudah baik didasarkan pada matriks Transformed Divergence (TD), maka dilakukan identifikasi klaster, kemudian diberikan label atau nama yang sesuai dengan obyek tersebut. Penamaan klaster tersebut memperhatikan karakteristik dominan dari obyek setiap klaster dan potensi vegetasi (biomasa) yang ada pada masingmasing klaster hasil verifikasi lapang. Dari semua tutupan lahan yang terdapat di lokasi penelitian, terdapat dua jenis tutupan lahan yang penyebarannya secara dominan terdapat di lebih dari satu klaster. Kedua jenis tutupan lahan tersebut adalah semak belukar dan kebun campuran (kbc). Semak belukar tersebar di tiga klaster yang berbeda, namun dapat dibedakan menjadi tiga jenis semak belukar berdasarkan karakteristik kebasahannya dan ketinggiannya. Berdasarkan karakteristik kebasahannya, semak belukar tersebut dibedakan menjadi semak belukar basah (rawa) dan semak belukar kering. Disamping itu, semak belukar kering dapat dibedakan lagi menjadi dua jenis berdasarkan ketinggiannya, yaitu yang pertama adalah semak belukar tinggi yang ketinggiannya lebih dari satu meter, dan yang kedua adalah semak belukar pendek yang ketinggiannya kurang dari satu meter. Untuk karakteristik potensi vegetasi (biomasa) dibedakan menjadi dua jenis, yaitu potensi vegetasi tinggi dan potensi vegetasi rendah. Potensi vegetasi (biomasa) tinggi adalah nilai biomassanya lebih dari sama dengan 20 ton/ha, sedangkan potensi vegetasi (biomasa) rendah adalah nilai biomassanya kurang dari 20 ton/ha. Kebun campuran (kbc) penyebarannya terdapat di dua klaster yang berbeda yang dapat dibedakan berdasarkan potensi vegetasinya (biomasa), yaitu:

39 kebun campuran potensi vegetasi tinggi dan kebun campuran potensi vegetasi rendah. Untuk penamaan (labeling) seluruh klaster akan dijabarkan sebagai berikut. Klaster pertama (C1) secara keseluruhan didominasi oleh badan air sehingga diberikan label badan air. Klaster kedua (C2) secara keseluruhan didominasi oleh lahan terbuka sehingga diberikan label dengan nama lahan terbuka. Klaster ketiga (C3) secara keseluruhan didominasi oleh tiga jenis tutupan lahan, yaitu hutan rawa potensi vegetasi rendah, semak belukar basah (rawa), dan kebun campuran. Hutan rawa tersebut memiliki potensi vegetasi yang rendah dengan nilai estimasi biomasa pada salah satu plot sampel yaitu sebesar 13,42 ton per hektar. Untuk semak belukar berdasarkan karakteristik kebasahannya digolongkan menjadi semak belukar basah (rawa). Untuk kebun campuran pada klaster ini jika dilihat dari penampakan secara visual pada citra termasuk dalam kebun campuran berpotensi rendah. Namun, karena data potensi dari kebun campuran di klaster ini tidak tersedia, maka label kebun campuran pada klaster ini tidak diberikan tambahan dengan potensi, tetapi hanya kebun campuran saja. Jadi label atau nama yang diberikan untuk klaster ini adalah hutan rawa potensi vegetasi rendah, semak belukar basah (rawa), dan kebun campuran. Klaster keempat (C4) secara keseluruhan didominasi oleh dua jenis tutupan lahan, yaitu hutan mangrove potensi vegetasi tinggi dan semak belukar tinggi. Hutan mangrove tersebut memiliki potensi vegetasi (biomasa) yang tinggi pada salah satu plot sampelnya, yakni sebesar 22,67 ton per hektar. Untuk semak belukar pada klaster ini didominasi oleh semak belukar kering yang tinggi karena ketinggian dari semak belukar itu sendiri lebih dari satu meter. Klaster kelima (C5) secara keseluruhan didominasi oleh sawah dan semak belukar pendek. Semak belukar tersebut didominasi oleh semak belukar pendek karena ketinggian semak belukar itu sendiri kurang dari satu meter. Klaster keenam (C6) secara keseluruhan didominasi oleh tiga jenis tutupan lahan, yaitu: lahan terbangun (pemukiman), kebun campuran potensi tinggi, dan perkebunan karet. Kebun campuran tersebut memiliki potensi vegetasi yang tinggi dengan nilai estimasi biomasa pada salah satu plot sampel sebesar 26,87 ton per hektar. Label atau nama dari seluruh klaster tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Penamaan klaster (Labeling) Label C1 C2 C3 C4 C5 C6 C1 (Badan Air) 0 2000 2000 2000 2000 2000 C2 (Lahan Terbuka) 0 2000 2000 2000 2000 C3 (Hutan Rawa (potensi vegetasi rendah), Semak Belukar basah (rawa), KBC) 0 1940.14 1998.27 2000 C4 (Hutan Mangrove (potensi vegetasi tinggi), Semak Belukar tinggi) 0 1820.26 2000 C5 (Sawah, Semak Belukar pendek) 0 1917.63 C6 (Lahan Terbangun, KBC (potensi vegetasi tinggi), Perkebunan Karet) 0 Keterangan: KBC = Kebun Campuran 40

41 Gambar 14 Peta hasil klasifikasi ALOS PALSAR.

42 4.1.5 Identifikasi Hutan Lahan Basah Setelah melakukan proses klasifikasi tidak terbimbing, analisis separabilitas, penggabungan kelas, dan pemberian label berdasarkan tutupan lahan dan karakteristiknya masing-masing, maka identifikasi hutan lahan basah dapat dilakukan. Pengertian lahan basah itu sendiri menurut Konvensi Ramsar (1971) merupakan daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang ataupun mengalir; tawar, payau atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut. Sedangkan jenis hutan yang termasuk lahan basah menurut Davies et al. (1995) adalah hutan bakau (mangrove) dan hutan rawa. Hutan rawa merupakan lahan rawa yang sebagian besar vegetasinya berupa pohon-pohon yang tingginya lebih dari lima meter dan mempunyai tajuk yang rapat. Hutan rawa terletak di pedalaman maupun di daerah pesisir. Berdasarkan sistem tata guna lahan, yang termasuk hutan rawa, yaitu: hutan kerangas basah (kerapah), hutan sepanjang sungai (hutan ripari), hutan rawa gambut, dan hutan payau yang meliputi hutan mangrove (bakau), hutan nipah, dan hutan nibung. Karena kepentingan dan keunikannya, maka hutan mangrove (bakau) dipisahkan dari hutan rawa yang lain. Hutan mangrove (bakau) merupakan hutan yang khas, didominasi oleh tumbuhan yang relatif toleran terhadap perubahan salinitas dan berada di tepi pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove tumbuh di daerah tropis dan pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar (Davies et al. 1995). Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa yang termasuk klaster lahan basah, yaitu: klaster pertama (C1) dengan label Badan Air, klaster ketiga (C3) dengan label Hutan Rawa (potensi vegetasi rendah), Semak Belukar basah (rawa), KBC, dan klaster keempat (C4) dengan label Hutan Mangrove (potensi vegetasi tinggi), Semak Belukar tinggi. Pada klaster keempat (C4) dapat kita lihat bahwa klaster ini didominasi oleh hutan mangrove potensi vegetasi tinggi dan semak belukar tinggi (Tabel 7). Hutan mangrove dalam klaster ini memiliki tapak yang tergenang dan digolongkan menjadi hutan lahan basah. Potensi vegetasi (estimasi biomasa) dari

43 plot sampel yang diambil menunjukkan bahwa potensi hutan mangrove pada areal penelitian ini cukup tinggi, yaitu dengan nilai estimasi biomasa sebesar 22,67 ton per hektar. Namun klaster ini tidak didominasi oleh hutan mangrove saja, melainkan juga didominasi oleh semak belukar tinggi yang bertapak kering dan tandus. Kedua jenis tutupan lahan ini tidak terpisah pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m berdasarkan hasil penggabungan kelas yang dilihat dari nilai keterpisahannya. Hal ini dikarenakan nilai dijital antara hutan mangrove dan semak belukar tinggi tidak jauh berbeda sehingga terkelaskan menjadi satu klaster. Foto lapang hutan mangrove pada areal penelitian dan keadaan hutan mangrove pada citra dapat dilihat pada Gambar 7c dan 7d. Pada klaster ketiga (C3) dapat kita lihat bahwa klaster tersebut didominasi oleh hutan rawa, semak belukar basah (rawa) dan kebun campuran (Tabel 7). Hutan lahan basah dalam klaster ini adalah hutan rawa. Secara keseluruhan, klaster tersebut didominasi oleh lahan basah dan dapat digolongkan menjadi klaster lahan basah. Berdasarkan survey lapang, hutan rawa tersebut memiliki tapak yang becek dan tergenang. Selain itu, potensi vegetasi (estimasi biomasa) dari plot sampel yang diambil menunjukkan bahwa potensi hutan rawa pada areal penelitian ini cukup rendah, yaitu dengan nilai estimasi biomassa sebesar 13,42 ton per hektar. Penyebab utama dari rendahnya potensi hutan rawa pada areal penelitian ini adalah banyaknya penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Hutan rawa tidak teridentifikasi sendiri dalam klaster tersebut melainkan bersama-sama dengan semak belukar basah (rawa) dan kebun campuran karena memiliki nilai dijital yang tidak jauh berbeda, hal ini dikarenakan ketiga jenis tutupan lahan tersebut memiliki tapak yang sama. Oleh karena itu, dari analisis identifikasi hutan lahan basah berdasarkan hasil penggabungan klaster yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa secara spektral citra ALOS PALSAR resolusi 50 m cukup mampu membedakan hutan lahan basah, yaitu hutan mangrove dan hutan rawa. Foto lapang hutan rawa pada areal penelitian dan keadaan hutan rawa pada citra dapat dilihat pada Gambar 7a dan 7b.

44 4.2 Akurasi Hasil Klasifikasi Dari penggabungan kelas yang telah dilakukan, didapatkan enam klaster yang telah diberi label (Tabel 7). Matrik kesalahan hasil klasifikasi enam klaster disajikan dalam Tabel 8. Akurasi pembuat (producer s accuracy) merupakan akurasi yang diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas. Producer s accuracy terendah terdapat pada klaster lahan terbuka (C2) yaitu sebesar 33,33 %. Sedangkan nilai tertinggi terdapat pada klaster badan air (C1) sebesar 100,00 %. Producer s accuracy untuk hutan lahan basah (hutan rawa dan hutan mangrove) juga cukup baik, sebesar 69,57 % dan 76,92 %. Akurasi pengguna (user s accuracy) merupakan akurasi yang diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel yang dikelaskan ke dalam kelas tersebut. User s accuracy terendah terdapat pada klaster lahan terbuka (C2) sebesar 50,00 %. Sedangkan nilai tertinggi terdapat pada klaster badan air (C1) sebesar 100,00 %. User s accuracy untuk hutan rawa dan hutan mangrove juga cukup baik dengan nilai akurasi sebesar 64,00 % dan 58,82 % (Tabel 8). Nilai overall accuracy pada penelitian ini diperoleh sebesar 73,49 % (Tabel 8). Akurasi ini menghasilkan pengukuran yang cenderung over estimate karena dalam proses perhitungan overall accuracy hanya melibatkan piksel-piksel yang benar saja. Evaluasi hasil klasifikasi sangat disarankan menggunakan akurasi kappa. Nilai kappa akurasi pada penelitian ini diperoleh sebesar 65,75 % (Tabel 8). Piksel-piksel yang terlibat dalam perhitungan akurasi kappa adalah seluruh piksel yang digunakan sebagai acuan untuk pengukuran akurasi hasil klasifikasi, sehingga jika dibandingkan dengan overall accuracy perhitungan akurasi kappa akan lebih akurat dalam mengevaluasi hasil klasifikasi. Dari uji akurasi tersebut tampak bahwa citra ALOS PALSAR resolusi 50 m cukup mampu memberi penafsiran yang baik terhadap keadaan sesungguhnya dilapangan sehingga dapat disimpulkan bahwa akurasi hasil klasifikasi dalam penelitian ini dapat dikatakan cukup baik.

Tabel 8 Matriks uji akurasi antara hasil penggabungan klaster dengan hasil observasi lapang Referensi Lapangan User s Accuracy Kelas TOTAL C1 C2 C3 C4 C5 C6 % C1 Badan Air 3 0 0 0 0 0 3 100.00 C2 Lahan Terbuka 0 1 0 0 1 0 2 50.00 Hasil Klasifikasi C3 C4 C5 Hutan Rawa (potensi vegetasi rendah), semak belukar basah (rawa), KBC Hutan Mangrove (potensi vegetasi tinggi), semak belukar tinggi Sawah dan semak belukar pendek 0 1 16 3 2 3 25 64.00 0 0 5 10 0 2 17 58.82 0 1 1 0 18 1 21 85.71 C6 Lahan Terbangun, KBC 0 0 1 0 1 13 15 86.67 (potensi vegetasi tinggi), Perkebunan Karet TOTAL 3 3 23 13 22 19 83 Producer s Accuracy % 100.00 33.33 69.57 76.92 81.82 68.42 Overall Accuracy 73.49 Xkk 61 Xk+*X+k 1558 Kappa Accuracy 65.75 45