4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 61 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Degradasi Hutan di Lapangan Identifikasi Peubah Pendugaan Degradasi di Lapangan Identifikasi degradasi hutan di lapangan menggunakan indikator volume, kerapatan tegakan (tegakan/ha) dan luas bidang dasar (lbds). Penurunan kerapatan tegakan, lbds dan volume merupakan indikator terjadinya degradasi hutan. Analisis regresi antara kerapatan tegakan, lbds dan volume dengan peubah CSI, CDI, VCR, kerapatan kanopi dan LAI digunakan untuk mengidentifikasi apakah perubahan kerapatan tegakan, lbds dan volume dapat diduga dengan menggunakan indikator tajuk (CSI,CDI, VCR), kerapatan kanopi dan LAI. Pendekatan degradasi hutan di lapangan menggunakan perhitungan banyaknya tegakan pohon hidup yang masih tersisa atau banyaknya tegakan pohon yang telah mati (tunggak). Hasil analisis regresi antara peubah kerapatan tegakan pohon yang mati di lapangan dan luas bidang dasarnya (lbds) dengan peubah tajuk tegakan yang hidup disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasinya relatif rendah pada semua peubah. Volume pada analisis ini tidak digunakan karena tidak dapat diukur pada tunggak. Tabel 12 Hasil analisis regresi antara kerapatan tegakan pohon mati dan lbds dengan peubah LAI, CSI, CDI, VCR, kerapatan kanopi. No Peubah Koefisien determinasi, R 2 (%) Kerapatan tegakan pada kelas Lbds pada kelas diameter diameter > 5cm > 10cm > 20cm > 5cm > 10cm > 20cm 1 LAI CSI CDI VCR Kerapatan Kanopi Koefisien determinasi rendah ini menunjukkan bahwa peubah indikator kanopi dari tegakan pohon hidup (LAI, CSI, CDI, VCR dan kerapatan kanopi

2 62 tidak dapat mengidentifikasi perubahan kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan pohon yang mati (tunggak). Hal ini disebabkan kurun waktu yang terlalu lama dari mulai tegakan ditebang dengan pengambilan data di lapangan sehingga pada kurun waktu yang lama tersebut telah terjadi pemulihan dari tajuk tegakan. Pada penelitian dilakukan analisis regresi antara peubah tajuk dengan kerapatan tegakan yang hidup, lbds dan volumenya untuk perubahan kerapatan tegakan, lbds dan volume. mengidentifikasi Berdasarkan analisis regresi antara peubah kerapatan tegakan pohon hidup di lapangan, lbds dan volume dengan peubah lainnya maka hasilnya dapat dilihat pada Tabel 13. Identifikasi indikator degradasi hutan di lapangan dapat menggunakan peubah yang koefisien determinasinya lebih besar dari 60%. Tabel 13 Hasil analisis regresi antara kerapatan tegakan pohon hidup, lbds, volume dengan peubah LAI, CSI, CDI, VCR, kerapatan kanopi. No Peubah Kerapatan tegakan pada kelas diameter Koefisien determinasi, R 2 (%) Lbds pada kelas Diameter Volume pada kelas diameter >5cm >10cm >20cm >5cm >10cm >20cm >5cm >10cm >20cm 1 LAI CSI CDI VCR Kerapatan Kanopi Hasil analisis regresi antara kerapatan tegakan pohon hidup dengan peubah LAI, CSI, CDI, VCR dan kerapatan kanopi mempunyai koefisien determinasi >60% pada beberapa peubah. Pada kerapatan tegakan diameter > 5 cm, peubah VCR dan kerapatan kanopi yang mempunyai koefisien determinasi lebih besar dari 60%. Pada tegakan diameter > 10cm, koefisien determinasi terbaik adalah pada perubah VCR yaitu 62%. Pada tegakan diameter > 20 cm, mempunyai koefisien diterminasi yang lebih tinggi dari tegakan > 5 cm dan tegakan > 10 cm. Koefisien tertinggi adalah pada peubah indikator tajuk VCR yaitu 80%. Berdasarkan analisisi regresi tersebut maka identifikasi kerapatan tegakan hutan terbaik menggunakan indikator tajuk dan kerapatan kanopi adalah pada

3 63 kerapatan hutan diameter > 20 cm. Kesimpulannya adalah identifikasi degradasi hutan dengan menggunakan peubah indikator tajuk dan kerapatan tajuk akan mempunyai akurasi pada diameter tegakan yang lebih tinggi. Berdasarkan uji T maka kerapatan tegakan diameter > 5 cm signifikan mempengaruhi kerapatan kanopi dengan T hitung yaitu 2,4 lebih tinggi dari T tabel 1,96. Pada peubah VCR juga mempunyai T hitung lebih tinggi yaitu 2,24. Hasil analisis regresi antara lbds tegakan pohon hidup dan volume dengan peubah LAI, CSI, CDI, VCR dan kerapatan kanopi mempunyai koefisien determinasi rendah < 60%. Berdasarkan nilai koefisien determinasi yang rendah maka identifikasi degradasi hutan menggunakan lbds dan volume tidak dapat diduga dengan menggunakan indikator tajuk, LAI dan kerapatan kanopi. Hasil analisis regresi digunakan untuk pembuatan kelas masing masing peubah untuk diuji akurasinya dengan klasifikasi citra. Pembuatan kelas menggunakan persamaan regresi linier dan non linier yang terbaik (Tabel 14 dan Gambar 28). Klasifikasi yang digunakan adalah semua indikator lapangan untuk digunakan dalam uji akurasi klasifikasi citra. Langkah ini diambil untuk dapat menguji akurasi pada semua indikator walaupun berdasarkan regresi linier hanya indikator kerapatan kanopi dan VCR yang mempunyai koefisien determinasi yang tinggi. Tabel 14 Model persamaan regresi untuk klasifikasi indikator lapangan Model Pendugaan Persamaan R 2 (%) 1 Volume y = x x Kerapatan tegakan y = x Lbds y = x x LAI y = x x CSI y = x 1, CDI y = 14.35x 1, VCR y = 16.75x 1, Keterangan : x = kerapatan kanopi hutan.

4 Kerapatan kanopi (%) (a) Kerapatan kanopi (%) (b) Kerapatan kanopi (%) Kerapatan kanopi (%) (c) (d) Kerapatan kanopi (%) Kerapatan kanopi (%) (e) (f) Kerapatan kanopi (%) (g) Gambar 28 Grafik hubungan kerapatan kanopi dengan a) volume, b) kerapatan tegakan, c) lbds, d) LAI, e) CSI, f) CDI, g) VCR.

5 65 No Berdasarkan persamaan tersebut maka dilakukan klasifikasi seperti pada Tabel 15. Klasifikasi Tabel 15 dengan menggunakan tegakan dengan diameter > 5 cm. Hal ini dikarenakan pada hutan alam terdiri dari berbagai kelas diameter tegakan. Meskipun dari analisis regresi didapatkan hasil koefisien determinasi yang lebih tinggi pada diameter > 20 cm. Tabel 15 Kriteria klasifikasi kerapatan hutan berdasarkan kerapatan kanopi, Klasi fikasi kerapatan tegakan, lbds, volume, LAI, indikator tajuk. Kera patan Kanopi (%) Lbds m2/ha Kerapatan Tegakan > (N/Ha) Vol ume m3/ha LAI Indikator Tajuk /Ha CSI CDI VCR 1 NH , H ,7-1, H ,4-2, H ,3-3, H4 >71 >41 >1305 >496 > 3.7 >7375 >4828 >6115 Keterangan: H4 hutan kerapatan sangat tinggi, H3 hutan kerapatan tinggi, H2 hutan kerapatan sedang, H1 hutan kerapatan rendah, NH = non hutan Identifikasi Tingkat Degradasi di Lapangan Berdasarkan hasil analisis regresi pada sub bab sebelumnya maka identifikasi degradasi di lapangan hanya dapat menggunakan indikator kerapatan tegakan. Kerapatan tegakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan dari pohon-pohon yang berdiameter > 5 cm. Peubah yang dapat digunakan untuk menduga kerapatan tegakan diameter > 5 cm adalah kerapatan kanopi dan VCR. Berdasarkan model penduga maka klasifikasi tingkat degradasi hutan diperoleh seperti terlihat pada Tabel 16. Tabel 16 Tingkat degradasi hutan di lapangan No Tingkat Pengurangan Degradasi Tegakan (N/Ha) > 5cm Kerapatan Kanopi (%) Indikator Tajuk/Ha VCR 1 Ringan Sedang Berat Deforestasi >1054 > 61 >5259

6 66 Tabel 16 menunjukkan bahwa degradasi ringan dapat diidentifikasi dengan pengurangan jumlah tegakan 2/Ha sampai dengan 201 batang/ha atau kerapatan kanopi 1 sampai dengan 20%. Gambar 29 menunjukkan kenampakan kelas degradasi hutan ringan di lapangan. Gambar 29 Visualisasi kelas degradasi hutan ringan (tunggak 2 sampai dengan 201 batang/ha) di lapangan Kelas degradasi ringan dapat pula diidentifikasi menggunakan pengurangan nilai VCR yaitu antara 265 sampai dengan 1929/Ha. Nilai VCR merupakan gabungan antara indikator CSI dan CDI. CSI merupakan gabungan indikator diameter tajuk, tebal tajuk dan kerapatan tajuk. CDI merupakan gabungan indikator persentase kerusakan tajuk dan persentase cahaya matahari masuk ke celah tajuk.

7 67 Pada Tabel 16 menunjukkan bahwa degradasi sedang dapat diidentifikasi dengan pengurangan jumlah tegakan antara 202/Ha sampai dengan 568/Ha atau kerapatan kanopi 21-40%. Gambar 30 menunjukkan kenampakan kelas degradasi hutan sedang di lapangan. Kelas degradasi sedang dapat diidentifikasi menggunakan pengurangan nilai VCR antara 1930/Ha sampai dengan 3594/Ha. Gambar 30 Visualisasi kelas degradasi hutan sedang (tunggak 202 sampai dengan 568 batang/ha) di lapangan Degradasi berat dapat diidentifikasi dengan menggunakan nilai penurunan jumlah tegakan antara 569/Ha sampai dengan 1053/Ha atau kerapatan tajuk antara 41 sampai dengan 60%. Gambar 31 menunjukkan kelas degradasi hutan berat di lapangan. Kelas degradasi berat mempunyai pengurangan nilai VCR antara 3595/Ha sampai dengan 5258/Ha. Sedangkan kelas degradasi sangat berat mengalami penurunan jumlah tegakan lebih besar dari 1054/Ha atau kerapatan tajuk lebih besar dari 60%. Kelas degradasi sangat berat dapat diidentifikasi menggunakan pengurangan nilai VCR lebih besar dari 5259/Ha.

8 68 Gambar 31 Visualisasi kelas degradasi hutan berat (tunggak 569 sampai dengan 1053 batang/ha) di lapangan 4.2 Hasil Klasifikasi FCD, Maximum Likelihood, Fuzzy dan Belief Proses pengolahan data akhir klasifikasi menghasilkan peta kelas kerapatan hutan yaitu non hutan, kerapatan rendah, kerapatan sedang, kerapatan tinggi dan sangat tinggi. Proses pemotongan citra dilakukan untuk menghasilkan peta tahun 2003, 2007 dan 2008 daerah penelitian. Gambar 32 sampai dengan dengan 34 adalah peta kerapatan hutan tahun 2003 sampai dengan 2008 berdasarkan klasifikasi FCD. Gambar 35 sampai dengan 37 adalah hasil klasifikasi maximum likelihood. Gambar 38 sampai dengan 40 merupakan hasil klasifikasi fuzzy dan Gambar 41 sampai dengan 43 adalah hasil klasifikasi belief.

9 69 Gambar 32 Peta klasifikasi FCD Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun

10 70 70 Gambar 33 Peta klasifikasi FCD Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2007

11 71 Gambar 34 Peta klasifikasi FCD Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun

12 72 ambar 12. Peta Klasifikasi Maximum Likelihood tahun 2003 Gambar 13. Peta Klasifikasi Maximum Likelihood tahun Gambar 35 Peta klasifikasi Maximum Likelihood Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2003

13 73 Gambar 14. Peta Klasifikasi Maximum Likelihood tahun Gambar 36 Peta klasifikasi Maximum Likelihood Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2007

14 74 74 Gambar 37 Peta klasifikasi Maximum Likelihood Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2008

15 75 Gambar 15. Peta Klasifikasi Fuzzy tahun 2003 Gambar 16. Peta Klasifikasi Fuzzy tahun Gambar 38 Peta klasifikasi Fuzzy Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2003

16 76 Gambar 17. Peta Klasifikasi Fuzzy tahun Gambar 39 Peta klasifikasi Fuzzy Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2007

17 77 Gambar 40 Peta klasifikasi Fuzzy Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun

18 78 Gambar 17. Peta Klasifikasi Belief Dempster Shafer tahun 2003 Gambar 18. Peta Klasifikasi Belief Dempster Shafer tahun Gambar 41 Peta klasifikasi Belief Dempster Shafer Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2003

19 79 Gambar 42 Peta klasifikasi Belief Dempster Shafer Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun

20 80 Gambar 20. Peta Klasifikasi Belief Dempster Shafer tahun Gambar 43 Peta klasifikasi Belief Dempster Shafer Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2008

21 Hasil Uji Akurasi Kerapatan Hutan Menggunakan 4 Kelas Kerapatan Hutan Hasil klasifikasi FCD, maximum likelihood, fuzzy dan belief tahun 2008 diuji keakuratannya dengan kerapatan kanopi lapangan, LAI, crown indicator (CSI,CDI dan VCR), kerapatan tegakan, lbds dan volume. Hasil overall accuracy dan analisis Kappa dengan berbagai indikator lapangan maka dapat dilihat pada Tabel 17. Pada klasifikasi FCD dapat dilihat bahwa untuk klasifikasi kerapatan hutan dapat menggunakan kerapatan kanopi dan kerapatan tegakan diameter > 5cm. Akurasi kerapatan kanopi adalah lebih besar dari 85%. Pengunaan indikator kerapatan tegakan diameter > 5cm mempunyai akurasi sedang yaitu 61%. Penggunaan indikator LAI, CSI, CDI, VCR, lbds dan volume tidak dapat digunakan karena mempunyai akurasi yang rendah. Tabel 17 Hasil uji akurasi klasifikasi FCD, Maximum Likelihood, Fuzzy dan Belief Demspter Shafer menggunakan 4 kelas kerapatan hutan No Indikator Lapangan Hasil Uji Akurasi (%) FCD Maximum Likelihood Fuzzy Belief Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa 1 Kerapatan Kanopi LAI CSI CDI VCR Kerapatan Tegakan > 5cm Lbds > 5cm Volume Pada klasifikasi maximum likelihood maka klasifikasi kerapatan hutan hanya dapat menggunakan indikator kerapatan kanopi dengan akurasi sedang yaitu 71%. Penggunaan indikator LAI, CSI, CDI, VCR dan Lbds tidak dapat digunakan karena mempunyai akurasi yang rendah. Penggunaan klasifikasi fuzzy mempunyai akurasi sedang pada indikator kerapatan kanopi yaitu 67%, sedangkan pada indikator lainnya adalah rendah. Berdasarkan akurasinya maka klasifikasi kerapatan hutan menggunakan klasifikasi fuzzy dan maximum likelihood relatif kurang baik.

22 82 Klasifikasi belief kurang baik digunakan untuk klasifikasi kerapatan hutan. Akurasi klasifikasi ini menunjukkan bahwa akurasinya dibawah 60% untuk semua indikator lapangan kecuali indikator kerapatan kanopi. Akurasi tertinggi hanya didapatkan pada indikator kerapatan kanopi 65%. Penggunaan kerapatan hutan lainnya diantaranya LAI, CSI, CDI, VCR dan Lbds mempunyai akurasi yang rendah. Pada indikator lapangan menggunakan indikator tajuk (crown indikator) yaitu CSI, CDI dan VCR, klasifikasi FCD mempunyai akurasi yang rendah. Crown indicator merupakan indikator tegakan yang tidak hanya mencerminkan dimensi horizontal tajuk tetapi juga vertikal dan kualitas tajuk. Berdasarkan indikator ini maka FCD tidak dapat digunakan untuk mendeteksi kualitas tajuk. Sedangkan untuk dimensi horizontal tajuk yaitu menggunakan kerapatan kanopi mempunyai akurasi yang tinggi yaitu 86%. Hal ini berarti bahwa apabila kerapatan tajuk digunakan sebagai indikator degradasi hutan sehingga klasifikasi FCD dapat diterapkan dengan baik. Indikator lain yang sering digunakan dalam klasifikasi kerapatan hutan adalah dengan LAI. Indek luas daun (LAI) merupakan total luas daun yang pada tegakan. LAI biasanya digunakan dalam pendugaan biomasa dan untuk identifikasi degradasi hutan. Klasifikasi FCD mempunyai akurasi yang rendah (53%) untuk klasifikasi LAI sehingga tidak dapat diterapkan untuk mendeteksi LAI. Indikator kerapatan hutan dapat pula didekati dengan luas bidang dasar. Klasifikasi FCD untuk mendeteksi luas bidang dasar ini menunjukkan akurasi yang rendah yaitu 58%. Hal ini dapat dikatakan bahwa FCD tidak dapat digunakan untuk mendeteksi degradasi hutan dengan menggunakan klasifikasi kerapatan berdasarkan luas bidang dasar. Tingkat akurasi pada masing-masing kelas kerapatan hutan dapat dilihat pada Tabel 18. Berdasarkan Tabel 18 maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan kelas kerapatan hutan pada klasifikasi FCD berpengaruh terhadap tingkat akurasinya. Hal ini dapat dilihat pada user accuracy pada kelas hutan kerapatan rendah (H1), kerapatan sedang (H2) dan kerapatan sangat tinggi (H4) mempunyai

23 83 No akurasi dibawah 85%, sedangkan pada kelas hutan tinggi mempunyai akurasi lebih besar dari 85%. Tabel 18 Hasil uji akurasi klasifikasi FCD, Maximum Likelihood, Fuzzy dan Belief Demspter Shafer per 4 kelas kerapatan hutan. Kerapatan hutan Hasil Uji Akurasi (%) FCD Maximum Likelihood Fuzzy Belief User s Accuracy Produser Accuracy User s Accuracy Produser Accuracy User s Accuracy Produser Accuracy User s Accuracy 1 NH H H H H Keterangan: NH = Non Hutan, H1 = Kerapatan Rendah, H2 = Kerapatan Sedang, H3= Kerapatan Tinggi, H4 = Kerapatan Sangat Tinggi Produser Accuracy Akurasi klasifikasi menggunakan user s acuracy yang mempunyai akurasi rendah hanya pada kelas kerapatan hutan sedang yaitu 62%. Hal ini berarti bahwa klasifikasi menggunakan FCD kurang baik digunakan pada kelas kerapatan sedang atau rendah. Oleh sebab itu maka klasifikasi FCD pada kelas kerapatan hutan tinggi dapat digunakan secara baik. Akan tetapi apabila menggunakan dua indikator akurasi yaitu producer s acuracy dan user s acuracy maka hanya pada klas kerapatan tinggi yang mempunyai akurasi lebih besar dari 85%. Hal ini dapat diartikan bahwa algoritma yang dibangun oleh FCD kurang dapat meminimalkan efek latar belakang tanah dalam mempengaruhi nilai spektral pada kelas kerapatan hutan sedang dan rendah. Akan tetapi pada kelas kerapatan tinggi algortima yang dibangun oleh metode FCD terbukti dapat mengurangi efek latar belakang tanah. Berdasarkan Tabel 18 maka dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan producer s accuracy dan user s accuracy maka hanya pada kelas hutan kerapatan rendah yang dapat diklasifikasi dengan baik oleh klasifikasi maximum likelihood. Pada kerapatan hutan, sedang dan sangat tinggi mempunyai tingkat akurasinya yang rendah. Hal ini disebabkan pada kelas kerapatan hutan sedang terdapat kesalahan yang tinggi akibat dari heterogenitas dari tutupan hutan yang bercampur antara tanah dan vegetasi hutan. Pada hutan yang mempunyai kerapatan tinggi mempunyai akurasi yang rendah dikarenakan pengaruh tutupan kanopi hutan yang

24 84 tegakan yang berdiameter lebih besar dari 20 cm. Pada kerapatan hutan yang tinggi dimungkinkan tegakan dibawah 20 cm tidak dapat direkam oleh sensor satelit. Pada kerapatan hutan sedang terdapat beberapa kelas yang masuk pada kelas pertanian lahan kering sehingga berakibat tingkat akurasinya menjadi rendah Pada klasifikasi fuzzy hanya dapat digunakan pada kerapatan hutan yang sangat tinggi karena mempunyai user s accuracy lebih besar dari 85%. Sedangkan pada kelas hutan yang kerapatannya lebih rendah maka akurasinya lebih rendah dari 85%. Hal ini disebabkan karena pada saat penentuan piksel training area merupakan training area yang bercampur sehingga pada hasil klasifikasinya terdapat beberapa kelas yang masuk ke kelas lainnya. Penentuan fungsi keanggotaan juga menentukan kualitas dari hasil klasifikasi ini. Pada klasifikasi belief, kerapatan hutan yang sangat rendah dan rendah mempunyai tingkat akurasi yang rendah. Pada kerapatan hutan sedang dan tinggi mempunyai akurasi yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat pada user s accuracy yang kelas H1, H2 dan H3 yang mempunyai akurasi dibawah 85%. 4.4 Hasil Uji Akurasi Tingkat Degradasi Menggunakan 3 Kelas Degradasi Hutan Uji akurasi tingkat degradasi hutan menggunakan analisis temporal. Peta klasifikasi dari tahun dianalisis menggunakan post classification analysis untuk menghasilkan peta degradasi hutan tentative. Kelas perubahan degradasi hutan dapat diklasifikasikan menjadi 3 seperti terlihat pada Tabel 19. Kelas deforestasi adalah pengurangan kerapatan dari hutan kerapatan sangat tinggi ke tutupan bukan hutan. Kelas degradasi berat adalah pengurangan kerapatan hutan dari kerapatan sangat tinggi ke kerapatan rendah. Kelas degradasi sedang adalah pengurangan kerapatan hutan dari kerapatan sangat tinggi ke kerapatan sedang dan hutan kerapatan tinggi ke kerapatan rendah. Kelas degradasi ringan adalah pengurangan kerapatan hutan sangat tinggi ke kerapatan hutan tinggi, kerapatan tinggi ke kerapatan sedang dan kerapatan sedang ke kerapatan rendah.

25 85 Tabel 19 Klasifikasi degradasi hutan menggunakan 3 kelas degradasi hutan No Kelas Kriteria Penurunan Degradasi Kerapatan tegakan Kelas diameter > 5cm (N/Ha) 1 Ringan Turun 1 Tingkat 2 Sedang Turun 2 Tingkat 3 Berat Turun 3 Tingkat 4 Sangat Berat/ Deforestasi Turun 4 Tingkat - Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Kerapatan Tinggi - Hutan Kerapatan Tinggi Ke Kerapatan Sedang - Hutan Kerapatan Sedang Ke Kerapatan Rendah - Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Kerapatan Sedang - Hutan Kerapatan Tinggi Ke Hutan Kerapatan Rendah - Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Hutan Kerapatan Rendah - Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Non Hutan >1054 Berdasarkan uji akurasi klasifikasi citra sebelumnya maka akurasi metode klasifikasi yang lebih besar dari 60% adalah klasifikasi FCD dengan indikator kerapatan tegakan. Uji akurasi tingkat degradasi hutan akan dilakukan dengan metode tersebut. Berdasarkan uji akurasi antara klasifikasi FCD dengan penurunan kerapatan tegakan diameter > 5cm maka dihasilkan akurasi 68% (Tabel 20). Uji akurasi deteksi degradasi hutan secara temporal menggunakan peubah kerapatan kanopi dan VCR tidak dapat dilakukan di lapangan karena tidak dapat diidentifikasi langsung. Tabel 20. Hasil uji akurasi 3 tingkat degradasi hutan klasifikasi FCD. No Kelas degradasi User s Accuracy Klasifikasi (%) Producer s 1 Ringan Sedang Berat Overall Accuracy 68 % Akurasi Kappa 54%

26 86 No 4.5 Hasil Uji Akurasi Kerapatan Hutan Menggunakan 3 Kelas Kerapatan Hutan Hasil klasifikasi uji akurasi pada sub bab sebelumya dengan menggunakan 4 kelas degradasi hutan menghasilkan akurasi yang rendah pada peubah lbds dan volume. Padahal peubah tersebut merupakan peubah yang berperan dalam identifikasi degradasi dalam MRV REDD, sehingga dilakukan reklasifikasi dari 4 kelas menjadi 3 kelas. Pemilihan 2 kelas untuk direklasifikasi menggunakan kriteria separabilitas yang terkecil. Nilai separabilitas yang rendah pada training area menunjukkan keterpisahan yang tidak baik sehingga perlu direklasifikasi. Nilai separabilitas yang rendah adalah antara kelas H4 dan H3, sehingga kelas ini digabung menjadi satu kelas yaitu hutan kerapatan tinggi (H3). Hasil klasifikasi FCD, maximum likelihood, fuzzy dan belief tahun 2008 setelah direklasifikasi menjadi 3 kelas diuji dengan 3 kelas kerapatan hutan di lapangan. Kriteria masing-masing indikator kelas kerapatan hutan hasil reklasifikasi dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Kriteria klasifikasi volume, kerapatan tegakan, lbds, kerapatan kanopi, LAI, indikator tajuk. Menggunakan 3 kelas kerapatan hutan Klasi fikasi Kerapatan Kanopi (%) Lbds m2/ha Kerapatan Tegakan > (N/Ha) Vol ume m3/ha LAI Indikator Tajuk /Ha CSI CDI VCR 1 NH , H ,7-1, H ,4-2, H3 > 51 > 40 >775 > 361 > 2,4 > 4599 > 3046 >3833 Keterangan: H3 hutan kerapatan tinggi, H2 hutan kerapatan sedang, H1 hutan kerapatan rendah, NH = nn hutan. Hasil uji akurasi dengan 3 kelas kerapatan hutan dapat dilihat pada Tabel 22. Hasil klasifikasi pada indikator lbds dan volume menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan sebelum direklasifikasi. Akurasi klasifikasi FCD untuk lbds meningkat menjadi 71 persen, reklasifikasi sebelumnya hanya 58%, sedangkan pada volume akurasiya meningkat menjadi 71% dari sebelumnya 39%. Klasifikasi maximum likelihood menggunakan lbds meningkat dari 35% menjadi 69%, sedangkan pada volume meningkat dari 50% menjadi 67%. Klasifikasi fuzzy pada lbds meningkat dari 45% menjadi 69%, sedangkan pada volume meningkat

27 87 dari 35% menjadi 65%. Klasifikasi pada lbds meningkat dari 47% menjadi 57% sedangkan pada volume meningkat dari 31% menjadi 51%. Tabel 22 Hasil uji akurasi klasifikasi FCD, Maximum Likelihood, Fuzzy dan Belief Demspter Shafer menggunakan 3 kelas kerapatan hutan No Indikator Lapangan Hasil Uji Akurasi (%) FCD Maximum Likelihood Fuzzy Belief Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa Overall accuracy Akurasi Kappa 1 Kerapatan Kanopi LAI CSI CDI VCR Kerapatan Tegakan > 5cm Lbds > 5cm Volume Hasil Uji Akurasi Tingkat Degradasi Menggunakan 2 Kelas Degradasi hutan Uji akurasi tingkat degradasi menggunakan 2 kelas degradasi hutan menggunakan analisis temporal. Peta klasifikasi dari tahun dianalisis menggunanan post classification analysis untuk menghasilkan peta degradasi hutan. Kelas perubahan degradasi hutan dapat diklasifikasikan menjadi 2 seperti terlihat pada Tabel 23. Tabel 23 Klasifikasi degradasi hutan menggunakan 2 kelas degradasi hutan No Kelas Kriteria Penurunan Degradasi Kerapatan tegakan Kelas diameter > 5cm (N/Ha) 1 Ringan Turun 1 Tingkat 2 Berat Turun 2 Tingkat 3 Deforestasi Turun 3 Tingkat - Hutan Kerapatan Tinggi Ke Kerapatan Sedang - Hutan Kerapatan Sedang Ke Kerapatan Rendah - Hutan Kerapatan Tinggi Ke Hutan Kerapatan Rendah - Hutan Kerapatan Tinggi Ke Non Hutan >1054

28 88 Kelas deforestasi adalah pengurangan kerapatan dari hutan kerapatan tinggi ke non hutan. Kelas degradasi berat adalah pengurangan kerapatan hutan dari kerapatan tinggi ke kerapatan rendah. Kelas degradasi ringan adalah pengurangan kerapatan hutan tinggi ke kerapatan hutan sedang dan kerapatan sedang ke kerapatan rendah. Hasil uji akurasi degradasi hutan menggunakan 2 kelas dapat dilihat pada Tabel 24. Hasil uji akurasi menggunakan 2 kelas menunjukkan overall accuracy yang meningkat dari 68% menjadi 74%, sehingga metode reklasifikasi ini mampu meningkatkan akurasi. Tabel 24 Hasil uji akurasi 2 tingkat degradasi hutan klasifikasi FCD. No Kelas degradasi User s Accuracy Klasifikasi (%) Producers 1 Ringan Berat Overall Accuracy 74 % Akurasi Kappa 63 % 4.7 Degradasi Hutan Menggunakan 2 Kelas Degradasi Hutan Berdasarkan hasil uji akurasi maka dapat disimpulkan bahwa metode klasifikasi yang dapat digunakan adalah klasifikasi FCD. Hasil klasifikasi FCD tersebut digunakan untuk menganalisis degradasi hutan. Tabel 25 dan Tabel 26 menunjukkan degradasi hutan berdasarkan klasifikasi FCD. Tabel 25 Matrik perubahan tutupan hutan plot lapangan tahun 2003 dan 2007 (Ha) Tahun 2003 Tahun 2007 Klas H3 H2 H1 NH Jumlah H3 16,2 11,4 2,0 0,8 30,4 H2 0,8 0,8 0,8 0,0 2,4 H1 0,8 0,0 0,0 0,0 0,8 NH 0,0 1,6 1,6 4,1 7,3 Jumlah 17,8 13,8 4,4 4,9 41 Plot lapangan seluas 50 x 50 meter mewakili 3 x 3 piksel citra Landsat (0,8Ha) sehingga perhitungan luas total 51 plot dikalikan 0,8 Ha adalah 41 Ha. Berdasarkan Tabel 25 maka pada plot terjadi penurunan luas pada hutan kerapatan tinggi pada tahun 2003 adalah seluas 30,4 Ha dan luas pada tahun 2007 menjadi 17,8 Ha. Pada hutan kerapatan sedang terjadi peningkatan dari luas

29 89 awal tahun 2003 adalah 2,4 Ha menjadi 13,8 Ha. Luas hutan kerapatan rendah dari luas tahun 2003 yaitu 0,8 Ha menjadi 4,4 Ha. Tabel 26 Matrik perubahan tutupan hutan plot lapangan tahun 2007 dan 2008 (Ha) Tahun2007 Tahun 2008 Klas H3 H2 H1 NH Jumlah H3 15,4 2,4 0,0 0,0 17,8 H2 9,7 2,4 1,6 0,0 13,8 H1 0,0 0,8 3,6 0,0 4,4 NH 0,0 0,8 0,8 3,3 4,9 Jumlah 25,1 6,4 6 3,3 41 Berdasarkan Tabel 26 maka pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, plot penelitian terjadi peningkatan luas pada hutan kerapatan tinggi dari 17,8 Ha menjadi 25,1 Ha. Luas hutan kerapatan sedang menurun dari tahun 2003 adalah seluas 13,8 Ha menjadi 6,7 Ha pada tahun Peningkatan luas hutan terjadi pada hutan kerapatan rendah dari luas awal tahun 2007 adalah 4,4 Ha menjadi 6 Ha. Gambar 44 menunjukan perubahan luas hutan dari tahun 2003 sampai dengan 2008 Ha NH H1 1 H2 H Tahun Gambar 44. Perubahan kelas kerapatan hutan plot lapangan tahun 2003 sampai dengan 2008 Pada Gambar 44 dapat dilihat bahwa pada hutan kerapatan tinggi terjadi kecenderungan luas yang menurun. Hal ini diakibatkan antara pertumbuhan kelas

30 90 kerapatan hutan dan penurunan kerapatan hutan lebih besar penurunan kerapatan hutannya akibat adanya penebangan. Hutan kerapatan sedang terjadi peningkatan akibat adanya penebangan skala kecil menjadi hutan kerapatan sedang. Hutan kerapatan rendah terjadi kecenderungan penambahan luas. Hal ini disebabkan antara pertumbuhan kelas kerapatan hutan lebih tinggi dibandingkan dengan penebangan yang terjadi. Tabel 27 Luas degradasi hutan plot lapangan tahun 2003 sampai dengan 2008 No Kelas Degradasi Luas Ha % Total Plot Luas Ha % Total Plot 1 Ringan H3 ke H2 11,4 28 2,4 6 H2 ke H1 0,8 2 1,6 4 Sub Total 12, Berat H3 ke H Total Luas 14, Penambahan luas hutan pada kerapatan rendah dan sedang bukan berarti tidak adanya penebangan pada kelas hutan tersebut. Untuk lebih detilnya tentang pengurangan luas hutan pada masing-masing kelas hutan dapat dilihat pada Tabel 27. H2 ke H1 6% H3 ke H1 14% H2 ke H1 40% H3 ke H1 0% (a) H3 ke H2 80% (b) H3 ke H2 60% Gambar 45. Proporsi luas degradasi hutan plot lapangan, a) tahun 2003 sampai dengan 2007, b) tahun 2007 sampai dengan 2008 terhadap luas total degradasi hutan plot lapangan pada tiap kelas kerapatan hutan. Pada Tabel 27 dapat dilihat bahwa total degradasi hutan dari tahun 2003 sampai dengan 2007 yaitu seluas 14,2 Ha. Persentase masing-masing degradasi hutan dapat dilihat pada Gambar 45. Pada Gambar 45a dapat dilihat bahwa

31 91 persentase terbesar degradasi hutan terlihat pada kelas hutan kerapatan tinggi (H3) menjadi kelas hutan kerapatan sedang (H2). Pada Tabel 27 dapat dilihat bahwa total degradasi hutan dari tahun 2007 sampai dengan 2008 yaitu seluas 4 Ha. Persentase masing-masing degradasi hutan dapat dilihat pada Gambar 45. Pada Gambar 45b dapat dilihat bahwa persentase terbesar degradasi hutan terlihat pada kelas hutan kerapatan tinggi (H3) menjadi kelas hutan kerapatan sedang (H2). Hal ini dapat disimpulkan bahwa periode 2003 sampai dengan 2008 penebangan kayu pada kawasan ini terjadi tidak secara tebang habis tetapi hanya tebang pilih pada hutan kerapatan tinggi. Gambar 46 merupakan peta degradasi hutan daerah penelitian.

32 92 92 Gambar 46 Peta degradasi hutan Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya dari tahun 2003 sampai dengan

Latar belakang. Kerusakan hutan. Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan 22/06/2012

Latar belakang. Kerusakan hutan. Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan 22/06/2012 Deteksi Kesehatan Hutan Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Hutan Lahan Kering SIGIT NUGROHO Latar belakang Kerusakan hutan Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan Efisien waktu Efektif Hemat biaya Mudah

Lebih terperinci

2. METODE PENELITIAN

2. METODE PENELITIAN 9 2. METODE PENELITIAN Metode penelitian berisi langkah-langkah kerja yang tersusun secara sistematis untuk menyelesaikan penelitian. Pada bagian ini disajikan waktu dan tempat penelitian, bahan dan alat,

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Hasil Segmentasi Dari beberapa kombinasi scale parameter yang digunakan untuk mendapatkan segmentasi terbaik, untuk mengklasifikasikan citra pada penelitian ini hanya mengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan dan lestari membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan dan lestari membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan dan lestari membutuhkan informasi potensi hutan yang akurat melalui kegiatan inventarisasi hutan. Salah satu informasi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

III HASIL DAN PEMBAHASAN

III HASIL DAN PEMBAHASAN 25 3.1 Eksplorasi Data Lapangan III HASIL DAN PEMBAHASAN Data lapangan yang dikumpulkan merupakan peubah-peubah tegakan yang terdiri dari peubah kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, diameter

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 21 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di KPH Kebonharjo Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah. Meliputi Bagian Hutan (BH) Tuder dan Balo, pada Kelas Perusahaan Jati.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal. DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT 8 (Studi Kasus : Sub Das Brantas Bagian Hulu, Kota Batu) Oleh : Aning Prastiwi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013. 30 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pekon Gunung Kemala Krui Kabupaten Lampung Barat. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan berdiameter 20 cm dan pohon layak tebang.

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

Lampiran. Universitas Sumatera Utara

Lampiran. Universitas Sumatera Utara Lampiran Lampiran 1. Titik Posisi ground check dan data titik lapangan Tabel 1. Titik Posisi ground check No LU BT Peta Kondisi Lapangan keterangan 1 2 15'6.67" 98 53'24.24" 2 2 14'49.28" 98 53'26.28"

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat di Indonesia dan penyebarannya antara lain di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian 19 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di IUPHHK-HA PT. Ratah Timber, Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur (Lampiran 14). Waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pengolahan data Biomassa Penelitian ini dilakukan di dua bagian hutan yaitu bagian Hutan Balo dan Tuder. Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan Plot Contoh di Lapangan Berdasarkan jumlah pohon yang ditemukan di lapangan, jumlah pohon yang diperoleh dari 38 plot lokasi BKPH Dagangan ada sebanyak 372

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7 Matrik korelasi antara peubah pada lokasi BKPH Dungus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7 Matrik korelasi antara peubah pada lokasi BKPH Dungus BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Korelasi antar peubah Besarnya kekuatan hubungan antar peubah dapat dilihat dari nilai koefisien korelasinya (r). Nilai koefisien korelasi memberikan pengertian seberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian dari ekosistem alam sebagai assosiasi flora fauna yang didominasi oleh tumbuhan berkayu yang menempati areal yang sangat luas sehingga menciptakan

Lebih terperinci

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak A123-04-1-JW Hatulesila Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon Jan Willem Hatulesila 1), Gun Mardiatmoko 1), Jusuph Wattimury 2) 1) Staf Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

Aplikasi Object-Based Image Analysis (OBIA) untuk Deteksi Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2

Aplikasi Object-Based Image Analysis (OBIA) untuk Deteksi Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Aplikasi Object-Based Image Analysis (OBIA) untuk Deteksi Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tunjung S. Wibowo tjswibowo@gmail.com R. Suharyadi suharyadir@ugm.ac.id Abstract The

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

PEMETAAN PERUBAHAN FOREST CANOPY DENSITY DI KPH KUNINGAN

PEMETAAN PERUBAHAN FOREST CANOPY DENSITY DI KPH KUNINGAN PEMETAAN PERUBAHAN FOREST CANOPY DENSITY DI KPH KUNINGAN Ardhianto Muhammad* ), Lilik Budi Prasetyo *), Agus Priyono Kartono *) *) DKSHE, Fahutan, Institut Pertanian Bogor e-mail: ardhiantomuhammad@gmail.com

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di KPH Banyumas Barat (Bagian Hutan Dayeuluhur, Majenang dan Lumbir). Penelitian ini dilakukan dengan mengolah dan menganalisis

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x,. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Identifikasi Kerusakan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus : Sub DAS Brantas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN D cit ra BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Citra dan Data Lapangan Berdasarkan pengolahan data menggunakan peubah pada citra dan lapangan, diperoleh diagram pencar untuk setiap plot di masing-masing

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November 2012. Penelitian ini dilaksanakan di lahan sebaran agroforestri yaitu di Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Bahorok,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Propinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK-HA PT MAM, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua pada bulan Mei sampai dengan Juli 2012. 3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia yang dapat memberikan manfaat yang besar untuk kehidupan makluk hidup. Salah satu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 31 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Pengamatan tutupan lahan di lapangan dilakukan di Kecamatan Cikalong yang terdiri dari 13 desa. Titik pengamatan yang digunakan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Statistik Data Plot Contoh Jumlah total plot contoh yang diukur di lapangan dan citra SPOT Pankromatik sebanyak 26 plot contoh. Plot-plot contoh ini kemudian dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 14 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.1. Hasil Penelitian.1.1 Pertumbuhan diameter S. leprosula Miq umur tanam 1 4 tahun Hasil pengamatan dan pengukuran pada 4 plot contoh yang memiliki luas 1 ha (0 m x 0 m) dapat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.1. Karakteristik Data Pengamatan karakteristik tegakan hutan seumur puspa dilakukan pada dua plot di Hutan Pendidikan Gunung Walat dengan luas masing-masing plot berukuran 1

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PE ELITIA

III. METODOLOGI PE ELITIA 10 III. METODOLOGI PE ELITIA 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK PT. DRT, Riau. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap pertama pengambilan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

RIZKY ANDIANTO NRP

RIZKY ANDIANTO NRP ANALISA INDEKS VEGETASI UNTUK IDENTIFIKASI TINGKAT KERAPATAN VEGETASI HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN CITRA AIRBORNE HYPERSPECTRAL HYMAP ( Studi kasus : Daerah Hutan Gambut Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pulang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan vegetasi yang beraneka ragam dan melimpah di seluruh wilayah Indonesia. Setiap saat perubahan lahan vegetasi seperti hutan, pertanian, perkebunan

Lebih terperinci

DISKRIMINASI TEGAKAN HTI (Hutan Tanaman Industri) MENGGUNAKAN OBJECT ORIENTED CLASSIFICATION Studi kasus PT. HTI Wira Karya Sakti, Jambi 1

DISKRIMINASI TEGAKAN HTI (Hutan Tanaman Industri) MENGGUNAKAN OBJECT ORIENTED CLASSIFICATION Studi kasus PT. HTI Wira Karya Sakti, Jambi 1 DISKRIMINASI TEGAKAN HTI (Hutan Tanaman Industri) MENGGUNAKAN OBJECT ORIENTED CLASSIFICATION Studi kasus PT. HTI Wira Karya Sakti, Jambi 1 Muhammad Ardiansyah, Dr.-Ing 2) dan Muhammad Rusdi, SP. 3) 2.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu ini dilaksanakan di IUPHHK PT. Indexim

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data PENDAHULUAN Hutan produksi merupakan suatu kawasan hutan tetap yang ditetapkan pemerintah untuk mengemban fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pengelolaan hutan produksi tidak semata hanya untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyaknya pemanfaatan dan penggunaan data citra penginderaan jauh di berbagai segi kehidupan menyebabkan kebutuhan akan data siap pakai menjadi semakin tinggi. Beberapa

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE SUPERVISED DAN UNSUPERVISED MELALUI ANALISIS CITRA GOOGLE SATELITE UNTUK TATA GUNA LAHAN

PERBANDINGAN METODE SUPERVISED DAN UNSUPERVISED MELALUI ANALISIS CITRA GOOGLE SATELITE UNTUK TATA GUNA LAHAN PERBANDINGAN METODE SUPERVISED DAN UNSUPERVISED MELALUI ANALISIS CITRA GOOGLE SATELITE UNTUK TATA GUNA LAHAN Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh informasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran 17 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penggunaan lahan masa lalu dan penggunaan lahan masa kini sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek yang saling berhubungan antara lain peningkatan jumlah penduduk

Lebih terperinci

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah)

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah) Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah) 4. Penghitungan dinamika karbon di tingkat bentang lahan Ekstrapolasi cadangan karbon dari tingkat lahan

Lebih terperinci

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 1 : 1-16 (2003)

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 1 : 1-16 (2003) Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 1 : 1-16 (2003) Artikel (Article) EVALUASI KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN MENGGUNAKAN LANDSAT 7 ETM+ DI HPH PT SRI BUANA DUMAI PROVINSI RIAU Evaluating

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, Evaluasi Tutupan Lahan Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Surabaya Pada Citra Resolusi Tinggi Dengan EVALUASI TUTUPAN LAHAN PERMUKIMAN TERHADAP RENCANA DETIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) SURABAYA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru terletak pada 101 0 18 sampai 101 0 36 Bujur Timur serta 0 0 25 sampai 0 0 45 Lintang Utara.

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Ekstraksi Citra TerraSAR-X Dual Polarization Citra RGB terbaik idealnya mampu memberikan informasi mengenai objek, daerah atau fenomena yang dikaji secara lengkap. Oleh karena

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 di Laboratorium Pengaruh Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan bejana berjungkit sebagai alat pengukuran memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan pengggunaan alat pengkuran konvensional. Kelebihan alat ini memberikan kemudahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 6 No. 2 : (2000)

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 6 No. 2 : (2000) Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 6 No. 2 : 55-70 (2000) Artikel (Article) DETEKSI KONDISI HUTAN PASKA KEBAKARAN MELALUI CITRA MULTISENSOR MOS-MESSR DAN LANDSAT TM : Studi Kasus di areal PT. MHP Sumatera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Pinus 2.1.1. Habitat dan Penyebaran Pinus di Indonesia Menurut Martawijaya et al. (2005), pinus dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci