BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang masih merupakan masalah dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit maupun di masyarakat. Anggaran besar harus dialokasikan untuk mengatasi masalah gangguan jiwa berat karena bersifat kronis dan mengakibatkan disabilitas penderitanya yang rata-rata berada di usia produktif (Belbase et al., 2015). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukan prevalensi gangguan jiwa berat penduduk Indonesia sebanyak 1,7 /mil. Prevalensi tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Aceh masing-masing 2,7 /mil. Prosentase terbesar dari gangguan jiwa berat adalah skizofrenia (Kementerian Kesehatan, 2013). Kasus Skizofrenia selalu menduduki peringkat tertinggi dalam volume pelayanan di Rumah Sakit Jiwa. Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia (ARSAWAKOI) tahun 2013 melaporkan bahwa sekitar 70-80 % pasien yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Jiwa adalah skizofrenia. Data dari Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Jiwa Prof.dr. Soerojo Magelang dari 10 besar diagnosis pasien rawat inap jiwa tahun 2013 sebanyak 91% (3.562 kasus) adalah skizofrenia, tahun 2014 sebanyak 90% (3.322 kasus) dan tahun 2015 sebanyak 92% (2.717) kasus. Rumah Sakit Jiwa harus meningkatkan mutu pelayanan rawat inap skizofrenia karena merupakan pelayanan yang jumlahnya besar. Pelayanan yang bermutu adalah pelayanan yang sesuai standar dan meminimalkan variasi yang terjadi. Upaya peningkatan mutu di antaranya dengan melakukan audit klinik untuk mengukur sejauh mana kesesuaian pelayanan dengan standar yang telah ditetapkan merupakan audit kriteria proses (NICE, 2002). Penerapan standar dalam pelayanan psikiatri memiliki karakteristik yang berbeda dengan pelayaanan bidang yang lain. Alasan masuk rumah sakit dan ketidakteraturan berobat merupakan karakteristik yang seringkali menyulitkan 1
2 proses discharge (general care) dan post discharge care (Nakanishi et al., 2012) Tidak semua pasien akan mengikuti alur sesuai standar pelayanan. Penyimpangan dalam hal diagnosis maupun tatalaksana disebut variasi. Variasi yang terjadi akibat kondisi klinis pasien disebut variasi yang beralasan sedangkan variasi yang disebabkan oleh petugas medis yang terlibat, kondisi sosial ekonomi atau keluarga pasien umumnya menjadi variasi yang tidak beralasan. Variasi yang tidak beralasan harus diupayakan pengurangannya melalui upaya peningkatan mutu pelayanan. Sampai saat ini variasi dalam pelayanan skizofrenia masih banyak ditemukan, antara lain variasi dalam diagnosis, penatalaksanaan maupun kriteria pulang. Variasi dalam hal wawancara psikiatri untuk penegakan diagnosis umumnya rendah, akan tetapi variasi dalam pemberian antipsikotik tunggal sebesar 26% dan variasi dalam hal rehabilitasi psikososial mencapai 59,3% (Fantini et al., 2016). Audit yang dilakukan oleh Prescribing Observatory Mental Health United Kingdom (POMH UK) menemukan variasi dalam peresepan polifarmasi dan dosis tinggi antipsikotik yang tidak diperlukan masih banyak dijumpai (Royal College of Psychiatrists, 2012). Luaran klinis pasien skizofrenia masih sangat bervariasi dengan rentang waktu yang berbeda-beda. Penelitian di Amerika Serikat menyebutkan hanya 10% pasien skizofrenia yang diterapi mendapatkan luaran yang baik dalam jangka dua tahun, sehingga quality improvement sangat diperlukan dalam penanganan skizofrenia (Carter et al., 2011) Indonesia telah memiliki pedoman penanganan skizofrenia yang tercantum dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Jiwa / Psikiatri yang disusun oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI) pada tahun 2012. Berdasarkan standar tersebut penatalaksanaan skizofrenia secara garis besar meliputi terapi biologi terutama psikofarmaka dan intervensi psikososial. Intervensi psikososial diberikan kepada pasien skizofrenia maupun keluarganya. Intervensi keluarga merupakan bagian dari intervensi psikososial yang bertujuan mengurangi kekambuhan, meningkatkan kualitas hidup pasien,
3 menurunkan beban keluarga dan memperbaiki fungsi keluarga (LB Dixon & Perkins, 2010). Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa / Psikiatri 2012 intervensi keluarga merupakan bagian dari terapi skizofrenia baik saat stabilisasi maupun stabil. Intervensi keluarga diberikan termasuk saat menjalani rawat inap di Rumah Sakit sebagai fase awal. Efikasi terapi intervensi keluarga dapat memperbaiki status klinis pasien skizofrenia dan dapat mengurangi beban caregiver dan keluarga. Bahkan intervensi keluarga pasien skizofrenia yang singkat dapat memperbaiki luaran untuk pasien dan keluarganya (Sharif et al., 2012). Penelitian serupa di Yogyakarta menyimpulkan bahwa intervensi keluarga yang bersifat interaktif singkat tentang skizofrenia mempunyai pengaruh terhadap pengetahuan caregiver secara bermakna dibanding kelompok kontrol, juga berpengaruh terhadap keteraturan kontrol pasien sebanyak 1,2 kali, terhadap kepatuhan minum obat pada pasien psikotik fase awal sebanyak 5,5 kali dan terhadap ketidakkambuhan sebanyak 1,15 kali (Marchira, 2012). Terapi intervensi keluarga kurang mendapatkan perhatian dalam penanganan kasus skizofrenia jika dibandingkan dengan pemberian psikofarmaka. Audit skizofrenia secara nasional di Inggris menunjukkan bahwa 34 % dari pasien skizofrenia yang mendapatkan pelayanan kesehatan dan resisten terapi belum pernah ditawarkan satu bentuk kegiatan untuk intervensi keluarga (Royal College of Psychiatrists, 2012) Masalah yang sering muncul di Rumah Sakit Jiwa adalah panjangnya masa hari rawat inap (Length of Stay) pasien skizofrenia dan tingginya readmisi. Sebuah studi di Taiwan menyebutkan bahwa 42,5% skizofrenia akan readmisi dalam 30 hari, sementara itu masa hari rawat inap yang lebih pendek akan berhubungan dengan readmisi 30 hari lebih meningkat lagi (Lin et al., 2006). Penerapan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai tahun 2014 menuntut Rumah Sakit Jiwa untuk melakukan kendali mutu dan kendali biaya di antaranya dengan menurunkan masa hari rawat inap dengan tetap mempertimbangkan penurunan angka readmisi. Intervensi keluarga ikut berperan penting untuk menurunkan readmisi. Sistematika review dari 44 penelitian yang
4 dikumpulkan sejak tahun 1988 sampai dengan 2009 mendapatkan hasil bahwa psikoedukasi termasuk terhadap keluarga akan menurunkan insiden readmisi dengan NNT (Number Need to Treat) sebesar 5 dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan NNT sebesar 5 (Xia et al., 2013). Perawatan inap pasien skizofrenia merupakan salah satu kesempatan kontak dengan keluarga pasien sehingga terapi intervensi keluarga perlu mulai diberikan. Intervensi keluarga fase awal yang diberikan saat keluarga mengunjungi pasien yang sedang menjalani rawat inap akan efektif apabila dilanjutkan secara terprogram saat pasien kontrol rawat jalan, home visite maupun ketika rujukan balik ke fasilitas kesehatan tingkat primer. Evaluasi pelaksanaan intervensi keluarga di bangsal rawat inap jiwa RSJ Prof. dr. Soerojo Magelang hingga saat ini belum pernah dilakukan. Kendala dan kekurangan pendokumentasian maupun dalam variasi pelaksanaan intervensi keluarga belum diketahui. Perlu dilakukan evaluasi intervensi keluarga pada kasus skizofrenia di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang dengan menggunakan metode audit klinik untuk mengetahui baseline kesesuaian terhadap standar pelaksanaan intervensi keluarga dan variasi yang terjadi. Hasil audit tersebut dijadikan acuan untuk melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana upaya meningkatkan kesesuaian intervensi keluarga fase awal pada pasien skizofrenia di bangsal rawat inap jiwa RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang melalui audit klinik?
5 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Meningkatkan kesesuaian pelaksanaan intervensi keluarga fase awal pada pasien skizofrenia dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan di bangsal rawat inap RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang. 2. Tujuan Khusus 1. Mengukur kesesuaian standar intervensi keluarga fase awal 2. Mengeksplorasi penyebab ketidaksesuaian standar 3. Membuat dan melaksanakan rancangan perbaikan untuk meningkatkan kesesuaian terhadap standar 4. Mengukur kembali kesesuaian standar intervensi keluarga fase awal setelah dilakukan perbaikan (reaudit). D. Manfaat Penelitian 1. Meningkatkan luaran klinis pasien skizofrenia melalui intervensi keluarga 2. Meningkatkan mutu pelayanan di bangsal rawat inap jiwa RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang 3. Menjadi pilot project pelaksanaan audit klinik di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai intervensi keluarga pada pasien skizofrenia telah banyak dilakukan dalam setting komunitas (Marchira, 2012; Mayoral et al., 2015) sedangkan penelitian ini mempelajari intervensi keluarga pada setting rawat inap di Rumah Sakit Jiwa. Kedua penelitian tersebut mempelajari hubungan intervensi keluarga dengan luaran klinis, sedangkan penelitian ini mempelajari kesesuaian
6 pelaksanaan intervensi keluarga berdasarkan standar yang telah ditetapkan dan mencari penyebab ketidaksesuaian untuk dilakukan perbaikan dengan pengukuran luaran klinis yang terbatas pada length of stay (LOS) dan readmisi. Penelitian mengenai audit klinik skizofrenia di Inggris (Royal College of Psychiatrists, 2012) mengukur 16 standar kriteria, sedangkan penelitian ini melakukan audit klinik terhadap proses pelaksanaan intervensi keluarga kemudian mengeksplorasi penyebab ketidaksesuaian dengan tujuan melakukan perbaikan untuk mencapai peningkatan mutu pelayanan. Penelitian Marchira (2012) menggunakan metode penelititian eksperimental dengan pre-test and post-test group control design dengan subyek 100 orang penderita gangguan psikotik fase awal dan caregiver. Instrumen yang digunakan berupa instrumen pengetahuan tentang skizofrenia, laporan keteraturan kontrol, ketaaatan pengobatan, kekambuhan, skala BPRS (Brief Psychiatric Rating Scale), GAF (Global Assessment of Functional), PANSS (Positive and Negative Symptoms of Schizophrenia), PSST (Premorbid Schizoid-Schizotypal Traits), DUP (Duration of Untreated Psychosis), daftar isian responden dan panduan wawancara mendalam. Penelitian Mayoral, et al. (2015) menggunakan metode randomized controlled trial dengan subyek penelitian sebanyak 88 keluarga pasien skizofrenia. Instrumen yang digunakan berupa BPRS-E (Brief Psychiatric Rating Scale Expanded) dan DAS (Disability Assessment Schedule) II. Audit klinik yang dilakukan oleh Royal College of Psychiatrists (2012) menggunakan metode kuantitatif deskriptif pada 6.400 rekam medik pasien skizofrenia. Instrumen yang digunakan berupa formulir survei untuk mengukur kepatuhan terhadap standar audit. Penelitian ini menggunakan metode action research dengan melakukan audit klinik pada 60 rekam medik pasien skizofrenia untuk melihat kesesuaian intervensi keluarga, dilanjutkan mencari faktor penyebab ketidaksesuaian dengan wawancara mendalam terhadap pejabat terkait dan FGD (Focus Group Discussion) dengan kepala ruang rawat inap jiwa. Instrumen yang digunakan
7 berupa instrumen audit/ reaudit, check list, panduan wawancara mendalam dan panduan FGD.
8