BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Atribusi (Attribution Theory) Teori atribusi menjelaskan proses bagaimana menentukan penyebab atau motif perilaku seseorang (Gibson et al., 1994). Teori atribusi mengacu pada bagaimana seseorang menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau diri sendiri (Luthans, 1998). Teori ini diarahkan untuk mengembangkan penjelasan dengan cara-cara kita menilai orang secara berlainan, tergantung makna apa yang kita hubungkan (atribusikan) ke suatu perilaku tertentu (Robbins, 2003). Penyebab seseorang memilih suatu perilaku bisa berasal dari internal yang mengarah pada aspek perilaku individual, sesuatu yang sudah ada dalam diri seseorang, persepsi diri, kemampuan dan motivasi. Penyebab lain seseorang memilih suatu perilaku adalah dari eksternal yang lebih mengarah pada lingkungan yang mempengaruhi perilaku seseorang seperti kondisi sosial, nilai sosial dan pandangan masyarakat (Sri dan Puspitasari, 2014). Oleh karena itu turnover intention yang merupakan akibat dari variabel kepuasan kerja dan work family conflict pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Denpasar ditentukan berdasarkan atribusi internal maupun eksternal. 2.1.2 Work Family Conflict (X) Work Family Conflict adalah suatu pengalaman yang sifatnya tidak hanya satu arah (Lee et al., 2013). Work family conflict dikatakan sebagai sebuah konsep 11
yang diciptakan oleh Greenhaus dan Beutell (1985), adalah konflik peran ganda yang menuntut waktu, energi dan perhatian seseorang untuk pekerjaannya yang nantinya menimbulkan ketegangan yang mengganggu tugas dan tanggung jawab terhadap keluarga (Aslam et al., 2011). Studi yang dilakukan oleh Amstad et al. (2011) menunjukkan bahwa work family conflict bersumber pada hal-hal yang terjadi dalam lingkungan pekerjaan (work-related outcomes), seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi dan performa kerja. Konflik keluarga akan bersumber pada hal-hal yang terjadi dalam lingkungan keluarga (familyrelated conflict) seperti kepuasan pernikahan, ketegangan dalam rumah tangga dan kepuasan keluarga. Susanto (2010) menjelaskan work family conflict dalam penelitiannya sebagai bentuk interrole conflict, peran yang dituntut dalam pekerjaan dan keluarga akan saling mempengaruhi, mempunyai dua dimensi: pertama, work interfering with family (work family conflict-wif), yaitu pemenuhan peran dalam pekerjaan dapat menimbulkan kesulitan pemenuhan peran dalam keluarga dan kedua, family interfering with work (family work conflict-fiw), yaitu pemenuhan peran dalam keluarga dapat menimbulkan kesulitan pemenuhan peran dalam pekerjaan. Ghayyur dan Jamal (2012) mengungkapkan work to family conflict adalah jenis resistensi tekanan peran yang muncul dari tempat kerja dan mempengaruhi lingkup keluarga dan saling bertentangan. Penyebab work family conflict berasal dari faktor kepribadian seseorang seperti harga diri, sementara efek dari work family conflict terpusat pada kepuasan seseorang terhadap pekerjaan, dan kesejahteraan keluarga (Rashid et al., 2012). Netemeyer et al., 12
(1996) menyatakan untuk menilai work family conflict terdapat 3 dimensi umum yaitu : 1) Time-based conflict, disebabkan oleh ketidakseimbangan waktu yang dimiliki seorang karyawan dalam organisasi, yaitu karyawan tidak mendapatkan kesempatan untuk lebih memperhatikan kehidupan rumah tangganya. Indikator ini diukur dari persepsi bahwa pekerjaan responden membutuhkan waktu penyelesaian yang membuat responden sullit memenuhi tanggung jawab terhadap keluarga. 2) Strain-based conflict, terjadi dari tanggung jawab berlebih yang dituntut dari organisasi tempat karyawan tersebut bekerja sehingga kebutuhan dan keinginan keluarga menjadi dikesampingkan. Indikator ini diukur dari persepsi mengenai hal yang ingin dilakukan responden dirumah tidak dapat dilakukan karena tuntutan pekerjaan responden. 3) Behavior-based conflict, disebabkan kebiasaan, budaya dan perilaku yang dihadapi karyawan dalam organisasi lingkungan kerja ke lingkungan keluarga. Indikator ini diukur dari persepsi responden dalam menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan pekerjaan, membuat responden harus menyiapkan perubahan rencana bagi kegiatan keluarga. 2.1.3 Kepuasan Kerja (M) Kepuasan kerja adalah rasa bangga dan kepuasan batin yang dicapai ketika seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan tertentu (Wicker, 2011). Kepuasan kerja merupakan sebuah kondisi penilaian pribadi yang ada ditempat kerja 13
(Cekmecelioglu et al., 2012). Kepuasan kerja dapat digambarkan sebagai suatu perasaan atau keadaan pikiran mengenai sifat pekerjaan (Adeniji, 2011). Pada umumnya kepuasan kerja menggambarkan perasaan seorang karyawan tentang pekerjaan mereka (Belias et al., 2015). Kepuasan kerja merupakan faktor penting yang menentukan kesuksesan suatu organisasi (Teck- Hong dan Waheed, 2011). Kepuasan kerja mewakili perasaan negatif dan positif dari persepsi karyawan terhadap pekerjaan yang dihadapinya, yaitu suatu perasaan untuk berprestasi dan meraih kesuksesan di dalam pekerjaan, kepuasan kerja yang tinggi mengimplikasikan bahwa karyawan merasa senang dan nyaman dengan kondisi lingkungan organisasi serta mendapat penghargaan dari jerih payah hasil kerjanya (Aziri, 2011). Mengacu pada Luthans (2005) indikator yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja meliputi : 1) Pekerjaan itu sendiri, merupakan saat karyawan memandang pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik, memberikan kesempatan untuk belajar, dan peluang menerima tanggung jawab. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai pekerjaaan saat ini sesuai dengan keahliannya. 2) Gaji, merupakan jumlah balas jasa financial yang diterima karyawan dan tingkat dimana hal ini yang dipandang sebagai suatu yang adil dalam organisasi. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai gaji yang diterima sudah sesuai dengan beban kerja yang diberikan perusahaan. 14
3) Promosi jabatan, merupakan kesempatan untuk kenaikan jabatan dalam jenjang karir. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai kepuasan dengan kesempatan untuk memperoleh promosi kenaikan jabatan. 4) Pengawas, merupakan kemampuan pengawas dalam memberikan bantuan secara teknis maupun dalam memberikan dukungan kepada karyawannya. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai atasan selalu bersikap adil terhadap karyawannya. 5) Rekan kerja, merupakan suatu tingkatan dimana rekan kerja memberikan dukungan kepada karyawan lain. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai hubunan kerja sama mereka dengan rekan kerja ditempat mereka bekerja sudah terjalin dengan baik. Dalam bukunya Robbins dan Judge (2008:111), ada konsekuensi ketika karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan juga ada konsekuensi ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka. Berikut adalah 4 hal yang bisa saja dilakukan oleh individu karyawan apabila ia merasa tidak puas dalam pekerjaan yang dijalaninya di tempat kerja atau organisasi : 1) Exit (Keluar) Ketidakpuasan kerja ditunjukan karyawan melalui perilaku yang mengarahkan pada meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri. 15
2) Voice (Aspirasi) Ketidakpuasan kerja karyawan ditunjukan dengan usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan termasuk menyarankan perbaikan dengan mendiskusikan masalah pada atasan dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan. 3) Loyalty (Kesetiaan) Ketidakpuasan kerja karyawan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan menunggu membaiknya kondisi internal organisasi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan manajernya untuk melakukan hal yang benar. 4) Neglect (Pengabdian) Ketidakpuasan ditunjukan melalui tindakan secara pasif membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan. 2.1.4 Turnover Intention (Y) Kinerja perusahaan yang telah demikian bagus dapat rusak baik secara langsung maupun tidak langsung karena perilaku karyawan yang sulit dicegah, seperti keinginan untuk pindah (turnover intention) yang berujung pada keputusan karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya (Sijabat, 2011). Dampak negatif turnover adalah dampak terhadap biaya organisasi yang berkaitan dengan rekrutmen, seleksi, serta pelatihan personil baru, ditambah lagi turnover dapat 16
menyebabkan penurunan efektivitas dan produktivitas kinerja karyawan karena telah kehilangan rekan kerjanya (Jha, 2010). Kumar et al., (2011) mengklasifikasikan turnover intention ke dalam dua bagian yaitu turnover yang tidak dapat dicegah, dan turnover yang tidak diinginkan, turnover yang tidak dapat dicegah misalnya karena penyakit, masalah keluarga atau umur pensiun, sedangkan turnover yang tidak diinginkan misalnya karena ketidakmampuan karyawan dalam bekerja, atau merasa tidak nyaman di dalam organisasi, turnover yang tidak diinginkan pada karyawan dengan kompetensi tinggi dan berkualitas dapat terjadi karena masalah organisasi seperti kurangnya pengawasan, miskinnya dukungan dari atasan atau rekan kerja serta konflik peran yang dirasakan individu. Ketika karyawan memiliki niat untuk keluar dari perusahaan maka perusahaan tersebut kehilangan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang berdampak pada efektivitas organisasi (Özbağ et al., 2014). Isu-isu ini perlu ditangani karena mereka secara langsung mempengaruhi kualitas pelayanan klien dan efektivitas organisasi (Shim, 2010). Lum et al., (1998) mengartikan turnover intention sebagai keinginan individu untuk keluar dari organisasi, yaitu keinginan serta evaluasi mengenai posisi seseorang berkenaan dengan ketidakpuasan yang memicu seseorang untuk keluar dan mencari pekerjaan lain, turnover intention dijelaskan sebagai perilaku yang memicu turnover. Widodo (2010) menyatakan bahwa ada tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tinggi-rendahnya keinginan karyawan untuk keluar dari organisasi. Ketiga indikator tesebut adalah sebagai berikut: 17
1) Pikiran untuk keluar dari organisasi, yaitu saat karyawan merasa diperlakukan tidak adil, maka terlintas dalam pikiran mereka untuk keluar dari organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakukan yang tidak adil akan merangsang karyawan berpikir keluar dari organisasi. Indikator ini diukur dari persepsi responden yang berpikir untuk meninggalkan perusahaan. 2) Keinginan untuk mencari pekerjaan baru, yaitu ketidakmampuan suatu organisasi untuk memenuhi kebutuhan karyawan dapat memicu karyawan untuk berpikir mencari alternatif pekerjaan pada organisasi yang lain. Indikator ini diukur dari persepsi responden yang berkeinginan untuk mencari lowongan pekerjaan baru ditempat lain. 3) Keinginan untuk meningalkan organisasi dalam beberapa bulan mendatang, yaitu karyawan memiliki motiavsi untuk mencari pekerjaan baru pada organisasi lain dalam beberapa bulan mendatang yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan mereka (adil terhadap karyawan). Indikator ini diukur dari persepsi responden yang berkeinginan untuk meninggalkan perusahaan dalam beberapa bulan mendatang. Menurut Kumar et al., (2011) niat untuk berhenti atau Turnover intention dapat diklasifikasikan ke dalam 3 bagian yaitu : 1) Perpindahan yang tidak dapat dicegah yaitu perpindahan karyawan yang disebabkan oleh penyakit, masalah keluarga atau pensiun. 18
2) Perpindahan yang diinginkan yaitu niat untuk berhenti yang diinginkan sendiri oleh karyawan karena ketidamampuan karyawan itu sendiri 3) Perpindahan yang tidak diinginkan yaitu mencakup kompeten dan kualitas karyawan meninggalkan pekerjaan mereka karena masalah organisasi seperti kurangnya pengawasan, rendahnya dukungan dan adanya konflik. Isu isu seperti ini perlu ditangani dengan baik karena secara langsung mempengaruhi kualitas layanan dan efektivitas organisasi. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Turnover Intention. Penelitian sebelumnya dilakukan pada 335 responden dari empat Universitas Sektor Publik di Islamabad yang menemukan hasil bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara work family conflict dan turnover intention (Raza-ullah et al., 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Ghayyur dan Jamal (2012) pada karyawan sektor perbankan dan farmasi dengan 200 responden menunjukan bahwa work family conflict memiliki pengaruh positif terhadap turnover intention. Penelitian lain oleh (Nohe dan Sontag, 2014) menguji apakah ada hubungan timbal balik antara work family conflict dan turnover intention yang menemukan bahwa turnover intention dapat meningkat apabila mendapat pengaruh dari work family conflict dalam lima bulan kedepan. Netemeyer et al. (1996) menemukan bahwa work-family conflict terkait langsung dengan turnover intention. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian sebelumnya oleh (Blomme et al., 2010) dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa sejumlah besar 19
karyawan yang berpendidikan tinggi tentang niat untuk meninggalkan organisasi menemukan bahwa work family conflict memiliki pengaruh positif terhadap turnover intention. Berdasarkan penelitian sebelumnya maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: H1 : Work Family Conflict memiliki pengaruh positif terhadap Turnover Intention 2.2.2 Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Turnover Intention Melalui Kepuasan Kerja 2.2.2.1 Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Kepuasan Kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Gao, Shi, Niu, dan Wang (2012) dikatakan bahwa campur tangan pekerjaan pada keluarga serta campur tangan keluarga pada pekerjaan mempunyai hubungan negatif pada kepuasan kerja dan kecerdasan emosional itu melemahkan dampak work family conflict terhadap kepuasan kerja.yuliana dan Yuniasanti (2013) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara work family conflict dengan kepuasan kerja pada polisi wanita di POLRES Kulon Progo. Penelitian oleh Anafarta (2011) melakukan riset yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara work family conflict dan kepuasan kerja yang menghasilkan adanya hubungan yang rendah atau berbanding terbalik antara work family conflict dan kepuasan kerja. Work Family Conflict memiliki hubungan negatif dengan kepuasan kerja (Rantika dan Sunjoyo, 2011). Kepuasan kerja merupakan masalah yang secara umum banyak dihasilkan dari pengujian dalam Work Family Conflict yang menimbulkan ketidakpastian dalam pekerjaan 20
(Lathifah, 2008). Berdasarkan penelitian sebelumnya maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: H2a : Work Family Conflict memiliki pengaruh negatif terhadap kepuasan kerja 2.2.2.2 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Turnover Intention. Waspodo dkk (2013) melakukan penelitian pada PT. Unitex di Bogor yang menemukan bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap turnover intention karyawan. Yucel (2012), menyatakan terdapat pengaruh negatif kepuasan kerja terhadap turnover intention. Adapun faktor instrinsik kepuasan kerja dan faktor ekstrinsik kepuasan kerja dijadikan sebagai alasan utama mengapa karyawan meninggalkan pekerjaan mereka (Mahdi et al., 2012). Sebuah studi empiris baru pada pekerja IT di Amerika Serikat sektor publik menegaskan kembali bahwa proporsi kepuasan kerja, dukungan organisasi, dukungan pengawas, dan penghargaan berbanding terbalik dengan turnover intention (Shropshire dan Kadlec 2012). Namun banyak studi yang dilakukan di negara-negara barat secara konsisten menunjukkan pengaruh negatif dan signifikan antara kepuasan kerja dan turnover intention di kalangan karyawan (Salleh et al., 2012). Kepuasan kerja berpengaruh terhadap keputusan karyawan untuk tinggal atau meninggalkan organisasi, jika karyawan tidak puas dengan pekerjaan mereka, karyawan cenderung akan meninggalkan organisasi, sebaliknya jika karyawan percaya bahwa mereka diperlakukan secara adil dan mendapatkan penghargaan, mereka tidak mungkin meninggalkan organisasi. (Aydogdu dan 21
Asikgil, 2011). Berdasarkan penelitian sebelumnya maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: H2b: Kepuasan kerja memiliki pengaruh negatif terhadap turnover intention 2.3 Kerangka Berfikir Penelitian Gambar 2.1 Kerangka Konsep Pemikiran Kepuasan Kerja H2a (M) H2b Work Family Conflict (X) H1 Turnover Intention (Y) Sumber : H1 : Raza-ullah et al., (2014), Ghayyur dan Jamal (2012), Nohe dan Sontag (2014), Netemeyer et al.(1996) dan Blomme et al. (2010). H2a : Gao, Shi, Niu, dan Wang (2012), Yuliana dan Yuniasanti (2013), Anafarta (2011), Rantika dan Sunjoyo (2011), Lathifah (2008). H2b : Waspodo dkk (2013), Yucel (2012), Mahdi et al. (2012), Shropshire dan Kadlec (2012), Salleh et al. (2012), dan Aydogdu dan Asikgil (2011). 22