BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah yang salah satunya disebabkan oleh pankreas yang tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh (Anonim, 2009). Menurut estimasi WHO jumlah penderita DM di Indonesia akan mengalami peningkatan dari tahun 2000 sampai 2030. Pada tahun 2000 sebanyak 8,4 juta orang, tahun 2003 mencapai 13,8 juta orang dan pada tahun 2030 akan menjadi 21,3 juta orang (Wild, 2004). Berdasarkan estimasi tersebut menyebabkan kasus penderita DM di Indonesia akan berada di peringkat ke-4 di dunia (Anonim, 2008). Prevalensi penderita DM di Indonesia yang diperoleh berdasarkan wawancara akan mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2007 adalah 1,1% dan pada tahun 2013 adalah 1,5%, sedangkan prevalensi penderita DM berdasarkan diagnosis dokter pada tahun 2013 adalah 1,5%. Prevalensi penderita DM cenderung meningkat pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, terjadi peningkatan prevalensi penderita DM sesuai dengan pertambahan umur namun mulai umur 65 tahun terjadi penurunan (Anonim, 2013). Kasus DM yang meningkat tajam pada masyarakat disebabkan karena perubahan pola konsumsi tinggi lemak dan aktivitas fisik yang kurang sehingga menyebabkan overweight dan obesitas (Anonim, 2003). Oleh karena itu, penderita DM harus mampu memilih jenis makanan yang tepat untuk terapi diet dan menghindari overweight dan obesitas yang mungkin terjadi pada penderita DM. Menurut Jenie et al., (2012) kesadaran masyarakat terhadap pangan dan kesehatan mulai meningkat khususnya dengan meningkatnya prevalensi DM di Indonesia. Peningkatan prevalensi DM di Indonesia menyebabkan konsumen tidak hanya menilai pangan dari segi sensorik dan keamanan saja melainkan juga mempertimbangkan efek pangan tersebut bagi kesehatan. Makanan kesehatan dikelompokkan sebagai pangan fungsional. Pangan fungsional merupakan pangan 1
yang bersifat aman dan memiliki efek yang positif terhadap kesehatan, namun menghilangkan komponen yang memiliki efek negatif (Mikulikova et al., 2008). Saat ini jenis pangan fungsional yang sedang dikembangkan adalah prebiotik berupa makanan berbasis susu, buah, sereal, kedelai dan tersedia pula bentuk konsentrat yang dikemas dalam bentuk bubuk, kapsul atau tablet (Reksohadiwanto, 2014). Produk prebiotik yang dikembangkan tersebut memiliki efek positif bagi kesehatan yang berguna untuk terapi diet bagi penderita DM. Prebiotik dideskripsikan sebagai karbohidrat rantai pendek dengan suatu derajat polimerisasi antara 2 10 monosakarida, serta tidak dapat tercerna oleh sistem pencernaan hewan dan manusia (Cummings & Macfarlane, 2002; Haryati, 2011). Prebiotik tersebut berupa disakarida, oligosakarida dan polisakarida yang tidak dapat dicerna. Disakarida meliputi laktulosa, oligosakarida meliputi rafinosa, oligofruktosa, palatimosa, isomaltosa, laktosukrosa dan polisakarida meliputi inulin dan resistant starch (Fotiadis et al., 2008; Gibson et al., 2010). Oligosakarida adalah salah satu prebiotik yang memiliki jenis bervariasi (Durst, 1996). Oligosakarida disebut sebagai prebiotik karena tidak terdegradasi oleh enzim endogeneous yang dihasilkan oleh host sehingga tidak tercerna dan tidak terserap (Haryati et al., 2010). Hal ini menyebabkan laju hidrolisis karbohidrat dan pelepasan glukosa dalam darah lebih lambat, sehingga pangan yang mengandung oligosakarida sebagai prebiotik dapat digunakan untuk mengontrol kenaikan gula darah dan mengurangi resiko penyakit DM (Haliza et al., 2006). Oligosakarida mempunyai aktivitas prebiotik karena selain tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan atas, oligosakarida mampu menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria di dalam kolon (Weese, 2002; Maning & Gibson, 2004). Selain itu oligosakarida juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Apabila jumlah Lactobacilli meningkat maka pertumbuhan bakteri patogenik seperti strain anggota spesies E. coli dan beberapa bakteri patogen lain seperti strain anggota spesies Clostridium perfingens, strain anggota genus Veillonella dan Proteus akan terhambat (Possemiers et al., 2009). 2
Saat ini prebiotik telah tersedia secara komersial berupa fruktooligosakarida, iso-malto-oligosakarida, galakto-oligosakarida, trans-galaktooligosakarida, inulin, dan fruktooligosakarida (Haryati, 2011). Sebenarnya senyawa oligosakarida tersebut secara alami terdapat pada bawang, Jerusalem artichoke, rebung, akar dahlia, pisang, umbi-umbian dan kacang-kacangan (Franck, 2000; Haryati, 2011). Beberapa umbi-umbian lokal yang diketahui mengandung oligosakarida yang berpotensi memiliki aktivitas prebiotik adalah umbi garut, umbi ganyong (Krisnayudha, 2007) dan ubi jalar (Haryati et al., 2010). Keanekaragaman jenis umbi di Indonesia sangat tinggi (Richana & Sunarti, 2004). Umbi tersebut memiliki cadangan makanan dalam bentuk polisakarida yang berupa pati, dan sebagian kecil oligosakarida dan monosakarida (Price, 2005). Umbi-umbian di Indonesia dibagi menjadi kelompok umbi mayor dan umbi minor. Umbi mayor meliputi ubi jalar dan singkong (Prana, 2008) dan umbi minor meliputi gembili, garut, talas, ganyong (Utami, 2009), suweg, dan kimpul (Saputro & Estiasih, 2003). Saat ini, pemanfaatan umbi mayor sebagai sumber pangan lebih besar daripada umbi minor (Sunarti & Richana, 2003). Umbi minor mengandung serat pangan dan polisakarida larut air yang mampu menurunkan kadar gula darah seperti umbi gembili, umbi kimpul, umbi garut, umbi ubi kelapa, dan umbi gadung (Saputro & Estiasih, 2015). Oleh karena itu perlu dikembangkan penelitian mengenai umbi minor sebagai bahan pangan lokal yang berpotensi sebagai pangan fungsional dan salah satunya adalah gembili (Rimbawan & Nurbayani, 2013). Kandungan oligosakarida dalam umbi gembili ini diharapkan memiliki aktivitas prebiotik sehinggaa dapat menurunkan kadar glukosa darah. 3
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang timbul untuk penelitian ini adalah : 1. Apakah jenis oligosakarida yang terkandung dalam tepung umbi gembili (Dioscorea esculenta (Lour.) Burkill)? 2. Bagaimana pengaruh ekstrak oligosakarida tepung umbi gembili bakteri kolon dari feses manusia (Lactobacilli dan Bifidobacteria,)? 3. Bagaimana pengaruh ekstrak oligosakarida tepung umbi gembili bakteri patogen kolon dari feses manusia (Clostridium dan Bacteroides)? 4. Bagaimana nilai indeks prebiotik yang dihasilkan dari oligosakarida yang diisolasi dari tepung umbi gembili (Dioscorea esculenta (Lour.) Burkill)? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui jenis oligosakarida yang terkandung dalam tepung umbi gembili (Dioscorea esculenta (Lour.) Burkill). 2. Mengetahui pengaruh ekstrak oligosakarida tepung umbi gembili bakteri probiotik kolon dari feses manusia (Lactobacilli dan Bifidobacteria). 3. Mengetahui pengaruh ekstrak oligosakarida tepung umbi gembili bakteri patogen kolon dari feses manusia (Clostridium dan Bacteroides). 4. Mengetahui nilai indeks prebiotik dari oligosakarida tepung umbi gembili (Dioscorea esculenta (Lour.) Burkill) berdasarkan pada 4
pertumbuhan bakteri probiotik dan bakteri patogenik dari feses manusia. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan potensi gembili sebagai pangan fungsional yang belum dimanfaatkan secara optimal. melalui ekstraksi oligosakaridanya. Potensi gembili ini diharapkan dapat digunakan sebagai prebiotik dan menjadi salah satu alternatif pangan fungsional terapi diet bagi penderita DM. 5