BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi

POKOK-POKOK PIKIRAN KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS 2017

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam APBN ISBN:

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembar

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

I. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

PELAPORAN DATA REALISASI PENDAPATAN, BELANJA, DAN PEMBIAYAAN YANG BERSUMBER DARI DANA TRANSFER

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

Transkripsi:

digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah memiliki peluang lebih besar untuk mengatur dan mengelola berbagai urusan penyelenggaraan pemerintah bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah yang bersangkutan sesuai dengan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang sudah ditetapkan oleh pemeritah pusat. Sedangkan pada UU No. 33 Tahun 2004, menuntut kesiapan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki guna meningkatkan sumber-sumber penerimaan daerah. Sumber-sumber penerimaan tersebut antara lain mencakup pengenaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman dan Hibah. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah diatur sendiri dalam UU No. 28 Tahun 2009. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, semua kabupaten/kota diharapkan dapat memungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk sektor perdesaan dan perkotaan pada tahun 2014 mendatang. Pada tahun yang sama, pajak rokok juga akan dipungut di tingkat provinsi (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:278). 1

digilib.uns.ac.id 2 Dana APBN (Pemerintah Pusat) yang ditransfer kepada Pemerintah Daerah (APBD) dalam satu kesatuan sistem transfer yang utuh, yang digunakan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pusat dan daerah (vertical imbalance) dan mengurangi kesenjangan pendanaan urusan pemerintahan antardaerah disebut Dana Perimbangan. Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan komponen pembentukan Dana Perimbangan. Selain itu, pemerintah daerah juga mendapatkan Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat dalam APBN setiap tahunnya. Dana Otonomi Khusus dialokasikan oleh Pemerintah Pusat guna mendanai pelaksanaan otonomi khusu di Provinsi Aceh, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan Dana Penyesuaian dialokasikan guna mendanai program peningkatan kualitas pendidikan (misalnya tunjangan profesi guru Pegawai Negeri Sipil Daerah atau PNSD, dana tambahan penghasilan guru PNSD, dan Bantuan Operasional Sekolah atau BOS), Dana Insentif Daerah, dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:278). Perkembangan pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat dilihat dari: (1) Pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah; (2) Pelaksanaan anggaran transfer ke daerah; (3) Pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi daerah; serta (4) Pelaksanaan kebijakan Pinjaman Daerah, Hibah ke daerah, dan Investasi Daerah (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:279-288).

digilib.uns.ac.id 3 Alokasi anggaran transfer ke daerah pada tahun 2008 mencapai Rp 292,4 triliun (5,9% dari PDB) dan menjadi Rp 529,4 triliun pada tahun 2013 (5,7% dari PDB). Alokasi anggaran transfer ke daerah pada tahun 2013 tersebut lebih tinggi 10,2% bila dibandingan dengan alokasi anggaran pada tahun 2012 yang hanya sebesar Rp 480,6 triliun. Proporsi Belanja Negara (BN) yang digunakan untuk transfer ke daerah mengalami peningkatan sebesar 1% dari 29,7% pada tahun 2008 menjadi 30,7% pada tahun 2013. Perkembangan transfer ke daerah tahun 2008 2013 dapat dilihat pada Tabel 1.1 dan Gambar 1.1.

Tabel 1. 1 Perkembangan Transfer ke Daerah Tahun 2008 2013 (triliun rupiah) I. Dana Perimbangan URAIAN 2008 %thd BN a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khuus 2009 %thd BN 2010 %thd BN 2011 %thd BN 2012 %thd BN 2013 %thd BN (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) 278,7 78,4 179,5 20,8 28,3 8,0 18,2 2,1 287,3 76,1 186,4 24,7 30,6 8,1 19,9 2,6 316,7 92,2 203,6 21,0 30,4 8,8 19,5 2,0 347,2 96,9 225,5 24,8 26,8 7,5 17,4 1,9 411,3 111,5 273,8 25,9 27,6 7,5 18,4 1,7 445,5 102,7 311,1 31,7 25,8 5,9 18,0 1,8 II. Dana Otsus dan Penyesuaian a. Dana Otonomi Khusus b. Dana Penyesuaian 13,7 7,5 6,2 1,4 0,8 0,6 21,3 9,5 11,8 2,3 1,0 1,3 28,0 9,1 18,9 2,7 0,9 1,8 64,1 10,4 53,7 4,9 0,8 4,1 69,4 12,0 57,4 4,6 0,8 3,8 83,8 13,4 70,4 4,9 0,8 4,1 Jumlah 292,4 29,7 308,6 32,9 344,7 33,1 411,3 31,8 480,6 32,2 529,4 30,7 Catatan: BN adalah Belanja Negara Sumber : Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, hal. 281 4

digilib.uns.ac.id 5 Gambar 1.1 Perkembangan Transfer ke Daerah Tahun 2008-2013 Sumber : diolah dari Tabel 1.1 Pembangunan yang dilakukan di daerah kabupaten/kota merupakan bagian dari pembangunan nasional, yang dilaksanakan secara bertahap untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional. Pembangunan tersebut membutuhkan sejumlah dana dalam pelaksanaannya. Pembangunan di daerah membutuhkan dana yang bisa diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan implementasi dari penerapan kebijakan desentralisasi fiskal dan operasionalisasi pelaksanaan berbagai program pemerintah daerah. Berbagai potensi yang menjadi sumber-sumber pendapatan daerah harus dapat dikelola secara optimal oleh daerah terkait dengan peran penting dari APBD, sedangkan bidang atau fungsi yang menjadi prioritas pendanaan dari belanja daerah harus didasarkan pada kebutuhan riil yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.

digilib.uns.ac.id 6 APBD memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan ekonomi daerah melalui kebijakan di sisi pendapatan daerah (kebijakan yang terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah akan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan ekonomi di daerah) dan sisi Belanja Daerah (dana APBD yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa serta belanja modal telah memberikan pengaruh terhadap kegiatan investasi dan perekonomian daerah). Sebagian besar dari pelaksanaan belanja modal menghasilkan keluaran atau output berupa infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik yang mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Sebagian dari belanja barang dan jasa akan menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat daerah (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:295). Dengan seiring meningkatnya investasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah melalui Masterplan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), maka pertumbuhan ekonomi Indonesia juga menunjukkan angka yang positif dan relatif stabil. Secara umum, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 sampai 2012 ditopang oleh pertumbuhan industri non-migas dan industri pengolahan. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,5% dan menempatkan Indonesia sebagai negara Asia ketiga setelah China dan India yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi. Apabila dilihat menurut provinsi, pada tahun 2011, ada tiga puluh satu provinsi yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi positif dan dua provinsi yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi negatif. Sedangkan pada tahun 2012, sebagian besar pertumbuhan

digilib.uns.ac.id 7 ekonomi provinsi di Indonesia mengalami penguatan, dimana sembilan belas provinsi memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan ekonomi nasional dan satu provinsi memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi negatif. Untuk lebih jelas, perhatikan Gambar 1.2, Gambar 1.3 dan Gambar 1.4 berikut ini. Gambar 1.2 Pertumbuhan Ekonomi, Pertumbuhan PDB, Industri Non-Migas dan Industri Pengolahan Tahun 2008 2012 (persen) Sumber: Bappenas dan BPS RI. (2013). Data dan Informasi Kinerja Pembangunan 2004-2012. hal.22 (data diolah)

Gambar 1.3 Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2011 (persen) Sumber: Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, hal. 296 8

Gambar 1.4 Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2012 Sumber: Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, hal. 297 9

digilib.uns.ac.id Selain dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi daerah juga dapat dilihat dari indikator kesejahteraan masyarakat (meliputi pendapatan APBD per kapita, tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan). Dari tahun 2010 sampai 2012, telah terjadi proses catching-up peningkatan kesejahteraan masyarakat dari beberapa daerah yang relatif masih tertinggal, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, dan Gorontalo. Sedangkan untuk wilayah Jawa-Bali masih memiliki tingkat kemiskinan yang relatif rendah dan cenderung tidak mengalami perubahan. Indikator pendapatan daerah per kapita menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antarprovinsi di Indonesia. Pada tahun 2012, Jawa Barat menjadi provinsi yang memiliki pendapatan daerah per kapita paling rendah, yaitu sebesar Rp 1.183.000,00 per jiwa, sedangkan Papua Barat menjadi provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita paling tinggi, yaitu sebesar Rp 14.280.000,00 per jiwa. Indikator tingkat kemiskinan pada tahun 2012 menempatkan Papua sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi yaitu sebesar 30,7%. Sedangkan DKI Jakarta memiliki tingkat kemiskinan sebesar 3,7%. Pada tahun 2012, Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta memiliki tingkat pengangguran yang relatif tinggi, yaitu masing-masing 10,1% dan 9,9%. Perkembangan indikator kesejahteraan masyarakat daerah dapat dilihat dari Tabel 1.2 (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:297). 16

digilib.uns.ac.id 17 Tabel 1.2 Perbandingan Pendapatan APBD per Kapita dengan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Tahun 2010 2012 Provinsi Pend APBD/Kapita (ribu rupiah) Tingkat Kemiskinan (%) Tingkat Pengangguran (%) 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Aceh 3.492 4.109 4.714 21,0 19,6 18,6 8,4 7,4 9,1 Sumatera Utara 1.521 1.820 2.280 11,3 11,3 10,4 7,4 6,4 6,2 Sumatera Barat 2.144 2.399 2.891 9,5 9,0 8,0 7,0 6,5 6,5 Riau 2.819 3.290 3.672 8,7 8,5 8,1 8,7 5,3 4,3 Jambi 2.241 2.545 2.933 8,3 8,7 8,3 5,4 4,0 3,2 Sumatera Selatan 1.926 2.248 2.568 15,5 14,2 13,5 6,7 5,8 5,7 Bengkulu 2.920 3.240 3.641 18,3 17,5 17,5 4,6 2,4 3,6 Lampung 1.236 1.555 1.798 18,9 16,9 15,7 5,6 5,8 5,2 DKI Jakarta 2.308 2.714 3.149 3,5 3,8 3,7 11,1 10,8 9,9 Jawa Barat 855 945 1.183 11,3 10,7 9,9 10,3 9,8 9,1 Jawa Tengah 1.018 1.145 1466 16,6 15,8 15,0 6,2 5,9 5,6 DI Yogyakarta 1.490 1.550 1.990 16,8 16,1 15,9 5,7 4,0 4,0 Kawa Timur 1.053 1.237 1.439 15,3 14,2 13,1 4,3 4,2 4,1 Kalimantan Barat 2.014 2.318 2.773 9,0 8,6 8,0 4,6 3,9 3,5 Kalimantan Tengah 3.978 4.218 4.815 6,8 6,6 6,2 4,1 2,6 3,2 Kalimantan Selatan 2.647 2.905 3.241 5,2 5,3 5,0 5,3 5,2 5,3 Kalimantan Timur 6.279 6.838 7.577 7,7 6,8 6,4 10,1 9,8 8,9 Sulawesi Utara 2.900 3.223 3621 9,1 8,5 7,6 9,6 8,6 7,8 Sulawesi Tengah 2.419 2.644 3.174 18,1 15,8 14,9 4,6 4,0 3,9 Sulawesi Selatan 1.828 2.068 2.490 11,6 10,3 9,8 8,4 6,6 5,9 Sulawesi Tenggara 2.918 3.170 3.792 17,1 14,6 13,1 4,6 3,1 4,0 Bali 1.971 2.200 2.850 4,9 4,2 4,0 3,1 2,3 2,0 Nusa Tenggara Barat 1.524 1.802 2.064 21,6 19,7 18,0 5,3 5,3 5,3 Nusa Tenggara Timur 1.867 2.213 2659 23,0 21,2 20,4 3,3 2,7 2,9 Maluku 3.513 4.052 4.259 27,7 23,0 20,8 10,0 7,4 7,5 Papua 7.456 8.255 8.982 36,8 32,0 30,7 3,6 3,9 3,6 Maluku Utara 4.017 4.484 5.184 9,4 9,2 8,1 6,0 5,6 4,8 Banten 859 1.037 1.215 7,2 6,3 5,7 13,7 13,1 10,1 Bangka Belitung 2.892 3.108 3.819 6,5 5,8 5,4 5,6 3,6 3,5 Gorontalo 2.686 3.051 3.478 23,2 18,8 17,2 5,2 4,3 4,4 Kepulauan Riau 3.716 4.033 4.471 8,1 7,4 6,8 6,9 4,8 5,4 Papua Barat 10.903 12.795 14.280 34,9 31,9 27,0 7,7 8,9 5,5 Sulawesi Barat 2.187 2.718 3.099 13,6 13,9 13,0 3,3 2,8 2,1 Sumber: Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 (data diolah)

digilib.uns.ac.id 18 Dari Tabel 1.2, Gambar 1.3 dan Gambar 1.4, perkembangan tingkat pertumbuhan ekonomi dan indikator kesejahteraan masyarakat provinsi Jawa Tengah menunjukkan hasil yang cukup baik. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan sosial-budaya kabupaten/kota di Jawa Tengah. Indikator pertumbuhan ekonomi berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menunjukkan kondisi kabupaten/kota di Jawa Tengah yang positif. Pada tahun 2012, Kabupaten Kudus menjadi daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi, diikuti oleh Kabupaten Sragen (6,60%), Kota Magelang (6,51%), Kota Semarang (6,42%), Kabupaten Purbalingga (6,26%), Kabupaten Grobogan (6,16%), Kota Surakarta (6,12%), Kabupaten Demak (4,64%), Kabupaten Rembang (4,88%) dan Kabupaten Blora (4,99%) Sedangkan indikator tingkat kemiskinan menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah menunjukkan angka yang berfluktuatif dari tahun 2008 sampai 2012. Pada tahun 2012, Kabupaten Wonosobo sebesar 22,50% dan 24,21% tahun 2011. Kabupaten Kebumen pada tahun 2012 sebesar 22,40% dan tahun 2011 sebesar 20,38%. Kabupaten Rembang tahun 2012 sebesar 21,88% dan 23,71% tahun 2011. Kota Surakarta tahun 2012 sebesar 12,01% dan tahun 2011 sebesar 12,90%. Kota Magelang sebesar 10,31% tahun 2012 dan 11,06% tahun 2011. Kota Tegal tahun 2012 sebesar 10,04% dan 10,81% pada tahun 2011. Indikator selanjutnya adalah keuangan daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah. Data realisasi menunjukkan bahwa kemampuan daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan

digilib.uns.ac.id 19 karena besarnya penerimaan daerah khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cenderung lebih kecil bila dibandingkan dengan pengeluaraan daerahnya. Pada tahun 2012, Kabupaten Cilacap memiliki PAD sebesar Rp 196.673.442 ribu dengan realisasi belanja daerah sebesar Rp 1.792.586.829 ribu. Pada tahun yang sama, Kabupaten Banyumas memiliki PAD sebesar Rp 242.106.509 ribu dan realisasi belanja daerah sebesar Rp 1.732.236.268 ribu. Kota Surakarta memiliki PAD sebesar Rp 231.972.100 ribu dengan realisasi belanja daerah sebesar Rp 1.145.170.897 ribu. Kota Semarang memiliki PAD sebesar Rp 563.143.816 ribu dengan realisasi belanja daerah sebesar Rp 2.482.015.295 ribu. Dengan adanya uraian di atas, maka dampak pemberlakuan kebijakan desentralisasi fiskal dari tiap Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah menunjukkan hasil yang berbeda. Hal tersebut tergantung dari upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota setempat dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan daerah guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan. Oleh karena itu, peneliti akan Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan ekonomi dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah?

digilib.uns.ac.id 20 2. Bagaimanakah pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah? 3. Bagaimanakah pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. 2. Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. 3. Untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. D. Manfaat Penelitian 1. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan referensi kepada pihak yang berkepentingan dan masyarakat untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota se-jawa Tengah. 2. Memberikan sumbangan terhadap pemikiran dan perkembangan ilmu ekonomi khususnya mengenai pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal di Jawa Tengah dan umumnya di Indonesia. 3. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

digilib.uns.ac.id 21 4. Diharapkan penelitian ini mampu memberikan masukan dan sumbangan pemikiran kepada instansi terkait dalam penyusunan perencanaan dan kebijakan pembangunan daerah agar dapat menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat.