digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah memiliki peluang lebih besar untuk mengatur dan mengelola berbagai urusan penyelenggaraan pemerintah bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah yang bersangkutan sesuai dengan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang sudah ditetapkan oleh pemeritah pusat. Sedangkan pada UU No. 33 Tahun 2004, menuntut kesiapan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki guna meningkatkan sumber-sumber penerimaan daerah. Sumber-sumber penerimaan tersebut antara lain mencakup pengenaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman dan Hibah. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah diatur sendiri dalam UU No. 28 Tahun 2009. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, semua kabupaten/kota diharapkan dapat memungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk sektor perdesaan dan perkotaan pada tahun 2014 mendatang. Pada tahun yang sama, pajak rokok juga akan dipungut di tingkat provinsi (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:278). 1
digilib.uns.ac.id 2 Dana APBN (Pemerintah Pusat) yang ditransfer kepada Pemerintah Daerah (APBD) dalam satu kesatuan sistem transfer yang utuh, yang digunakan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pusat dan daerah (vertical imbalance) dan mengurangi kesenjangan pendanaan urusan pemerintahan antardaerah disebut Dana Perimbangan. Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan komponen pembentukan Dana Perimbangan. Selain itu, pemerintah daerah juga mendapatkan Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat dalam APBN setiap tahunnya. Dana Otonomi Khusus dialokasikan oleh Pemerintah Pusat guna mendanai pelaksanaan otonomi khusu di Provinsi Aceh, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan Dana Penyesuaian dialokasikan guna mendanai program peningkatan kualitas pendidikan (misalnya tunjangan profesi guru Pegawai Negeri Sipil Daerah atau PNSD, dana tambahan penghasilan guru PNSD, dan Bantuan Operasional Sekolah atau BOS), Dana Insentif Daerah, dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:278). Perkembangan pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat dilihat dari: (1) Pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah; (2) Pelaksanaan anggaran transfer ke daerah; (3) Pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi daerah; serta (4) Pelaksanaan kebijakan Pinjaman Daerah, Hibah ke daerah, dan Investasi Daerah (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:279-288).
digilib.uns.ac.id 3 Alokasi anggaran transfer ke daerah pada tahun 2008 mencapai Rp 292,4 triliun (5,9% dari PDB) dan menjadi Rp 529,4 triliun pada tahun 2013 (5,7% dari PDB). Alokasi anggaran transfer ke daerah pada tahun 2013 tersebut lebih tinggi 10,2% bila dibandingan dengan alokasi anggaran pada tahun 2012 yang hanya sebesar Rp 480,6 triliun. Proporsi Belanja Negara (BN) yang digunakan untuk transfer ke daerah mengalami peningkatan sebesar 1% dari 29,7% pada tahun 2008 menjadi 30,7% pada tahun 2013. Perkembangan transfer ke daerah tahun 2008 2013 dapat dilihat pada Tabel 1.1 dan Gambar 1.1.
Tabel 1. 1 Perkembangan Transfer ke Daerah Tahun 2008 2013 (triliun rupiah) I. Dana Perimbangan URAIAN 2008 %thd BN a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khuus 2009 %thd BN 2010 %thd BN 2011 %thd BN 2012 %thd BN 2013 %thd BN (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) 278,7 78,4 179,5 20,8 28,3 8,0 18,2 2,1 287,3 76,1 186,4 24,7 30,6 8,1 19,9 2,6 316,7 92,2 203,6 21,0 30,4 8,8 19,5 2,0 347,2 96,9 225,5 24,8 26,8 7,5 17,4 1,9 411,3 111,5 273,8 25,9 27,6 7,5 18,4 1,7 445,5 102,7 311,1 31,7 25,8 5,9 18,0 1,8 II. Dana Otsus dan Penyesuaian a. Dana Otonomi Khusus b. Dana Penyesuaian 13,7 7,5 6,2 1,4 0,8 0,6 21,3 9,5 11,8 2,3 1,0 1,3 28,0 9,1 18,9 2,7 0,9 1,8 64,1 10,4 53,7 4,9 0,8 4,1 69,4 12,0 57,4 4,6 0,8 3,8 83,8 13,4 70,4 4,9 0,8 4,1 Jumlah 292,4 29,7 308,6 32,9 344,7 33,1 411,3 31,8 480,6 32,2 529,4 30,7 Catatan: BN adalah Belanja Negara Sumber : Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, hal. 281 4
digilib.uns.ac.id 5 Gambar 1.1 Perkembangan Transfer ke Daerah Tahun 2008-2013 Sumber : diolah dari Tabel 1.1 Pembangunan yang dilakukan di daerah kabupaten/kota merupakan bagian dari pembangunan nasional, yang dilaksanakan secara bertahap untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional. Pembangunan tersebut membutuhkan sejumlah dana dalam pelaksanaannya. Pembangunan di daerah membutuhkan dana yang bisa diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan implementasi dari penerapan kebijakan desentralisasi fiskal dan operasionalisasi pelaksanaan berbagai program pemerintah daerah. Berbagai potensi yang menjadi sumber-sumber pendapatan daerah harus dapat dikelola secara optimal oleh daerah terkait dengan peran penting dari APBD, sedangkan bidang atau fungsi yang menjadi prioritas pendanaan dari belanja daerah harus didasarkan pada kebutuhan riil yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.
digilib.uns.ac.id 6 APBD memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan ekonomi daerah melalui kebijakan di sisi pendapatan daerah (kebijakan yang terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah akan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan ekonomi di daerah) dan sisi Belanja Daerah (dana APBD yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa serta belanja modal telah memberikan pengaruh terhadap kegiatan investasi dan perekonomian daerah). Sebagian besar dari pelaksanaan belanja modal menghasilkan keluaran atau output berupa infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik yang mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Sebagian dari belanja barang dan jasa akan menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat daerah (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:295). Dengan seiring meningkatnya investasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah melalui Masterplan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), maka pertumbuhan ekonomi Indonesia juga menunjukkan angka yang positif dan relatif stabil. Secara umum, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 sampai 2012 ditopang oleh pertumbuhan industri non-migas dan industri pengolahan. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,5% dan menempatkan Indonesia sebagai negara Asia ketiga setelah China dan India yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi. Apabila dilihat menurut provinsi, pada tahun 2011, ada tiga puluh satu provinsi yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi positif dan dua provinsi yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi negatif. Sedangkan pada tahun 2012, sebagian besar pertumbuhan
digilib.uns.ac.id 7 ekonomi provinsi di Indonesia mengalami penguatan, dimana sembilan belas provinsi memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan ekonomi nasional dan satu provinsi memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi negatif. Untuk lebih jelas, perhatikan Gambar 1.2, Gambar 1.3 dan Gambar 1.4 berikut ini. Gambar 1.2 Pertumbuhan Ekonomi, Pertumbuhan PDB, Industri Non-Migas dan Industri Pengolahan Tahun 2008 2012 (persen) Sumber: Bappenas dan BPS RI. (2013). Data dan Informasi Kinerja Pembangunan 2004-2012. hal.22 (data diolah)
Gambar 1.3 Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2011 (persen) Sumber: Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, hal. 296 8
Gambar 1.4 Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2012 Sumber: Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, hal. 297 9
digilib.uns.ac.id Selain dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi daerah juga dapat dilihat dari indikator kesejahteraan masyarakat (meliputi pendapatan APBD per kapita, tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan). Dari tahun 2010 sampai 2012, telah terjadi proses catching-up peningkatan kesejahteraan masyarakat dari beberapa daerah yang relatif masih tertinggal, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, dan Gorontalo. Sedangkan untuk wilayah Jawa-Bali masih memiliki tingkat kemiskinan yang relatif rendah dan cenderung tidak mengalami perubahan. Indikator pendapatan daerah per kapita menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antarprovinsi di Indonesia. Pada tahun 2012, Jawa Barat menjadi provinsi yang memiliki pendapatan daerah per kapita paling rendah, yaitu sebesar Rp 1.183.000,00 per jiwa, sedangkan Papua Barat menjadi provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita paling tinggi, yaitu sebesar Rp 14.280.000,00 per jiwa. Indikator tingkat kemiskinan pada tahun 2012 menempatkan Papua sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi yaitu sebesar 30,7%. Sedangkan DKI Jakarta memiliki tingkat kemiskinan sebesar 3,7%. Pada tahun 2012, Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta memiliki tingkat pengangguran yang relatif tinggi, yaitu masing-masing 10,1% dan 9,9%. Perkembangan indikator kesejahteraan masyarakat daerah dapat dilihat dari Tabel 1.2 (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:297). 16
digilib.uns.ac.id 17 Tabel 1.2 Perbandingan Pendapatan APBD per Kapita dengan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Tahun 2010 2012 Provinsi Pend APBD/Kapita (ribu rupiah) Tingkat Kemiskinan (%) Tingkat Pengangguran (%) 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Aceh 3.492 4.109 4.714 21,0 19,6 18,6 8,4 7,4 9,1 Sumatera Utara 1.521 1.820 2.280 11,3 11,3 10,4 7,4 6,4 6,2 Sumatera Barat 2.144 2.399 2.891 9,5 9,0 8,0 7,0 6,5 6,5 Riau 2.819 3.290 3.672 8,7 8,5 8,1 8,7 5,3 4,3 Jambi 2.241 2.545 2.933 8,3 8,7 8,3 5,4 4,0 3,2 Sumatera Selatan 1.926 2.248 2.568 15,5 14,2 13,5 6,7 5,8 5,7 Bengkulu 2.920 3.240 3.641 18,3 17,5 17,5 4,6 2,4 3,6 Lampung 1.236 1.555 1.798 18,9 16,9 15,7 5,6 5,8 5,2 DKI Jakarta 2.308 2.714 3.149 3,5 3,8 3,7 11,1 10,8 9,9 Jawa Barat 855 945 1.183 11,3 10,7 9,9 10,3 9,8 9,1 Jawa Tengah 1.018 1.145 1466 16,6 15,8 15,0 6,2 5,9 5,6 DI Yogyakarta 1.490 1.550 1.990 16,8 16,1 15,9 5,7 4,0 4,0 Kawa Timur 1.053 1.237 1.439 15,3 14,2 13,1 4,3 4,2 4,1 Kalimantan Barat 2.014 2.318 2.773 9,0 8,6 8,0 4,6 3,9 3,5 Kalimantan Tengah 3.978 4.218 4.815 6,8 6,6 6,2 4,1 2,6 3,2 Kalimantan Selatan 2.647 2.905 3.241 5,2 5,3 5,0 5,3 5,2 5,3 Kalimantan Timur 6.279 6.838 7.577 7,7 6,8 6,4 10,1 9,8 8,9 Sulawesi Utara 2.900 3.223 3621 9,1 8,5 7,6 9,6 8,6 7,8 Sulawesi Tengah 2.419 2.644 3.174 18,1 15,8 14,9 4,6 4,0 3,9 Sulawesi Selatan 1.828 2.068 2.490 11,6 10,3 9,8 8,4 6,6 5,9 Sulawesi Tenggara 2.918 3.170 3.792 17,1 14,6 13,1 4,6 3,1 4,0 Bali 1.971 2.200 2.850 4,9 4,2 4,0 3,1 2,3 2,0 Nusa Tenggara Barat 1.524 1.802 2.064 21,6 19,7 18,0 5,3 5,3 5,3 Nusa Tenggara Timur 1.867 2.213 2659 23,0 21,2 20,4 3,3 2,7 2,9 Maluku 3.513 4.052 4.259 27,7 23,0 20,8 10,0 7,4 7,5 Papua 7.456 8.255 8.982 36,8 32,0 30,7 3,6 3,9 3,6 Maluku Utara 4.017 4.484 5.184 9,4 9,2 8,1 6,0 5,6 4,8 Banten 859 1.037 1.215 7,2 6,3 5,7 13,7 13,1 10,1 Bangka Belitung 2.892 3.108 3.819 6,5 5,8 5,4 5,6 3,6 3,5 Gorontalo 2.686 3.051 3.478 23,2 18,8 17,2 5,2 4,3 4,4 Kepulauan Riau 3.716 4.033 4.471 8,1 7,4 6,8 6,9 4,8 5,4 Papua Barat 10.903 12.795 14.280 34,9 31,9 27,0 7,7 8,9 5,5 Sulawesi Barat 2.187 2.718 3.099 13,6 13,9 13,0 3,3 2,8 2,1 Sumber: Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 (data diolah)
digilib.uns.ac.id 18 Dari Tabel 1.2, Gambar 1.3 dan Gambar 1.4, perkembangan tingkat pertumbuhan ekonomi dan indikator kesejahteraan masyarakat provinsi Jawa Tengah menunjukkan hasil yang cukup baik. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan sosial-budaya kabupaten/kota di Jawa Tengah. Indikator pertumbuhan ekonomi berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menunjukkan kondisi kabupaten/kota di Jawa Tengah yang positif. Pada tahun 2012, Kabupaten Kudus menjadi daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi, diikuti oleh Kabupaten Sragen (6,60%), Kota Magelang (6,51%), Kota Semarang (6,42%), Kabupaten Purbalingga (6,26%), Kabupaten Grobogan (6,16%), Kota Surakarta (6,12%), Kabupaten Demak (4,64%), Kabupaten Rembang (4,88%) dan Kabupaten Blora (4,99%) Sedangkan indikator tingkat kemiskinan menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah menunjukkan angka yang berfluktuatif dari tahun 2008 sampai 2012. Pada tahun 2012, Kabupaten Wonosobo sebesar 22,50% dan 24,21% tahun 2011. Kabupaten Kebumen pada tahun 2012 sebesar 22,40% dan tahun 2011 sebesar 20,38%. Kabupaten Rembang tahun 2012 sebesar 21,88% dan 23,71% tahun 2011. Kota Surakarta tahun 2012 sebesar 12,01% dan tahun 2011 sebesar 12,90%. Kota Magelang sebesar 10,31% tahun 2012 dan 11,06% tahun 2011. Kota Tegal tahun 2012 sebesar 10,04% dan 10,81% pada tahun 2011. Indikator selanjutnya adalah keuangan daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah. Data realisasi menunjukkan bahwa kemampuan daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan
digilib.uns.ac.id 19 karena besarnya penerimaan daerah khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cenderung lebih kecil bila dibandingkan dengan pengeluaraan daerahnya. Pada tahun 2012, Kabupaten Cilacap memiliki PAD sebesar Rp 196.673.442 ribu dengan realisasi belanja daerah sebesar Rp 1.792.586.829 ribu. Pada tahun yang sama, Kabupaten Banyumas memiliki PAD sebesar Rp 242.106.509 ribu dan realisasi belanja daerah sebesar Rp 1.732.236.268 ribu. Kota Surakarta memiliki PAD sebesar Rp 231.972.100 ribu dengan realisasi belanja daerah sebesar Rp 1.145.170.897 ribu. Kota Semarang memiliki PAD sebesar Rp 563.143.816 ribu dengan realisasi belanja daerah sebesar Rp 2.482.015.295 ribu. Dengan adanya uraian di atas, maka dampak pemberlakuan kebijakan desentralisasi fiskal dari tiap Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah menunjukkan hasil yang berbeda. Hal tersebut tergantung dari upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota setempat dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan daerah guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan. Oleh karena itu, peneliti akan Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan ekonomi dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah?
digilib.uns.ac.id 20 2. Bagaimanakah pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah? 3. Bagaimanakah pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. 2. Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. 3. Untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. D. Manfaat Penelitian 1. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan referensi kepada pihak yang berkepentingan dan masyarakat untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota se-jawa Tengah. 2. Memberikan sumbangan terhadap pemikiran dan perkembangan ilmu ekonomi khususnya mengenai pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal di Jawa Tengah dan umumnya di Indonesia. 3. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
digilib.uns.ac.id 21 4. Diharapkan penelitian ini mampu memberikan masukan dan sumbangan pemikiran kepada instansi terkait dalam penyusunan perencanaan dan kebijakan pembangunan daerah agar dapat menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat.