Riwayat Perkembangan Rancangan Bangunan Suci (Pura) di Bali

dokumen-dokumen yang mirip
Keberlanjutan (Sustainabilitas) Pasar Tradisional di Bali

TIPOLOGI BANGUNAN SUCI PADA KOMPLEK PURA

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan Pura Tanah Lot (yang selanjutnya disingkat GPTL)

Bagian II Pelaksanaan Kegiatan Program IAI Daerah Bali (Periode )

BAB 4 TINJAUAN DAN PERBANDINGAN ARSITEKTUR PURA MAOSPAIT DENGAN BEBERAPA PURA KUNA LAIN DI BALI

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

BAB 5 PENUTUP PURA MAOSPAIT DI MASA LALU DAN MASA KINI

Penataan Lingkungan Pura Muncak Sari Desa Sangketan, Penebel, Tabanan

David J. Stuart Fox, penulis buku Pura Besakih; Pura, Agama,

Gambar 2.12 Tata letak Pura dengan sistem zoning tri mandala Sumber: Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Udayana.

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN SEMINAR TUGAS AKHIR

BAB I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang -1-

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

Penataan Lingkungan Pura Muncak Sari Desa Sangketan, Penebel, Tabanan

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA

PENATAAN LINGKUNGAN PURA MUNCAK SARI DESA SANGKETAN, PENEBEL, TABANAN ABSTRAK ABSTRACT

Kata Kunci: Lingga Yoni., Sarana Pemujaan., Dewi Danu

IDENTIFIKASI KEUNIKAN PURA GUNUNG KAWI DI DESA PEKRAMAN KELIKI, GIANYAR, BALI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS. oleh

TAMAN NARMADA BALI RAJA TEMPLE IN PAKRAMAN TAMANBALI VILLAGE, BANGLI, BALI (History, Structure and Potential Resource For Local History) ABSTRACT

BAB VIII PENUTUP Kesimpulan

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG

KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si. Art Exhibition

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

KARAKTERISTIK BANGUNAN BALE METEN, SERTA PROSES PEMBANGUNANNYA

MASTER PLAN PENATAAN DAN PENGEMBANGAN PURA DALEM BIAS MUNTIG DI DESA PAKRAMAN NYUH KUKUH, DUSUN PED, DESA PED, KECAMATAN NUSA PENIDA, KLUNGKUNG

NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM PENEMPATAN PATUNG GANESHA DI DESA MANISTUTU KECAMATAN MELAYA KABUPATEN JEMBRANA

Rumah Tinggal Dengan Gaya Bali Modern Di Ubud. Oleh: I Made Cahyendra Putra Mahasiswa Desain Interior FSRD ISI Denpasar ABSTRAK

Gubahan Bentuk Taman dan Bentuk Ruang Taman Kiriman; Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar.

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

Pura Tampurhyang Sebagai Pusat Kawitan Catur Sanak Di Desa Songan. (Sebagai Sumber Belajar Sejarah Di SMA)

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Majapahit merupakan kerajaan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia pada

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

THE ARCHITECTURE OF PAGODAS VIEWED FROM THE ANGLE OF SITE LAY-OUT, PROPORTION, AND SYMBOLIZATION

STUDI ETNOGRAFI RELIGIUS MAGIS PURA PUSERING JAGAT DI BANJAR SENAPAN DESA CARANGSARI KECAMATAN PETANG KABUPATEN BADUNG

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Latar belakang merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK. Kata Kunci: pendidikan, Pasraman, pengetahuan, agama Hindu

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

VERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Kelahirannya dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, dan dilandasi adat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

REALISASI TOLERANSI ANTAR UMAT HINDU DAN BUDDHA DI PURA PUSERING JAGAT PANCA TIRTA DESA PAKARAMAN

ARTIKEL. Oleh Ni Wayan Astini JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. dasarkan bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan

PENGARUH KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SOSIAL PERKOTAAN TERHADAP KONSEP PEMBANGUNAN PURA ADHITYA JAYA DI RAWAMANGUN JAKARTA

Pura Kehen di Desa Pakraman Cempaga, Bangli, Bali (Sejarah Struktur dan Fungsinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah).

Sangamandala Oleh: I Made Pande Artadi, S. Sn., M. Sn

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

IDENTIFIKASI VARIAN ARSITEKTUR LUMBUNG DI BALI

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan

EKSISTENSI PURA AGUNG KENTEL GUMI DI DESA PAKRAMAN TUSAN KECAMATAN BANJARANGKAN KABUPATEN KLUNGKUNG. (PERSPEKTIF TEOLOGI HINDU)

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASIS DESA ADAT DI DESA PENGLIPURAN KABUPATEN BANGLI

Kata kunci : Bangunan Pura, Konsep, Fungsi, Agama Hindu, Asta Kosala Kosali

BERKURANGNYA PERAJIN PRETIMA DI BANJAR ANGGABAYA PENATIH, DENPASAR TIMUR, BALI. I Wayan Dirana

PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN. Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

INTERAKSI KEBUDAYAAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

TINJAUAN PADMASARI DI MERAJAN PASEK GELGEL DESA SERASON PENEBEL TABANAN

RANCANGAN RUMAH TUMBUH TIPE KPR BTN DI KOTA DENPASAR

Pola Ruang Pura Kahyangan Jawa Timur dan Bali Berdasarkan Susunan Kosmos Tri Angga dan Tri Hita Karana

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Bab ini terdiri dari empat sub-bab yakni sub-bab kajian pustaka, kerangka

Memaknai Ulun Danu dalam Kebudayaan Bali

BAB I PENDAHULUAN. mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan

EKSISTENSI PURA KAWITAN DI DESAYEH SUMBUL KECAMATAN MENDOYO KABUPATEN JEMBRANA

1. PENDAHULUAN. berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika

GEDUNG PENJUALAN SARANA PENDIDIKAN DI DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak

PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU. Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra

BAB I PENDAHULUAN. tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan.

PUSAT PENGEMBANGAN BAKAT ANAK DALAM BIDANG SENI TRADISIONAL BALI DI DENPASAR

PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu)

TRADISI PEMUJAAN LELUHUR PADA MASYARAKAT HINDU DI BALI Ancestor Worship Tradition at Hindu Society in Bali

BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA

MIMAMSA DARSANA. Oleh: IGN. Suardeyasa, S.Ag dkk

Tengah berasal dari sebuah kota kecil yang banyak menyimpan peninggalan. situs-situs kepurbakalaan dalam bentuk bangunan-bangunan candi pada masa

Fungsi Produk Seni Kerajinan Ukir Kayu Guwang

KONSERVASI ARSITEKTUR BANGUNAN PUSAKA DI KOTA DENPASAR

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI

KATA PENGANTAR REDESAIN PASAR TAMPAKSIRING

BAB I PENDAHULUAN. di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaruyang merupakan kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG

Paradigma Pendidikan berbasis Tri Hita Karana Dr. Putu Sudira, MP. Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRACT...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan

Transkripsi:

Riwayat Perkembangan Rancangan Bangunan Suci (Pura) di Bali I Nyoman Gde Suardana Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Dwijendra E-mail: suar_bali@yahoo.com ABSTRAK Pulau Bali juga disebut sebagai Pulau Seribu Pura. Pura selain merupakan tempat suci Hindu, juga sebagai sentra rohani. Permasalahan yang muncul: Apa saja yang melatarbelakangi perkembangannya dan bagaimana sebaiknya konsep rancangan sebuah pura ke depan? Tujuan dilakukan penelitian ini adalah guna lebih dalam mengetahui dan memahami tentang riwayat perkembangan rancangan bangunan suci di Bali. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif inter pretatif, dengan menggali sumbersumber prasasti yang ada. Melakukan studi literatur, serta mewawancarai tetua/ penglingsir yang dianggap pakar atau sebagai panutan yang paham akan nilai-nilai dan sejarah tradisi. Khususnya yang menyangkut ikhwal perkembangan bentuk, fungsi, dan nilai-nilai ruang bangunan suci di Bali. Prasasti sering menyebutkan bahwa gunung dan bukit sebagai sthana para dewa. zaman dulu, tempat tempat tinggi di Bali, di hulu atau di tanah bervibrasi suci, orangorang membuat suatu bangunan peribadatan, meski sederhana dan sifatnya sementara. Manfaat yang akan diperoleh adalah masyarakat akan menjadi lebih paham perihal riwayat perkembangan bangunan suci di Bali ini. Masyarakat juga akan lebih mengerti dan paham tentang hubungan yang fi losofikal antara bentuk-bentuk bangunan suci yang dilahirkan dari satu periode (awal) hingga perkembangannya seperti yang bisa dijumpai saat ini. Kata Kunci: riwayat perkembangan, rancangan bangunan suci, Bali I. PENDAHULUAN Permasalahan penelitian Awal keberadaan bentuk bangunan suci di Bali adalah sangat sederhana. Ketika itu tiangnya dibuat dari turus pohon dapdap, dan sebuah ruangan dengan balai-balai dirakit dari bambu untuk tempat meletakkan sajian (sesajen). Bangunan suci jenis ini disebut Turus Lumbung, bermakna kias melindungi dan menghidupi pemujanya. Turus dapdap bermakna tameng atau perisai-alat pelindung diri. Sementara lumbung mengandung makna: ranah penghidupan. Bangunan yang sifatnya sementara itu lambat laun diganti menjadi bangunan yang lebih permanen. Masalahnya kemudian, sejauh mana masyarakat beradaptasi terhadap perkembangan teknologi. Bagaimana dampak atau imbasnya pada bangunan yang awalnya berbentuk Turus Lumbung. Yang semula berbahan sederhana, 1

lalu dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (me-rong tunggal), digunakan untuk tempat sesajen. Dari rong tunggal inilah muncul sebutan nama bangunan suci Kemulan yang dipuja suatu keluarga sekelompok kecil. Jika belakangan kepala keluarga kecil sudah berkembang menjadi beberapa keluarga, mereka kemudian mendirikan beberapa buah palinggih. Seiring perkembangan kultur manusia yang kian maju, bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (me-rong kalih). Lantas berkembang lagi menjadi tiga ruangan (rong telu), untuk menghormati atau memuja para leluhur yang telah disucikan. Palinggih-palinggih baru disejajarkan tempatnya dengan bangunan Kemulan, sehingga keseluruhannya disebut Sanggah atau Pamerajan. Bangunan-bangunan di dalamnya sangat bervariasi, umumnya terdiri dari bangunan Menjangan Saluang, Gedong, Sanggar Agung, Saka Ulu, dan Taksu. II. METODE Penelitian ini dilakukan secara mandiri, dengan pengamatan langsung di lapangan, wawancara, pemotretan objek penelitian dan studi literatur. a) Rancangan penelitiannya berbasis pada penelitian yang kualitatif dan interpretative. b) Sampel (sasaran penelitian) adalah pola massa, tipologi bangunan dan tata Ruang Dalamnya; c) Teknik pengumpulan data adalah berupa wawancara terhadap responden dan peneliti itu sendiri merupakan sebagai instrumennya; d) Teknik analisis data. Prosedur analisis data dalam penelitian ini didasarkan kepada sejumlah teori (Teori arsitektur, konservasi, dll) dan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Analisis dilakukan terhadap data berdasarkan logika induktif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan bangunan rong telu lalu disesuaikan dengan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), bermanifestasi selaku pencipta, pemelihara dan pelebur. Kesatuan ketiga dewa inilah disebut dengan Sang Hyang Trimurti atau Tri Tunggal. Dari pengaruh konsep ini bangunan rong telu berfungsi ganda, selain untuk tempat memuja arwah leluhur yang telah suci, pun untuk memuja Sang Hyang Tri Murti. Untuk tempat pertemuan Ida Bhatara-Bhatari yang berlangsung pada setiap ada upacara di Sanggah Pamerajan dibuat lagi bangunan balai-balai yang disebut Balai Piyasan (balai untuk Bhatara-Bhatari berhias). Kendati sudah mendirikan Sanggah Kemulan, mereka juga memuja dewa-dewa yang ada di dalam tempat suci aslinya. Dengan demikian, tak bisa dipungkiri jika palinggih-palinggih di dalam Sanggah Pamerajan relatif jumlahnya dan bisa mencapai belasan buah, kadang bisa lebih. Kemudian muncul palinggih-palinggih baru untuk memuja para Dewa, seperti bangunan: Tumpang Salu, Sakapat, Tugu, Meru, Bebaturan, dan Gedong Sari. Dalam suatu Desa yang terdiri dari beberapa klen atau warga yang berbeda-beda leluhurnya, masyarakat membangun tempat suci bersama, berupa tiga buah pura yang dikenal dengan Kahyangan Tiga. Di dalam pura -pura itulah mereka berkumpul menyama braya dan berbarengan memuja dewa-dewa yang bersemayam di dalam pura tersebut. Ketiga pura yang dimaksud adalah: Pura Puseh, Pura Desa/Bale Agung, dan Pura Dalem. 2

Contoh Bangunan Suci Turus Lumbung di salah satu Umah di Desa Tradisional Bayung Gede, Bangli. Kedatangan Mpu Kuturan, Rsi Markandya, dan Dang Hyang Nirartha ke Bali beberapa abad lalu membawa perubahan penting dalam tata keagamaan di Bali. Ketika itu Mpu Kuturan menganjurkan beberapa perubahan dalam tata keagamaan di Bali, seperti pembuatan Kahyangan Catur Lokapala, Sad Kahyangan Jagat, selain mengajarkan membuat kahyangan secara fisik dan spiritual, berupa ragam jenis upacara dan jenis-jenis pedagingan. Penyempurnaan kehidupan agama Hindu dilakukan pula oleh Dang Hyang Nirartha yang datang ke Bali pada abad ke-15, di era pemerintahan raja Dalem Waturenggong di Gelgel-Klungkung. Beragam profesi tumbuh di masyarakat, berbagai tempat suci atau pura pun bermunculan. Para nelayan yang umumnya bermukim di pesisir, mencari penghidupan di laut. Laut dianggap bisa memberi kehidupan, lantas masyarakat nelayan mendirikanpurasegara atau Pura Pabean. Yang memiliki profesi sebagai petani pengolah tanah basah, mereka akan terikat kepada air yang dianggap sebagai sumber kehidupannya. Mereka bersatu pula untuk mendirikan pura-pura yang dekat dengan sumber air. Misalnya semacam Pura : Ulun Danu, Pura Siwi, Pura Bedugul, Pura Masceti, yang berfungsi sebagai pura kemakmuran. Profesi lain sebagai pedagang memerlukan pula tempat pemujaan dalam wujud pura, seperti Pura Melanting. Umumnya pura ini didirikan di dalam suatu pasar, dipuja para pedagang dalam lingkungan tersebut. Karakteristik Pura di Bali Berdasarkan karakteristiknya pura-pura di Bali dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok. Pertama, Pura Kahyangan Jagat, yakni pura umum tempat pemujaan Tuhan dengan segala prabhawa-nya serta roh suci leluhur, termasuk di dalamnya Pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan. Yang disebut Pura Kahyangan Jagat ialah Pura - pura Kahyangan Agung terutama yang terdapat di delapan penjuru mata angin dan pusat pulau Bali. Kedua, Pura Kahyangan Desa, Pura yang disungsung oleh Desa adat berupa Kahyangan Tiga, yakni: Pura Desa atau Bale Agung tempat memuja Tuhan dalam prabhawa-nya sebagai Dewa Brahma selaku pencipta (utpeti), Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Wisnu sebagai pemelihara (sthiti), dan Pura Dalem, tempat memuja Siwa sebagai pelebur (pralina). 3

Ketiga, Pura Swagina, pura yang penyiwi-pemuja-nya terikat oleh swagina atau yang punya keterlibatan sama dalam sistem mata pencaharian hidupnya. Pura dimaksud adalah seperti Pura : Subak, Dugul, Melanting, Ulun Suwi. Keempat, Pura Kawitan, Pura yang penyiwi-nya ditentukan oleh ikatan asal muasal atau leluhur berdasarkan garis keturunan geneologis, seperti: Sanggah / Pamerajan, Paibon, Panti, Dadia, Dalem Dadia, Penataran Dadia, Pedarman. Di Bali khususnya dalam mendirikan suatu pura terlebih pura Kahyangan Jagat senantiasa berlandaskan pada konsepsi filosofis yang relevan dengan Tampak Depan bangunan (suci) Meru Beberapa pelinggih-bangunan suci Pura Keluarga (Dadia) di Desa Tradisional ajaran tatwa agama Hindu di Bali. Dari uraian-uraian yang telah dijabarkan sebelumnya, ada tiga landasan konsepsi filosofis. Konsepsi Rwa Bhineda-kesatuan purusa dan pradana melandasi pendirian Kahyangan Gunung Agung (Besakih sebagai purusa) dan Kahyangan Batur selaku pradana. Sementara konsepsi Catur Loka Pala, pengejawantahan daripada Cadu Sakti - empat aspek kemahakuasaan Tuhan, melandasi pendirian Kahyangan Catur Loka Phala-Pura: Lempuyang di timur, Andakasa di selatan,. Batu Karu di Barat dan Puncak Mangu di utara). Konsepsi berikutnya, Sad Winayaka, secara konsepsional terkait dengan Pura: Besakih, Lempuyang, Goa Lawah, Hulu Watu, Batu Karu dan Pusering Jagat. Ketiga landasan filosofis itu menjadi dasar pendirian Kahyangan Jagat, sebagai Padma Bhuwana, sthana Tuhan dalam berbagai manifestasinya. Sembilan Kahyangan Jagat itu meliputi Pura Lempuyang di timur, Andakasa di selatan, Batu Karu di barat, Batur di 4

utara, Besakih di timur laut, Goa Lawah di tenggara, Hulu Watu di barat daya, Puncak Mangu di barat laut, dan Pusering Jagat di tengah. Di era global kini, ada baiknya menerapkan konsepsi secara holistik terkait dengan aspek-aspek lainnya dalam merancang Pura. Perlu penyesuaian yang adaptatif dengan kondisi dan situasi lingkungan di mana pura tersebut akan dibangun atau didirikan. Dalam melakukan pendekatan konsep rancangan juga perlu dilakukan beberapa dasar pertimbangan, antara lain kegiatan civitas (manusianya), kebutuhan fasilitas, anggaran yang tersedia, kapasitas pamadek umat Hindu yang tangkil, dan alur atau pola sirkulasi umum, alur / pola sirkulasi khusus ke tempat suci. Lalu dilakukan pendekatan terhadap bentuk rancangan, semisal peletakan kompas yang benar untuk ketepatan arah mata angin/orientasi, menerapkan tata nilai ruang arsitektur Bali, menempatkan patung-patung bermakna, menyediakan wadah aktivitas pejalan kaki dan penyediaan tempat parkir. Perhatikan pula bentuk pembangunan dan penataannya, semisal posisi penempatan jalan setapaknya. Di sisi lain untuk mengatasi terjadinya banjir (saat musim hujan) pada titik-titik tertentu perlu dibuat sumur-sumur resapan air, selain banyak ditanami pepohonan. Juga pada jalan dekat pura dilakukan penataan saluran air yang ada. Ada baiknya pula jika dibangun tempat untuk mebasuh (cuci) muka atau Sebagian dari Sejumlah Gugus Bangunan Suci di Pura Desa, Trunyan, Bangli. tangan di jaba sisi selain disediakan tempat mandi dan toilet di area terluar (jaba sisi pisan). Pendekatan sistem struktur dan utilitasnya bisa dipengaruhi oleh faktor kondisi tanah, fleksibilitas ruang, perkembangan teknologi, fungsi bangunan serta kekuatan dan kestabilan. Sementara pendekatan sistem utilitasnya lebih melihat pada kondisi alam, persyaratan fisik dan psikologis pengguna ruang atau fasilitas dan kapasitasnya. Ada baiknya mengutamakan penggunaan bahan lokal/alami, baik untuk struktur maupun finishing. Selain itu agar dipakai bahan yang mampu bertahan lama, mudah dalam pemeliharaan, selaras dan harmonis dengan lingkungan, serta mendukung vibrasi kesucian pura. 5 Potongan Konstruksi Bangunan Suci (Meru)

Dalam menentukan Pengelompokan pengguna ruang dan besaran ruangnya perlu dipertimbangkan penataan unit jalan lingkungan menuju kawasan pura. Pun unit jalan menuju jaba sisi, jaba tengah dan jeroan pura. Sementara penentuan besaran ruang terkait dengan luas persil atau area, ukuran gerak aktivitas manusia, efektifitas kegiatan, efisiensi penggunaan ruang, efektivitas penataan, persyaratan fisik dan psikologis. Suasana alami -religius hendaknya menunjang masing-masing kegiatan dan sepatutnya tetap menerapkan sistem gegulak. Semua undag (anak tangga) memakai sikut tapak berjumlah ganjil dan ngandang ngurip. KESIMPULAN DAN SARAN Pura selain berarti sebagai tempat sujud atau tempat persembahyangan, juga sebagai tempat me mohon ampun atas pikir, kata dan laku yang keliru dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Serta ucapan terima kasih kepada Hyang Pencipta atas anugerah perlindungan-nya. Maka, pura sebagai tempat mengusung sembah tulus patut dijaga kelestarian dan kesuciannya serta dihormati oleh umatnya. Peranan pura sangat penting sebagai sentra rohani, tempat memuja Tuhan dalam berbagai manifestasinya, selain sebagai tempat untuk melaksanakan Dharma Gita, Yatra, Wacana, Tula, Sedana, Shanti. DAFTAR PUSTAKA Bidja, I Made, 2000, Asta Kosala-Kosali, Asta Bumi, Denpasar:; BP. Etlin, Richard A, 1994, Symbolic Space, London:The University of Chicago Press, Ltd. Gelebet, I Nyoman, Ir., 1981/1982, Arsitektur Tradisional Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi.Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi. Gadamer, Hans-Georg, 1975, Truth and Method, New York: The Seabury Press. Jiwa, Ida Bagus Nyoman, Drs, 1992, Kamus Bali Indonesia,Bidang Istilah Arsitektur Tradisional Bali, Denpasar: Upada Sastra. Pesta Kesenian Bali XIX (Booklet Pameran Arsitektur), (1997), Arsitektur Masyarakat Balidalam Berbhuana, Denpasar: Sub. Sie Pameran Arsitektur. Pesta Seni Bali, 1981, (booklet), KORI Arsitektur Tradisional Bali. Pesta Seni Bali, 1983, (booklet), Pamerajan. Suardana, I Nyoman Gde, 2002, Tesis S2, ITS, Makna dalam Arsitektur Umah Bali, Kasus Desa Tengkudak Bali,Tidak dipublikasikan. Suardana, I Nyoman Gde. 2005, Arsitektur Bertutur, Denpasar: Yayasan Pustaka Bali. 6