2016 DESAIN DIDAKTIS KONSEP GARIS SINGGUNG LINGKARAN PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

dokumen-dokumen yang mirip
Desain Disaktis Persamaan Garis Lurus pada Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah Pertama

BAB I PENDAHULUAN. Adakalanya seorang siswa mengalami kesulitan walaupun dia telah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dini Asri Kusnia Dewi, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Intan Cahyaningrum, 2015

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 DESAIN DIDAKTIS PERSAMAAN KUADRAT UNTUK SISWA SMP KELAS VIII

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dwi Wahyuni, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tia Agnesa, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

2015 DESAIN DIDAKTIS KONSEP ASAS BLACK DAN PERPINDAHAN KALOR BERDASARKAN HAMBATAN BELAJAR SISWA PADA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS KELAS X

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DESAIN DIDAKTIS BANGUN RUANG SISI DATAR UNTUK MENINGKATKAN LEVEL BERPIKIR GEOMETRI SISWA SMP

2015 D ESAIN D IDAKTIS UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI SISWA TERHAD AP KONSEP SUD UT PAD A BANGUN RUANG BERD ASARKAN LEARNING TRAJECTORY

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan Desain Didaktis Luas Daerah Lingkaran Pada Pembelajaran Matematika SMP

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Khususnya di Indonesia matematika sudah diajarkan sejak dalam. pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah.

2015 DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLE TOPIK PERSAMAAN LINEAR SATU VARIABEL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ika Citra Wulandari, 2015

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan dari hasil penelitian ini diantaranya adalah : siswa dan terkait variasi informasi yang ada pada soal.

DESAIN DIDAKTIS KONSEP VOLUME LIMAS PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP BERDASARKAN LEARNING TRAJECTORY

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan melalui tiga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Trends In International Mathematics And Science Study (TIMSS)

BAB I PENDAHULUAN. (Bartle dan Sherbert, 1999:9). Misalnya diberikan fungsi f dan g dari R ke R,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan manusiamanusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Elita Lismiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah berpikir kritis. Menurut Maulana

Desain Didaktis Bahan Ajar Matematika SMP Berbasis Learning Obstacle dan Learning Trajectory

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dhias Mei Artanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. aktif serta dari berbagai pihak yang terkait, sehingga bidang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN Bab I tentang Sistem Pendidikan Nasional: pendidikan adalah usaha sadar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat. Hal ini tidak terlepas dari peranan dunia

I. PENDAHULUAN. penguasaan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip

I. PENDAHULUAN. pembelajaran agar siswa aktif mengembangkan potensi diri dan keterampilan. makhluk beragama dan makhluk sosial dengan baik.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Purnama Adek, 2014

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.c.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas. Pendidikan merupakan usaha, pengaruh, terampil, bertanggung jawab, produktif dan berbudi pekerti luhur.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yossy Intan Vhalind, 2014

PENERAPAN PEMBELAJARAN OSBORN BERBANTUAN WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KREATIF DAN BERPIKIR KRITIS MATERI KUBUS DAN BALOK SKRIPSI

\MODEL DESAIN DIDAKTIS PENGURANGAN PECAHAN BERBASIS PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK SISWA SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan peradaban dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UPAYA MENINGKATKAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL INQUIRY BERBANTUAN SOFTWARE AUTOGRAPH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. kebutuhan yang paling mendasar. Dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Learning Obstacle pada Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Prestasi Indonesia terutama dalam mata pelajaran matematika, masih rendah. Banyak data yang menukung opini ini, seperti:

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran matermatika yang dilakukan di Indonesia kira-kira seperti yang

PENGEMBANGAN DESAIN DIDAKTIS PENALARAN SPASIAL DAN PENALARAN KUANTITIF DALAM MATERI TEOREMA PYTHAGORAS DI SMP

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

DESAIN DIDAKTIS KONSEP GARIS SINGGUNG LINGKARAN PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) Oleh:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah et.al open ended

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erie Syaadah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Study (TIMSS) merupakan penilaian internasional terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Wajib belajar 9 tahun menjadi kebutuhan mendasar bangsa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala

I. PENDAHULUAN. sains siswa adalah Trends in International Mathematics Science Study

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Yaitu sumber daya yang dapat bersaing dan. menetapkan keputusan dengan daya nalar yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya bangsa tersebut. Di Indonesia pendidikan saat ini

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Aktivitas matematika seperti problem solving dan looking for

BAB I PENDAHULUAN. Secara tidak langsung banyak hal dalam kehidupan manusia bersentuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. National Cauncil of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000) menyebutkan. masalah (problem solving), penalaran (reasoning), komunikasi

I. PENDAHULUAN. cerdas, terbuka dan demokratis. Pendidikan memegang peran dalam. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

2 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah yang mejadi dasar peneilitian, rumusan masalah, tujuna penelitian, dan manfaat penelitian yang dapat dikembangkan pada penelitian ini. A. Latar Belakang Matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang penting untuk disampaikan di sekolah. Menurut Suherman (2008) menyatakan bahwa tujuan dari matematika sekolah adalah melatih cara berpikir-bernalar untuk menyimpulkan, aktivitas kreatif, kemampuan memecahkan masalah, informasi, dan memiliki sikap objektif rasional. Dengan tujuan itu, tentu saja matematika perlu disampaikan dengan cara dan konsep yang benar. Hal ini didukung oleh Kurnia (2012: 1) yang menyatakan bahwa matematika dalam pelaksanaan pendidikan diajarkan di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas dengan semua jenis dan program serta dengan jumlah jam yang relatif banyak dibandingkan mata pelajaran lainnya. Sehingga, matematika menjadi salah satu komponen penting yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya dalam pembelajaran di sekolah. Berdasarkan hasil wawancara, saat ini masih banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar matematika. Diantaranya menganggap bahwa matematika merupakan suatu pelajaran yang menakutkan, membosankan, tidak terlalu berguna dalam kehidupan sehari-hari, beban bagi siswa karena bersifat abstrak, serta penuh dengan angka dan rumus. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun matematika mempunyai jam yang relatif paling banyak tetapi masih kurang memfasilitasi siswa dalam belajar matematika, sehingga mata pelajaran yang dianggap sukar oleh siswa adalah pelajaran matematika. Jika kita perhatikan Gambar 1.1. contoh buku teks matematika siswa (BTMS) yang diambil dari salah satu buku sekolah elektronik (BSE), terdapat beberapa konsep matematika yang tidak tersampaikan dengan baik yaitu siswa diminta untuk mengamati Gambar

3 1.1. sehingga diperoleh bahwa AOB samakaki (Mengapa?), karena memiliki dua sudut yang sama besar yaitu OAB = OB A. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.1. bagian yang diberi kotak merah. Gambar 1.1. Contoh Buku Teks Matematika Siswa (Sumber: BSE, Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional 2008) Menurut peneliti hal tersebut akan menjadi sulit dipahami oleh siswa karena kurang esensial dengan keterangan yang ada pada gambar 1.1. Siswa akan lebih memahami jika alasan mengapa AOB samakaki karena memiliki dua sisi yang sama panjang yaitu OA = OB yang merupakan jari-jari lingkaran O. Hal seperti ini tidak begitu diperhatikan namun akan berdampak pada pemahaman concept image (kesulitan siswa dalam mengilustrasikan suatu gambar) pada diri siswa kedepannya. Selain itu, contoh lainnya dari Buku Teks Matematika Siswa (BTMS) pada Gambar 1.2. yang memperlihatkan kesalahan pengoperasian pengurangan menjadi perkalian merupakan sebagian kecil dari kesalahan redaksi yang berakibat pada munculnya kesulitan-kesulitan belajar siswa dalam proses penyelesaian soal-soal penyelesaian masalah. Gambar 1.2. Contoh Buku Teks Matematika Siswa (Sumber: BSE, Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional 2008)

4 Dari Gambar 1.2. siswa bisa saja meniru contoh kesalahan yang ada pada BTMS bahkan hingga tertanam dalam long term memory (memori jangka panjang) siswa sehingga dapat memicu kesalahan-kesalahan belajar siswa lainnya hingga muncul kesulitan belajar matematika yang sering dialami siswa saat ini. Hal ini tidak lain menimbulkan berbagai misconceptions (kesalahan dalam memahami suatu konsep tertentu) dalam proses berpikir siswa pada pembelajaran geometri. Begitupun dengan yang dikemukakan oleh Ozerem (2012). Menurut Ozerem (2012: 31): The students couldn t remember the formulas after the exams because they just memorized them for the exams in short term memory not in long term memory. Some of the students were not able to keep the formulae in their long therm memories because they couldn t create a positive attitude towards geometry and they were unable to associate it with their real lives. Berdasarkan penelitian yang dikemukakan Menurut Ozerem (2012), kita dapat memperoleh gambaran bahwa dalam mempelajari geometri tidak cukup hanya menghapal rumus dan angka saja melainkan harus benar-benar memahami konsep geometri tersebut agar dapat tertanam dalam long term memory. Menurut Suminar (2010: 7) long term memory adalah bagian dari sistem memori manusia yang menyimpan informasi dari sebuah periode yang cukup lama. Memori yang ada pada long term memory ini sifatnya dapat tersimpan dalam jangka panjang namun sedikit yang diaktifkan, hanya yang ada dan sedang dipikirkan yang dapat dikerjakan oleh memori atau ingatan. Begitupun dengan kesalahan konsep geometri yang ditemukan siswa dari BTMS yang digunakan selama proses pembelajaran matematika di sekolah dapat tersimpan dalam long term memory. Oleh karena itu, siswa perlu memahami konsep geometri secara keseluruhan sehingga dapat menerapkan konsep geometri kapanpun walau sudah tidak mendapat pembelajaran geometri di kelas, serta dapat meminimalisir kesulitan belajar yang dialami siswa selama proses pembelajaran matematika. Menurut Ausubel (Suherman, 2008) belajar bermakna (meaningfull learning) dapat dilalui dengan tahapan mengetahui, memahami, mengaplikasikan, dan memilikinya untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Jika siswa sudah mengalami kesulitan pada salah satu tahapan tersebut maka hal ini akan menghambat proses belajar bermakna ke tahapan selanjutnya.

5 Menurut Nur ela (2013: 3) ketidakbermaknaan proses pembelajaran matematika muncul karena tidak semua siswa memahami konsep-konsep matematika secara utuh, melainkan hanya secara parsial (perbagian-bagian) serta tidak terintegrasinya konsep yang satu dengan konsep lainnya. Sedangkan, matematika dibangun dari berbagai macam topik yang terstruktur sehingga dalam proses pembelajarannya memerlukan tahapan tertentu yang dimulai dari konsep termudah hingga konsep yang lebih sukar. Hal ini terlihat pada penelitian BSNP (2012) tentang hasil nilai terendah siswa pada keempat mata pelajaran ujian nasional tahun 2010/2011 dan 2011/2012 tercantum dalam table berikut: Tabel 1.1. Hasil nilai terendah siswa pada keempat mata pelajaran ujian nasional tahun 2010/2011 dan 2011/2012 Mata Pelajaran 2010/2011 (%) 2011/2012 (%) Bahasa Indonesia 7,95 2,99 Bahasa Inggris 9,51 15,17 Matematika 10,09 8,30 IPA 7,04 8,06 Dari Tabel 1.1. terlihat bahwa nilai matematika menempati peringkat paling rendah dari keempat mata pelajaran lain yang diujikan pada ujian nasional tahun 2010/2011. Sedangkan pada tahun 2011/2012, matematika menempati peringkat kedua terendah setelah pelajaran Bahasa Inggris. Rendahnya kemampuan matematika siswa di Indonesia juga terungkap dalam hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 yang menyatakan bahwa kemampuan matematika siswa SMP di Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara (OECD, 2014: 19). Berdasarkan hasil studi internasional tentang prestasi matematika dan sains yang dilakukan oleh TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama kelas VIII di negara-negara peserta, termasuk Indonesia, skor rata-rata prestasi matematika Indonesia pada tahun 2007 adalah 397 dan pada tahun 2011 adalah 386, sedangkan skor internasional adalah 500. Indonesia menempati urutan ke-36 dari 49 negara yang berpartisipasi (Mulis I.V.S., Martin M.O., Foy P., & Arora A, 2011: 56). Hal ini

6 menunjukkan bahwa kemampuan prestasi matematika siswa sekolah lanjutan tingkat pertama di Indonesia masih jauh di bawah prestasi matematika standar Internasional. Dasar penilaian yang dilakukan oleh TIMSS tersebut dikategorikan kedalam empat domain isi untuk matematika, yaitu bilangan, aljabar, geometri, serta data dan peluang. Hal-hal yang berkaitan dengan geometri telah dikenal siswa semenjak di bangku sekolah dasar meskipun pada saat itu tidak diperkenalkan dengan istilah geometri. Geometri pun banyak ditemui dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ternyata mengenal geometri sejak dini bukan hal yang menjamin setiap siswa dapat selalu meraih prestasi geometri dengan baik kedepannya. Suryadi (2010a: 6) mengemukakan bahwa proses berfikir guru dalam konteks pembelajaran terjadi dalam 3 fase yaitu sebelum pembelajaran, pada saat pembelajaran, dan setelah pembelajaran. Kecenderungan berpikir sebelum pembelajaran yang lebih berorientasi pada tujuan berdampak pada proses penyiapan bahan ajar serta minimnya antisipasi terutama yang bersifat didaktis. Penyiapan bahan ajar pada umumnya hanya didasarkan pada model sajian yang tersedia dalam buku-buku acuan tanpa melalui proses rekontekstualisasi (mencari konteks yang berbeda dari konteks yang sudah ada) dan repersonalisasi (menjelaskan konsep yang sudah ada dengan caranya sendiri). Padahal sajian matematika dalam buku acuan, baik berupa uraian konsep, pembuktian, atau penyelesaian contoh masalah, sebenarnya merupakan sintesis dari suatu proses panjang yang berakhir pada proses dekontekstualisasi dan depersonalisasi. Selain itu, proses belajar matematika cenderung diarahkan pada berpikir imitative (meniru), sehingga berdampak pada kurangnya antisipasi didaktis yang tercermin pada persiapan yang dilakukan guru. Rencana pembelajaran biasanya kurang memperhatikan keragaman respon siswa atas situasi didaktis yang dikembangkan sehingga rangkaian situasi didaktis yang dikembangkan berikutnya kemungkinan tidak sesuai dengan lintasan belajar masing-masing siswa. Lebih jauh, proses belajar matematika yang idealnya dikembangkan mengarah pada proses redekontekstualisasi dan re-depersonalisasi belum menjadi pertimbangan utama para guru di lapangan.

7 Berdasarkan dasar penilaian yang dikemukakan oleh TIMSS, geometri menjadi satu hal yang mendasar dalam pembelajaran matematika karena geometri memuat berbagai konsep mengenai titik, segmen, garis, bidang datar, bangun ruang beserta sifat-sifatnya. Tidak hanya itu, dengan belajar geometri siswa juga dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti menghitung volume bak mandi, menghitung luas daerah sebuah kebun, membuat pola suatu ukuran pakaian, dll. Garis singgung lingkaran merupakan salah satu konsep geometri yang dipelajari pada pembelajaran matematika SMP. Dalam mempelajari geometri yang berkaitan dengan garis singgung lingkaran, terdapat beberapa gambaran tingkat penguasaan siswa terhadap materi ini masih sangat kurang. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh Trisulawati (2009), Rohmah (2012), dan Nur ela (2013), diperoleh kesalahankesalahan belajar siswa dalam hal ini merupakan learning obstacle (hambatan belajar) dalam mempelajari materi garis singgung lingkaran. Menurut Trisulawati (2009) menyatakan bahwa siswa mengalami kesalahan dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan garis singgung lingkaran yaitu dalam memahami konsep garis singgung lingkaran dan memahami teorema Pythagoras. Hal ini terjadi karena siswa tidak dapat menggunakan teorema Pythagoras dalam menghitung panjang garis singgung lingkaran dan siswa tidak memahami secara utuh konsep pengertian garis singgung lingkaran. Rohmah (2012) mengungkapkan bahwa masih terdapat siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami konsep garis singgung lingkaran seperti terlihat pada salah satu contoh salah satu soal uji instrumen learning obastacle sebagai berikut: Perhatikan gambar di bawah ini! R Q T P

8 Jika panjang garis TQ adalah 24 cm, panjang QR adalah 8 cm, panjang QO adalah 7 cm, serta panjang diameter lingkaran yang berpusat di O adalah 30 cm. Berapakah panjang garis singgung lingkaran tersebut? Menurut Rohmah (2012) hasil uji instrumen learning obstacle pada soal di atas menunjukkan bahwa siswa masih mengalami kesulitan dalam menentukan informasi yang diperlukan agar dapat digunakan dalam menyelesaikan soal garis singgung lingkaran. Menurut Nur ela (2013) terdapat empat tipe learning obstacle, yaitu: learning obstacle terkait konsep garis singgung lingkaran dan materi prasyarat, learning obstacle terkait dengan konteks variasi informasi yang tersedia pada soal, learning obstacle terkait dengan koneksi konsep garis singgung lingkaran dengan konsep matematika lain, dan learning obstacle terkait dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah. Sehingga dari penelitian tersebut kita dapat melihat bahwa masih ditemukan kesulitan belajar yang dialami siswa dalam menguasai materi garis singgung lingkaran. Kesulitan belajar tersebut merupakan salah satu dampak dari rendahnya pemahaman siswa dalam memahami konsep garis singgung lingkaran. Sehingga, peneliti perlu melakukan studi lanjutan untuk meminimalisir terjadinya learning obstacle pada materi garis singgung lingkaran. Berdasarkan hasil pegamatan proses pembelajaran matematika di sekolah, guru cenderung menyampaikan materi seperti yang tercantum pada buku teks yang digunakan sehingga adanya konsep yang terbatas dari materi tersebut sangat mungkin terjadi. Guru sebagai ujung tombak pembelajaran seharusnya dapat memberikan informasi lebih dalam suatu proses pembelajaran, sehingga materi yang didapat oleh siswa tidak semata hanya dari buku teks. Transfer ilmu yang diberikan guru berwawasan luas tidak sebatas pada materi yang tercantum pada bahan ajar sehingga siswa sendiri dapat lebih tertarik pada pembelajaran matematika yang dilakukan guru tersebut. Fokus penelitian ini berada pada analisis situasi didaktis melalui repersonalisasi. Repersonalisasi adalah proses dimana guru mengkaji materi dan soal-soal yang akan diberikan kepada siswa, proses mengkaitkan suatu materi dengan materi sebelum atau sesudahnya, juga merupakan proses eksplorasi materi sehingga guru dapat mengetahui sejauh mana hubungan siswa dengan

9 materi yang akan diajarkan. Dengan melakukan repersonalisasi ini, guru dapat mengetahui kesulitan apa yang mungkin akan dialami siswa, memprediksi respon yang akan diberikan siswa, dan dapat merancang serangkaian tindakan didaktis yang mungkin dapat dilakukan selama proses pembelajaran. Inilah yang disebut dengan antisipasi didaktis dan pedagogis (ADP) (Agnesia, 2014). Proses berpikir guru tidak selesai sampai pada tahap ini, melainkan ketika proses pembelajaran berlangsung harus siap untuk terus berpikir. Karena kenyataan di lapangan terkadang berbeda dengan apa yang telah kita rencanakan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu prediksi respon siswa terhadap proses pembelajaran yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Selanjutnya, pada fase akhir proses berpikir guru terjadi setelah proses pembelajaran dengan melakukan analisis retrospektif sebagai tahap refleksi siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan. Jika hal ini dilakukan guru secara berkesinambungan maka akan diperoleh desain didaktis baru yang dapat mengatasi kesulitan belajar siswa. Desain didaktis yang telah direvisi berdasarkan hasil refleksi disebut sebagai desain didaktis empirik. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti kemudian melakukan penelitian dengan judul Desain Didaktis Konsep Garis Singgung Lingkaran pada Pembelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan pada latar belakang, maka rumusan masalah yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Desain Didaktis Konsep Garis Singgung Lingkaran pada Pembelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama?. Selanjutnya rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam bentuk pertanyaan-petanyaan sebagai berikut: 1. Apa saja learning obstacle yang diidentifikasi pada materi garis singgung lingkaran? 2. Bagaimana desain didaktis awal garis singgung lingkaran yang ditinjau berdasarkan hasil learning obstacle dan learning trajectory siswa? 3. Bagaimana implementasi desain didaktis pada konsep garis singgung lingkaran berdasarkan respon siswa yang muncul?

10 4. Bagaimana gambaran learning obstacle setelah desain didaktis diimplementasikan pada materi garis singgung lingkaran? 5. Bagaimana desain didaktis revisi yang dapat dikembangkan pada materi garis singgung lingkaran berdasarkan implementasi desain didaktis awal? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi learning obstacle pada materi garis singgung lingkaran. 2. Menyusun desain didaktis awal garis singgung lingkaran yang ditinjau berdasarkan hasil learning obstacle dan learning trajectory siswa. 3. Menganalisis hasil implementasi desain didaktis pada konsep garis singgung lingkaran berdasarkan respon siswa yang muncul. 4. Menganalisis gambaran learning obstacle setelah desain didaktis diimplementasikan pada materi garis singgung lingkaran 5. Mengembangkan desain didaktis revisi pada materi garis singgung lingkaran berdasarkan implementasi desain didaktis awal. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dengan mengetahui learning obstacle pada materi garis singgung lingkaran, guru dapat lebih mempersiapkan antisipasi yang akan dilakukan ketika menghadapi siswa yang kesulitan dalam proses pembelajaran garis singgung lingkaran; 2. Dapat menjadi masukan bagi guru matematika dalam membuat desain bahan ajar yang bervariasi sesuai dengan struktur konsep dan tingkat berpikir siswa; 3. Dapat menjadi bahan pertimbangan guru dalam menyampaikan desain didaktis yang telah disusun berdasarkan hasil learning obstacle dan learning trajectory siswa.

11 4. Dapat menjadi bahan evaluasi guru dan siswa sebagai bagian dari refleksi pasca pembelajaran pada setiap materi yang dibahas dalam hal ini materi garis singgung lingkaran. 5. Dapat mengembangkan desain didaktis awal pada materi garis singgung lingkaran menjadi suatu desain didaktis revisi yang lebih bervariasi konsep maupun konteks materi di dalamnya.