Pemanfaatan Mikroba dalam Pengawetan Makanan Menurut Volk dkk (1994) beberapa bukti mengenai peranan mikrobiologi dapat dikemukakan sebagai proses klasik menggunakan bakteri. Di Jepang dan Indonesia sudah sejak zaman dahulu kacang kedelai diolah dengan menggunakan bantuan fungi, ragi, dan bakteri asam laktat. Bahkan sudah sejak zaman perang dunia pertama fermentasi terarah dengan ragi digunakan untuk membuat gliserin. Asam laktat dan asam sitrat dalam jumlah besar yang diperlukan oleh industri makanan, masing-masing dibuat dengan pertolongan bakteri asam laktat dan cendawan Aspergillus niger. Fermentasi klasik telah diganti dengan cara baru untuk produksi dan konversi menggunakan mikroba. Senyawa karotenoid dan steroid diperoleh dari fungi. Sejak ditemukan bahwa Corynebacterium glutamicum memproduksi glutamat dengan rendemen tinggi dari gula dan garam amonium, maka telah diisolasi berbagai mutan dan dikembangkan proses baru yang memungkinkan pembuatan banyak jenis asam amino, nukleotida, dan senyawa biokimia lain dalam jumlah besar. Mikroorganisme juga diikutsertakan oleh para ahli kimia pada katalisis sebagian proses dalam rangkaian sintesis yang panjang; biokonversi oleh mikroba lebih spesifik dengan rendemen lebih tinggi, mengungguli konversi secara kimia, amilase untuk hidrolisis pati, proteinase pada pengolahan kulit, pektinase untuk penjernihan sari buah dan enzim-enzim lain yang digunakan di industri diperoleh dari biakan mikroorganisme (Waluyo, 2004). Pengawetan makanan dilakukan adalah untuk menanggulangi akibat negatif yang ditimbulkan oleh mikroba dalam makanan. Fungsi utama dari pengawet makanan adalah : a. Memperpanjang umur atau masa simpan makanan b. Mencegah terjadinya kerusakan makanan dalam rentan waktu yang singkat, yang seringnya disebabkan oleh aktivitas mikroba dalam bahan makanan. c. Penggunaan pengawet makanan dalam bahan makanan akan mencegah dan mematikan pertumbuhan mikroba penyebab rusaknya bahan makanan. Cara pengawetan bahan makanan dapat disesuaikan dengan keadaan bahan makanan, komposisi bahan makanan, dan tujuan dari pengawetan. Secara garis besar ada tiga cara dalam mengawetkan makanan, yaitu fisik, biologi dan kimia (Waluyo, 2004). 1. Fisik
Pengawetan makanan secara fisik merupakan yang paling bervariasi jenisnya, contohnya adalah: a) Pemanasan ; Teknik ini dilakukan untuk bahan padat, namun tidak efektif untuk bahan yang mengandung gugus fungsional, seperti vitamin dan protein. b) Pendinginan; Dilakukan dengan memasukkan ke lemari pendingin, dapat diterapkan untukdaging dan susu. c) Pengasapan ; Perpaduan teknik pengasinan dan pengeringan, untuk pengawetan jangka panjang, biasa diterapkan pada daging. d) Pengalengan; Perpaduan kimia (penambahan bahan pengawet) dan fisika (ruang hampa dalam kaleng). e) Pengeringan; mencegah pembusukan makanan akibat mikroorganisme, biasanya dilakukan untuk bahan padat yang mengandung protein dan karbohidrat (Waluyo 2004). 2. Biologi Pengawetan secara biologis, misalnya peragian (fermentasi), adalah pengawetan dengan menggunakan jasa enzim. Enzim adalah suatu katalisator biologis yang dihasilkan oleh selsel hidup dan dapat membantu mempercepat bermacam-macam reaksi biokimia. Enzim yang terdapat dalam makanan dapat berasal dari bahan mentahnya atau mikroorganisme yang terdapat pada makanan tersebut (Volk et, al, 1990). Bahan makanan seperti daging, ikan, susu, buah-buahan dan biji-bijian mengandung enzim tertentu secara normal ikut aktif bekerja di dalam bahan tersebut. Enzim dapat menyebabkan perubahan dalam bahan pangan. Perubahan itu bisa menguntungkan dan merugikan. Yang menguntungkan bisa dikembangkan semaksimal mungkin, yang merugikan harus dicegah. Perubahan yang terjadi dapat berupa rasa, warna, bentuk, kalori, dan sifat-sifat lainnya (Volk et, al, 1990). Makanan fermentasi adalah makanan yang diolah menggunakan mikroba lain untuk merubah kandungan zat makanan yang terkandung di dalamnya. Makanan fermentasi ini memang akrab untuk masyarakat Indonesia pada umumnya. Yang membuat makanan fermentasi akrab di telinga masyarakat Indonesia tentu saja masalah pengolahannya. Fermentasi menggunakan ragi sebagai bahan utama pengolah bahan makanana yang difermentasi. Fermentasi sendiri merupakan bagian terpenting dari pengolahan makanan
tipe ini. Ragi dalam proses fermentasi berfungsi sebagai zat pengikat gizi supaya makanan tidak rusak dengan adanya bakteri yang hidup di dalamnya. Proses fermentasi dalam makanan adalah untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba, mempertahankan gizi yang dikehendaki dan menciptakan kondisi yang tidak baik bagi mikroba yang merugikan (Black, 2008). Protein sel tunggal merupakan produk pengembangan bahan makanan berkadar protein tinggi yang berasal dari mikroba melalui mekanisme biteknologi. Istilah protein sel tunggal (PST) digunakan untuk membedakan bahwa protein sel tunggal berasal dari mikro organisme bersel tunggal atau banyak, contohnya seperti bakteri atau alga. Pemanfaatan mikroorganisme tersebut dilakukan untuk menghasilkan kualitas produk makanan berprotein tinggi. Sejarah penggunaan protein sel tunggal secara komersial dimulai pada era Perang Dunia pertama di negara Jerman dengan memproduksi khamir torula. Operasi utama dalam memproduksi protein sel tunggal adalah dengan cara fermentasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan konversi substrat menjadi massa mikrobial. Contoh penggunaanna antara lain Mikoprotein dari Fusarium, Substrat: tepung gandum dan ketan serta Spirulina dan Chlorella. Contoh diatas dipilih oleh para ilmuwan dalam mengembangkan protein sel tunggal disebabkan kadar protein lebih tinggi dari protein kedelai atau hewan dan memiliki pertumbuhan yang cepat dan tepat (Black, 2008). Mikroorganisme yang dibiakkan untuk protein sel tunggal dan digunakan sebagai sumber protein untuk hewan atau pangan harus mendapat perhatian secara khusus. Mikroorganisme yang cocok antara lain memiliki sifat tidak menyebabkan penyakit terhadap tanaman, hewan, dan manusia. Selain itu, nilai gizinya baik, dapat digunakan sebagai bahan pangan atau pakan, tidak mengandung bahan beracun serta biaya produk yang dibutuhkan rendah. Mikroorganisme yang umum digunakan sebagai protein sel tunggal, antara lain alga Chlorella, Spirulina, dan Scenedesmus; dari khamir Candida utylis; dari kapang berfilamen Fusarium gramineaum; maupun dari bakteri (Volk et, al, 1990). Ada dua faktor pendukug pengembangbiakan mikroorganisme untuk protein sel tunggal, yaitu: a) Laju pertumbuhan sangat cepat jika dibandingkan dengan sel tanaman atau sel hewan dan waktu yang diperlukan untuk penggandaan relatif singkat;
b) Berbagai macam substrat yang digunakan bergantung pada jenis mikroorganisme yang digunakan. Kelebihan protein sel tunggal adalah sebagai berikut: 3. Kimia a) Laju pertumbuhan sangat cepat yaitu dalam ukuran jam dan masih bisa ditingkatkan lagi b) Dapat menggunakan bermacam-macam media atau substrat c) Produksi protein sel tunggal tidak bergantung pada iklim dan musim d) Memiliki kandungan protein lebih tinggi daripada hewan dan tumbuhan. Selain secara alami dan biologis, pengawetan juga bisa menggunakan bahan-bahan kimia seperti gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam propionat, asam sitrat, garam sulfat dan lain-lain. Proses pengasapan juga termasuk cara kimia sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan ke dalam makanan yang diawetkan. Apabila jumlah pemakaiannya tepat, pengawetan dengan bahan-bahan kimia dalam makanan sangat praktis karena dapat menghambat berkembangbiaknya mikroorganisme seperti jamur atau kapang, bakteri dan ragi (Waluyo, 2004). Prinsip dari pengawetan ini adalah sebagai berikut. a) Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan b) Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama c) Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial. Bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet juga diharapkan dapat mengganggu kondisi optimal pertumbuhan mikroba. Ditinjau secara kimiawi, pertumbuhan mikroba yang paling rawan adalah keseimbangan elektrolit pada sistem metabolismenya. Karena itu bahan kimia yang digunakan untuk antimikroba yang efektif biasanya digunakan asam-asam organic (Waluyo, 2004). RUJUKAN Black, Jacqueline G. 2008. Microbiology: Principals and Explorations 7 th Edition. Virginia: John Wiley & Sons Inc.
Volk, Wesley A dan Wheeler, Margaret F. 1990. Basic Microbilogy fifth edition. Jakarta: Erlangga. (diterjemahkan oleh Soenartono Adisoemarto. 1990. Mikrobiologi Dasar edisi kelima jilid 2). Waluyo, Lud. 2004. Mikrobiologi Umum. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang