Pematematikaan Horizontal Siswa SMP pada Masalah Perbandingan

dokumen-dokumen yang mirip
PEMBELAJARAN PENGURANGAN PECAHAN MELALUI PENDEKATAN REALISTIK DI KELAS V SEKOLAH DASAR

Pendekatan Realistik dalam Pembelajaran Matematika

PENANAMAN NORMA-NORMA SOSIAL MELALUI INTERAKSI SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH DASAR

InfinityJurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Vol 2, No.1, Februari 2013

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)

Pembelajaran Matematika Realistik Sebagai Sebuah Cara Mengenal Matematika Secara Nyata

Pemahaman Konsep FPB Dengan Pendekatan RME. Oleh: Lailatul Muniroh

KURIKULUM MATEMATIKA TAHUN 1984 DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK. Tatang Herman

PROSES SCAFFOLDING BERDASARKAN DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PERTIDAKSAMAAN KUADRAT DENGAN MENGGUNAKAN MAPPING MATHEMATICS

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek dalam kehidupan yang memegang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

PMRI: Pembelajaran Matematika yang Mengembangkan Penalaran, Kreativitas dan Kepribadian Siswa 1 oleh Tatag Yuli Eko Siswono FMIPA UNESA Surabaya

INTERAKSI SISWA DALAM PEMBELAJARAN PMRI. Makalah dipresentasikan pada. Pelatihan PMRI untuk Guru-Guru SD di Kecamatan Depok dalam rangka

KAJIAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERDASARKAN PADA TEORI BELAJAR DARI BRUNER, APOS, TERAPI GESTALT, DAN RME

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Edisi Khusus No. 2, Agustus 2011

Kata Kunci: Pendidikan Matematika Realistik, Hasil Belajar Matematis

Proses Berpikir Siswa dalam Pemecahan Masalah dengan Pemberian Scaffolding

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)

Oleh : Qomaria Amanah Mahasiswa S1 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK SEBAGAI PENDEKATAN BELAJAR MATEMATIKA

BAB I PENDAHULUAN. utama dalam menguasai pelajaran matematika. Belajar matematika berarti. bermanfaat jika konsep dasarnya tidak dipahami.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MAKALAH. Oleh: R. Rosnawati, dkk

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

PEMBELAJARAN MATEMATIKA HUMANISTIK DAN KAITANNYA DENGAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI) * Rahmah Johar

Pembelajaran Matematika Melalui Pemecahan Masalah Realistik

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD MENGGUNAKAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI)

Penguasaan dan pengembangan Ilmu

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. merupakan suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk. pengertian yang benar tentang suatu rancangan atau ide abstrak.

Bagaimana Cara Guru Matematika Memfasilitasi Siswanya agar dapat Membangun Sendiri Pengetahuan Mereka?

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK PADA PEMBELAJARAN PECAHAN DI SMP. Di sampaikan pada Pelatihan Nasional PMRI Untuk GuruSMP Di LPP Yogyakarta Juli 2008

PERMAINAN MATEMATIKA SEBAGAI LATIHAN UNTUK MENUMBUHKAN MINAT TERHADAP MATEMATIKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SCAFFOLDING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA 5

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dalam pembelajaran matematika mencakup pemahaman konsep, penalaran

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia khususnya para siswa di tingkat pendidikan Sekolah Dasar hingga

SIKLUS KEDUA PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT DI KELAS IV SEKOLAH DASAR DENGAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK

2016 PENERAPAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR

PROSIDING. Pengembangan Pembelajaran Matematika SMP melalui Aktivitas Mematematikakan Realita

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGEMBANGAN MATERI LUAS PERMUKAAN DAN VOLUM LIMAS YANG SESUAI DENGAN KARAKTERISTIK PMRI DI KELAS VIII SMP NEGERI 4 PALEMBANG

PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI) DAN RELEVANSINYA DENGAN KTSP 1. Oleh: Rahmah Johar 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memformulasikan dan merealisasikan ide- ide mereka.

PEMANFAATAN VIDEO TAPE RECORDER (VTR) UNTUK PEGEMBANGAN MATEMATIKA REALISTIK DI SMP

PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA KONTEKSTUAL TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR KELAS AWAL

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Dengan Model Pembelajaran Matematika Realistik Di Sekolah Menengah Pertama

BAB I PENDAHULUAN. Kreativitas merupakan suatu hal yang kurang diperhatikan dalam

REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION: MODEL ALTERNATIF

PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK, KAITANNYA DENGAN PERFORMANSI PESERTA DIDIK Oleh: Ahmad Nizar Rangkuti 1

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN PECAHAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN REALISTIK. A. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

BAB I PENDAHULUAN. yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Menurut

Pembelajaran Fungsi Komposisi dan Fungsi Invers Melalui Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMA

Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau menangkap segala perisitiwa disekitarnya. Dalam kamus bahasa Indonesia. kesanggupan kecakapan, atau kekuatan berusaha.

PROSES BERPIKIR MAHASISWA DALAM MENGKONSTRUKSI BUKTI MENGGUNAKAN INDUKSI MATEMATIKA BERDASARKANTEORI PEMEROSESAN INFORMASI

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK PADA POKOK BAHASAN PERBANDINGAN DI KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)

Pengembangan Student Worksheet Berbasis Matematika Realistik untuk Pembelajaran Matematika Secara Bilingual di Sekolah Menengah Pertama

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. mengoptimalkan sumber-sumber daya pendidikan yang tersedia. pendidikan juga mengalami dinamika yang semakin lama semakin

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENELUSURAN KESALAHAN SISWA DAN PEMBERIAN SCAFFOLDING DALAM MENYELESAIKAN BENTUK ALJABAR

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MELALUI PENDEKATAN PMR DALAM POKOK BAHASAN PRISMA DAN LIMAS. FMIPA UNP,

KONSEP SAMA DENGAN PADA PENJUMLAHAN DI SEKOLAH DASAR DAN PEMBELAJARANNYA Sugiman FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

PENERAPAN PEMBELAJARAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME)

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) DENGAN PENDEKATAN PMRI PADA POKOK BAHASAN KUBUS DAN BALOK DI KELAS VIII

ANALISIS KEMAMPUAN REASONING MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA IAIN AMBON DALAM MENYELESAIKAN MASALAH GEOMETRI

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. intelektual dalam bidang matematika. Menurut Abdurrahman (2012:204)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ISSN Jurnal Exacta, Vol. IX No. 1 Juni 2011

UPAYA MENINGKATKAN MINAT BELAJAR MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN PMRI PADA SISWA KELAS VII SMP MAARIF 5 PONOROGO

BAB I PENDAHULUAN. berdampak positif dalam pencapaian prestasi belajar yang optimal. Hasil

Jurnal MITSU Media Informasi Teknik Sipil UNIJA Volume 3, No. 1, April ISSN :

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG BILANGAN BULAT MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION

P2M STKIP Siliwangi Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, Vol. 3, No. 1, Mei 2016

P 9 Pembelajaran Matematika Realistik Pada Materi Persamaan Linear Satu Variabel Di SMP Kelas Vii

Pendekatan PMRI sebagai Gerakan Literasi Sekolah dalam Pembelajaran Matematika

PENGEMBANGAN LEMBAR KEGIATAN SISWA (LKS) DENGAN PENDEKATAN PMR PADA MATERI LINGKARAN DI KELAS VIII SMPN 2 KEPOHBARU BOJONEGORO

DESAIN PEMBELAJARAN PENJUMLAHAN BILANGAN 1-29 BERBASIS PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI) DI SD NEGERI 117 PALEMBANG

BAB I PENDAHULUAN. meringankan kerja manusia. Matematika diberikan kepada siswa sebagai bekal

II. KAJIAN TEORI. Perkembangan sebuah pendekatan yang sekarang dikenal sebagai Pendekatan

Utami Murwaningsih Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

Profil Proses Kognitif Siswa SMP Laki-laki dalam Investigasi Matematik Ditinjau dari Perbedaan Kemampuan Matematika

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia. Lebih lanjut matematika dapat memberi bekal kepada siswa. matematika siswa secara umum belum menggembirakan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1 Sarbaini, Identifikasi Tingkat Berpikir Siswa Berdasarkan Teori Van

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ratna Purwati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

PESTA ULANG TAHUN DAN MODEL PERMEN BATU MEMBANTU MEMPERJELAS KONSEP IRISAN DUA HIMPUNAN. Taufik 1

Transkripsi:

Pematematikaan Horizontal Siswa SMP pada Masalah Perbandingan Herna *1, Ana Muliana *2 1,2 Universitas Sulawesi Barat e-mail: *1 hernausb@rocketmail.com, *2 anamuliana@yahoo.com Abstrak Penelitian kualitatif ini dilakukan pada siswa kelas VII di SMPN 4 Tinambung, Sulawesi Barat. Tujuannya adalah mengkaji proses proses berpikir siswa dalam pematematikaan horizontal. Penelitian ini menemukan bahwa karateristik berpikir siswa dalam pematematikaan horizontal pada masalah perbandingan meliputi aktivitas modeling dan intertwining. Aktivitas modeling dilakukan dengan menggunakan kata-kata yakni, menyederhanakan soal dengan memperhatikan gambar, kemudian mengaitkan gambar dan keterangan gambar pada soal sehingga diperoleh model soal realistik. Aktivitas intertwining dilakukan dengan mengaitkan soal realistik dengan model yang diperoleh dari soal untuk mengetahui strategi yang akan digunakan dalam menyelesaikan soal. Selanjutnya, siswa mengaitkan situasi dunia nyata dengan konsep matematika, mengaitkan situasi dunia nyata yang satu dengan situasi dunia nyata yang lain, dan mengaitkan konsep matematika yang satu dengan konsep matematika yang lain dalam menjalankan strategi penyelesaian soal. Kata kunci: pematematikaan horizontal, modeling, intertwining, scaffolding 1. PENDAHULUAN Salah satu masalah mendasar dalam pendidikan di indonesia adalah masih rendahnya prestasi siswa dalam belajar matematika. Beberapa laporan menyebutkan faktor penyebabnya, antara lain kurangnya kualitas materi pembelajaran, metode pengajaran yang mekanistik serta buruknya sistem penilaian. Salah satu pendekatan yang menjanjikan dapat mengurangi masalah tersebut adalah realistic mathematics education (RME). Di indonesia dikenal dengan istilah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) (Lambas, dkk., 2004b: 32). Lebih lanjut dalam (Lambas, dkk., 2004b: 33) menyatakan bahwa RME dikembangkan oleh Freudenthal Institute, Belanda dan koleganya IOWA oleh Freudenthal pada tahun 1977. Menurutnya, matematika harus dihubungkan dengan kenyataan, berada dekat dengan peserta didik, dan relevan dengan kehidupan masyarakat agar memiliki nilai manusiawi. Pandangannya menekankan bahwa materi-materi matematika harus dapat ditransmisikan sebagai aktifitas manusia (human activity). Pendidikan seharusnya memberikan kesempatan peserta didik untuk re-invent (menemukan/menciptakan kembali) matematika melalui praktek (doing 1..

it). Terkait dengan itu, menurut Gravemeijer (1994: 91) pendekatan 2ealistic penekanannya adalah pada pematematikaan. Treffers (1991: 32) mengklasifikasikan pematematikaan ke dalam dua tipe yaitu, pematematikaan horizontal dan pematematikaan vertikal. Berdasarkan beberapa pendapat dari (De Lange, 1987; Treffers, 1991; Gravemeijer, 1994; Yuwono, 2001) disimpulkan bahwa pematematikaan horizontal adalah proses membangun konsep matematika informal dari masalah 2ealistic. Aktivitas pematematikaan horizontal meliputi pendeskripsian masalah 2ealistic dalam cara-cara yang berbeda untuk memudahkan menemukan solusi masalah sehingga prosedur penyelesaian masalah atau solusi tersebut dapat digunakan kembali untuk menyelesaikan masalah yang sejenis. Singkatnya, menurut Freudenthal dalam (Gravemeijer, 1994: 94) bahwa pematematikaan horizontal berkaitan dengan perubahan dunia nyata menjadi 2ealissimbol dalam matematika. Aktivitas pematematikaan horizontal ini dapat berupa modeling (gambar, skema, tabel, kata-kata, self-invented symbols), dan menemukan hubungan-hubungan (intertwining). Sedangkan pematematikaan vertikal berkaitan dengan proses organisasi kembali pengetahuan yang telah diperoleh dalam 2ealissimbol matematika yang lebih abstrak. Singkatnya, menurut Freudenthal dalam (Gravemeijer, 1994: 94) pematematikaan vertikal adalah pengubahan dari 2ealissimbol ke 2ealis matematika lainnya (moving within the world of symbols). Contoh pematematikaan vertikal adalah memperbaiki model, menggunakan model yang berbeda, memadukan dan mengkombinasikan beberapa model, merumuskan konsep matematika yang baru dan penggeneralisasian. Peneliti bermaksud melakukan penelitian pada kelas VII. Peneliti menfokuskan penelitiannya pada pematematikaan horizontal. Hal ini disebabkan siswa pada kelas tersebut pada umumnya berumur 11-12 tahun, dimana menurut Piaget (dalam Budiningsih, 2005:38) usia seseorang 7-12 tahun berada pada tahap operasi konkret sehingga dalam belajar siswa tersebut masih membutuhkan pengaitan antara pengetahuan yang dipelajari dengan kehidupan nyata agar siswa dapat memahami pengetahuan tersebut dengan baik. Selain itu, pematematikaan horizontal merupakan langkah awal dari proses re-invent (menemukan/menciptakan kembali) sebuah konsep matematika sehingga siswa diharuskan dapat melakukan pematematikaan horizontal dengan baik agar proses re-inventnya berjalan dengan 2ealis. Dalam penelitian ini, pematematikaan horizontal dimaksudkan sebagai alur membangun konsep matematika informal. Konsep matematika yang akan dikonstruksi dan ditemukan kembali dalam penelitian ini adalah konsep perbandingan informal. Alasan dipilihnya konsep tersebut karena masalah perbandingan banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari sehingga tepat digunakan untuk penerapan pematematikaan horizontal. Pematematikaan horizontal dalam penelitian ini ditunjukkan oleh jawaban siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual sehingga pematematikaan horizontal mempunyai kemungkinan salah atau benar. Terkait dengan itu, pematematikaan horizontal yang benar yang dilakukan oleh siswa perlu dicari tahu karena dapat memperkuat agar pematematikaan horizontal selanjutnya senantiasa benar. 2..

Sedangkan, pematematikaan horizontal yang salah yang dilakukan oleh siswa perlu juga dicari tahu untuk mencari letak kesahalannya agar dapat dibenahi. Dalam melakukan pematematikaan horizontal, ada beberapa kemungkinan jawaban dari siswa yaitu, ada siswa yang dapat melakukan aktivitas pematematikaan horizontal dengan benar tanpa bantuan dari peneliti, ada siswa yang dapat melakukan aktivitas pematematikaan horizontal dengan benar jika diberikan bantuan oleh peneliti, dan ada siswa yang tidak dapat melakukan aktivitas pematematikaan horizontal dengan benar meskipun diberikan bantuan oleh peneliti. Hudojo (1990: 5) berpendapat bahwa di dalam proses belajar matematika terjadi juga proses berpikir, sebab seseorang dikatakan berpikir bila orang itu melakukan kegiatan mental dan orang yang belajar matematika mesti melakukan kegiatan mental. Terkait dengan pernyataan itu maka dalam mengonstruksi sebuah pengetahuan siswa mesti melakukan kegiatan mental 3ealistic3 mengkonstruksi sebuah pengetahuan merupakan hal yang penting dalam pembelajaran maka penting untuk mengetahui proses berpikir siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut. Karakteristik berpikir siswa dalam melakukan aktivitas pematematikaan horizontal perlu diketahui agar dapat mengkonstruksi lembar aktivitas yang sesuai dengan cara berpikir siswa sehingga memudahkan proses konstruksi konsep matematika. Selain itu, karakteristik berpikir siswa ketika diberikan bantuan juga perlu diketahui sebagai bahan pertimbangan untuk alternatif bantuan yang akan diberikan ketika siswa mengalami kesulitan dalam mengkonstruksi konsep matematika sehingga proses konstruksinya berjalan dengan baik. Vincent Ruggiero dalam Subanji (2007) mengartikan berpikir sebagai aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi keinginan untuk memahami. Berpikir dalam penelitian ini di maksudkan sebagai aktivitas mental dalam membangun konsep perbandingan informal dari masalah 3ealistic. Berdasarkan kegiatan prasurvey yang dilakukan peneliti pada tanggal 20 Januari 2010, peneliti menemukan bahwa karakteristik berpikir siswa dalam melakukan pematematikaan horizontal terkait konsep perbandingan informal meliputi modeling, dan intertwining. Hal tersebut diketahui setelah siswa mendapatkan scaffolding dari peneliti, karena siswa mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas tersebut secara individu. Terkait dengan pernyataan di atas maka karakteristik berpikir siswa yang akan diamati dalam penelitian ini adalah karakteristik berpikir siswa ketika melakukan aktivitas pematematikaan horizontal yaitu, modeling dan intertwining. Pendeskripsian karakteristik berpikir siswa pada pematematikaan horizontal dimaksudkan dengan mendeskripsikan hasil eksplorasi berpikir siswa dalam melakukan aktivitas pematematikaan horizontal untuk mengetahui karakteristik berpikir dari masingmasing subjek penelitian, demi tujuan lebih jauh yaitu, menemukan karakteristik berpikir siswa dalam melakukan aktivitas modeling dan intertwining untuk masingmasing kategori (kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah). 3..

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengkaji proses berpikir siswa dalam pematematikaan horizontal melalui scaffolding, dan kemudian mengidentifikasi karakteristik berpikir siswa ketika melakukan aktivitas pematematikaan tersebut. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam melakukan aktivitas pematematikaan horizontal siswa mengalami kesulitan seperti yang ditemukan peneliti ketika melakukan kegiatan prasurvey. Menurut Lambas, dkk. (2004c: 21) bantuan dari seseorang yang lebih dewasa atau lebih kompeten dengan maksud agar si anak mampu untuk megerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya daripada tingkat perkembangan kognitif yang aktual dari anak yang bersangkutan disebut dukungan dinamis atau scaffoding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bentuk dari bantuan itu berupa petunjuk, peringatan, dorongan, penguraian langkah-langkah pemecahan, pemberian contoh, atau segala sesuatu yang dapat mengakibatkan siswa mandiri. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Wood, Bruner & Ross (dalam Julia Anghileri, 2006) yang menyatakan bahwa: The notion of scaffolding has been used to reflect the way adult support is adjusted as the child learns and is ultimately removed when the learner can stand alone. Dalam penelitian ini, scaffolding diberikan oleh peneliti. Terkait dengan pernyataan sebelumnya bahwa dalam melakukan kegiatan prasurvey peneliti menemukan bahwa aktivitas pematematikaan horizontal yang dilakukan oleh siswa dalam membangun konsep perbandingan informal adalah modeling, dan intertwining maka untuk mengetahui bagaimana karakteristik berpikir siswa dalam melakukan masing-masing aktivitas tersebut, peneliti bermaksud melakukan penelitian lebih lanjut tentang Proses Berpikir Siswa dalam Pematematikaan Horizontal melalui Scaffolding. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan tergolong penelitian deskriptif eksploratif. Hal tersebut disebabkan penelitian ini mendeskripsikan hasil eksplorasi proses atau tingkah laku siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 4 Tinambung, kabupaten POLMAN provinsi SULBAR. Peneliti melakukan kegiatan prasurvey dengan tujuan untuk mengetahui nilai matematika semester gasal siswa kelas VIIB dan untuk memperkenalkan diri pada calon siswa yang akan menjadi subjek penelitian. Kemudian dengan bantuan guru dan berdasar pada nilai raport serta pertimbangan sifat komunikatif dari siswa, peneliti kemudian menentukan subjek penelitian yang terdiri atas: 2 siswa dari kelompok tinggi, 2 siswa dari kelompok sedang, dan 2 siswa dari kelompok rendah. Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan uji pendahuluan pada kelas VII C dengan tujuan untuk memastikan bahwa terjadi aktivitas mental ketika 4..

siswa melakukan pematematikaan horizontal masalah perbandingan. Selain itu, uji pendahuluan ini juga bertujuan untuk melihat apakah masalah yang tercantum dalam instrumen lembar tugas dapat dipahami oleh siswa untuk keperluan penyempurnaan instrumen lembar tugas. Pada tahap pengambilan data, peneliti bekerjasama dengan guru bidang studi matematika kelas VIIB untuk melakukan pengambilan data. Pada saat pengambilan data, peneliti menggunakan dua alat perekam yaitu, falsh disk dan kamera digital. Flash disk digunakan untuk merekam suara dan kamera digital digunakan untuk melihat perilaku siswa. Selain itu, peneliti juga membuat catatan kejadian unik, misalnya ketika siswa berpikir keras sambil memegang kepala, siswa merenungkan masalah dengan diam, dan sebagainya. Pada saat pengambilan data, apabila peneliti merasa perlu untuk mendalami berpikir siswa maka dilakukan dengan mewawancarainya pada saat itu. Dari hasil rekaman di flash disk ditransfer ke komputer dan kemudian ditranskrip. Setelah diperoleh data (hasil TOL, dan hasil wawancara), maka peneliti menganalisis data dengan mereduksi data, pengkodean, dan menggambarkan diagram struktur berpikir siswa. Setelah itu, peneliti mencari tahu karakteristik berpikir masing-masing siswa yang menjadi subjek penelitian dalam melakukan pematematikaan horizontal dan menggunakan metode perbandingan tetap untuk menemukan karakteristik berpikir siswa dalam pematematikaan horizontal pada setiap kelompok subjek (kelompok tinggi, sedang, dan rendah). 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil kajian berpikir siswa dalam melakukan pematematikaan horizontal masalah perbandingan dapat disimpulkan bahwa karateristik berpikir siswa dalam pematematikaan horizontal meliputi aktivitas modeling dan intertwining. Aktivitas modeling dilakukan dengan menggunakan kata-kata yakni, menyederhanakan soal dengan memperhatikan gambar, kemudian mengaitkan gambar dan keterangan gambar pada soal sehingga diperoleh model soal realistik yakni berat 2 buah nanas sama dengan berat 10 buah pisang, berat 1 buah nanas sama dengan berat 2 buah pisang dan 1 buah apel, dan berat semua ayam betina yang akan dinaikkan ke sisi kiri timbangan agar timbangan dalam kondisi seimbang adalah 1600 gram. Aktivitas intertwining dilakukan dengan mengaitkan soal realistik dengan model yang diperoleh dari soal untuk mengetahui strategi yang akan digunakan dalam menyelesaikan soal. Selanjutnya, siswa mengaitkan situasi dunia nyata dengan konsep matematika, mengaitkan situasi dunia nyata yang satu dengan situasi dunia nyata yang lain, dan mengaitkan konsep matematika yang satu dengan konsep matematika yang lain dalam menjalankan strategi penyelesaian soal. Karakteristik berpikir siswa dalam mengaitkan situasi dunia nyata dengan konsep matematika berupa, menemukan hubungan antara situasi dunia nyata (berat 1 buah apel, gram lebihnya atau kurangnya berat buah) dan konsep pengurangan, menemukan hubungan antara situasi dunia nyata (berat 1 buah nanas, berat buah yang 5..

satu berapa kali berat buah yang lain) dan konsep pembagian, menemukan hubungan antara buah yang lebih berat atau lebih ringan dan konsep urutan bilangan riil, dan menemukan hubungan antara berat ayam dan konsep penjumlahan. Semua pengaitan yang telah disebutkan adalah tepat, dan dapat dilakukan siswa dengan baik. Selain pengaitan yang telah disebutkan di atas, siswa juga menemukan hubungan antara berat buah yang satu berapa kali berat buah yang lain dan konsep pembagian. Pengaitan ini pun tepat digunakan untuk menyelesaikan soal, namun siswa tidak dapat melakukan aktivitas tersebut dengan baik. Hal tersebut disebabkan oleh urutan bilangan ketika melakukan operasi pembagian terbalik, dan itu menunjukkan bahwa siswa tidak memahami pernyataan tentang berat buah yang satu sekian kali berat buah yang lain dengan baik. Karakteristik berpikir siswa dalam mengaitkan situasi dunia nyata yang satu dengan situasi dunia nyata yang lain berupa, menemukan hubungan antara cara membandingkan berat buah pada soal yang satu dan soal lainnya yang sejenis. Pengaitan tersebut tepat digunakan untuk menyelesaikan soal, dan siswa dapat melakukannya dengan baik. Karakteristik berpikir siswa dalam mengaitkan konsep matematika yang satu dan konsep matematika yang lain berupa, menemukan hubungan konsep pecahan sederhana dan konsep pembagian dalam menyederhanakan pecahan, dan menemukan hubungan antara konsep penjumlahan dan konsep satuan sejenis dalam menghitung berat ayam yang satuannya berbeda. Pengaitan tersebut tepat digunakan untuk menyelesaikan soal, dan siswa dapat melakukannya dengan baik. Berikut salah satu contoh kajian proses berpikir siswa dalam melakukan aktivitas modeling dan intertwining dalam menyelesaian masalah pada instrumen penelitian. Dalam menyelesaikan soal nomor 1(a) secara individu, siswa hanya melakukan aktivitas intertwining. Aktivitas intertwining tersebut adalah intertwining antara situasi dunia nyata dan konsep urutan bilangan riil. Dalam situasi dunia nyata, siswa R 2 menentukan buah apa yang lebih berat antara buah nanas dengan buah pisang yang ada pada diagram (1) jika banyaknya buah pisang 10 buah dan banyaknya buah nanas 2 buah, sehingga ditemukan bahwa buah yang lebih berat adalah buah pisang karena buah nanas lebih banyak dari buah pisang. Jawaban yang diperoleh dari aktivitas tersebut adalah salah karena siswa membandingkan berat 2 buah nanas dengan 10 buah pisang, sedangkan yang diminta dalam soal adalah membandingkan berat 1 buah pisang dengan berat 1 buah nanas. Berikut adalah jawaban siswa yang mendukung pernyataan tersebut. Pernyataan tersebut juga didukung oleh hasil transkrip ungkapan verbal siswa berikut ini. S: Buah pisang karena buah nanas lebih sedikit 50 gram P: Apa maksudnya buah nanas lebih sedikit 50 gram? 6..

S: Karena buah pisang 10, dan buah nanas 2, jadi buah pisang lebih berat karena lebih banyak Untuk menjawab pertanyaan selanjutnya, siswa melakukan intertwining antara kata gram yang ada dalam kalimat pertanyaan dan apa yang diketahui dalam soal yakni, berat 1 buah pisang 50 gram, sehingga siswa menjawab bahwa gram lebihnya adalah 50 gram. Jawaban yang diperoleh dari aktivitas tersebut masih salah karena siswa menjawab pertanyaan tersebut dengan mengambil begitu saja nilai yang mengikuti satuan gram hanya karena dalam kalimat pertanyaan ada kata gram, sedangkan yang diminta dalam soal adalah menentukan berat 1 buah nanas terlebih dahulu kemudian menentukan berapa gram lebihnya berat buah yang satu dengan berat buah yang lain jika diketahui dalam soal bahwa berat 1 buah pisang 50 gram. Berikut adalah pernyataan siswa yang mendukung pernyataan tersebut. P: Kira-kira dari mana kamu dapat 50 gram? S: Saya melihat di soal ada 50 gram Bu P: Jadi kamu langsung mengambilnya begitu saja? (Sambil tersenyum siswa menjawab) S: iya Bu Selain itu, siswa juga melakukan aktivitas intertwining antara kata lebih dalam pertanyaan (a), bilangan-bilangan yang ada dalam soal dan konsep penjumlahan untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara menghitungnya?. Jawaban yang diperoleh dari aktivitas tersebut masih salah karena siswa menjawab pertanyaan tersebut dengan menjumlahkan setiap bilangan yang ada dalam soal hanya karena dalam kalimat pertanyaan tersebut terdapat kata lebih, sedangkan yang diminta oleh soal adalah menjelaskan cara menghitung berapa gram lebihnya berat buah yang satu dengan buah yang lain jika berat dari masing-masing buah telah diketahui. Berikut adalah jawaban siswa yang mendukung pernyataan tersebut. Pernyataan tersebut juga didukung oleh hasil transkrip ungkapan verbal siswa berikut ini. P: Apa maksud dari 10 + 2=12, 1+2+1=4, 1+50=51? (sambil tersenyum lagi siswa menjawab) S: Karena pertanyaannya adalah berapa gram lebihnya, maka saya menjumlahkan setiap bilangan dalam soal, 10 buah pisang + 2 buah nanas, 1 buah nanas ditambah 2 buah pisang tambah 1 buah apel, 1 buah pisang tambah 50 gram Berdasarkan jawaban siswa di atas, peneliti menemukan bahwa siswa tidak memahami soal dengan baik, dan semua intertwining yang dilakukan belum tepat dan tidak bermakna. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disajikan struktur berpikir siswa dalam menyelesaikan soal nomor 1 bagian (a) dalam diagram berikut ini. Selain itu, struktur 7..

berpikir siswa juga dibandingkan dengan struktur masalah agar dapat diketahui apakah siswa membutuhkan scaffolding dari peneliti atau tidak. Pi 10 N 2 Int P OU 1 OL Int e2 JU 1 JL Int e1 Keterangan: Diagram 4.6.1 Struktur Berpikir Siswa R 2 dalam Menyelesaikan Soal Nomor 1(a) Secara Individu Istilah Kode Banyaknya buah pisang yang dibandingkan adalah 10 buah Pi 10 Banyaknya buah nanas yang dibandingkan adalah 2 buah N 2 Banyaknya buah pisang = 10 buah > 2 buah = banyaknya buah OU 1 nanas Buah yang lebih berat adalah buah pisang JU 1 Penjumlahan setiap bilangan yang ada dalam soal yakni, 10+2, OL 1+2+1, 1+50 Gram lebihnya adalah 50 gram Aktivitas intertwining antara situasi dunia nyata dan konsep urutan JL Int P bilangan riil. Dalam situasi dunia nyata, siswa menentukan buah apa 8..

yang lebih berat antara buah pisang dengan buah nanas yang ada pada gambar (1) jika banyaknya buah pisang 10 buah, dan banyaknya buah nanas 2 buah Aktivitas intertwining antara kata gram yang ada dalam kalimat Int e1 pertanyaan dan apa yang diketahui dalam soal yakni, berat 1 buah pisang 50 gram Int e2 Aktivitas intertwining antara kata lebih dalam soal, bilanganbilangan yang ada dalam soal dan konsep penjumlahan untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara menghitungnya? Karena struktur berpikir siswa tidak sesuai dengan struktur masalah seperti yang ditunjukkan oleh tulisan dan bentuk bintang yang diblok pada diagram di atas, maka peneliti perlu memberikan scaffolding. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa dalam melakukan pematematikaan horizontal masalah perbandingan dapat disimpulkan bahwa karateristik berpikir siswa dalam pematematikaan horizontal meliputi aktivitas modeling dan intertwining. Aktivitas modeling dilakukan dengan menggunakan kata-kata yakni, menyederhanakan soal dengan memperhatikan gambar, kemudian mengaitkan gambar dan keterangan gambar pada soal sehingga diperoleh model soal realistik yakni berat 2 buah nanas sama dengan berat 10 buah pisang, berat 1 buah nanas sama dengan berat 2 buah pisang dan 1 buah apel, dan berat semua ayam betina yang akan dinaikkan ke sisi kiri timbangan agar timbangan dalam kondisi seimbang adalah 1600 gram. Aktivitas intertwining dilakukan dengan mengaitkan soal realistik dengan model yang diperoleh dari soal untuk mengetahui strategi yang akan digunakan dalam menyelesaikan soal. Selanjutnya, siswa mengaitkan situasi dunia nyata dengan konsep matematika, mengaitkan situasi dunia nyata yang satu dengan situasi dunia nyata yang lain, dan mengaitkan konsep matematika yang satu dengan konsep matematika yang lain dalam menjalankan strategi penyelesaian soal. Dari temuan hasil penelitian ini, dapat disarankan sebagai berikut. 9..

a. Kajian penelitian masih terbatas, yaitu pematematikaan horizontal masalah perbandingan yang meliputi aktivitas modeling dan intertwining. Oleh karena itu, masih sangat terbuka peluang penelitian lanjutan terutama berkaitan dengan: (1) bagaimana karakteristik berpikir siswa dalam melakukan aktivitas pematematikaan horizontal selain aktivitas modeling dan intertwining, misalnya: pengidentifikasian dan perumusan masalah. (2) bagaimana karakteristik berpikir siswa dalam pematematikaan horizontal pada masalah yang lain selain masalah perbandingan. b. Penelitian ini hanya mendeskripsikan proses terjadinya pematematikaan horizontal siswa pada masalah perbandingan ketika siswa menyelesaikan masalah perbandingan secara mandiri. Akan tetapi, karena siswa masih kesulitaan dalam melakukan pematematikaan horizontal tersebut secara mandiri maka mereka membutuhkan bantuan. Untuk itu, perlu dikaji proses terjadinya pematematikaan horizontal siswa pada masalah perbandingan dengan bantuan berupa scaffolding dari peneliti sehingga nantinya siswa dapat melakukan pematematikaan horizontal dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Budiningsih, C. A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Creswell, John W. 2012. Research Desain Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Belajar. De Lange, J. 1987. Mathematics, Insight and Meaning. CW & OC, Utrecht. Gravemeijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudental Institute. Hudojo. 1990. Heboh tentang Pengajaran Matematika di SD. Makalah disajikan pada seminar regional matematika kota Malang, 20 September. Julia Anghileri, 2006. Scaffolding Practices that Enhance Mathematics Learning. Lambas, dkk. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi (Matematika). Jakarta: Dirjen Dikdasmen. Ruggiero, Vincent Ryan. 2012. Beyond feelings: A guide to Critical Thinking 9 th Edition. New York: McGraw-Hill Companies,Inc. Subanji. 2007. Proses Berpikir Penalaran Kovriasional Pseudo dalam Mengkonstruksi Grafik Fungsi Kejadian Dinamika Berkebalikan. Disertasi tidak dipublikasikan, Surabaya: Program Pascasarjana UNESA. Treffers. A.1991. didactical Background of Mathematical Program for Primary Education. Freudenthal Institute. Utrecht. Yuwono, I. 2001. RME (Realistics Mathematics Education) dan Hasil Studi awal Implementasinya di SLTP. Makalah Seminar disajikan pada Seminar Nasional Realistics Mathematic Education (RME) di UNESA Surabaya, 24 Pebruari 2001. 10..