BAB IV ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN MILITER III-12 SURABAYA NOMOR: 220-K/PM.III-12/AD/XI/2010 TENTANG TINDAK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN SECARA MUTILASI

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

BAB III DESKRIPSI PEMBUNUHAN ANAK CACAT MENTAL OLEH AYAH KANDUNG DALAM PUTUSAN NOMOR 223/PID.B/2016/PN.MJK

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

P U T U S A N. No. 23 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HUKUM HAKIM DAN FIQIH JINAYAH DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LAMONGAN NO:164/PID.B/ 2013/PN

P U T U S A N Nomor : 108/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 25/Pid.B/2013/PN.Unh. : RUDI Bin TAPU. Umur/Tanggal lahir : 22 Tahun / 15 Agustus 1990

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. No. 02 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

V. PENUTUP. polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL. Pertanggungjawaban atas

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PAMEKASAN TENTANG HUKUMAN AKIBAT CAROK MASAL (CONCURSUS) MENURUT HUKUM ISLAM

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO: 36 /PID.B/2014/PN-SBG

Halaman 1 dari 12 Putusan Nomor : 173/Pid.B/2014/PN.Bkn

PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA DAN PASAL 340 KUHP

P U T U S A N. No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dilakukan

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

P U T U S A N. No. 16 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 342/Pid/2013/PT.Bdg.

PUTUSAN Nomor : 101/Pid.B/2013/PN. Bkn. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

PUTUSAN Nomor : 376/Pid.B/2013/PN. Bkn. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur / Tanggal lahir : 45 Tahun / Tahun 1968

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7

P U T U S A N Nomor : 74/Pid.B/2014/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Tempat Lahir : Payakumbuh (Sumatera Barat)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PN DEMAK No. 62/Pid.Sus/2014/PN Dmk DALAM KASUS TABRAKAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SIDOARJO TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN ANAK DIBAWAH UMUR

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA MEMBUKA RAHASIA NEGARA SOAL UJIAN NASIONAL

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO: 60 /PID.B/2014/PN-SBG

P U T U S A N No : 155 /Pid.B/2013/PN.BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur / Tgl. lahir : 27 tahun/ 25 Mei 1984;

P U T U S A N Nomor : 143/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB III DESKRIPSI KASUS

BAB III TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO NOMOR: 203/Pid.Sus/2011/PN.Skh

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang benar-benar menjunjung

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N. No. 39/PID.B/2014/PN.SBG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN. Nomor : 46 / Pid.B / 2011 / PN.M DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI

P U T U S A N Nomor : 142/Pid.B/2012/PN.Dgl.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

P U T U S A N Nomor : 311/Pid.B/2013/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. : NURZANI Als ZANI Bin ATIN (Alm)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

P U T U S A N Nomor : 78/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Umur : 27 tahun / 21 Januari : Desa Tapulaga, Kec. Soropia, Kab. Konawe.

PENGADILAN TINGGI MEDAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

P U T U S A N Nomor : 42 /Pid.B/2013/PN.BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

P U T U S A N No. 263/Pid.B/2013/PN.BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV. A. Analisis Pertimbangan Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri No.

P U T U S A N Nomor :310/Pid.B/2013/PN.BJ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

P U T U S A N. Putusan Nomor : 217/Pid.B/2013/PN.BJ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Nama Lengkap : SUWARSONO ALS WAK NO

P U T U S A N Nomor : 33/Pid.B/2013/PN.M DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

Transkripsi:

BAB IV ANALISA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN MILITER III-12 SURABAYA NOMOR: 220-K/PM.III-12/AD/XI/2010 TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN CARA MUTILASI 1. Analisis pertimbangan Hakim Pengadilan Militer III-12 Surabaya dalam memutuskan perkara pidana pembunuhan dengan cara mutilasi Nomor: 220-K/PM.III-12/AD/XI/2010 Berkaitan dengan hal diatas, hal yang pertama kali dipertimbangkan oleh Hakim adalah dakwaan Primair yang unsur-unsurnya sebagai berikut: a) Barang siapa b) Dengan sengaja c) Direncanakan terlebih dahulu d) Merampas nyawa orang lain a) Unsur barang siapa; Untuk membuktikan unsur barang siapa menurut majelis perlu dipertimbangkan terlebih dahulu menganai subyek hukum pidananya saja, sedangkan mengenai pertanggungjawaban pidananya akan majelis pertimbangkan setelah semua unsur yang dalam dakwaan jaksa penuntut umum telah terpenuhi dan terbukti semuanya. Menimbang, bahwa terdakwa berdasarkan Surat Dakwaan Oditur Militer pada Oditurat Militer III-12 Surabaya Nomor: Sdak/235/K/AD/X/2010, tanggal 27 Oktober 2010 telah didakwa 78

79 melakukan tindak pidana adalah orang yaitu terdakwa yang bernama Niman yang identitasnya telah disebutkan secara lengkap diatas. b) Unsur dengan sengaja Dalam KUHP tidak dijelaskan apa arti kesengajaan tetapi dalam Memorie van Toelichting (MvT) disebutkan: pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan pada barang siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang dengan kehendak (Gewild) atau diketahui. Dalam teori, mengenai kesengajaan (Opzet) ini ada 2 aliran yakni: 1. Teori kehendak Willstheori dari Von Hippel. 2. Teori pengetahuan Voorstellingtheori dari Frank yang didukung oleh Vonlist Menurut teori kehendak kesengajaan (Opzet) adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan yang dirumuskan dalam undangundang, sedangkan pada terwujudnya teori pengetahuan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan ketentuan undang-undang. Walaupun dalam praktek antara kedua teori tersebut seringkali berakhir dengan hasil yang sama. Perbedaannya hanya dalam dalam bidang psikologi, tetapi dapat dirasakan manakah suatu satu dari kedua teori tersebut yang lebih memuaskan. Kiranya lebih mudah dimengerti bahwa apa yang dikehendaki tentu diketahui. Sebab untuk menghendaki sesuatu itu orang lebih dahulu mengetahui (mempunyai gambaran) tentang segala sesuatu itu. Jika mengambil teori kehendak, konsekwensinya ialah bahwa untuk menentukan sesuatu sebagai perbuatan

80 itu sesuai dengan motif untuk berbuat, dan tujuannya harus ada hubungan kasual dalam batin terdakwa. Lain halnya jika kesengajaan dipandang sebagai pengetahuan dengan unsur-unsur dari perbuatan dengan pertanyaan apakah terdakwa mengetahui, menginsyafi atau mengerti perbuatan yang dilakukannya maupun akibat dan keadaan c) Direncanakan terlebih dahulu Dalam pembunuhan biasa (Dood slag) pengambilan keputusan untuk menghilangkan nyawa seseorang dan pelaksanaanya merupakan suatu kesatuan, sedangkan direncanakan terlebih dahulu (Moord) kedua hal terpisah oleh jangka waktu yang diperlukan guna berfikir secara tenang tentang pelaksanaannya, juga waktu untuk memberikan kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya, jangkas waktu hanya sebagai petunjuk saja bukan sebagai kriteria atau bukti. Direncanakan lebih dahulu (Moord) memang terjadi pada seseorang suatu keadaan dimana mengambil keputusan untuk menghilangkan nyawa seseorang, ditimbulkan oleh pengaruh hanwa nafsunya. Jadi yang terpenting adalah: 1. Merencanakan kehendak atau maksudnya terlebih dahulu 2. Merencanakannya harus dalam keadaan tenang 3. Untuk kemudia dilaksanakannya juga secara tenang Meskipun ia mengetahui kemungkinan timbulnya akibat, ia tidak akan membatalkan rencananya, bahkan meskipun akibatnya pasti akan terjadi karena perbuatannya yang akan dilakukan iapun tidak membatalkannya,

81 maka semua syarat-syarat dengan sengaja (Opzettyke) dan direncanakan terlebih dahulu (Moord) telah terpenuhi. d) Merampas nyawa orang lain Pengertian dari merampas nyawa orang lain mengandung arti bahwa akibat dari perbuatan yang terdakwa lakukan mengakibatkan korban meninggal dunia/mati. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dimuka persidangan dihubungkan pula dengan alat bukti lain berupa hasil Visum Et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. Hery Wijatmoko, SpF, DFM dokter pemerintah pada RS. Bhayangkara HS. Samsoeri Mertojoso tanggal 13 mei 2010 pukul 13.20 Wib, nomor : VER/35/V/2010, telah diperoleh fakta hukum bahwa akibat dari perbuatan yang terdakwa lakukan telah jatuh korban yang bernama Hartono meninggal dunia disebabka terpotongnya anggota tubuh, dan luka tembak yang masuk pada rongga dada kiri kemudian keluar di punggung kiri dengan mematahkan tulang rusuk. Luka tersebut mengenaai paru-paru kiri bawah, sekat rongga dada sisi kiri di dua tempat serta hati bagian kiri, dan adanya kekerasan tumpul di kepala. Dari uraian fakta hukum dan pertimbangan dalam perkara, majelis berpendapat bahwa unsur ini juga telah pula terpenuhi menurut hukum. Adapun sebelum majelis sampai pada penentuan Straaf Maat (lamanya pidana yang akan dijatuhkan) kepada terdakwa, terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan maupun meringankan hukuman bagi terdakwa, yaitu:

82 1) Hal-hal yang memberatkan: a. Perbuatan terdakwa bertentangan dengan Sapta Marga terutama marga ke 3 dan marga ke 5 b. Perbuatan terdakwa bertentangan dengan 8 Wajib TNI terutama butir ke 1, 6 dan 7 c. Perbuatan terdakwa bertentangan dengan Sumpah Prajurit terutama butir ke 2 d. Perbuatan terdakwa dapat merusak nama baik kesatuan terdakwa ditengah masyarakat 2) Hal-hal yang meringankan: a. Terdakwa berterus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan b. Terdakwa belum perah dihukum c. Terdakwa telah memberikan santunan kepada keluarga korban. Untuk meringankan beban dari keluarga yang ditinggalkan oleh korban Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana yang telah diuraikan diatas, majelis berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan pada diri terdakwa dipandang sudah mencerminkan rasa kepatuhan dan rasa keadilan.

83 2. Analisis terhadap Putusan Pengadilan Militer III-12 Surabaya mengenai perkara pidana pembunuhan dengan cara mutilasi Nomor: 220-K/PM.III- 12/AD/XI/2010 ditinjau dari KUHP dan Hukum Pidana Islam A. KUHP Setelah melakukan studi literatur dan produk hukum pidana sampai saat ini penulis belum mendapatkan satu ketentuan hukum pidana yang mengatur secara tegas dan jelas mengenai tindakan mutilasi. KUHP sebagai buku induk dari semua ketentuan hukum pidana ternyata juga tidak mengatur tindakan ini. Berikut ini beberapa ketentuan hukum pidana yang mungkin diterapkan pada tindak mutilasi: 1) Mutilasi pada korban yang masih hidup Dalam bahasan ini difokuskan pada mutilasi sebagai bentuk kejahatan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Mutilasi berarti pemotongan anggota tubuh korban, ini berarti termasuk dalam penganiyaan berat yang sesuai dengan Pasal di KUHP. a. Pasal 90 KUHP menjelaskan luka berat sebagai luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali/bahaya maut; tidak mampu terusmenerus untuk menjalankan pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu panca indera; cacat berat (verminking); sakit lumpuh; terganggunya daya pikir selama min. 4 minggu; gugurnya kandungan seorang perempuan. b. Pasal 351 ayat (2) KUHP tindakan mutilasi pada ketentuan ini jelas mengacu pada tindakan untuk membuat orang lain merasakan atau menderita sakit secara fisik. hanya saja tindakan penganiayaan ini

84 dilakukan oleh pelaku secara langsung tanpa ada rencana yang berakibat luka berat sanksi pidana : penjara max 5 tahun. c. Pasal 353 ayat (1) KUHP tindakan mutilasi ini dapat dikatakan sebagai rangkaian atau salah satu dari beberapa tindakan penganiayaan pada korban yang masih hidup. Berbeda dengan Pasal 351 KUHP, Pasal ini lebih menitik beratkan pada perencanaan pelaku untuk melakukan tindakan tersebut sehingga berakibat akhir luka berat pada korban. sanksi pidana: penjara max. 7 tahun d. Pasal 354 (1) KUHP secara khusus sebenarnya KUHP sudah memberikan ketentuan yang melarang tindakan yang mengakibatkan luka berat. kekhususan pasal ini tampak pada kesengajaan pelaku dalam melakukan mutilasi yang timbul dari niat agar korban menderita luka berat. sanksi: pidana penjara max. 8 tahun. e. Pasal 355 ayat (1) KUHP dari sejak awal pelaku telah melakukan mutilasi sebagai tindakan penganiayaan dia dan sudah direncanakan terlebih dahulu. sanksi: pidana penjara max. 12 tahun. f. Pasal 356 KUHP pemberatan sanksi pidana karena pelaku adalah keluarga korban, pejabat, memberikan bahan berbahaya. sanksi: pidana penjara +1/3 dari sanksi pidana yang di ancamkan. Mutilasi sebagai bentuk kejahatan terhadap nyawa, Tindakan mutilasi di sini dapat dipahami sebagai tindakan pelaku melakukan pemotongan tubuh korban untuk mengakibatkan si korban mati. sangat berbeda dengan penganiayaan, dimana matinya korban tidak di rencanakan atau di harapkan

85 sebelumnya. pada golongan ini, tindakan mutilasi ini jelas-jelas ditujukan untuk matinya korban. misalnya, dengan menebas kepala korban dengan celurit, memotong tubuh korban secara langsung dengan gergaji mesin, dll. Pasal 338 KUHP perbuatan mutilasi yang dilakukan serta merta dan berakibat matinya korban. Sanksi: pidana penjara max. 15 tahun. Pasal 340 KUHP perbuatan mutilasi sebelumnya telah direncanakan terlebih dahulu dan setelah dijalankan berakibat matinya korban. Sanksi: pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. 2) Mutilasi pada mayat korban Perlu diketahui KUHP memandang mayat bukan sebagai manusia alamiah yang hidup namun hanya sebagai benda yang sudah tidak bernyawa lagi. mengenai hal ini dapat kita kaji pasal 180 KUHP tentang perbuatan melawan hukum menggali dan mengambil jenazah, pelaku di ancam dengan pidana penjara maksimal 1 tahun 4 bulan atau denda maksimal 300 rupiah. Hal ini sangat berbeda jauh jika di bandingkan dengan pasal penculikan orang (pasal 328 misalnya) memberikan sanksi pidana penjara maksimal 12 tahun. Jika di bandingkan terhadap pasal pencurian barang pun sebenarnya juga sangat jauh berbeda, pasal 362 KUHP sangat memandang serius tindakan pencurian barang dan mengancam pelaku dengan sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun penjara. Oleh karena itu dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa pengaturan tentang mayat atau jenazah di dalam KUHP masih sebatas pada benda yang sudah tidak bernyawa lagi. Pasal 406 KUHP penghancuran atau perusakan

86 barang yang menjadi kepunyaan orang lain. Istilah kepunyaan orang lain ini sangatlah berbeda dengan kepemilikan dari orang terhadap barang miliknya. Pengertian kepunyaan ini sangatlah luas tidak hanya semata-mata hak milik tetapi juga tanggung jawab yang telah diberikan dalam undang-undang. Jenazah tidak dapat dimiliki oleh jenazah itu sendiri, karena hak milik mensyaratkan subyeknya orang yang bernyawa. Si ahli warislah yang menjadi penanggung jawab atas jenazah tersebut seperti tanggung jawab yang telah diberikan Undang-undang tentang hukum keluarga. Sanksi: penjara 2 tahun 8 bulan. Pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP penghancuran benda-benda yang dapat dijadikan barang bukti tindak pidana. Sanksi: pidana penjara max. 9 bulan atau denda max. 300 rupiah. Pasal 222 KUHP pencegahan atau menghalang-halangi pemeriksaan mayat Sanksi: pidana penjara max. 9 bulan atau denda max. 300 rupiah. Sampai saat ini belum ada satupun ketentuan hukum pidana yang mengatur tindak pidana mutilasi ini secara jelas dan tegas. Namun tidak berarti pelaku dapat dengan bebas melakukan perbuatannnya tanpa ada hukuman. Tindak mutilasi pada hakekatnya merupakan tindakan yang sadis dengan maksud untuk meniadakan identitas korban atau penyiksaan terhadapnya. oleh karena itu sangatlah jelas dan benar jika tindak mutilasi ini dikelompokan sebagai tindak pidana bentuk kejahatan. Mengenai ketentuan hukum pidana yang mengatur, KUHP sebenarnya memberikan pengaturan yang bersifat dasar, misalnya mutilasi sebagai salah satu bentuk penganiayaan, penganiayaan berat atau tindak pembunuhan. Hanya saja memang sangat diakui dalam kasus yang terjadi, sangatlah jarang pelaku

87 melakukan mutilasi bermotifkan penganiayaan. Tindakan mutilasi seringkali terjadi sebagai rangkaian tindakan lanjutan dari tindakan pembunuhan dengan tujuan agar bukti (mayat) tidak diketahui identitasnya. Pada titik ini seringkali aparat kepolisian hanya menganggap tindakan mutilasi sebagai tindakan menghilangkan barang bukti dengan demikian rasa keadilan masyarakat tidak terfasilitasi. Adalah tugas Hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam rangka membuat Yurisprudensi yang menetapkan tindakan mutilasi sebagai bentuk kejahatan. B. Hukum Pidana Islam Allah menyatakan bahwa membunuh seseorang sama saja dengan membunuh semua manusia. Islam menghormati hak-hak manusia. Secara mutlak berdasarkan peninjauan dari sisi manusiawi seperti hak hidup. Karena hak hidup adalah hak suci yang secara hukum tidak dibenarkan untuk dilanggar kemuliannya. Jadi, pembunuhan tidak dibenarkan dalam islam, karena telah melanggar hak hidup seseorang. Islam memandang mutilasi merupakan tindakan yang pantas mendapatkan hukuman yang setimpal. Sebab, akibat dari perbuatan tersebut tidak hanya merugikan si korban tapi juga terhadap masyarakat. Pada masa Rasulullah, saat perang uhud mutilasi pernah terjadi. Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah, dibunuh oleh Wahsyi lalu dimutilasi oleh Hindun (istri Abu Sofyan). Ia mengambil jantung Hamzah dengan belati dan mengunyahnya. Sebagai balasan untuknya, Rasulullah pernah berbicara bahwa

88 kita akan membalas perbuatan Hindun. Tetapi, Allah menegur beliau karena memotong jenazah itu dilarang oleh Allah SWT. 1 Dalam hukum pidana Islam, perbuatan mutilasi dikenakan hukuman Qishash. Qishash adalah menjatuhkan hukuman kepada pelaku persis seperti apa yang dilakukannya. Dulu, apabila seseorang memutilasi, maka pelaku harus dimutilasi. Namun, sekarang hukuman itu sudah tidak berlaku lagi. Karena, Islam melarang pemotong-motongan jenazah. Tiga alternatif hukuman bagi pelaku mutilasi sama seperti pelaku pembunuhan dengan sengaja: 1) Dengan balas dibunuh Maksudnya dengan cara dipenggal bukan di potong-potong. Dan itu dilakukan di depan orang banyak termasuk disiarkan ke media massa. 2) Membayar diyat Diyat adalah denda pengganti yang harus dibayar oleh pelaku. Dalam islam, harga nyawa seseorang senilai dengan 100 ekor unta dengan 40 ekor diantaranya dalam keadaan bunting. Karena di Indonesia tidak ada unta, bisa diganti dengan 200 ekor sapi. Jika harga satu sapi Rp 15 juta, maka harga 200 sapi itu Rp 3 Milyar. 3) Dimaafkan Maksudnya, pelaku mendapatkan maaf dari keluarga korban. 1 Terulangnya Kasus Mutilasi, dalam http://santrilucu.wordpress.com, diakses pada 15 Desember 2014.