BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kecanduan Internet Kandell (dalam Panayides dan Walker, 2012) menyatakan bahwa kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis pada internet, apapun aktivitasnya sekalinya terkoneksi pada internet. Kecanduan internet atau internet addiction diartikan sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online. Orang-orang yang menunjukkan sindrom ini akan merasa cemas, depresi, atau hampa saat tidak online di internet. Gangguan kecanduan internet meliputi segala macam hal yang berhubungan dengan internet seperti jejaring sosial, e-mail, pornografi, judi online, game online, chatting, dan lain-lain (Herlina dalam Ningtyas, 2012). Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kecanduan internet adalah tingkah laku penggunaan internet kompulsif yang ditandai dengan ketidakmampuan individu untuk mengontrol waktu menggunakan internet, merasa dunia maya lebih menarik dibandingkan kehidupan nyata, dan mengalami gangguan dalam hubungan sosialnya. Griffiths (2000) telah mencantumkan enam dimensi untuk menentukan apakah individu dapat digolongkan sebagai pecandu internet. Dimensidimensinya adalah sebagai berikut: 10
1) Salience, hal ini terjadi ketika penggunaan internet menjadi aktivitas yang paling penting dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran individu (preokupasi atau gangguan kognitif), perasaan (merasa sangat butuh), dan tingkah laku (kemunduran dalam perilaku sosial). Individu akan selalu memikirkan internet, meskipun tidak sedang mengakses internet. 2) Mood modification, hal ini mengarah pada pengalaman individu sendiri, yang menjadi hasil dari bermain internet, dan dapat dilihat sebagai strategi coping. 3) Tolerance, hal ini merupakan proses dimana terjadinya peningkatan jumlah penggunaan internet untuk mendapatkan efek perubahan dari mood. 4) Withdrawal symptoms, hal ini merupakan perasaan tidak menyenangkan yang terjadi karena penggunaan internet dikurangi atau tidak dilanjutkan (misalnya, mudah marah, cemas, tubuh bergoyang). 5) Conflict, hal ini mengarah pada konflik yang terjadi antara pengguna internet dengan lingkungan sekitarnya (konflik interpersonal), konflik dalam tugas lainnya (pekerjaan, tugas, kehidupan sosial, hobi) atau konflik yang terjadi dalam dirinya sendiri (konflik intrafisik atau merasa kurangnya kontrol) yang diakibatkan karena terlalu banyak menghabiskan waktu bermain internet. 6) Relapse, hal ini merupakan kecenderungan berulangnya kembali pola penggunaan internet setelah adanya kontrol. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecanduan internet (Young et al, 1998) adalah : 1) Gender. Gender mempengaruhi jenis aplikasi yang digunakan dan penyebab individu tersebut mengalami kecanduan internet. Laki-laki lebih sering 11
mengalami kecanduan terhadap game online, situs porno, dan perjudian online, sedangkan perempuan lebih sering mengalami kecanduan terhadap chatting dan berbelanja secara online. 2) Kondisi psikologis. Survey di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen individu yang mengalami kecanduan internet juga mengalami kecanduan pada hal lain seperti obat-obatan terlarang, alkohol, rokok, dan seks. Kecanduan internet juga timbul akibat masalah-masalah emosional seperti depresi dan gangguan kecemasan dan sering menggunakan dunia fantasi di internet sebagai pengalihan secara psikologis terhadap perasaanperasaan yang tidak menyenangkan atau situasi yang menimbulkan stres. Berdasarkan hasil survey ini juga diperoleh bahwa 75 persen individu yang mengalami kecanduan internet disebabkan adanya masalah dalam hubungannya dengan orang lain, kemudian individu tersebut mulai menggunakan aplikasi-aplikasi online yang bersifat interaktif seperti chat room dan game online sebagai cara untuk membentuk hubungan baru dan lebih percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain melalui internet. 3) Kondisi sosial ekonomi. Individu yang telah bekerja memiliki kemungkinan lebih besar mengalami kecanduan internet dibandingkan dengan individu yang belum bekerja. Hal ini didukung bahwa individu yang telah bekerja memiliki fasilitas internet di kantornya dan juga memiliki sejumlah gaji yang memungkinkan individu tersebut memiliki fasilitas komputer dan internet juga dirumahnya. 12
4) Tujuan dan waktu penggunaan internet. Tujuan menggunakan internet akan menentukan sejauhmana individu tersebut akan mengalami kecanduan internet, terutama dikaitkan terhadap banyaknya waktu yang dihabiskannya sendirian di depan komputer. Individu yang menggunakan internet untuk tujuan pendidikan, misalnya pada pelajar dan mahasiswa akan lebih banyak menghabiskan waktunya menggunakan internet. Umumnya, individu yang menggunakan internet untuk tujuan pendidikan mengalami kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami kecanduan internet. Hal ini diakibatkan tujuan penggunaan internet bukan digunakan sebagai upaya untuk mengatasi atau melarikan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya di kehidupan nyata atau sekedar hiburan. 5) Faktor Teknologi. Faktor teknologi itu sendiri mengacu pada kondisi perkembangan teknologi yang begitu pesat, sehingga sangat memudahkan seseorang dan juga siapapun bisa mengakses internet tanpa repot. Hal ini semakin menjadi, dengan berkembangnya kecepatan jaringan dan juga gadget yang mudah untuk dibawa kemanapun, sehingga banyak orang merasa nyaman dan juga mudah dalam berinternet ria. 2.1.2 Materialisme Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Dalam kamus besar bahasa indonesia materi adalah bahan: benda; segala sesuatu yang tampak. Masih dari kamus yang sama disebutkan bahwa materialis adalah pengikut paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan (harta, uang, dan sebagainya). Materialisme umumnya dianggap sebagai nilai negatif, 13
sifat atau perilaku, terkait dengan keserakahan, kedangkalan, dan kurangnya nilai spiritual (Lipovčan, et al 2015). Materialisme adalah penekanan pada hal-hal materi, dan orang-orang yang berbagi nilai-nilai ini menganggap bahwa memiliki komoditas membawa kebahagiaan dan menawarkan prestise yang lebih tinggi. Sebagai ciri kepribadian, Materialisme dimiliki oleh orang-orang yang posesif, dan iri hati, meski tidak memiliki kemurahan hati (Frunzaru dan Popa, 2015). Orang mencari kesenangan dalam memiliki hal-hal materialistik ketimbang halhal yang tidak materialistik seperti asosiasi pribadi, insiden pribadi dan pencapaian pribadi. Seseorang dikatakan materialistis jika ia menghargai harta benda duniawi daripada komitmen dan kewajiban hubungan sosial (Manchanda, 2015). Seorang individu yang materialistis mempunyai kecenderungan untuk mengumpulkan harta benda, dengan ukuran kuantitas dan kualitas barangnya sehingga hal-hal yang dipentingkan bersifat keduniaan (Wijaya, 2015). Ketika materialisme sangat penting dalam sistem nilai seseorang, kepemilikan menjadi fokus utama (Moran, et al 2015). Dampak-dampak materialisme, yakni : 2.1.3 Perilaku Belanja Kompulsif Konsumsi kompulsif telah didefinisikan secara luas sebagai "respons terhadap dorongan atau keinginan yang tidak terkendali untuk memperoleh, menggunakan, atau mengalami perasaan, substansi, atau aktivitas yang mengarahkan seseorang untuk secara berulang-ulang melakukan perilaku yang pada akhirnya akan menyebabkan kerugian bagi individu dan atau bagi orang lain" (O Guinn dan Faber dalam Weaver, et al 2011). Pembelian impulsif merupakan suatu proses pembelian yang terjadi ketika seseorang melihat suatu 14
barang dan tiba-tiba ingin membeli barang tersebut, dan kemudian memutuskan untuk melakukan pembelian saat itu juga. Perilaku pembelian tanpa direncanakan yang dilakukan secara teratur menyebabkan orang berperilaku kompulsif. Perilaku impulsif dan kompulsif, meski serupa, bukanlah masalah yang sama. Pembelian impulsif adalah pembelian ditentukan oleh rangsangan luar sedangkan dalam kasus pembelian kompulsif, keinginan untuk membeli berasal dari dalam, mungkin perasaan cemas dan individu tersebut ingin merasa tenang, atau mungkin membeli untuk membuat diri merasa lebih bahagia, lebih baik, dan sebagainya. Di sisi lain, pembeli kompulsif cenderung tidak menolak untuk impuls yang terkait dengan perasaan positif, seperti kenikmatan, kepuasan dan kelegaan (Bighiu, et al 2015). Perilaku pembelian kompulsif adalah sebuah perilaku keputusan pembelian dimana motif atau keinginan yang mendorong keputusan pembelian atas kategori produk tertentu tak tertahankan lagi atau tidak bisa ditahan oleh emosi orang tersebut dan akan menjadi suatu kebiasaan karena cenderung terjadi berulang ulang sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan emosional yang negatif (Kristanto, 2011). Krych (dalam Varveri, et al 2014) memaparkan pembelian kompulsif sebagai kecanduan perilaku, kebiasaan patologis yang terkait dengan perilaku yang ditandai dengan adanya dorongan untuk membeli, dorongan untuk pergi berbelanja, kecanduan pribadi yang berorientasi pada aktivitas yang berakhir dengan hilangnya kontrol perilaku, kegagalan dalam mengendalikan dan merevisi aktivitas dan konsekuensi afektif yang signifikan bila tindakan tersebut tidak layak dilakukan, pada tingkat individu dan sosial. Akan tetapi dаri sеgi 15
pеrusаhааn yаng mеnjuаl suаtu produk, konsumеn yаng kompulsif аdаlаh sаsаrаn yаng pаling tеpаt, kаrеnа konsumеn kompulsif аkаn mеmbеli аpаpun yаng dijuаl jikа iа mеrаsа tеrtаrik dеngаn produk tеrsеbut tаnpа mеmikirkаn dаmpаk dаri pеmbеliаn yаng dilаkukаnnyа (Akhadiyah dan Suharyono, 2017). 2.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian pustaka yang telah dipaparkan terdapat beberapa hipotesis yaitu jawaban sementara dari hasil penelitian sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, yaitu sebagai berikut : 2.2.1 Pengaruh Kecanduan Internet terhadap Perilaku Belanja Kompulsif Online. Hasil penelitian Claes et al. (2012) menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara pembelian kompulsif dan kecanduan internet pada responden. Dalam penelitian yang dilakukan Omar et al. (2015) menunjukkan bahwa penggunaan internet yang berlebihan akan membuat konsumen berpeluang lebih besar untuk melakukan pembelian kompulsif. Hipotesis pada penelitian ini yaitu : H1 : Kecanduan internet berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku belanja kompulsif online. 2.2.2 Pengaruh Materialisme terhadap Perilaku Belanja Kompulsif Online. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rasool et al. (2012) dan Eren et al. (2012) mengungkapkan bahwa materialisme memiliki hubungan yang signifikan dan positif terhadap perilaku pembelian kompulsif pada perilaku konsumen. Dalam penelitian yang dilakukan Omar et al. (2013) menunjukkan materialisme secara signifikan berpengaruh pada pembelian kompulsif. Pada 16
penelitian yang dilakukan oleh Türkyilmaz et al. (2016) materialisme berpengaruh positif terhadap perilaku pembelian kompulsif, dengan kata lain individu yang berpikir bahwa kepemilikan menunjukkan kesuksesan dan memberikan kebahagiaan pada kehidupan mereka serta memandang kepemilikan sebagai pusat kehidupan mereka cenderung melakukan pembelian kompulsif. Hipotesis pada penelitian ini yaitu : H2 : Materialisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku belanja kompulsif online Berdasarkan penelusuran pada kajian pustaka dan hasil penelitian sebelumnya, maka model penelitian dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Model Penelitian Kecanduan Internet H1 Perilaku Belanja Kompulsif Online Materialisme H2 17