BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Manusia Keselamatan dan kesehatan kerja sangat erat kaitannya dengan perilaku di tempat kerja. Banyak kecelakaan terjadi karena ketidaktahuan, rasa kurang peduli terhadap risiko, terlalu percaya diri, kurang kesungguhan dan berkelakar di tempat kerja. Semua itu berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan pengalaman pekerja yang bersangkutan. Perilaku adalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya. Dari pengertian ini, maka dapat diuraikan bahwa reaksi psikis dapat berbentuk beraneka ragam yang pada hakekatnya digolongkan menjadi dua, yakni dalam bentuk pasif (berupa tindakan tidak nyata atau konkrit) dan dalam bentuk aktif (berupa tindakan nyata) (Notoatmodjo, 2003). Pada dasarnya bentuk perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun perilaku juga dapat bersifat potensial yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi dan persepsi. Bloom (1908) membedakan menjadi tiga macam bentuk perilaku yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa perilaku terdiri dari unsur-unsur knowledge (pengetahuan), attitude (sikap), dan practise (tindakan) atau peri cipta, peri rasa, dan peri tindakan (Notoatmodjo, 2003). 7
2.1.1. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata) ( Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yakni : 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. 2. Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekadar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekadar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang telah diketahui tersebut. 3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang telah diketahui tersebut pada situasi yang lain.
4. Analisis (analisys) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. 5. Sintesis (syntesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk menerangkan atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu ( Notoatmodjo, 2003 ). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. 2.1.2. Sikap Sikap adalah kesiapan, kesediaan untuk bertindak dan bukan sebagai pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi yang akhirnya berintegrasi ke dalam pola yang lebih luas (Gerungan, 1983). Sikap menurut Notoatmodjo (2003) memiliki beberapa komponen, yaitu : 1. Komponen kognisi yang hubungannya dengan beliefs, ide dan konsep 2. Komponen afiksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang 3. Komponen konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Disebutkan juga bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bertindak dan tidak harus berupa pelaksanaan motif tertentu (Notoatmodjo, 2003). Menurut Gerungan (1983), sikap didasarkan pada konsep evaluasi berkenaan dengan objek tertentu, motif untuk bertingkah laku yang digambarkan dalam berbagai kualitas dan intensitas yang berbeda dan bergerak secara kontinu dari positif melalui area netral ke arah negatif dan dipandang sebagai hasil belajar dari daripada perkembangan atau sesuatu yang diturunkan dan memiliki sasaran tertentu dengan tingkat keterpaduan yang berbeda. Sikap mengandung daya pendorong atau motivasi, berarti segi dinamis menuju kesuatu tujuan (Gerungan, 1983). Sikap menyatakan bahwa kita memiliki perasaan atau fikiran suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, tertarik atau menolak, percaya atau tidak percaya pada apa yang kita lakukan atau katakan dan bagaimana kita bereaksi terhadap apa yang orang lain katakan atau lakukan (Eiser, 1986). Tingkat sikap menurut Notoatmodjo yaitu : 1. Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek) 2. Merespon, dapat diartikan memberikan jawaban untuk menyelesaikan pertanyaan yang diberikan, terlepas dari apakah jawaban itu benar atau salah dilakukan 3. Menghargai (valving), dapat diartikan melibatkan orang lain untuk ikut mengerjakan sesuatu bersama-sama
4. Bertanggung jawab (responsible), dapat diartikan sebagai sikap yang paling tinggi, yaitu melakukan sesuatu yang dipilih dengan menerima segala risiko. Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsug dapat dinyatakan dengan pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden (Tambunan, 2007). 2.1.3. Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Tindakan dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kuantitasnya, yaitu : a. Praktik terpimpin (guided response), apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan b. Praktik secara mekanisme (mechanism), apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis c. Adopsi (adoption), adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas (Notoatmodjo, 2005).
2.2. SMK3 OHSAS 18001:2007 2.2.1. Sejarah SMK3 OHSAS 18001 Dibandingkan dua kerabat dekatnya, Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 dan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001:2004, Sistem Manajemen K3 memang begitu populer. Standar yang sekarang kita kenal seperti OHSAS 18001:1999 pun tidak diterbitkan oleh Lembaga Standardisasi Dunia (ISO), tapi melalui kesepakatan badan-badan sertifikasi yang ada di beberapa negara. Pada tahun 1998, The Occupational Safety and Health Branch (Sekarang : Safe Work) ILO bekerja sama dengan The International Occupational Hygiene Association (IOHA) melakukan identifikasi elemen-elemen kunci dari sebuah Sistem Manajemen K3. Kemudian pada akhir tahun 1999, anggota Lembaga ISO yaitu British Institution (BSI) meluncurkan sebuah proposal resmi (Ballot document ISO/TMB/TSP 190) untuk membuat sebuah Komite Tehnik ISO yang bertugas membuat sebuah Standart Internasional Nonsertifikasi. Hal ini menimbulkan persaingan dengan ILO yang sedang mempopulerkan SMK3, ILO sendiri didukung oleh International Organization of Employers (IOE) dan The International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) dan afiliasi-afiliasinya. Akibatnya proposal yang diusulkan BSI ditolak. Akan tetapi, pada tahun 1999 BSI dengan badan-badan sertifikasi dunia meluncurkan sebuah Standar Sistem Manajemen K3 yang diberi nama Occupational Health and Safety Management Systems (OHSAS 18001) (Suardi, 2005).
2.2.2. Pengertian OHSAS 18001:2007 OHSAS 18001:2007 adalah suatu standar internasional untuk Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Diterbitkan tahun 2007, menggantikan OHSAS 18001:1999, dan dimaksudkan untuk mengelola aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3) daripada keamanan produk. OHSAS 18001 menyediakan kerangka bagi efektifitas manajemen K3 termasuk kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang diterapkan pada aktivitas-aktivitas dan mengenali adanya bahaya-bahaya yang timbul. Standar tersebut dapat diterapkan pada setiap organisasi yang berkemauan untuk menghapuskan atau meminimalkan risiko bagi para karyawan dan pemegang kepentingan lainnya yang berhubungan langsung dengan risiko K3 menyertai aktivitas-aktivitas yang ada. Banyak organisasi memiliki elemen-elemen yang dipersyaratkan oleh OHSAS 18001 tersedia di tempat penggunaan yang dapat saling melengkapi untuk membuat lebih baik sistem manajemen terpadu sesuai dengan persyaratan standar ini. Organisasi yang mengimplementasikan OHSAS 18001 memiliki struktur manajemen yang terorganisir dengan wewenang dan tanggung-jawab yang tegas, sasaran perbaikan yang jelas, hasil pencapaian yang dapat diukur dan pendekatan yang terstruktur untuk penilaian risiko. Demikian pula, pengawasan terhadap kegagalan manajemen, pelaksanaan audit kinerja dan melakukan tinjauan ulang kebijakan dan sasaran K3.
2.2.3. Penetapan Kebijakan Sistem Manajemen K3 OHSAS 18001 Harus ada kebijakan K3 yang di sahkan oleh manajemen puncak, yang secara jelas memberikan kerangka sasaran K3 dan komitmen dalam memperbaiki kinerja K3. Kebijakan K3 ini berupa : 1. Sesuai dengan sifat dan skala risiko K3 dari organisasi 2. Mencakup komitmen untuk perbaikan berkelanjutan 3. Mencakup komitmen ketaatan untuk memenuhi peraturan K3 dan persyaratan lainnya yang berhubungan dengan organisasi 4. Terdokumentasi, diterapkan dan dipelihara 5. Dikomunikasikan pada seluruh personel dengan menekankan karyawan untuk peduli dengan kewajiban K3-nya. 6. Tersedia pada pihak terkait 7. Ditinjau secara periodik untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut masih relevan dan sesuai dengan organisasi. Dalam menyusun sebuah kebijakan K3 yang baik, manajemen puncak dapat mempertimbangkan hal-hal berikut : a. Aspek bahaya yang terjadi b. Persyaratan perundang-undangan c. Sejarah dan kinerja K3 organisasi d. Kebutuhan pihak terkait e. Peluang dan kebutuhan perbaikan berkelanjutan f. Sumber daya yang diperlukan, kontribusi karyawan, rekanan dan pihak luar (Suardi, 2005).
2.2.4. Perencanaan Sistem Manajemen K3 OHSAS 18001 2.2.4.1. Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko Pengelolaan risiko merupakan dasar dari penerapan Sistem Manajemen K3. Karena itu setiap oraganisasi harus memiliki apresiasi yang menyeluruh pada setiap kegiatan yang terkait dengan aspek-aspek K3. Untuk itu, sebuah organisasi harus mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan risiko K3 di semua aktivitasaktivitasnya, dan semua tahapan ini menjadi dasar dalam pengembangan dan penerapan Sistem Manajemen K3. Tinjauan awal harus mencakup empat hal berikut, yaitu : 1. Persyaratan peraturan dan perundang-undangan 2. Identifikasi risiko K3 yang dihadapi organisasi 3. Rekaman-rekaman dari semua proses dan prosedur 4. Evaluasi umpan balik dari investigasi insiden sebelumnya, kecelakaan dan keadaan darurat. Kondisi normal, tidak normal dan kondisi darurat yang potensial juga harus mendapatkan perhatian. Serta yang tidak kalah penting yang harus kita ingat adalah ketika kita melakukan identifikasi bahaya potensial kita tidak saja melakukannya pada pekerjaan operasional saja, tapi juga pada segala aspek lainnya yang masih termasuk didalam lingkup penerapan Sistem Manajemen K3, seperti pemeliharaan, house keeping, dan lain sebagainya. Sumber data yang dapat digunakan adalah : a. Persyaratan dan peraturan K3 b. Kebijakan K3
c. Rekaman insiden dan kecelakaan kerja d. Laporan ketidaksesuaian e. Hasil audit f. Komunikasi pada karyawan dan pihak terkait g. Informasi dan tinjauan aktivitas K3 karyawan h. Informasi dari perusahaan sejenis berupa insiden dan kecelakaan kerja yang terjadi i. Informasi pada fasilitas, proses, dan kegiatan organisasi, mencakup prosedur, data pemantauan, data lingkungan dan tempat kerja. Dalam melakukan identifikasi bahaya, pengukuran, dan pengendalian risiko dapat menggunakan lima langkah seperti dalam bagan berikut ini : Bagan I. Langkah-langkah dalam melakukan Identifikasi bahaya, Pengukuran dan Pengendalian Risiko Step 1: Identifikasi bahaya Step 5: Pemantauan dan Tinjauan Step 4: Menerapkan pengendalian Sudah adakah peraturan, standar, kode industri atau materi panduan tentang bahaya yang harus diidentifikasi? Step 2: Identifikasi bahaya Tidak Ya Mengikuti informasi dalam peraturan, standar, kode atau buku panduan Step 3: Menetapkan pengendalian Sumber : Rudi Suardi, 2005
2.2.4.2. Persyaratan Peraturan dan Undang-Undang Organisasi harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk mengidentifikasi dan mengakses persyaratan perundangan dan persyaratan K3 lainnya yang sesuai. Organisasi harus menjaga informasi yang tersedia tetap up to date. Organisasi harus mengkomunikasikan informasi yang relevan tentang persyaratan lainnya pada karyawannya dan pihak yang terkait. Persyaratan ini dimaksudkan untuk mematuhi persyaratan peraturan dan perundangan, bukan untuk membuat perpustakaan yang menyimpan buku-buku peraturan (Suardi, 2005). 2.2.4.3. Pembuatan Sasaran K3 1. Menentukan skala prioritas penetapan sasaran K3 Setelah kita melakukan identifikasi bahaya potensial dan memilih poin penting untuk dilakukan tindak lanjut, maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah menetapkan sasaran K3, dimana sasaran harus terkait dengan kebijakan K3 yang dibuat. Input dalam menetapkan sasaran K3 adalah : 1. Kebijakan K3, mencakup komitmen untuk melakukan perbaikan berkelanjutan 2. Hasil dari identifikasi bahaya potensial, penilaian, dan pengendalian risiko 3. Persyaratan hukum dan perundang-undangan 4. Pilihan teknologi 5. Persyaratan keuangan, operasional dan bisnis 6. Pandangan dari pekerja dan pihak terkait 7. Analisis kinerja yang dicapai terhadap sasaran yang ditetapkan sebelumnya
8. Rekaman-rekaman terdahulu terhadap ketidaksesuaian K3, kecelakaan, insiden, dan kerusakan fasilitas/sarana kerja 9. Hasil dari tinjauan manajemen 10. Komunikasi bersama antara pihak manajemen dengan karyawan. 2. Seleksi Prioritas Dalam menyeleksi prioritas, kita mempertimbangkan : a. Keberadaan peraturan, undang-undang dan persyaratan lainnya b. Pengendalian risiko yang ada. Untuk beberapa organisasi, mereka memerlukan sebuah dokumen yang menjelaskan bagaimana membuat sasaran K3. Tetapi indikator kinerja setiap sasaran harus dibuat dan dipantau sejauh mana pencapaiannya. Untuk itu, dalam menetapkan dan mendokumentasikan sasaran mutu sebaiknya memiliki nilai-nilai SMART, yaitu : 1. Spesific 2. Measurable (terukur dan terhitung) 3. Achievable (dapat tercapai) 4. Realistic 5. Time frame (jangka waktu) 2.2.4.4. Program Manajemen K3 Organisasi harus menetapkan dan memelihara program manajemen K3 untuk mencapai sasaran K3 nya. Program ini harus mencakup dokumentasi dari : 1. Penunjukan tanggung jawab dan wewenang untuk pencapaian sasaran pada fungsi yang relevan dari organisasi 2. Rata-rata dan skala waktu dari sasaran yang dicapai
3. Program K3 harus ditinjau secara berkala. Bila diperlukan program manajemen K3 harus diamandemen sesuai dengan perubahan aktivitas, kondisi produk, servis, dan operasi organisasi (Santoso, 2004). 2.2.5. Operasi dan Penerapan Sistem Manajemen K3 2.2.5.1. Struktur dan Tanggung Jawab Aturan, tanggung jawab dan wewenang personel yang mengelola, melakukan dan memverifikasi aktivitas, fasilitas, dan proses organisasi yang memiliki pengaruh pada risiko K3 harus didefinisikan dalam prosedur dan dikomunikasikan dalam rangka memfasilitasi manajemen K3. Tanggung jawab utama dari K3 terletak pada manajemen puncak. Organisasi harus menunjuk anggota manajemen puncak dengan tanggung jawab terpisah untuk memastikan bahwa Sistem Manajemen K3 diterapkan dan dilaksanakan sesuai dengan persyaratan disemua lokasi dan lingkungan operasi organisasi. Anggota manajemen yang ditunjuk harus memiliki aturan, tanggung jawab dan wewenang, antara lain : 1. Memastikan persyaratan Sistem Manajemen K3 diterapkan dan dipelihara sesuai dengan spesifikasi K3 2. Memastikan bahwa laporan kinerja Sistem Manajemen K3 disampaikan pada manajemen puncak untuk ditinjau dan sebagai dasar untuk perbaikan Sistem Manajemen K3.
2.2.5.2. Pelatihan, kepedulian dan Kompetensi Personel harus memiliki kompetensi dalam melakukan kegiatan yang dapat mempengaruhi K3 ditempat kerja. Kompetensi harus didefinisikan berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman. Organisasi harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk memastikan bahwa personel bekerja pada setiap fungsi dan tingkat yang relevan pada : 1. Pentingnya kesesuaian pada kebijakan K3 dan prosedur dan persyaratan Sistem Manajemen K3 2. Konsekuensi, aktual atau potensi K3 dari aktivitas kerjanya dan keuntungan K3 dari perbaikan kinerja personel 3. Tugas dan tanggung jawabnya dalam mencapai kesesuaian kebijakan K3 dan prosedur dan untuk persyaratan Sistem Manajemen K3, mencakup persyaratan tanggap darurat 4. Konsekuensi potensi awal dari prosedur operasi yang spesifik. Setelah penilaian kemampuan gambaran kompetensi kerja yang dibutuhkan dilaksanakan, program pelatihan harus dikembangkan sesuai dengan hasil penilaiannya. Prosedur dokumentasi pelatihan yang telah dilaksanakan dan dievaluasi efektivitasnya harus ditetapkan. Kompetensi kerja harus diintegrasikan ke dalam rangkaian kegiatan perusahaan mulai dari penerimaan, seleksi dan penilaian kerja serta pelatihan. Dalam menetapkan persyaratan kompetensi, seorang personel sebaiknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Realistik (merefleksikan kebutuhan yang sebenarnya)
2. Dapat ditunjukkan (bisa menunjukkan kompetensinya) 3. Forward looking (prediksi atau pertimbangan kebutuhan yang akan datang) 4. Didokumentasikan. 2.2.5.3. Konsultasi dan Komunikasi Organisasi harus mempunyai prosedur untuk memastikan bahwa informasi yang berhubungan dengan K3 dikomunikasikan pada karyawan dan dari karyawan dan pihak terkait lainnya. Susunan keterlibatan dan konsultasi karyawan harus didokumentasikan dan diberitahukan ke pihak terkait. Tujuannya adalah agar semua personel yang ada dalam perusahaan memahami dan mendukung Sistem Manajemen K3. Sebagai bentuk partisipasi perusahaan dalam Sistem Manajemen K3, konsultasi dan komunikasi adalah salah satu media yang sangat penting. Dengan konsultasi dan komunikasi maka segala ketidaktahuan, kesalahpahaman, dan permasalahan di dalam organisasi bisa diatasi (Suardi, 2005). 2.2.5.4. Sistem Dokumentasi SMK3 Dokumentasi merupakan bentuk dasar untuk memahami sistem, mengkomunikasikan proses dan persyaratan pada organisasi, serta menentukan keefektifan penerapannya. Dokumentasi sistem haruslah merefleksikan aktivitas yang benar-benar dilakukan di organisasi untuk memastikan kesesuaian dengan persyaratan. Dokumen yang merupakan bagian dari Sistem Manajemen K3 harus dikendalikan. Dokumentasi dapat dibedakan berdasarkan tingkatannya yaitu : 1. Manual Manual yang dibuat harus menjelaskan interaksi proses-proses dalam Sistem Manajemen K3. Kita dapat menggunakan proses pemetaan sebagai acuan dalam
menjelaskan proses-proses. Dalam manual K3 kita dapat menentukan ruang lingkup penerapan dan referensi dari prosedur-prosedur yang diterbitkan. 2. Prosedur Prosedur merupakan penjelasan detail dari aktivitas-aktivitas di perusahaan. Sebuah proses dalam Sistem Manajemen K3 harus mendefinisikan aturan-aturannya, ruang lingkup pelaksanaannya dan pelaksana dari aktivitas-aktivitas tersebut. 3. Instruksi Kerja Instruksi Kerja biasanya digunakan oleh operator dalam mengerjakan aktivitasnya, seperti pengoperasian mesin, penggunaan alat pemadam kebakaran, dan lain-lain. Instruksi kerja bersifat lebih teknis dibandingkan dengan prosedur (Silalahi dan Silalahi, 1995). 2.2.5.5. Pengendalian Dokumen Organisasi harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk mengendalikan semua dokumen dan data yang dipersyaratkan oleh spesifikasi OHSAS untuk memastikan, bahwa : 1. Dokumen-dokumen dapat ditunjukkan 2. Dokumen-dokumen ditinjau secara periodik, direvisi, sesuai kebutuhan dan disetujui penggunaannya oleh personel yang berwewenang 3. Versi mutakhir dari dokumen dan data yang relevan terdapat pada semua lokasi operasi penting untuk penggunaan yang efektif dari sistem K3 yang dilakukan
4. Dokumen dan data yang sudah tidak berlaku lagi harus dipisahkan dari semua tempat penggunaan atau dengan kata lain memastikan adanya penggunaan yang tidak disengaja 5. Tempat penyimpanan dokumen dan data untuk tujuan pengawetan peraturan dan pengetahuan, atau keduanya, teridentifikasi (Salawati, 2009). 2.2.5.6. Pengendalian Operasi Organisasi harus mengidentifikasi keseluruhan operasi dan aktivitas yang terkait dengan risiko yang diidentifikasi, dimana pengendalian perlu diterapkan. Organisasi harus merencanakan aktivitas tersebut, termasuk pemeliharaan, dalam rangka memastikan bahwa aktivitas aktivitas tersebut dilakukan dalam kondisi yang ditetapkan, dengan : 1. Menetapkan dan memelihara prosedur terdokumentasi untuk mengakomodasi situasi dimana ketiadaan prosedur tersebut dapat membuat terjadinya deviasi dari kebijakan dan sasaran K3 2. Ketentuan kriteria operasi dalam prosedur 3. Menetapkan dan memelihara prosedur terkait untuk risiko-risiko K3 yang diidentifikasi terhadap barang-barang, peralatan, dan jasa yang dibeli dan/atau digunakan oleh organisasi dan mengkomunikasikan prosedur dan persyaratan yang relevan pada pemasok dan rekanan 4. Menetapkan dan memelihara prosedur untuk desain tempat kerja, proses, instalasi, mesin-mesin, prosedur operasi dan organisasi kerja, termasuk adaptasi terhadap kemampuan personel, dalam rangka menghilangkan atau mengurangi risiko K3 pada sumbernya.
2.2.5.7. Persiapan dan Tanggap Darurat Sesuai dengan sifat penerapan Sistem Manajemen K3, maka organisasi harus secara aktif melakukan penilaian terhadap kecelakaan yang berpotensi terjadi dan menyiapkan keperluan tanggap darurat, membuat prosedur dan proses untuk mengatasinya. Organisasi juga harus melakukan pengujian sebagai sarana latihan untuk kondisi sebenarnya serta melakukan perbaikan terhadap hasil yang dicapai (Suardi, 2005). 2.2.6. Pemantauan dan Pengukuran 2.2.6.1. Pengukuran dan Pemantauan Kinerja Organisasi menetapkan dan memelihara prosedur untuk memantau dan mengukur kinerja K3 pada selang waktu terencana. Untuk itu organisasi harus menetapkan monitoring, pengukuran, analisis dan perbaikan yang diperlukan. Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja K3. Data kecelakaan kerja dapat digunakan sebagai indikator langsung kinerja K3, meskipun sebaiknya dalam mengukur kinerja K3 tidak hanya menggunakan data kecelakaan saja, tetapi juga menggunakan indikator lainnya seperti standar house keeping, penggunaan APD, dan ketentuan Ambang Batas. 2.2.6.2. Kecelakaan, Insiden, Ketidaksesuaian dan Tindakan Perbaikan dan Pencegahan Organisasi harus menetapkan dan memlihara prosedur untuk mendefinisikan tanggung jawab dan wewenang untuk : 1. Penanganan dan investigasi dari : a. Kecelakaan
b. Insiden c. Ketidaksesuaian 2. Tindakan yang diambil untuk mengurangi berbagai konsekuensi yang timbul dari kecelakaan, insiden atau ketidaksesuaian 3. Inisiatif dan penyelesaian dari tindakan perbaikan dan pencegahan 4. Konfirmasi dari keefektifan tindakan dan pencegahan yang diambil. Pada keseluruhan proses penilaian risiko, prosedur ini harus mempersyaratkan semua usulan tindakan perbaikan dan pencegahan harus ditinjau terlebih dahulu dalam penerapannya. Berbagai tindakan atau pencegahan yang diambil untuk menghilangkan penyebab ketidaksesuaian aktual dan berpotensi harus sesuai pada besarnya masalah dan sepadan dengan risiko K3 yang ditemukan (Cahyono, 2004). 2.2.6.3. Pengendalian Rekaman Organisasi harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk identifikasi pemeliharaan dan disposisi rekaman K3 sebagai hasil audit dan tinjauan. Rekamanrekaman K3 harus dapat dibaca, dapat diidentifikasi dan ditelusuri sesuai aktivitas terkait, kemudian disimpan dan dipelihara untuk sewaktu-waktu siap ditunjukkan. 2.2.6.4. Audit Sistem Manajemen K3 Organisasi harus menetapkan dan memelihara program dan prosedur audit secara periodik. Audit Sistem Manajemen K3 dilakukan dalam rangka untuk : 1. Menentukan apakah Sistem Manajemen K3 : a. Sesuai perencanaan Sistem Manajemen K3 mencakup persyaratan dari spesifikasi K3 ini b. Telah dipelihara dan diterapkan
c. Efektif dalam memenuhi kebijakan dan sasaran K3. 2. Meninjau hasil audit sebelumnya 3. Menyediakan informasi hasil audit manajemen. Program audit, mencakup berbagai jadwal, harus berdasarkan pada hasil penilaian risiko dari aktivitas organisasi, dan hasil audit sebelumnya. Prosedur audit harus mencakup lingkup, frekuensi, metodologi dan kompetensi, juga tanggung jawab dan persyaratan untuk melakukan audit dan pelaporan audit. Audit merupakan salah satu cara yang dapat digunakan oleh organisasi untuk mengevaluasi Sistem Manajemen K3, kesesuaian dengan persyaratan, dan keefektifan penerapan sistem. Hasil audit dapat digunakan untuk mengidentifikasi peluang perbaikan. Sesuai sifat audit, maka personel yang melakukan audit tidak boleh mengaudit pekerjaannya sendiri. Jadi harus dilakukan oleh personel dari aktivitas yang berbeda. Pelaksana audit internal dapat dilakukan dengan menggunakan jasa eksternal seperti konsultan. Akan tetapi jika menggunakan jasa eksternal hanya dapat digunakan sebagai pelengkap/pendamping bagi pelaksana eksternal (Suardi, 2005). 2.2.7. Tinjauan Manajemen Top manajemen harus meninjau Sistem Manajemen K3 pada selang waktu terencana, untuk memastikan Sistem Manajemen K3 secara terus menerus sesuai, cukup dan efektif. Proses tinjauan manajemen harus memastikan bahwa informasi yang diperlukan terkumpul pada manamejen untuk dilakukan evaluasi. Tinjauan ini harus terdokumentasi. Tinjauan manajemen harus diarahkan pada kemungkinan kebutuhan untuk perubahan kebijakan, sasaran dan elemen Sistem Manajemen K3
lainnya, hasil audit Sistem Manajemen K3, perubahan organisasi, dan komitmen untuk perbaikan berkelanjutan. Pokok-pokok permasalahan yang dapat dibahas dalam tinjauan manajemen, antara lain : 1. Kesesuaian kebijakan K3 2. Pencapaian sasaran K3 3. Kesesuaian proses identifikasi bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko 4. Kecukupan proses identifikasi, penilaian dan pengendalian risiko 5. Kecukupan sumber daya 6. Keefektifan proses inspeksi 7. Keefektifan proses pelaporan bahaya 8. Data yang berhubungan dengan kecelakaan dan insiden yang terjadi 9. Rekaman prosedur yang tidak efektif 10. Hasil internal dan eksternal audit yang dilakukan sejak tinjauan sebelumnya dan keefektifannya 11. Ketetapan kesiapan keadaan darurat 12. Perbaikan untuk Sistem Manajemen K3 13. Keluaran dari berbagai investigasi dari kecelakaan dan insiden (Suardi, 2005). 2.2.8. Kerangka Konsep Tenaga Kerja 1. Pengetahuan 2. Tindakan Sistem Manajemen K3 OHSAS 18001:2007