BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru dunia yang merupakan barang publik, sehingga Indonesia terikat dengan berbagai komitmen-komitmen internasional tentang pengelolaan hutan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pengelolaan hutan Indonesia pada era reformasi mendesak untuk berubah paradigma dari Timber and Comodity Management yang berorientasi pada devisa dan pertumbuhan ekonomi menjadi Resources Based Management yang memperdulikan keseimbangan manfaat hutan baik secara ekonomis, ekologis dan sosial masyarakat. Dalam era reformasi, melalui kebijakan pemberian otonomi daerah, peranserta masyarakat dalam proses pembangunan nasional, khususnya pembangunan di bidang kehutanan terbuka lebar melalui upaya kemitraan dalam bentuk koperasi maupun pemberdayaan usaha kecil dan menengah guna kegiatan pengusahaan di bidang kehutanan (Iwanuddin, 2003). Pembangunan kehutanan di Indonesia selama ini lebih berorientasi kepada penerimaan sebesar-besarnya bagi negara dengan prinsip-prinsip kelestarian (melalui azas sustainable yield). Kesejahteraan masyarakat sekitar hutan sendiri sebagai pemilik relatif terabaikan dengan digusurnya peran masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Adanya fenomena bahwa masyarakat sekitar hutan yang selama ini identik dengan kemiskinan tetap saja pada predikat semula, miskin, adalah bukti yang lebih konkrit lagi. Perkembangan tingkat pendidikan
yang terjadi tidaklah menampakkan perbedaan yang berarti antara ada dan tidak adanya kegiatan pengusahaan hutan. Sementara hasil dan eksploitasi hutan menumpuk di pemerintah pusat dengan alokasi penggunaan yang seringkali disinyalir lari dari sektor kehutanan dan sering beririsan sama sekali dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Purwoko, 2002). Pada awal dekade 90-an (Pelita V) berkembanglah suatu sistem pengelolaan lahan yang mengintegrasikan kepentingan peningkatan kelestarian fungsi hutan dan kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan atau yang dikenal dengan hutan kemasyarakatan. Konsep dasar yang dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan adalah partisipasi aktif masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya serta meningkatkan kelestarian fungsi hutan (Dephut, 1996). Hutan Kemasyarakatan sebagai sebuah konsepsi yang mempertemukan semua kepentingan (kesejahteraan masyarakat, produktifitas sumberdaya hutan dan kelestarian fungsi hutan) merupakan pendekatan yang diharapkan mampu menjadi alternatif solusi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Melalui konsep ini bisa lebih luas dijabarkan dalam pola-pola managemen lahan hutan yang mampu secara efektif melibatkan masyarakat secara langsung dalam sistem pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara real bagi kesejahteraan masyarakat, secara teknis mampu meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian fungsi hutan. Pelaksanaan hutan kemasyarakatan pada kawasan hutan produksi dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu dan atau jasa lingkungan rekreasi melalui model agroforestry
(agrosilviculture, silvopastoral, silvofishery, sericulture dan lain-lain), baik untuk tujuan bisnis maupun keperluan sendiri. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tanggal 07 September 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan menyebutkan bahwa Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Pemberdayaan masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga Negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitas yang dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan, sedangkan kelompok masyarakat setempat adalah kumpulan dari sejumlah individu dari masyarakat setempat yang memenuhi ketentuan kriteria sebagai kelompok masyarakat. Pemberian hak atas lahan dalam kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan salah satu bentuk imbalan jasa lingkungan. Hak ini bukan merupakan hak milik tetapi hanya berupa hak pakai atau hak kelola untuk periode tertentu. Hak ini dapat dibatalkan apabila petani tidak melakukan kewajiban dan prasyarat yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Pemberian imbalan jasa lingkungan berupa hak kelola atas lahan (land right) kepada petani miskin tidak hanya akan
mengurangi kemiskinan tetapi juga akan meningkatkan pemerataan pendapatan dan penguasaan lahan (Suyanto dan Khususiyah, 2006). Menurut Partnership Policy Paper No. 4/2011, implementasi program HKm di lapangan memang tidak pernah mencapai target 500.000 ha/tahun. Dari catatan yang ada di Kementerian Kehutanan, sampai dengan tahun 2010, luas calon areal HKm yang sudah dilakukan evaluasi dan verifikasi baru mencapai 236.276 ha. Dari luasan itu, Menteri Kehutanan baru menetapkan sekitar 80.395 ha areal kerja HKm. Sementara itu, areal kerja HKm yang sudah diterbitkan ijinnya baru seluas 34.615 ha. Pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik selama ini telah membawa dampak sangat merugikan bagi kelestarian alam dan lingkungan serta sistem sosial di tengah masyarakat daerah. Sejalan dengan semangat otonomi daerah yang telah mulai dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan saat ini maka diperlukan juga adanya desentralisasi pengelolaan kehutanan. Dengan desentralisasi kehutanan diharapkan dapat dijawab berbagai permasalahan dalam pengelolaan hutan yang dialami selama ini. Melalui desentralisasi kehutanan dapat dilakukan perencanaan dan penetapan regulasi pengelolaan hutan secara spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Hal ini dimungkinkan dengan dilibatkan dan diberikannya kewenangan yang memadai bagi daerah (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) dalam perencanaan, penetapan regulasi dan pengelolaan hutan tersebut (Herwanto, 2009). Pemanfaatan hutan atau sumberdaya hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya (Pasal 15 PP No.34/2002). Hutan produksi
yang didefinisikan sebagai kawasan yang diperuntukkan guna memproduksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri dan ekspor, jenis pemanfaatannya dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu. Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan demi berhasilnya pembangunan (Slamet, 1985 dalam Tambunan, et. al. 2005), tanpa partisipasi masyarakat maka setiap kegiatan pembangunan akan kurang berhasil. Banyak pendapat mengatakan bahwa partisipasi berkaitan dengan bagaimana upaya memberikan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan yang datang dari pemerintah. Menurut Conyer (1994) peran masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Pemanfaatan hutan bersama masyarakat adat/lokal melalui program hutan kemasyarakatan secara sungguh-sungguh dapat memberikan hasil yang lebih baik dan efektif. Melalui program ini lahan yang terlanjur terbuka bisa tertutup kembali oleh tanaman serbaguna (multi purpose trees species) dan tanaman kayukayuan serta kehidupan masyarakat dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan hasil tanaman serbaguna dan kayu-kayuan tersebut (Waznah, 2009). Pada Tahun Anggaran 1997/1998 terdapat kegiatan Hutan Kemasyarakatan pada Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah yang sekarang Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Wampu Sei Ular. Lokasi Hutan Kemasyarakatan berada di dalam Kawasan Hutan Produksi dengan luas + 200 ha dan berada di wilayah administratif Desa Gudang Garam
Kecamatan Kotarih Kabupaten Deli Serdang dan setelah terbentuknya Kabupaten Serdang Bedagai maka Hutan Kemasyarakatan berada di wilayah administratif Desa Gudang Garam Kecamatan Bintang Bayu Kabupaten Serdang Bedagai. Menteri Kehutanan telah menetapkan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.589/Menhut- II/2010 tanggal 18 Oktober 2010 tentang Penetapan Kawasan Hutan Produksi Seluas + 200 (dua ratus) hektar sebagai areal kerja Hutan Kemasyarakatan Desa Gudang Garam di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Bertitik tolak dari berbagai penjelasan uraian latar belakang sebelumnya, maka dalam hal ini peneliti ingin menganalisis kondisi sosial ekonomi, pemberdayaan partisipatif, persepsi masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam rangka pemanfaatan hutan kemasyarakatan di Desa Gudang Garam Kecamatan Bintang Bayu Kabupaten Serdang Bedagai. 1.2. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi sosial ekonomi, pemberdayaan partisipatif, persepsi masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam rangka pemanfaatan hutan kemasyarakatan di Desa Gudang Garam Kecamatan Bintang Bayu Kabupaten Serdang Bedagai.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kondisi sosial ekonomi, pemberdayaan partisipatif, persepsi masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam rangka pemanfaatan hutan kemasyarakatan di Desa Gudang Garam Kecamatan Bintang Bayu Kabupaten Serdang Bedagai. 1.4. Kerangka Berpikir Penelitian ini untuk menganalisis kondisi sosial ekonomi, pemberdayaan partisipatif, persepsi masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam rangka pemanfaatan hutan kemasyarakatan di Desa Gudang Garam Kecamatan Bintang Bayu Kabupaten Serdang Bedagai, peneliti mengambil 5 (lima) topik analisis, yaitu : 1. Kondisi sosial ekonomi 2. Pemberdayaan partisipatif 3. Persepsi masyarakat 4. Partisipasi masyarakat 5. Pemanfaatan HKm Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut ini: Kondisi Sosial Ekonomi Pemberdayaan Partisipatif Persepsi Masyarakat Pemanfaatan HKm Partisipasi masyarakat Gambar 1.1. Kerangka Berpikir
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Instansi Bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai khususnya, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara umumnya serta Kementerian Kehutanan dalam upaya meningkatkan kondisi sosial ekonomi, pemberdayaan partisipatif, persepsi masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam rangka pemanfaatan hutan kemasyarakatan. 2. Bagi Peneliti Untuk menambah pengetahuan bagi kalangan akademis tentang kondisi sosial ekonomi, pemberdayaan partisipatif, persepsi masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam rangka pemanfaatan hutan kemasyarakatan di Desa Gudang Garam Kecamatan Bintang Bayu Kabupaten Serdang Bedagai. 3. Bagi Pihak Lain Dapat digunakan sebagai referensi penelitian selanjutnya untuk bahan masukan dan pertimbangan.