HASIL DAN PEMBAHASAN Benih kedelai dipanen pada dua tingkat kemasakan yang berbeda yaitu tingkat kemasakan 2 dipanen berdasarkan standar masak panen pada deskripsi masing-masing varietas yang berkisar antara 82-95 HST, sedangkan tingkat kemasakan 1 dipanen satu minggu lebih awal yaitu antara 75-80 HST. Hal ini dilakukan untuk melihat kandungan klorofil serta vigor benih kedelai terhadap ketahanan benih setelah pengusangan cepat pada tingkat kemasakan yang berbeda. Berdasarkan waktu panen yang telah ditentukan untuk tingkat kemasakan 1 dan tingkat kemasakan 2, secara visual di lapangan diperoleh kriteria panen kedelai kuning dan hitam seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria Panen Kedelai Kuning dan Hitam Tingkat Kemasakan 1 Tingkat Kemasakan 2 75-80 HST (Hari Setelah Tanam) 82-95 HST (Hari Setelah Tanam) Kedelai kuning: Warna kulit polong hijau kekuningan Warna batang pada hijau kekuningan Terdapat siluet warna kulit benih Kedelai kuning: Warna kulit polong hijau kuning penuh Warna batang pada tanaman kuning keemasan warna kulit benih kuning Kedelai hitam: Warna kulit polong kuning kecoklatan Warna batang pada tanaman kuningan Kedelai hitam: Warna kulit polong coklat gelap Warna batang pada tanaman kuning kecoklatan Pengusangan cepat metode Controlled Deterioration atau kemunduran terkontrol dilakukan dengan meningkatkan kadar air benih menjadi 22% kemudian diinkubasi pada water-bath dengan suhu 41 o C selama 0, 12, 24, 36 dan 48 jam. Pengusangan benih dengan tingkat kadar air yang tinggi dan suhu yang tinggi menyebabkan benih kehilangan viabilitas dengan cepat. Benih yang telah kehilangan viabilitas tumbuh abnormal atau mengalami kematian sehingga tidak mampu menghasilkan kecambah normal. Pada lot benih tersebut secara umum
pengusangan dengan metode Controlled Deterioration tidak terkendala oleh berkembangnya cendawan hingga saat benih dikeluarkan dari proses pengusangan. Ketahanan Benih Kedelai terhadap Pengusangan Cepat Terkontrol (Controlled Deterioration) Rekapitulasi sidik ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa interaksi antara lot benih dengan lama pengusangan berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur Daya Berkecambah (DB), Indek Vigor (IV), dan Kecepatan Tumbuh (K CT ) baik pada faktor tunggal maupun interaksinya. Tabel 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Lot Benih, Lama Pengusangan, dan Interaksinya terhadap Daya Berkecambah (DB), Indeks Vigor (IV), dan Kecepatan Tumbuh (K CT ) Tolok Ukur L J LxJ KK(%) DB(%) ** ** ** 17.33 IV (%) ** ** ** 19.90 KCT (% etmal -1 ) ** ** ** 19.59 tn = berpengaruh tidak nyata; ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf α= 1% L = lot benih; J = lama pengusangan; LxJ = interaksi antara lot benih dengan lama pengusangan; KK = koefisien keragaman Pengaruh perlakuan yang sangat nyata terhadap DB, IV dan K CT ditunjukkan pada Tabel 3, 4 dan 5 yang menunjukkan kemunduran benih selama periode pengusangan cepat. Tabel 3 menunjukkan bahwa benih yang tidak didera memiliki nilai DB berkisar antara 79-99%. Seiring dengan meningkatnya waktu pengusangan, nilai DB semakin menurun. Penurunan DB bervariasi antar lot benih, sehingga selang antara DB tertinggi dan terendah semakin besar seiring dengan meningkatnya waktu pengusangan. Selang DB tertinggi dan terendah yang diperoleh pada pengusangan selama 48 jam yaitu berkisar antara 34-93%. Setelah pengusangan cepat selama 48 jam lot benih dengan viabilitas tertinggi adalah lot Tanggamus
pada tingkat kemasakan 2 ditunjukkan dengan nilai daya berkecambah sebesar 93%. Lot benih dengan viabilitas terendah setelah pengusangan 48 jam adalah lot Detam 1 pada tingkat kemasakan 1 dengan nilai daya berkecambah sebesar 34%. Berdasarkan Tabel 3 terlihat jelas bahwa lama pengusangan 48 jam merupakan waktu yang terbaik untuk memperlihatkan perbedaan tingkat vigor diantara lot benih. Nilai DB setelah benih diusangkan selama 48 jam lebih bisa menggambarkan tingkat vigor diantara lot benih kedelai yang diuji dibandingkan nilai DB pada lot benih tanpa pengusangan (0 jam), maupun DB setelah pengusangan 12, 24 dan 36 jam. Hal ini hampir senada dengan hasil analisis Kruse (1999) yang menyatakan perbedaan vigor antar lot benih terlihat semakin jelas dengan semakin lamanya periode penderaan benih berdasarkan asumsi penyebaran normal. Tabel 3. Pengaruh Ketahanan Lot Benih dan Waktu Pengusangan Cepat terhadap Tolok Ukur Daya Berkecambah Lot Tingkat Kemasakan Daya Berkecambah (%) Varietas Waktu Pengusangan (Jam) 0 12 24 36 48 1 W 79Ac 84Aa 78Aa-c 73Aab 50Bcd A 88Aa-c 77ABab 76Aba-c 51Bcd 52Bcd T 85Aa-c 83Aab 82Aab 84Aab 68Abc C 90Aa-c 77Abab 72Bbc 69Ba-c 67Bbc D1 79Ac 59Abc 52BCd 31Cd 34Cd D2 87Aa-c 84Aa 78Aa-c 77Aab 66Ac 2 W 99Aa 79ABab 85ABab 75ABab 61Bc A 87Aa-c 87Aa 61Bcd 62Bc 64Bc T 97Aa 93Aa 93Aa 83Aab 93Aa C 81Ac 84Aa 93Aa 86Aa 88Aab D1 85Aa-c 67ABbc 44Bd 51Bcd 47Bcd D2 94Aab 80ABab 72BCbc 76ABCab 59Cc N T -N R 20 34 49 55 59 Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dan Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT α= 5%, W= Willlis;A = Anjasmoro;T= Tanggamus;C= Cikuray; D1= Detam 1 dan D2 = Detam 2; N T -N R = selisih nilai tertinggi dengan nilai terendah
Indeks vigor merupakan nilai yang menunjukkan banyaknya jumlah kecambah normal pada hitungan pertama dalam pengujian viabilitas. Nilai indeks vigor yang tinggi mengindikasikan vigor benih tinggi. Penurunan viabilitas cukup signifikan juga terlihat pada tolok ukur indeks vigor benih. Penurunan terjadi pada sebagian besar lot benih ketika diusangkan selama 48 jam dibandingkan kontrol (lama pengusangan 0 jam) (Tabel 4). Tabel 4. Pengaruh Ketahanan Lot Benih dan Waktu Pengusangan Cepat terhadap Tolok Ukur Indeks Vigor Lot Tingkat Varietas Kemasakan Indeks Vigor (%) Waktu Pengusangan (Jam) 0 12 24 36 48 1 W 58Ab-d 73Aab 62Aab 51Aa-c 16Bc-e A 59Ab-d 39ABd-f 55Aab 19Bde 17Bc-e T 70Aa-c 69Aa-c 79Aa 71Aa 48Bb C 48Acd 27ABf 39Ab-d 30ABc-e 15Bc-e D1 46Ad 24Bf 24Bcd 12BCe 6Ce D2 71Aa-c 55Ab-d 43Ab-d 46Abc 36Abc 2 W 90Aa 62Aa-c 65ABab 46BCbc 25Cc-e A 66Ab-d 79Aa 41Bb-d 40Bb-d 27Bb-e T 90Aa 73ABab 84 Bab 62ABab 70ABa C 45Ad 50Ac-e 51Aa-c 43Abc 32Ab-d D1 44Ad 33ABf 21Abd 13Be 11Bde D2 73Aab 50ABc-e 41ABb-d 45ABbc 22Bc-e N T -N R 46 55 63 50 64 Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dan Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT α= 5%, W= Willlis;A = Anjasmoro;T= Tanggamus;C= Cikuray; D1= Detam 1 dan D2 = Detam 2; N T -N R = selisih nilai tertinggi dengan nilai terendah Tabel 4 menunjukkan bahwa setelah benih diusangkan selama 48 jam variasi indeks vigor berkisar antara 6-70%. Hasil pengujian pada tolok ukur IV menunjukkan hasil serupa dengan tolok ukur DB. Lot benih dengan indeks vigor tertinggi ditunjukan oleh lot Tanggamus tingkat kemasakan 2 dengan nilai IV sebesar 70%, sedangkan indeks vigor terendah adalah pada lot Detam 1 pada tingkat kemasakan 1 dengan nilai IV sebesar 6%.
Penurunan IV bervariasi antar lot benih. Penurunan IV pada benih yang kurang vigor berlangsung lebih cepat, sedangkan pada benih yang lebih vigor laju penurunan IV berlangsung lebih lambat. Kecepatan tumbuh digunakan untuk mengetahui kekuatan tumbuh benih di lapangan atau disebut juga vigor kekuatan tumbuh. Tabel 5 menunjukkan bahwa variasi kecepatan tumbuh benih semakin besar dengan bertambahnya waktu pengusangan, sebagaimana terjadi pada tolok ukur DB dan IV. Tabel 5. Pengaruh Ketahanan Lot Benih dan Waktu Pengusangan Cepat terhadap Tolok Ukur Kecepatan Tumbuh Kecepatan Tumbuh (% etmal -1 ) Lot Tingkat Kemasakan Varietas Waktu Pengusangan (Jam) 0 12 24 36 48 1 W 23.82Aa-c 27.04Aab 23.97Aa-d 22.82Ab-d 13.48Bd-f A 26.52Aa-c 22.25Ab-d 23.25Ab-d 13.93Bef 14.17Bd-f T 26.98Aa-c 27.92Aab 28.53Aab 26.65Aab 22.75Abc C 25.95Aa-c 21.20Bc-e 20.85Bc-e 19.44Bc-e 17.40Bc-e D1 23.08Abc 16.20Be 14.70BCef 8.60Cf 8.75Cf D2 27.42Aa-c 25.38ABa-c 22.59ABb-d 22.54ABb-d 19.15Bb-d 2 W 31.75Aa 24.77BCa-c 26.41ABa-c 22.13BCb-d 18.72Cb-d A 19.75Ac 28.33Aa 18.57Ad-f 18.49Ad-e 17.90Ab-c T 31.65Aa 28.58Aa 30.25Aa 29.11Aa 29.03Aa C 23.65Aa-c 24.82Aa-c 27.35Aa-d 24.73Aa-c 24.32Aab D1 24.37Aa-c 18.80ABde 12.55Cf 13.64BCef 12.07Cef D2 29.29Aab 23.77ABa-d 21.12BCc-e 22.60A-Cb-d 15.84Cde N T -N R 12.00 12.38 17.70 20.51 20.28 Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dan Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT α= 5%, W= Willlis;A = Anjasmoro;T= Tanggamus;C= Cikuray; D1= Detam 1 dan D2 = Detam 2; N T -N R = selisih nilai tertinggi dengan nilai terendah Variasi kecepatan tumbuh benih setelah diusangkan selama 48 jam berkisar antara 8.75-29.03% etmal -1. Lot benih dengan kecepatan tumbuh tertinggi ditunjukkan oleh Tanggamus pada tingkat kemasakan 2 dengan nilai K CT sebesar 29.03% etmal -1, sedangkan nilai K CT terendah adalah pada lot Detam 1 pada tingkat kemasakan 1 dengan nilai K CT sebesar 8.75% etmal -1. Pada pengusangan 0 jam (kontrol) nilai N T -N R tolok ukur DB, IV dan K CT berturut-turut adalah 20%, 46% dan 12% etmal -1 (Tabel 3, 4 dan 5). Pada
pengusangan 12 jam nilai N T -N R tolok ukur DB, IV dan K CT meningkat masingmasing menjadi 34%, 55% dan 12.38% etmal -1. Selisih nilai N T -N R tolok ukur DB, IV dan K CT secara umum semakin meningkat dengan bertambahnya waktu pengusangan menunjukkan bahwa laju kemunduran berbeda atau bervariasi antar lot benih. Selisih nilai N T -N R pada tolok ukur DB dan IV yang terbesar diperoleh pada pengusangan 48 jam dibandingkan pengusangan 0, 12, 24 maupun 36 jam (Tabel 3 dan 4 ). Selisih nilai N T -N R tolok ukur K CT pada pengusangan 48 jam juga sangat besar (20.28% etmal - 1) hanya sedikit lebih rendah dibandingkan pada pengusangan 36 jam (20.51% etmal -1 ) (Tabel 5). Berdasarkan ketiga tolok ukur viabilitas yang digunakan (DB, IV dan K CT ) maka pengusangan 48 jam dinilai paling tepat untuk membedakan vigor ketahanan benih kedelai terhadap pengusangan cepat karena semakin besar selisih nilai N T -N R berarti semakin jelas perbedaan antara lot yang memiliki vigor tinggi dan vigor rendah. Laju kemunduran pada benih bervigor tinggi berlangsung lebih lambat dibanding benih bervigor rendah. Pada penelitian ini laju kemunduran benih bervariasi diantara lot benih yang diuji berdasarkan tolok ukur DB, IV dan K CT. Tabel 6. Derajat Kemiringan (nilai b dari persamaan y = a + bx) Kurva Kemunduran Benih Kedelai Berdasarkan Tolok Ukur Daya Berkecambah, Indeks Vigor dan Kecepatan Tumbuh Tolok Ukur Tingkat Kemasakan Varietas DB IV K CT Wilis -0.575-0.883-0.207 Anjasmoro -0.816-0.866-0.275 1 Tanggamus -0.275-0.350-0.081 Cikuray -0.450-0.525-0.157 Detam 1-0.983-0.766-0.302 Detam 2-0.408-0.658-0.161 Wilis -0.666-1.216-0.239 Anjasmoro -0.591-0.975-0.112 2 Tanggamus -0.150-0.425-0.039 Cikuray 0.133-0.275-0.010 Detam 1-0.766-0.716-0.248 Detam 2-0.616-0.891-0.233
Berdasarkan regresi linier kurva kemunduran benih, diperoleh nilai derajat kemiringan seperti pada Tabel 6 yang menunjukkan bahwa semakin besar nilai derajat kemiringan kurva maka benih semakin cepat mengalami kemunduran. Pada Tabel 6 terlihat bahwa pada tolok ukur DB varietas Tanggamus dan Cikuray pada tingkat kemasakan 2 memiliki laju kemunduran yang lebih lambat dibanding varietas lainnya dengan nilai derajat kemiringan sebesar -0.150 (Tanggamus) dan 0.133 (Cikuray). Sedangkan varietas Anjasmoro dan Detam 1 pada tingkat kemasakan 1 memiliki laju kemunduran benih yang berlangsung lebih cepat dibanding varietas lain dengan nilai derajat kemiringan sebesar -0.816 (Anjasmoro) dan -0.983 (Detam 1). Kurva laju kemunduran benih dan persamaan garis kurva kemunduran benih berdasarkan nilai DB dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 12. Pada tolok ukur IV juga terlihat bahwa varietas Cikuray pada tingkat kemasakan 2 memiliki laju kemunduran yang berlangsung lebih lambat dibanding varietas lain dengan nilai kemiringan sebesar -0.275. Sedangkan varietas Wilis pada tingkat kemasakan 2 memiliki laju kemunduran yang berlangsung lebih cepat dibanding varietas lain dengan nilai kemiringan sebesar -1.216 Kurva laju kemunduran benih dan persamaan garis kurva kemunduran benih berdasarkan nilai IV dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Laju kemunduran Varietas Tanggamus dan Cikuray pada tingkat kemasakan 2 pada tolok ukur K CT berlangsung lebih lambat dibanding Varietas lain dengan nilai derajat kemiringan -0.039 (Tanggamus) dan -0.010 (Cikuray). Sedangkan varietas Anjasmoro dan Detam 1 pada tingkat kemasakan 1 memiliki laju kemunduran benih yang berlangsung lebih cepat dibanding varietas lain dengan nilai derajat kemiringan sebesar -0.275 (Anjasmoro) dan -0.302 (Detam 1). Kurva laju kemunduran benih dan persamaan garis kurva kemunduran benih berdasarkan nilai K CT dapat dilihat pada Lampiran 15 dan 16. Lot benih kedelai dengan laju kemunduran yang lambat berarti memiliki vigor ketahanan terhadap pengusangan cepat yang lebih tinggi dibanding lot dengan laju kemunduran yang cepat. Pada penelitian ini lot benih yang memiliki vigor ketahanan yang tinggi terhadap pengusangan cepat adalah lot Tanggamus dan Cikuray pada tingkat kemasakan 2 ditunjukkan dengan laju kemunduraan
yang berlangsung lebih lambat dibanding varietas lain, sedangkan lot benih yang memiliki ketahanan yang rendah terhadap pengusangan cepat adalah lot Anjasmoro dan Detam 1 pada tingkat kemasakan 1 ditunjukkan dengan laju kemunduran yang berlangsung lebih cepat dibanding varietas lain. Laju kemunduran benih berbeda diantara lot benih kedelai yang diuji. Pada benih tanpa pengusangan nilai DB tidak berbeda nyata kecuali pada Detam 1 tingkat kemasakan 1 dan Cikuray tingkat kemasakan 2 sehingga perbedaan laju kemunduran diantara lot benih kedelai diduga disebabkan oleh kombinasi perbedaan vigor awal dan genotip dari benih. Berdasarkan penelitian pada berbagai kultivar padi, Ali et al. (2003) juga menunjukkan perbedaan daya berkecambah setelah pengusangan dengan Controlled Deterioration diduga disebabkan oleh vigor awal benih dan vigor dari masing-masing kultivar padi. Penurunan viabilitas dan vigor pada lot benih ini disebabkan oleh adanya deraan suhu dan kadar air yang tinggi sehingga menyebabkan kemunduran benih. Kadar air dan suhu ruang simpan yang tinggi dapat meningkatkan respirasi. Menurut Justice dan Bass (2002), pada suhu dan kadar air yang tinggi, benih cepat sekali mengalami kehilangan viabilitas. Kemunduran benih meningkat sejalan dengan meningkatnya kadar air dalam benih. Menurut kaidah Harrington (1972), jika kadar air meningkat 1% maka daya simpannya menjadi setengah daya simpan sebelumnya. Hasil penelitian Wafiroh (2010) menunjukkan bahwa benih wijen telah kehilangan vigornya pada tingkat kadar air 20, 22, 24 dan 26% ketika lama penderaan 48 jam dan 72 jam. Kondisi suhu (41 o C) dan kadar air yang tinggi ± 22% (Lampiran 10) selama benih kedelai diusangkan dapat menyebabkan proses metabolisme dalam benih yang sangat cepat. Kondisi ini menyebabkan proses kemunduran benih berjalan lebih cepat yang berdampak terhadap penurunan viabilitas benih. Kuswanto (1996) menyatakan bahwa suhu berkaitan dengan laju pernafasan dan aktivitas enzim-enzim yang terdapat dalam benih sehingga suhu sangat berpengaruh terhadap proses perkecambahan benih. Proses perombakan yang terjadi dengan cepat mengakibatkan viabilitas benih menjadi menurun karena cadangan energi benih berangsur habis sehingga benih tidak mampu lagi berkecambah normal bahkan mengalami kematian. Terjadinya proses tersebut
diduga yang mengakibatkan sebagian besar benih yang diusangkan mengalami penurunan viabilitas secara signifikan dalam waktu 48 jam. Perbedaan Kandungan Klorofil, Ukuran Benih, dan Permeabilitas Benih pada Beberapa Varietas Kedelai Viabilitas dan vigor benih dapat dideteksi dengan mengukur perubahanperubahan secara biokimiawi dan fisik yang terjadi pada benih. Sampai saat ini telah banyak indikator biokimiawi yang diteliti untuk mendeteksi viabilitas dan vigor benih, diantaranya adalah kandungan karotenoid (Davidek et al., 1990), klorofil benih (Jalink et al., 1998; Aquila et al., 2002; Suhartanto, 2002) dan kadar fosfolipid, protein membran, suksinat dehigrodenase (Tatipata et al., 2004). Secara fisik viabilitas dan vigor benih dapat dideteksi dengan pengujian Bobot Kering Benih dan Bobot 1000 butir (Sadjad, 1999), warna benih (Purwanti, 2004) dan permeabilitas benih melalui uji daya hantar listrik (Panobianco, 2007). Pengujian tersebut dilakukan pada benih yang tidak diusangkan. Rekapitulasi sidik ragam menunjukan bahwa lot benih berpengaruh sangat nyata pada pada tolok ukur kandungan klorofil, bobot 100 butir dan bobok kering benih berpengaruh nyata pada tolok ukur daya hantar listrik (DHL), namun tidak berpengaruh nyata pada tolok ukur berat jenis. Tabel 7. Rekapitulasi Sidik ragam Kandungan Klorofil, Ukuran Benih, dan Permeabilitas Benih pada Berbagai Lot Benih Kedelai Tolok Ukur Perlakuan L KK Klorofil ** 19.26 Ukuran Benih Bobot 100 Butir ** 3.95 Bobot Kering Benih ** 5.33 Berat Jenis tn 7.46 Permeabilitas Benih DHL * 27.01 tn = berpengaruh tidak nyata; * = berpengaruh nyata pada taraf α= 5% **= berpengaruh sangat nyata pada taraf α= 1%, L = Lot Benih
Tabel 8. Kandungan Klorofil, Ukuran Benih, dan Permeabilitas Benih pada Berbagai Lot Benih Kedelai Lot Tingkat Kemasakan Varietas Klorofil (nmol cm -2 ) Bobot 100 Butir (g) Ukuran Benih Bobot Kering 10 Butir Benih (g) Permeabilitas Benih DHL ( mhos cm -1 1 W 20.69 d 8.76 bc 0.830c 118.55abc A 7.78 de 11.71 a 1.087a 143.36a T 20.10 d 8.31 c 0.765c 119.58abc C 76.06 ab 9.13 b 0.835c 78.24c D1 66.52 bc 12.23 a 1.022a 92.02bc D2 60.07 c 9.20 b 0.860c 99.58abc 2 W 15.69 de 9.05 b 0.787c 110.48abc A 6.21 e 12.13 a 1.095a 134.43ab T 18.45 de 8.31 c 0.772c 98.39abc C 84.92 a 8.97 b 0.827c 72.35c D1 68.24 bc 11.74 a 0.985ab 138.83ab D2 67.61 bc 9.11 b 0.875bc 101.41abc Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT α= 5%; W= Wilis; A= Anjasmoro; T= Tanggamus; C= Cikuray; D1= Detam 1; D2= Detam 2. g -1 ) Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan klorofil bervariasi diantara lot benih yang diuji. Kandungan klorofil yang tertinggi terdapat pada varietas Cikuray pada tingkat kemasakan 2 (84.92 nmol cm -2 ), berbeda nyata dengan kandungan klorofil yang terendah yaitu pada varietas Anjasmoro pada tingkat kemasakan 2 (6.21 nmol cm -2 ). Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa kedelai yang berkulit hitam (Cikuray, Detam 1 dan Detam 2) cenderung memiliki kandungan klorofil lebih tinggi dibanding kedelai berkulit kuning (Wilis, Anjasmoro dan Tanggamus). Perbedaan kandungan klorofil diduga berkaitan dengan vigor benih kedelai dan akan diuji lebih lanjut berdasarkan nilai korelasinya dengan tolok ukur DB, IV dan K CT setelah benih diusangkan. Hasil penelitian Jalink et al., (1998) menunjukkan benih Brassica oleraceae dengan fluoresen klorofil yang tinggi mempunyai persentase daya berkecambah dan kecambah normal yang rendah. Selanjutnya hasil penelitian Cicero et al., (2009) juga menunjukkan persentase kecambah normal pada benih kedelai dengan fluoresen klorofil rendah lebih tinggi
dibanding benih kedelai dengan fluoresen klorofil tinggi, sedangkan persentase kecambah yang mati dan abnormal meningkat dengan semakin meningkatnya fluoresen klorofil pada benih kedelai. Fluoresen klorofil dapat digunakan untuk menentukan kemasakan dan kualitas pada benih Brassica oleracea (Jalink et al., 1998). Pada benih tomat kandungan klorofil dapat pula digunakan sebagai penciri masak fisiologis benih atau secara tidak langsung merupakan penciri mutu benih (Suhartanto, 2002). Menurut Suhartanto (2003) klorofil menurun seiring dengan pertambahan tingkat kemasakan hingga tercapai minimum. Pada percobaan ini, kedelai dengan varietas yang sama pada tingkat kemasakan 1 dan 2 tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata kandungan klorofil (Tabel 8), menunjukkan bahwa pada periode tersebut benih berada pada fase masak fisiologis. Tabel 8 juga menunjukkan tidak ada perbedaan nyata bobot kering benih antara tingkat kemasakan 1 dan 2 pada masing-masing varietas, demikian pula bobot 100 butir dan nilai DHL. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa baik pada tingkat kemasakan 1 maupun 2 benih berada pada fase masak fisiologis. Kandungan klorofil baik pada tingkat kemasakan 1 maupun 2 menunjukkan adanya perbedaan antar varietas. Benih kedelai hitam yaitu varietas Cikuray, Detam 1, serta Detam 2 memiliki kandungan klorofil yang nyata lebih tinggi, baik pada tingkat kemasakan 1 maupun 2 dibandingkan benih kedelai kuning yaitu Tanggamus, Wilis, serta Anjasmoro (Tabel 8). Secara umum pada saat masak fisiologis benih kedelai hitam (Cikuray, Detam 1 dan Detam 2) memiliki kandungan klorofil cukup tinggi (60-85 nmol cm -2 ), sedangkan benih kedelai kuning (Wilis, Anjasmoro dan Tanggamus) memiliki kandungan klorofil yang rendah (6-21 nmol cm -2 ). Perbedaan kandungan klorofil ini diduga disebabkan oleh adanya perbedaan genetik. Pengaruh faktor genetik terhadap kandungan klorofil telah dikemukakan oleh Suhartanto (2002). Menurut Suhartanto (2002) benih-benih tomat yang berasal dari turunan varietas liar memiliki kandungan klorofil yang lebih tinggi dibanding varietas yang telah dibudidayakan. Pada tolok ukur DHL, nilai DHL tertinggi terdapat pada varietas Anjasmoro pada tingkat kemasakan 1 (143.36 mhos cm -1 g -1 ) berbeda nyata
dengan nilai terendah pada varietas Cikuray tingkat kemasakan 2 (72.35 mhos cm -1 g -1 ) dan tingkat kemasakan 2 (78.24 mhos cm -1 g -1 ). Tolok ukur DHL merupakan tolok ukur untuk menduga Vigor daya simpan (V DS ). Tabel 7 menunjukkan bahwa kedelai yang berkulit terang (kedelai kuning) cenderung memiliki daya hantar listrik lebih tinggi dibanding kedelai berkulit gelap (kedelai hitam). Menurut Sadjad (1994), adanya peningkatan DHL menandakan telah terjadi kebocoran elektrolit. Dengan semakin tinggi nilai DHL benih, berarti semakin besar kebocoran elektrolit yang menunjukkan semakin tinggi tingkat kemunduran benih, dan sebaliknya, dengan semakin rendah nilai DHL benih berarti semakin rendah tingkat kebocoran elektrolit yang menunjukkan semakin rendah tingkat kemunduran benih. Adanya hubungan antara perbedaan genetik kedelai hitam dan kedelai kuning dengan vigor dan nilai DHL telah dipelajari oleh Panobianco (2007). Perbedaan genetik kedelai hitam dan kedelai kuning dengan vigor dan lignin kulit benih telah dipelajari oleh Marwanto (2003), tetapi hubungannya dengan kandungan klorofil masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Hubungan Antara Kandungan Klorofil dengan Tolok Ukur pada Pengusangan Cepat, Ukuran Benih, dan Permeabilitas Benih Hasil korelasi antara klorofil dengan tolok ukur pengusangan benih terpilih (pegusangan selama 48 jam), ukuran benih serta permeabilitas benih dapat dilihat pada Tabel 9. Uji statistik menunjukkan bahwa kandungan klorofil tidak berkorelasi dengan ketahanan benih terhadap pengusangan cepat selama 48 jam baik pada tolok ukur DB (r=0.647 tn ), IV (r=0.746 tn ), maupun K CT (r=-0.750 tn ), ukuran benih baik bobot 100 butir (r=-0.537 tn ) dan DHL (r=0.074 tn ), kecuali pada bobot kering benih (r=-0.828 * ) (Tabel 9).
Tabel 9. Nilai Korelasi Kandungan Klorofil dengan Tolok Ukur pada Pengusangan Cepat, Ukuran Benih, dan Permeabilitas Benih Tolok Ukur Koefisien Korelasi(r) Ketahanan Benih Setelah Pengusangan Cepat Pada J 48 jam DB (%) 0.647 tn IV (%) 0.746 tn K CT (% etmal -1 ) -0.750 tn Ukuran Benih Bobot 100 Butir(g) -0.537 tn Bobot Kering Benih (g) -0.828 * Permeabilitas Benih DHL ( mhos cm -1 g -1 ) 0.074 tn tn = berpengaruh tidak nyata, * = berpengaruh nyata, taraf 5% Menurut Suhartanto (2002), indikator bobot kering benih dan kandungan klorofil, keduanya dapat menjadi penciri masak fisiologis. Bobot kering benih mencapai maksimum saat benih masak fisiologis. Suhartanto (2003) menjelaskan bahwa saat benih tomat mencapai masak fisiologis, maka kadar klorofil benih minimal. Pada penelitian ini kandungan klorofil dan bobot kering benih berkorelasi nyata dan negatif (r=-0.828*), artinya di akhir periode masak fisiologis, diperoleh indikasi bahwa benih kedelai yang bobot keringnya rendah (berukuran kecil) memiliki kandungan klorofil yang tinggi atau sebaliknya.