BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Hutan Rakyat

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Learning Outcome (LO)

Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. apapun bisa diperjualbelikan dengan cepat dan mudah sehingga menuntut pelaku

BAB II KERANGKA TEORI

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

III. KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. dianggap cukup representatif dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Dalam

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT POLA KEMITRAAN DI KABUPATEN MUSI RAWAS PROPINSI SUMATERA SELATAN SETYO YUWONO

I. PENDAHULUAN. kabupaten/kota dapat menata kembali perencanaan pembangunan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Pola Kemitraan Usaha Konveksi Kawasan Suci Bandung

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. 1. Persepsi Siswa Tentang Keterampilan Mengajar Guru

BAB I PENDAHULUAN. itu tidaklah mudah. Salah satu alternatif yang di ambil guna mencukupi

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang terletak di Kecamatan Tanjung Tiram

A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. memulai usaha dari nol, karena telah ada sistem yang terpadu dalam. berminat untuk melakukan usaha waralaba.

KRANGKA PENDEKATAN TEORI. hukum yang mensinergikan kegiatan bisnis dengan pemberdayaan masyarakat

NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN

BENTUK KEPEMILIKAN BISNIS

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat

BAB II KAJIAN PUSTAKA

STRATEGI UNTUK BERWARALABA

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini peran dan fungsi pendidikan sekolah semakin penting dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat

PARTISIPASI DAN PERSEPSI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI POLA KEMITRAAN PT NITYASA IDOLA PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

BAB V HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dibentuknya dunia usaha.

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD

Modul ke: PENGANTAR BISNIS. Bentuk Kepemilikan Bisnis. Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Yanto Ramli, SS, MM. Program Studi Manajemen.

KERANGKA PENDEKATAN TEORI


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.

I. PENDAHULUAN. Indonesia berorientasi pada konglomerasi dan bersifat sentralistik. Dalam situasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENYULUHAN KEHUTANAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang diharapkan. Sadar pentingnya ketrampilan proses sains pada anak akan semakin

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat serta kompleks melahirkan berbagai

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB III Tahapan Pendampingan KTH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1.PENDAHULUAN. minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan ketersediaan sumber daya

2013, No.40 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENE

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

MATRIK TAHAPAN RPJP KABUPATEN SEMARANG TAHUN

LEMBAGA KEUANGAN JASA SYARIAH

Makalah Psikologi Pendidikan tentang Pengembangan Bakat dan Minat

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1997 TENTANG WARALABA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. rentan terhadap pasar bebas yang mulai dibuka, serta kurang mendapat dukungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yang menyatakan bahwa kemitraan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)

Modul ke: PENGANTAR BISNIS. Bentuk Kepemilikan Bisnis. Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Soelton Ibrahem, S.Psi, MM. Program Studi Manajemen

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Abstrak. Kualitas Pelayanan, Kemampuan Pengurus, Partisipasi Anggota, Sisa Hasil Usaha (SHU).

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan alam dan kesuburan buminya. Negeri katulistiwa ini tercatat sebagai pemilik hutan

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Badan Usaha Milik Negara dalam Undang-Undang Nomor. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, adalah badan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan konsumsi terhadap suatu ataupun beragam barang atau jasa. Konsumen

BAB I PENDAHULUAN. dalam organisasi tersebut memiliki sumber daya manusia yang menunjukkan komitmen yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Kemitraan Dalam UU tentang Usaha Kecil Nomor 9 Tahun 1995, konsep kemitraan dirumuskan dalam pasal 26 sebagai berikut: 1. Usaha menengah dan besar melaksanakan hubungan kemitraan dengan usaha kecil, baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki keterkaitan usaha. 2. Pelaksanaan hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diupayakan ke arah terwujudnya keterkaitan usaha. 3. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi dan pengelolaan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi. 4. Dalam melaksanakan hubungan ke dua belah pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara (Sinulingga 2009). Menurut Hafsah (1999), kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Keberhasilan kemitraan ini sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Komitmen perusahaan terhadap masyarakat merupakan bagian yang sangat penting dari kegiatan perusahaan. Membangun masyarakat yang sehat dan kinerja yang tinggi merupakan tujuan setiap perusahaan, sehingga perusahaan akan terus berupaya mencapai pengakuan, termasuk dalam kepedulian masyarakat. Indonesia adalah salah satu negara yang sangat kaya akan sumber daya alamnya, termasuk sumber daya alam yang berdampingan bahkan milik dari masyarakatnya langsung. Dengan demikian, banyak perusahaan beroperasi pada lahan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan hajat hidup orang banyak. Dalam keadaan seperti ini, perusahaan akan dengan mudah memberikan kemampuan tanggung jawab sosial kepada masyarakat, namun disisi lain, perusahaan juga bisa

6 mengalami dilema dalam melakukan kegiatan sosial ini akibat banyaknya permintaan dan motivasi tertentu dari masyarakat itu sendiri (Sinulingga 2009). Dalam Hakim (2004) Konsep kemitraan tersebut lebih rinci diuraikan dalam pasal 27 Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, disebutkan bahwa kemitraan dapat dilaksanakan antara lain dengan pola: 1. Inti-plasma adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasma dalam penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha, produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktifitas usaha. Program inti-plasma ini, diperlukan keseriusan dan kesiapan, baik pihak usaha kecil sebagai pihak yang mendapat bantuan untuk dapat mengembangkan usahanya, maupun pihak usaha besar yang mempunyai tanggung jawab sosial untuk mengembangkan usaha kecil sebagai mitra usaha dalam jangka panjang. 2. Subkontraktor adalah suatu sistem yang mengambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil/menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk (parent firm) meminta kepada usaha kecil/menengah (selaku subkontraktor) untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk. 3. Dagang umum adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar dan atau usaha menengah yang bersangkutan. 4. Waralaba (franchise) adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara Usaha Besar (franchisor) dengan Usaha Kecil (franchisee), dimana franchisee diberikan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha, dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak franchisor dalam rangka penyediaan atau penjualan barang dan atau jasa.

7 5. Keagenan merupakan hubungan kemitraan, dimana pihak prinsipal memproduksi/memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga. 6. Bentuk-bentuk lain di luar pola sebagaimana yang tertulis di atas, yang saat ini sudah berkembang tetapi belum dibakukan atau polapola baru yang timbul dimasa yang akan datang. Dalam pembangunan hutan tanaman, untuk menunjang keberhasilannya ditawarkan berbagai alternatif model, diantaranya adalah pembangunan hutan tanaman dengan pola kemitraan, yaitu dengan cara membentuk kemitraan antara petani pemilik lahan dan pihak perusahaan sebagai perusahaan mitra. Tujuannya antara lain adalah memberdayakan masyarakat sekitar hutan, meningkatkan kemampuan perekonomian masyarakat melalui kemandirian dalam mengelola usaha serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hutan tanaman pola kemitraan dibangun oleh perusahaan di lahan milik masyarakat dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip kemitraan yang berazaskan kelestarian, sosial, ekonomi dan ekologi. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah adanya saling membutuhkan dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak (Triyono 2004). Perusahaan memerlukan bahan baku kayu untuk keperluan komersil secara berkesinambungan sedangkan tanaman memerlukan pemeliharaan, pemupukan dan kepastian pemasaran. Selain itu, munculnya pemikiran untuk mengembangkan pola kemitraan dalam pembangunan hutan tanaman juga didasari keinginan untuk meningkatkan peran serta pihak -pihak yang terkait langsung dengan pembangunan hutan tanaman yaitu petani, pengusaha atau industri pengolahan kayu dan pemerintah (Dinas Kehutanan Jawa Tengah 2004). Melalui pembangunan hutan tanaman dengan pola kemitraan ini diharapkan pihak-pihak yang terkait langsung dalam pembangunan hutan tanaman dapat memperoleh manfaat yang diperoleh sekaligus (Dinas Kehutanan Jawa Tengah 2004), sebagai berikut: 1. Petani: a. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani b. Memperoleh bantuan modal melalui pinjaman dari mitra usaha

8 c. Memperoleh bimbingan teknologi dari mitra usaha 2. Mitra Usaha: a. Menghasilkan kayu b. Mempunyai cadangan bahan baku kayu 3. Pemerintah: a. Salah satu program pemerintah dalam membangun hutan lestari dapat terealisasi Pada dasarnya kemitraan itu merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan dengan pelbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat satu sama lainnya. 2.2 Partisipasi Partisipasi sering disinonimkan dengan peran serta atau keikutsertaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, partisipasi adalah hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Menurut Davis dalam Sastropoetro (1988) mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong untuk bersedia memberikan sumbangan bagi tercapainya tujuan atau cita-cita kelompok dan turut bertanggung jawab atas usaha-usaha yang dilakukan bagi kelompoknya. Dalam pengertian partisipasi tersebut terdapat 3 gagasan pokok yang penting dan harus ada, sebagai berikut : 1. Bahwa partisipasi itu sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan emosional, lebih dari semata-mata atau hanya keterlibatan jasmaniah atau fisik. 2. Kesediaan memberikan sumbangan kepada usaha untuk mencapai tujuan kelompok, ini berarti bahwa terdapat rasa senang dan sukarela untuk membantu kegiatan kelompok. 3. Tanggung jawab yang merupakan segi yang menonjol dari anggota karena semua orang yang terlibat dalam suatu organisasi mengharapkan agar kelompok itu tujuannya tercapai dengan baik. Dengan demikian maka partisipasi tidak hanya melibatkan unsur fisik saja tetapi lebih dari itu adalah keterlibatan psikis. Untuk dapat berpartisipasi diperlukan keterlibatan total, karena partisipasi yang diperlukan tidak hanya berorientasi vertikal atau hanya mau melakukan sesuatu kalau ada perintah dari atasan, tetapi partisipasi yang bersifat aktif. Partisipasi aktif memerlukan

9 kesadaran mental masyarakat tentang sesuatu hal yang memerlukan keterlibatannya. Soekanto (1982) mendefinisikan partisipasi sebagai suatu proses identifikasi diri seseorang untuk menjadi peserta dalam suatu proses kegiatan bersama dalam suatu situasi sosial tertentu. Sedangkan menurut Cohen dan Uphoff (1977) dalam Yuwono (2006), partisipasi adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara kerjanya; keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program dan keputusan yang telah ditetapkan melalui sumbangan sumberdaya atau bekerja sama dalam suatu organisasi; keterlibatan masyarakat menikmati manfaat dari pembangunan serta dalam evaluasi pelaksanaan program. Raharjo (1983) dalam Yuwono (2006) memberikan pendapatnya bahwa berpartisipasi adalah keikutsertaan suatu kelompok masyarakat dalam programprogram pemerintah. Program pemerintah merupakan program yang ditujukan kepada masyarakat desa. Dalam kaitan ini maka masyarakat tidak hanya menerima saja tetapi dapat membantu proses pelaksanaannya. Dalam berpartisipasi mengandung makna untuk memberi kesempatan berperan serta memanfaatkan sumberdaya manusia dalam usaha peningkatan pembangunan sejalan dengan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat sebagai partisipan aktif, Sihombing (1980) mengemukakan bahwa dalam konteks pembangunan, partisipasi bukan semata-mata kebaikan hati para elit pengambil keputusan, akan tetapi partisipasi adalah hak dasar yang sah dari umat manusia untuk turut serta merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan yang menjanjikan harapannya. Partisipasi erat hubungannya dengan kegiatan pembangunan, namun tidak berarti bahwa partisipasi hanya sebatas keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Hal ini sejalan dengan pendapat Swasono (1995) bahwa partisipasi tidaklah hanya tahap pelaksanaan pembangunan saja, tetapi meliputi seluruh spektrum pembangunan tersebut yang dimulai dari tahap menggagas rencana kegiatan hingga memberikan umpan balik terhadap gagasan rencana yang telah dilaksanakan.

10 Slamet (1990) dalam Winarto (2003) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi berhasilnya suatu program pembangunan. Dapat dikatakan bahwa tanpa adanya partisipasi masyarakat maka setiap pembangunan akan kurang berhasil. Lebih lanjut dijelaskan bahwa masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan akan melalui suatu proses belajar. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk mengetahui kesempatan-kesempatan berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan seringkali kemampuan dan ketrampilan mereka masih perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan tersebut. Menurut Laode (1981) dalam Winarto (2003) menyatakan bahwa kesempatan, kemampuan dan kemauan mutlak harus ada dalam keseimbangan. Apabila salah satu faktor tersebut tidak tercakup maka partisipasi tidak akan sempurna. Beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat menurut Pangestu (1995) adalah sebagai berikut: 1. Faktor internal, yaitu mencakup karakteristik individu yang dapat mempengaruhi individu tersebut untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Karakteristik individu mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah pendapatan, dan pengalaman berkelompok. 2. Faktor eksternal, meliputi hubungan yang terjalin antara pihak mengelola proyek dengan sasaran dapat mempengaruhi partisipasi karena sasaran akan dengan sukarela terlibat dalam suatu proyek jika sambutan pihak pengelola positif dan mengutungkan mereka. Selain itu bila didukung dengan pelayanan pengelola kegiatan yang positif dan tepat dibutuhkan oleh sasaran, maka sasaran itu akan ragu-ragu untuk berpartisipasi dalam proyek tersebut. Menurut Silaen (1988) dalam Ramadyanti (2009), semakin tua umur seseorang maka penerimaannya terhadap hal-hal baru semakin rendah. Hal ini, karena orang yang masuk dalam golongan tua cenderung selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga diperkirakan sulit menerima hal-hal yang bersifat baru. Faktor jumlah beban keluarga, menurut Ajiwarman (1996) dalam Ramadyanti (2009), menunjukkan bahwa semakin besar jumlah beban keluarga menyebabkan waktu untuk berpartisipasi dalam kegiatan akan berkurang karena sebagian besar waktunya digunakan untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga.

11 2.3 Persepsi Persepsi adalah suatu pandangan, pengertian dan interpretasi seseorang mengenai sesuatu yang diinformasikan kepadanya (Dyah 1983). Vredentbergt (1974) dalam Sattar (1985) mengemukakan bahwa persepsi berhubungan dengan keadaan jiwa seseorang, dimana persepsi adalah cara seseorang mengalami obyek dan gejala-gejala melalui proses yang selektif. Selanjutnya dikatakan dengan melalui proses yang selektif terhadap rangsangan dari suatu obyek atau gejala tertentu, seseorang akan mempunyai suatu tanggapan terhadap obyek atau gejala yang dialaminya. Sebagai proses, persepsi merupakan proses membangun kesan dan membuat penilaian. Berkaitan dengan itu, menurut Biran dalam Sudrajat (2003) persepsi merupakan proses psikologi yang berlangsung pada diri kita sewaktu mengamati berbagai hal yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Sudrajat (2003) persepsi merupakan produk atau hasil proses psikologi yang dialami seseorang setelah menerima stimuli, yang mendorong tumbuhnya motivasi untuk memberikan respon atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu kegiatan. Persepsi dapat berupa kesan, penafsiran atau penilaian berdasarkan pengalaman yang diperoleh. Menurut Muchtar (1998) persepsi adalah proses penginderaan dan penafsiran rangsangan suatu obyek atau peristiwa yang diinformasikan, sehingga seseorang dapat memandang, mengartikan dan menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya sesuai dengan keadaan dirinya dan lingkungan dimana ia berada, sehingga ia dapat menentukan tindakannya. Persepsi setiap manusia akan berbeda-beda satu dengan lainnya. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal merupaka faktor yang muncul dari diri pribadi yang dapat mempengaruhi pola pikirnya terhadap suatu objek atau permasalahan tertentu. Contohnya adalah karakteristik sosial yang diantaranya adalah tingkat kecerdasan dan pengetahuan (pendidikan), kebutuhan, usia dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal biasanya muncul dari luar individu yang mampu mempengaruhi pandangan seseorang yang berkaitan dengan objek atau permasalahan tertentu atau pengalaman orang lain yang dilihatnya atau yang diketahuinya berkenaan dengan hal tersebut dan struktur

12 sosial yang mengatur kehidupan sosial seperti jumlah keluarga, luas lahan, dan sebagainya. Proses pembentukan suatu persepsi menurut Asngari (1984) dalam Puspasari (2010) diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi dari pemilihan atau penyaringan, kemudian informasi tersebut disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam memegang peranan penting guna meningkatkan pengertian dan pemahaman terhadap obyek yang diamati. Informasi yang sampai pada seseorang akan memahami dan menyadari stimulus tersebut, selanjutnya orang tersebut melakukan tindakan. Menurut Mayers (1988) dalam Puspasari (2010), persepsi dua orang mengenai satu objek yang sama dapat berbeda. Hal ini dapat terjadi karena setiap orang berbeda kebutuhan, motif, minat dan lainnya. Terbentuknya persepsi cenderung menurut kebutuhan, minat, dan latar belakang masing-masing. Senada dengan pernyataan Susiatik (1998) bahwa Tingkat peran serta masyarakat berkaitan dengan tingkat persepsi. Masyarakat akan semakin antusias untuk berpartisipasi secara aktif manakala dilandasi oleh adanya tingkat persepsi yang positif dari masyarakat. oleh karena itu hubungan persepsi erat kaitannya dengan partisipasi.