7. RANCANG BANGUN APLIKATOR CAIRAN. Pendahuluan

dokumen-dokumen yang mirip
3. METODE. Metode Penelitian. Waktu dan Lokasi Penelitian

Tabel 25. Spesifikasi teknis Boom sprayer Spesifikasi Teknis. Condor M-12/BX. Tekanan maksimum (rekomendasi)

6. PENDETEKSIAN SERANGAN GULMA. Pendahuluan

BAB IV ANALISA DAN PENGUJIAN ALAT

DT-51 Application Note

BAB III PERANCANGAN SISTEM

HASIL DAN PEMBAHASAN. Rancangan Prototipe Mesin Pemupuk

DT-SENSE. UltraSonic Ranger (USR)

5. IDENTIFIKASI JENIS TANAMAN. Pendahuluan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS

PERANCANGAN SISTEM KENDALI GERAK PADA PLATFORM ROBOT PENGANGKUT

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemodelan Sistem Kontrol Motor DC dengan Temperatur Udara sebagai Pemicu

BAB V PENGUJIAN DAN ANALISIS WAHANA

PERANCANGAN ROBOT OKTAPOD DENGAN DUA DERAJAT KEBEBASAN ASIMETRI

PENGENDALIAN SUDUT PADA PERGERAKAN TELESKOP REFRAKTOR MENGGUNAKAN PERSONAL COMPUTER

BAB III PERANCANGAN DAN PEMBUATAN ALAT

8. PERANCANGAN SISTEM MULTI AGEN. Pendahuluan

PERANCANGAN DAN IMPLEMENTASI SISTEM PENDETEKSIAN OBJEK MENGGUNAKAN METODE YCBCR PADA ROBOWAITER DRU99RWE4-V13

BAB III PERANCANGAN SISTEM

BAB IV PROTOTYPE ROBOT TANGGA BERODA. beroda yang dapat menaiki tangga dengan metode pengangkatan beban pada roda

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan Sistem Mekatronika Pemindah dan Penyusun Barang tanpa Sensor Berbasis Mikrokontroller AT89S51

BAB III PERANCANGAN SISTEM

DAFTAR ISI. LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING... Error! Bookmark not defined. LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN... iii. LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI...

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. Setelah pelaksanaan dari perancangan dibuat dan dijelaskan pada bab 3,

ROBOT ULAR PENDETEKSI LOGAM BERBASIS MIKROKONTROLER

Sistem Pengaturan Kecepatan Motor DC Pada Alat Penyiram Tanaman Menggunakan Kontoler PID

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. perangkat keras untuk mengoperasikan rangkaian DC servo pada mesin CNC dan

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM

BAB III PERANCANGAN ALAT

BAB III PERANCANGAN DAN REALISASI PERANGKAT KERAS

SISTEM PENGENDALIAN SUHU PADA TUNGKU BAKAR MENGGUNAKAN KONTROLER PID

Rancang Bangun Sistem Aeroponik Secara Otomatis Berbasis Mikrokontroler

BAB II SISTEM KENDALI GERAK SEGWAY

BAB III PERANCANGAN SISTEM

BAB III PERANCANGAN ALAT

BAB III PERANCANGAN ALAT

SISTEM KENDALI JARAK JAUH MINIATUR TANK TANPA AWAK

BAB III PERANCANGAN DAN REALISASI SISTEM

SISTEM PENJEJAK POSISI OBYEK BERBASIS UMPAN BALIK CITRA

BAB III PERANCANGAN ALAT

BAB III PERANCANGAN Gambaran Alat

BAB IV ANALISIS RANGKAIAN ELEKTRONIK

BAB IV UJI COBA DAN ANALISIS SISTEM

BAB II DASAR TEORI. mikrokontroler yang berbasis chip ATmega328P. Arduino Uno. memiliki 14 digital pin input / output (atau biasa ditulis I/O,

BAB III METODE PENELITIAN. pada blok diagram tersebut antara lain adalah webcam, PC, microcontroller dan. Gambar 3.1 Blok Diagram

BAB IV PENGUJIAN ALAT DAN ANALISA

BAB 4 HASL DAN PEMBAHASAN

Prodi S1 Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Telkom 1 2

NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH PEMASANGAN MOTOR DC PADA SEKUTER DENGAN PENGENDALI PULSE WIDTH MODULATION

BAB IV PENGUJIAN ALAT DAN ANALISA

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN

UJI PERFORMANSI PADA SISTEM KONTROL LEVEL AIR DENGAN VARIASI BEBAN MENGGUNAKAN KONTROLER PID

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. Pada Bab IV ini menjelaskan tentang spesifikasi sistem, rancang bangun

BAB IV HASIL DAN UJI COBA

BAB III METODE PENELITIAN. diperlukan dengan beberapa cara yang dilakukan, antara lain:

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. buah silinder dilengkapi bearing dan sabuk. 2. Penggunaan PLC (Programmable Logic Controller) sebagai pengontrol

BAB III PERANCANGAN SISTEM

Perancangan Serial Stepper

BAB III DESKRIPSI DAN PERANCANGAN SISTEM

DQI-03 DELTA ADC. Dilengkapi LCD untuk menampilkan hasil konversi ADC. Dilengkapi Zero offset kalibrasi dan gain kalibrasi

RANCANG BANGUN SISTEM AUTOTRACKING UNTUK ANTENA UNIDIRECTIONAL FREKUENSI 2.4GHZ DENGAN MENGGUNAKAN MIKROKONTOLER ARDUINO

Rancang Bangun Troller dengan Menggunakan Sistem Remote Kontrol RF YS-1020

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. menerapkan Pengontrolan Dan Monitoring Ruang Kelas Dengan Menggunakan

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

III. METODE PENELITIAN. Penelitian tugas akhir ini dilaksanakan di Laboratorium Elektronika Dasar

BAB III PERANCANGAN. Gambar 3.1. Sistem instruksi dan kontrol robot.

BAB III PERANCANGAN Sistem Kontrol Robot. Gambar 3.1. Blok Diagram Sistem

BAB III PERANCANGAN ALAT

TKC306 - Robotika. Eko Didik Widianto. Sistem Komputer - Universitas Diponegoro

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. (secara hardware).hasil implementasi akan dievaluasi untuk mengetahui apakah

BAB IV. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

Wireless Gamepad Interface

BAB IV ANALISA DAN PENGUJIAN ALAT

BAB IV HASIL PENGUKURAN DAN PENGUJIAN ALAT SISTEM PENGONTROL BEBAN DAYA LISTRIK

BAB III PERANCANGAN ALAT DAN PROGRAM MIKROKONTROLER. program pada software Code Vision AVR dan penanaman listing program pada

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan mulai pada November 2011 hingga Mei Adapun tempat

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai dengan Agustus 2015.

3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Penelitian

PERANCANGAN KONTROLER PI ANTI-WINDUP BERBASIS MIKROKONTROLER ATMEGA 32 PADA KONTROL KECEPATAN MOTOR DC

SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2011 Yogyakarta, 26 Juli Intisari

BAB III PERANCANGAN ALAT. menjadi acuan dalam proses pembuatannya, sehingga kesalahan yang mungkin

BAB II KONSEP DASAR SISTEM METERAN AIR DIGITAL DENGAN KOMUNIKASI DATA WIRELESS

BAB III PERANCANGAN 3.1 Perancangan Perangkat Keras ( Hardware Mikrokontroler BS2p40

BAB II ROBOT PENYAPU LANTAI

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2015 sampai dengan bulan Juli

BAB III PERANCANGAN. 3.1 Diagram blok sistem

Sistem Pengaturan Kecepatan Motor DC pada Alat Ektraktor Madu Menggunakan Kontroler PID

BAB III PERANCANGAN Gambaran Alat

BAB II DASAR TEORI Arduino Mega 2560

ALAT PEMBERI MAKAN IKAN NILA DI TAMBAK

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM. Computer. Parallel Port ICSP. Microcontroller. Motor Driver Encoder. DC Motor. Gambar 3.1: Blok Diagram Perangkat Keras

BAB III PERANCANGAN DAN PEMBUATAN. memungkinkan terjadinya kegagalan atau kurang memuaskan kerja alat yang telah dibuat.

BAB IV PERANCANGAN DAN REALISASI PERANGKAT LUNAK

Transkripsi:

7. RANCANG BANGUN APLIKATOR CAIRAN Pendahuluan Pada praktek pertanian presisi peralatan digunakan untuk membawa dan mendistribusikan bahan cair dan padat. Pendistribusian bahan padat bisa berupa bibit tanaman, pupuk, fungisida dan bahan pengkondisi kesuburan tanah. Sedangkan pendistribusian bahan cair adalah berupa air untuk irigasi, herbisida, insektisida dan pupuk cair. Dalam kegiatan pengendalian gulma keberadaan aplikator cairan sangat penting mengingat metode pemberantasan gulma biasa dilakukan dengan cara mendistribusikan bahan aktif pemberantas gulma yang dilarutkan dalam air. Penyemprotan cairan pengendali gulma pada praktek pertanian presisi membutuhkan peralatan yang memiliki kemampuan untuk mendistribusikan herbisida yang tepat lokasi dan tepat dosis, sehingga kegiatan yang dilakukan mampu mengendalikan gulma dengan efektif dan ramah lingkungan. Penelitian Real-time VRA (Variable Rate Application) dengan teknologi PWM untuk pengendalian gulma pada lahan terbuka telah dilakukan di Thailand dengan memanfaatkan webcam sebagai sensor dan pengatur kerja pompa penyemprot. Pada penelitian tersebut masih banyak kekurangan terutama dari segi ketelitian hasil kerja yang diakibatkan oleh penentuan luas satu perlakuan. Hasil dari penelitian tersebut masih membuka peluang bagi penelitian lanjutan dengan menggunakan metode kerja sistem yang baru, yaitu dengan membagi citra menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, serta penggunaan aktuator ganda untuk meningkatkan ketelitian kinerja Real-time VRA. Tujuan penelitian ini adalah merancang alat aplikator cair dengan pengontrol PWM (Pulse Width Modulator) dan merancang aplikasi penyemprotan ganda untuk meningkatkan ketelitian kerja sesuai dengan kondisi di lapangan, dengan input yang berasal dari aplikasi untuk menduga kepadatan gulma. Metode Rancang bangun aplikator cairan berbasis sensor dilakukan sebagai langkah akhir setelah penembangan sistem pendeteksi kepadatan serangan gulma baik 110

pada lahan terbuka maupun lahan tertutup selesai dilakukan. Alat dan bahan yang digunakan antara lain : - Komputer jinjing - Mikrokontroler AT89S51 - DT HiQ UBB ISP AT89S sebagai uploader program ke mikrokontroler. - EMS H-Bridge 30A sebagai modul penggerak motor listrik - Motor listrik CCB SUMO, 12 Volt. - Baterai 12V-7A - Kamera digital - Sensor Magnet dan magnet lempengan - Bahasa pemrograman C# untuk pembuatan program pengolah citra - Bahasa Assembler untuk pengaturan kinerja mikrokontroler Adapun tahapan perancangan yang dilakukan meliputi perancangan perangkat lunak, rancangan struktural, rancangan fungsional, penentuan mekanisme pengiriman dan penerimaan data, dan penentuan nilai PWM (Pulse Width Modulator). Mekanisme kerja rancangan alat yang akan dibangun adalah sebagaimana diagram alir yang ditampilkan pada Gambar 58. Hasil dan Pembahasan Perancangan Perangkat Lunak Perangkat lunak yang dibangun adalah aplikasi penentu tingkat kepadatan gulma pada lahan terbuka. Aplikasi dibangun dengan bahasa pemrograman C# (C Sharp). Gambar 59 menunjukkan tampilan aplikasi pada saat penentuan tingkat serangan gulma pada lahan terbuka. Rancangan Struktural 1. Dudukan Penyemprot Bagian rangka dudukan penyemprot merupakan bagian penentu dari posisi nozzle dari atas permukaan tanah. Terdapat tiga sumbu gerak bebas pada bagian ini. Batang horizontal dapat digeser maju mundur disesuaiakan dengan pembacaan sinyal magnet untuk keperluan penentuan waktu aktivasi penyemprotan. Batang vertikal memiliki gerak bebas naik atau turun agar dapat mengatur tinggi semprotan yang sesuai dengan target 111

penyemprotan dan overlapping yang diinginkan. Komponen terakhir yaitu batang dudukan nozzle terbuat dari besi siku dengan lubang-lubang berjarak 5 cm sebagai tempat nozzle, tujuannya agar nozzle dapat disesuaikan apabila dibutuhkan overlapping spraying. Pulsa magnet Penangkapan citra lahan dengan CCD kamera Pendeteksian jarak tempuh dengan pulsa magnet Filterisasi citra Pemicu penyemprotan (tiap 3 pulsa) Pemicu pemotretan ( tiap 6 pulsa) Pemecahan citra menjadi 4 bagian Klasifikasi kepadatan serangan gulma tiap bagian citra Data kombinasi penyemprotan Penentuan nilai kombinasi penyemprotan pada nozzle kiri dan kanan (2 kombinasi tiap citra hasil tangkapan) Persiapan penyemprotan Pembacaan dan Penerjamahan data kombinasi penyemprotan dalam bahasa mesin oleh Mikrokontroler Penentuan PWM kiri Penentuan PWM kanan Motor driver 1 Motor driver 2 Penyemprotan presisi Gambar 58. Diagram alir mekanisme kerja alat penyemprot berbasis sensor. 112

Gambar 59. Desain antarmuka perangkat lunak pengolahan citra dan klasifikasi serangan gulma. 2. Komponen Mekatronika Perangkat mekatronika merupakan bagian yang mengatur kapan citra lahan akan diambil dan kapan penyemprot diaktivasi serta mengatur seberapa besar tingkat penyemprotannya. Proses pemotretan dan penyemprotan dilakukan dengan mengaplikasikan algoritma kerja alat berdasarkan desain yang telah dibuat. Adapun perangkat lunak digunakan untuk mengolah citra yang telah diambil dan hasil olahan tersebut menjadi penentu tingkat penyemprotan yang akan dilakukan pada lahan. Nilai kombinasi yang dihasilkan oleh aplikasi penduga kepadatan gulma selanjutnya dijadikan sebagai perintah pada sistem kontrol. Mikrokontroler AT89S51 akan mengolah nilai tersebut kembali menjadi 2 buah nilai kepadatan gulma untuk bagian kiri dan kanan (A dan B). Setelah itu, mikrokontroler akan mengatur duty cycle dari modulasi lebar pulsa dan mengirimkan pulsa tersebut ke modul penggerak pompa DC yaitu EMS 30 A. Rancangan Fungsional 1. Pencacah jarak tempuh Pencacah jarak digunakan sebagai pencacah jarak yang telah ditempuh dan sekaligus sebagai pemicu proses yang lain. Pencacah jarak tempuh bekerja dengan menggunakan sensor magnet. Sensor ini akan mengalirkan arus dengan tegangan sebesar 5V ke salah satu pin I/O dari 113

mikrokontroler ketika magnet dekat dengannya. Sebaliknya, arus dan tegangan tersebut tidak akan diteruskan ke mikrokontroler jika tidak ada magnet yang berdekatan dengannya. Pemicu diletakkan tepat di samping roda yang telah terpasang piringan akrilik dengan 10 buah magnet. Penentuan jumlah magnet didasarkan garis tengah roda yaitu 54 cm. Sehingga setiap sensor terdeteksi mengartikan bahwa jarak yang telah ditempuh roda adalah : (54 cm x 3.14) / 10 = 16.96 cm. Dari perhitungan tersebut, dalam keadaan steady, setiap 3 kali sensor terbaca, proses penyemprotan harus dilakukan, sedangkan untuk pengambilan dan pengolahan citra dilakukan setiap pembacaan sensor dengan kelipatan angka 6. Sensor Magnet Magnet Gambar 60. Sensor magnet pencacah jarak tempuh. 2. Pengambilan Citra Peralatan yang dibangun didesain untuk bekerja pada panjang citra 102 cm. Format citra yang digunakan adalah 640 x 480 pixel. Dalam penelitian ini pengambilan citra dilakukan berdasarkan trigger yang dikirim oleh pencacah jarak, yaitu setiap kelipatan 6. Hal ini didasarkan 114

pada perhitungan : 6 x 16.96 cm = 101.76 cm yang nilainya mendekati 102 cm dengan selisih 0.24 cm atau 0.26%. 3. Proses Penyemprotan Proses penyemprotan adalah proses terakhir dari satu siklus pekerjaan sistem ini. Setelah dipicu oleh sensor magnet, mikrokontroler akan mengambil data tingkat kepadatan gulma yang ada pada sebuah variabel di aplikasi pengolah citra dengan sebelumnya mengirim sebuah karakter sebagai tanda bahwa mikrokontroler meminta data tersebut dan sprayer akan mulai melakukan penyemprotan. Spesifikasi penyemprot yang digunakan ditampilkan pada Lampiran 5. Pengiriman dan Penerimaan Data USB (Universal Serial Bus) port yang digunakan pada komputer diatur dengan menggunakan baudrate dan data bits yang sama dengan pengaturan pada mikrokontroler. Tabel 17. menampilkan pengaturan yang diberikan pada USB Port pada komputer. Tabel 17. Konfigurasi USB Port untuk komunikasi data Properties Keterangan Nama Port COM6 Baud Rate 9600 Data Bits 8 Parity None Stop Bits 1 Penentuan Nilai Modulasi Lebar Pulsa Penentuan nilai PWM menggunakan bentuk gelombang pulsa kotak dimana lebar pulsa adalah hasil modulasi dalam keragaman dari nilai rata-rata bentuk gelombang. Bila pulsa dinyatakan dalam f(t) dengan nilai minimum y min dan nilai maksimum y max dan duty cycle dinyatakan dalam D, maka nilai rata-rata bentuk gelombang dinyatakan sebagai berikut : 115

( 19 ) y max pada nilai t di selang dan y min pada nilai t di selang, maka persamaan menjadi sebagai berikut : ( 20 ) Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat bahwa pada y min = 0 maka nilai, hal tersebut berarti nilai rata-rata sinyal ( ) tergantung secara langsung pada nilai duty cycle (D). Penentuan lebar pulsa yang digunakan didasarkan pada nilai yang digunakan dalam penelitian sebelumnya (Thangkowit, 2006). Dalam penelitian Thangkowit (2006), besar duty cycle yang digunakan dan besar debit aplikator cair dapat dijelaskan pada Tabel 18. Karena penelitian tersebut menggunakan dua buah sprayer dengan perlakuan seragam, maka pada penelitian yang dilakukan memiliki target debit per nozzle sebesar setengah dari debit yang dirancang oleh Thangkowit (2006). Tabel berikut menampilkan debit penyemprotan untuk masing-masing tingkat kelas. Tabel 18. Konfigurasi nilai PWM (Thangkowit, 2006) Kelas PWM (% duty cycle) Debit (l/menit) 1 0 0 2 50 1.78 3 70 2.32 4 90 2.6 Tabel 19. Desain duty cycle PWM yang digunakan dalam sistem Kelas PWM (% duty cycle) PWM Debit (l/menit) 1 0 0 0 2 67 167 0.85 3 88 226 1.15 4 100 255 1.21 116

Spesifikasi Sprayer Elektrik 1. Hubungan antara Tinggi dan Lebar Penyemprotan Berdasarkan hasil pengamatan pola penyemprotan pada patternometer pada beberapa ketinggian nozzle diperoleh hubungan antara tinggi penyemprotan dengan lebar penyemprotan berbentuk garis lurus dengan persamaan : Y = 1.883 X + 43.52 ( 21 ) keterangan : Y = Lebar semprotan (cm) X = Ketinggian nozzle (cm) dengan nilai R 2 = 0.999. Lebar semprot (cm) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0 10 20 30 40 50 60 Tinggi semprot (cm) Gambar 61. Hubungan antara tinggi dan lebar penyemprotan Penyetelan nozzle pada ketinggian 25 cm menghasilkan lebar semprot teoritis 90.60 cm. Berdasarkan hasil pengamatan lebar penyemprotan efektif dari ketinggian nozzle 25 cm adalah antara 67.50 cm (nilai distribusi tiap titik pengamatan > 2%) sampai 82.50 cm (nilai distribusi tiap titik pengamatan > 1%), selang nilai ini sesuai dengan lebar target penyemprotan yaitu 68 cm. 117

2. Pengujian debit dan distribusi hasil penyemprotan Pengujian distribusi penyemprotan dilakukan dengan menggunakan alat patternometer (Gambar 62). Alat uji yang digunakan menggunakan lebar amatan terkecil 7.5 cm dengan wadah gelas sebagai wadah pengumpul hasil penyemprotan. Gambar 63 dan Gambar 64 secara berturut-turut memperlihatkan pola distribusi air dari sprayer elektrik dengan bukaan katup dan perlakuan PWM. Data selengkapnya dari uji distribusi penyemprotan dengan PWM ditampilkan pada Lampiran 6, dan data hasil uji distribusi penyemprotan dengan bukaan katup kran ditampilkan pada Lampiran 7. Gambar 62. Alat uji distribusi penyemprotan (Patternometer). Volume dari setiap kolom pada penggunaan bukaan katup (Gambar 63) menunjukkan pada umumnya volume bukaan penuh pada bagian kiri merupakan debit yang paling tinggi sedangkan pada bagian kanan, hampir seluruh volume bukaan penuh merupakan nilai yang paling rendah. Berdasarkan fakta tersebut maka penggunaan bukaan katup sebagai metode pengontrolan debit penyemprotan tidak sesuai dengan tujuan pengontrolan. Hal ini disebabkan oleh tidak konsistennya hasil penyemprotan bagian kanan dan bagian kiri. Pengamatan terhadap penggunaan PWM sebagai alat kontrol penyemprotan (Gambar 64) menunjukkan hampir seluruh volume dengan PWM sebesar 255 menjadi nilai tertinggi pada setiap kolom. Pola 118

penyemprotan sisi kiri dan sisi kanan menunjukkan hasil yang lebih konsisten. Berdasarkan hasil ujicoba pengontrolan debit penyemprotan dengan dua metode tersebut, maka pengontrolan dengan menggunakan PWM dapat disimpulkan bahwa penggunaan PWM menghasilkan debit semprotan yang lebih baik sesuai dengan perintah kontrol yang diberikan. Bukaan Penuh 2/3 bukaan 1/3 bukaan Volume (ml) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Gelas ke-n Gambar 63. Distribusi air hasil penyemprotan dengan bukaan katup 100 80 pwm 255 pwm 226 pwm 167 Volume (ml) 60 40 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Gelas ke-n Gambar 64. Distribusi air hasil penyemprotan dengan perlakuan PWM 119

Uji Kinerja Sistem a. Pengujian respon penyemprotan Pengujian respon penyemprotan dilakukan dengan menggunakan 6 buah citra secara acak dengan satu nozzle di bagian kanan. Citra yang terpilih adalah citra nomor 4, 5, 6, 5, 23, dan 25 yang kemudian disusun berurutan sehingga menghasilkan 12 kelas kepadatan gulma bagian kanan secara berturut-turut 4, 4, 1, 1, 2, 2, 1, 1, 3, 3, 1, dan 1. Penyusunan secara berurutan bertujuan untuk mengetahui respon sistem pada kondisi operasional secara kontinyu. b. Perbandingan hasil penyemprotan 2 nozzle dengan perlakuan tunggal dan perlakuan ganda Gambar 65 menunjukkan jumlah cairan yang harus disemprotkan berdasarkan hasil peta perlakuan yang ditunjukkan pada Gambar 52, dan debit yang ada pada Tabel 19 menunjukkan bahwa dosis penyemprotan total untuk penyemprotan dengan perlakuan tunggal adalah sebesar 0.756 liter sedangkan dosis penyemprotan total untuk penyemprotan dengan perlakuan ganda adalah sebesar 0.649 liter. Kedua nilai tersebut menunjukkan adanya penghematan penggunaan cairan hingga 14% jika sebuah citra dibagi menjadi 4 citra. Hasil perhitungan tersebut tidak berarti bahwa penerapan Penghematan penggunaan herbisida tergantung pada sebaran dan kepadatan gulma yang ada di lahan. Penerapan metode pemecahan citra secara jelas menunjukkan ketelitian aplikasi dari segi dosis dan ketepatan lokasi, sehingga pemberantasan gulma akan lebih efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Dari analisa nilai rata-rata klasifikasi menunjukkan 9 citra memiliki rata-rata nilai perlakuan lebih besar, 11 citra memiliki rata-rata nilai perlakuan lebih kecil, dan 6 citra memiliki rata-rata nilai perlakuan sama. c. Uji ketepatan aktivasi penyemprotan Ketepatan aktivasi diukur dengan jarak aktivasi semprotan sprayer. Jarak tersebut kemudian dibandingkan dengan jarak teoritis pada saat perancangan alat (102 cm). Lampiran 8 menampilkan data lengkap uji aktivasi penyemprotan yang secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 20. 120

(a) Penyemprotan nozzle tunggal dengan ukuran 102 cm x 136 cm (b) Penyemprotan nozzle ganda dengan ukuran 51 cm x 68 cm Gambar 65. Perbedaan pola nilai penyemprotan tunggal (a) dan pola penyemprotan ganda (b) dalam satuan liter. 121

Nilai error rata-rata yang dihasilkan dari pengujian ketepatan aktivasi adalah sebesar 10.55% dengan hasil pengukuran jarak dengan pola yang sama. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivasi yang dilakukan oleh pemicu. Untuk mengaktivasi pengambilan citra, pencacah mikrokontroler berada pada hitungan ke-6 akan tetapi pada saat pengujian aktivasi pengambilan citra dilakukan pada saat pencacah berada pada hitungan manual ke-5 atau pada hitungan manual ke-6. Letak magnet yang berdekatan dan sensor magnet juga dapat mempengaruhi terjadinya hal tersebut. Tabel 20. Hasil pengujian aktivasi penyemprotan Ulangan Jarak Aktivasi Rancangan (cm) Jarak Aktivasi Terukur (cm) 1 2 3 4 5 Rata-rata Error (%) 1 102 94 85 104 88 109 9.41 2 102 110 90 102 87 106 7.65 3 102 108 85 110 86 107 10.20 4 102 114 91 111 74 111 13.53 5 102 112 87 111 85 112 11.96 Rataan 10.55 d. Uji ketelitian dosis dan respon aktuator Ketelitian dosis aplikasi dan respon aktuator dilakukan dengan mengukur volume total yang keluar dari nozzle pada pengujian yang dilakukan secara kontinyu pada berbagai nilai PWM tanpa menggunakan kombinasi PWM = 0, dan membandingkan dengan volume teoritis dari dosis hasil perancangan. Gambar 66 menampilkan perbandingan volume penyemprotan hasil ujicoba dan volume secara teoritis, data lengkapnya ditampilkan pada Lampiran 8. Pada gambar tersebut terlihat bahwa volume semprotan terukur selalu lebih kecil dari volume yang seharusnya (volume teoritis), akan tetapi nilainya selalu mendekati nilai volume teoritis. Nilai volume aktual yang lebih kecil disebabkan karena respon aktuator yang lambat, dimana suatu nilai PWM baru akan mencapai debit yang stabil setelah 3 detik pengoperasian sedangkan lama operasi untuk 122

tiap dosis hanya 0.38 detik. Hasil pengujian dengan tidak memasukkan variasi PWM = 0 menunjukkan bahwa rataan error yang terjadi sebesar 3.47%. Bila nilai PWM = 0 dimasukkan dalam proses uji coba, maka nilai error akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena untuk mencapai nilai debit yang stabil dari kondisi PWM=0 membutuhkan waktu yang lebih besar dari waktu operasi penyemprotan yang harus dilakukan. Keterbatasan respon aktuator dapat diatasi dengan cara memperpendek pipa penghantar cairan dan penggunaan pompa air yang bekerja dengan stabil dan lebih responsif terhadap perubahan lebar pulsa catu daya. Gambar 66. Hasil pengujian ketelitian dosis aplikasi e. Analisa penyemprotan bertumpuk Penyemprotan bertumpuk dalam praktek pertanian terjadi pada penyemprotan dengan skala luas dimana penggunaan nozzle tunggal sudah tidak memungkinkan. Nilai overlap yang terjadi pada penyemprotan dengan nozzle ganda biasanya berkisar antara 30% sampai 50%. Tidak hanya pola penyemprotan, penggunaan lebih dari satu nozzle, ketinggian dan jarak pemasangan aplikator cair pun dapat menentukan ketepatan penyemprotan cairan (Miller A. dan Bellinder R, 2001). 123

Gambar 67. Pengaruh ketinggian dan jarak pemasangan aplikator cair (Miller A dan Bellinder R, 2001) Analisa penyemprotan bertumpuk dilakukan untuk mengetahui perbedaan distribusi larutan dengan penyemprotan tunggal dan distribusi larutan hasil penyemprotan dengan nozzle ganda pada beberapa nilai overlaping. Dasar penentuan tingkat overlaping adalah dengan cara menghitung rasio jumlah titik pengamatan yang overlaping dengan jumlah keseluruhan titik pengamatan pada pengoperasian nozzle ganda. Penggunaan nozzle ganda dimaksudkan untuk mencapai lebar semprot sesuai rancangan (sama dengan lebar tangkapan citra), yaitu 136 cm dan nilai simpangan baku sekecil mungkin. Penyemprotan nozzle ganda dengan overlap 38% pada jarak antar nozzle 60 cm sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 69. menunjukkan sebaran yang masih cukup lebar. Berdasarkan perhitungan secara teoritis (Lampiran 14) overlap 38% akan menghasilkan lebar semprot 142.5 cm dengan simpangan baku hasil penyemprotan sebesar 2.66%. 124

Volume semprot (%) 20.00 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Titik Pengukuran Gambar 68. Pola distribusi penyemprotan tunggal. Volume semprot (%) 10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Titik Pengukuran Gambar 69. Pola distribusi penyemprotan dengan overlap 38%. Penyemprotan nozzle ganda dengan overlap 54% dengan jarak antar nozzle 45 cm sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 70. menunjukkan sebaran yang semakin seragam. Berdasarkan perhitungan secara teoritis (Lampiran 15) overlap 54% akan menghasilkan lebar semprot 127.5 cm dengan simpangan baku hasil penyemprotan sebesar 1.32%. 125

Volume semprot (%) 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Titik Pengukuran Gambar 70. Pola distribusi penyemprotan dengan overlap 54%. Hasil perhitungan teoritis penyemprotan dengan overlap 38% dan 54% memiliki lebar penyemprotan 142.5 cm dan 127.5 cm. Nilai lebar penyemprotan tersebut telah mendekati lebar penyemprotan yang direncanakan sebesar 136 cm. Selain dengan cara meningkatkan nilai overlap, metode untuk meningkatkan keseragaman penyemprotan dapat dilakukan dengan mempergunakan nozzle yang memiliki sudut semprot yang besar. Penggunaan nozzle dengan sudut semprot yang besar akan memberikan hasil semprot yang lebih lebar dan lebih merata. Peningkatan keseragaman penyemprotan juga dapat dilakukan dengan menambah ketinggian penyemprotan. Pada ketinggian nozzle yang lebih besar keseragaman hasil penyemprotan akan lebih baik, karena droplet yang dihasilkan bercampur dengan lebih baik sebelum sampai pada obyek yang disemprot. f. Analisa pengaruh kecepatan maju terhadap debit penyemprotan Analisa pengaruh perubahan kecepatan maju penyemprot terhadap debit penyemprotan dilakukan dengan cara menghitung target dosis penyemprotan per hektar dengan kecepatan maju yang ditargetkan 1 m/det. Tabel 21 menunjukkan hasil perhitungan dosis target 126

penyemprotan pada tiap-tiap kelas serangan gulma. Angka dosis tersebut selanjutnya dijadikan acuan untuk menghitung pengaruh perubahan maju penyemprot terhadap perubahan debit penyemprotan. Tabel 21. Dosis penyemprotan tiap kelas serangan gulma Kelas Debit semprot (l /menit) Lebar kerja (cm) Kecepatan maju (m/det) Dosis (l /ha) 2 0.85 136 1 104.167 3 1.15 136 1 140.931 4 1.21 136 1 148.284 Tabel 21 menampilkan debit penyemprotan yang harus dioperasikan pada tiap-tiap kelas serangan gulma untuk mencapai dosis acuan yang telah ditentukan. Untuk mendapatkan persamaan yang merepresentasikan hubungan antara kecepatan maju dan debit penyemprotan data pada Tabel 22 diplotkan ke dalam grafik sebagaimana terlihat pada Gambar 71. Hasil analisa regresi linier diperoleh hubungan antara kecepatan maju dan debit penyemprotan untuk masing-masing kelas serangan gulma sebagai berikut : Q2 (debit untuk kelas 2) = 0.236 x V... ( 22 ) Q3 (debit untuk kelas 3) = 0.319 x V... ( 23 ) Q4 (debit untuk kelas 4) = 0.336 x V... ( 24 ) keterangan : V = kecepatan maju (km/jam) Q = debit penyemprotan (l/menit) Pengamatan terhadap kinerja aplikator cairan berbasis sensor terutama dari segi kecepatan kerja dapat dirinci mulai dari kegiatan pengambilan citra di lapangan, pengolahan citra dan klasifikasi citra, serta kecepatan aksi penyemprotan. Selain kecepatan kerja komponen lain yang perlu diperhatikan adalah luas kerja persatuan waktu. Berdasarkan desain awal aplikator cairan yang dibangun memiliki luas kerja per operasi sama dengan luas tangkapan citra, yaitu 102 cm x 136 cm. 127

7 6 Debit (liter/menit) 5 4 3 2 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 1 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Kecepatan maju (km/jam) Gambar 71. Hubungan kecepatan maju peralatan dan debit penyemprotan Tabel 22. Dosis penyemprotan pada berbagai kecepatan maju peralatan Kecepatan (km/jam) Kelas 2 (liter/menit) Kelas 3 (liter/menit) 1 0.236 0.319 0.336 2 0.472 0.639 0.672 3 0.708 0.958 1.008 4 0.944 1.278 1.344 5 1.181 1.597 1.681 6 1.417 1.917 2.017 7 1.653 2.236 2.353 8 1.889 2.556 2.689 9 2.125 2.875 3.025 10 2.361 3.194 3.361 11 2.597 3.514 3.697 12 2.833 3.833 4.033 13 3.069 4.153 4.369 14 3.306 4.472 4.706 15 3.542 4.792 5.042 16 3.778 5.111 5.378 17 4.014 5.431 5.714 18 4.250 5.750 6.050 19 4.486 6.069 6.386 20 4.722 6.389 6.722 Kelas 4 (liter/menit) 128

Rata-rata waktu kerja sistem berdasarkan 26 kali ulangan adalah sebagaimana ditampilkan pada Tabel 23. Hasil pengukuran secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11. Tabel 23. Waktu kerja rata-rata tiap proses pada sistem pengendalian gulma No. Nama Proses Waktu kerja (detik) 1 Penangkapan citra 0.2045 2 Loading file 0.1712 3 Filterisasi 0.1961 4 Analisa kelas serangan 0.1062 5 Penentuan dosis 0.0899 Jumlah 0.7679 Lebar tangkapan citra (136 cm) Panjang tangkapan citra (102 cm) Arah maju peralatan Gambar 72. Landasan perhitungan kecepatan maju alat penyemprot Rata-rata waktu kerja sistem untuk menyemprot sepanjang 102 cm di luar waktu aktivasi aktuator penyemprot adalah 0.7679 detik. Berdasarkan nilai tersebut berarti kecepatan kerja sistem adalah 1.3283 m/s atau sama dengan 4.7818 km/jam dengan lebar kerja 136 cm berarti sistem penyemprot memiliki kapasitas kerja 0.6503 ha/jam. Nilai kapasitas kerja yang diperoleh masih sangat kecil, sehingga diperlukan metode lain untuk meningkatkan kecepatan operasi dan kapasitas kerja. Pengoperasian sistem tanpa melalui penyimpanan dan pengambilan file citra secara teoritis akan mempersingkat waktu operasi tiap proses, yaitu menjadi 0.426 detik. Kecepatan gerak maju maksimum menjadi 8.630 km/jam dan kapasitas kerja 1.172 ha/jam. 129

Kecepatan gerak maju yang semakin besar menuntut pemotretan yang lebih akurat baik dari segi ketepatan waktu pengambilan citra maupun kualitas citra yang dihasilkan. Untuk mendapatkan kualitas citra yang baik diperlukan teknologi kamera dengan kecepatan tinggi yang dilengkapi dengan fitur anti getar, didukung dengan desain dudukan kamera yang mampu meredam getaran yang terjadi selama proses pemotretan. Simpulan 1. Aplikator cairan presisi berbasis PWM telah dibuat dengan masukan berupa nilai kombinasi serangan gulma hasil kerja sistem pendeteksi serangan gulma. 2. Ketepatan aktivasi penyemprotan pada lokasi yang telah ditentukan menunjukkan nilai error rata-rata yang dihasilkan adalah sebesar 10.55% 3. Hasil uji kinerja ketepatan dosis dan respon aktuator pada berbagai nilai kelas kepadatan serangan gulma menunjukkan nilai yang baik dengan rataan error yang terjadi sebesar 3.47%. 4. Penyemprotan dengan nozzle tunggal menghasilkan lebar semprot 82.5 cm dengan lebar semprot efektif 67.5 cm dengan simpangan baku 9.09%. 5. Rata-rata waktu kerja sistem untuk menyemprot sepanjang 102 cm diluar waktu aktivasi aktuator penyemprot adalah 0.76791 detik. Berdasarkan nilai tersebut berarti kecepatan kerja sistem adalah 1.3283 m/s, dengan lebar kerja 136 cm berarti sistem penyemprot memiliki kapasitas lapang teoritis 0.6503 ha/jam. 6. Pengoperasian sistem tanpa melalui penyimpanan dan pengambilan file citra akan mempersingkat waktu operasi tiap proses, yaitu menjadi 0.426 detik. Kecepatan gerak maju maksimum menjadi 8.630 km/jam dan kapasitas kerja 1.172 ha/jam. 130