BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Hepatitis Hepatitis adalah peradangan pada hati yang disebabkan oleh beberapa etiologi. Etiologi yang menyebabkan peradangan hati ini antara lain berupa virus, kelainan sistem imun tubuh, alkohol, obat-obatan tertentu dan juga za- zat yang bersifat racun (Schmidt, 2010). 2.2. Anatomi dan Fisiologi Hati 2.2.1. Anatomi Hati Hati merupakan organ terbesar yang terletak disebelah kanan atas rongga perut. Beratnya 1.500 gram, 2%-2,5% berat badan orang dewasa yang normal. Hati kaya akan persediaan darah sehingga pada kondisi yang sehat berwarna merah tua. Hati dibagi menjadi 2 lobus yaitu lobus kanan dan lobus kiri. Kedua lobus ini dipisahkan oleh ligamen falsiformis. Lobus kanan hati mempunyai 3 bagian utama yaitu: lobus kanan atas, lobus kuadratus, dan lobus kaudatus. Lobus kanan lebih besar dibandingkan lobus kirinya (Sloane,2004). Hati menerima darah dari 2 sumber: (Sherwood, 2011) a. Darah arteri, yang menyediakan O 2 bagi hati dan mengandung metabolit darah untuk diproses oleh hati, disalurkan oleh arteri hepatika. b. Darah vena yang berasal dari saluran cerna dibawa oleh vena porta hepatika ke hati untuk pemrosesan dan penyimpanan nutrien yang baru diserap. Didalam hati, vena porta kembali bercabang-cabang menjadi anyaman kapiler (sinusoid hati) untuk memungkinan terjadinya pertukaran antara darah dan
hepatosit sebelum darah mengalir ke dalam vena hepatika, yang kemudian menyatu dengan vena kava inferior. 2.2.2. Fisiologi Hati Hati dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh. Perannya dalam sistem penceranaan adalah untuk sekresi garam empedu, yang membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Hati juga melakukan berbagai fungsi yang tidak berkaitan dengan pencernaan (Sherwood, 2011). Fungsi utama hati yang tidak berkaitan dengan pencernaan, sebagai berikut: a. Untuk Metabolisme Metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Bergantung kepada kebutuhan tubuh. Ketiganya dapat saling dibentuk. b. Untuk Penyimpanan Zat Seperti mineral (Cu, Fe) serta vitamin larut lemak (Vit. A, D, E, dan K), glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh seperti, peptisida DDT. c. Untuk Detoksifikasi Hati melakukkan inaktivasi hormon dan menguraikan zat sisa tubuh yang toksin dan obat. d. Untuk Fagositosis Fagositosis mikroorganisme, sel darah merah, dan sel darah putih yang sudah tua maupun rusak. e. Untuk Sekresi Hati memproduksi empedu yang berperan dalam emulsifikasi dan absorbsi lemak (Sloane, 2004). f. Pengaktifan Vit. D Pengaktifan vit. D dilakukan hati bersama dengan ginjal. g. Fungsi Vaskular
Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan untuk pembekuan darah dan yang untuk menganggkut hormon steroid dan tiroid serta kolesterol dalam darah (Sherwood, 2011) 2.3. Definisi Hepatitis B Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB), anggota famili Hepadnavirus yang menyebabkan peradangan hati yang akut ataupun kronik dan pada sebagian kecil kasus mengalami komplikasi berupa sirosis hati atau kanker hati (Selvaraju, 2012). 2.4. Hepatitis B Kronik 2.4.1. Definisi Pada saat ini definisi hepatitis B kronik adalah adanya persistensi virus hepatitis B (VHB) yang menetap lebih dari 6 bulan. Sehingga istilah carrier sehat tidak lagi dianjurkan untuk digunakan (Soemohardjo,2009). Hepatitis B kronik adalah masalah klinis utama di seluruh dunia. Hal ini sangat penting di kawasan Asia-Pasifik dimana prevalensi infeksi HBV tinggi, termasuk Indonesia, yang termasuk hepatitis B daerah endemik sedang sampai tinggi (Juniastuti, 2014). 2.4.2. Patogenesis Hepatitis B kronik terjadi karena reaksi immunologik pasien terhadap virus hepatitis B kurang sempurna, sehingga memungkinkan terjadi koeksistensi dengan virus hepatitis B. Pada koeksistensi ini HBsAg akan muncul pada masa awal dan titernya akan naik mencapai angka yang sangat tinggi, tetapi serologi HBsAg ini akan tetap positif sampai berbulan-bulan, bahkan seumur hidup. Kirakira 10% penderita hepatitis B akut akan mengalami keadaan ini.
Gambar 2.2 Perjalanan Penyakit Hepatitis B Kronik (Sumber : JRSM, 2004) Fase infeksi dari keadaan ini terdiri atas 2 fase, yaitu infeksi kronis dan fase pengidap HBsAg tanpa gejala. a. Fase Infeksi Kronis Dalam fase ini penderita tidak menunjukkan gejala atau hanya mengalami keluhan ringan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kenaikan enzim amino transferase 5-10 kali dari normal, HBsAg yang menurun, HBeAg dan DNA virus hepatitis B tetap positif. Fase ini akan berlangsung selama satu sampai puluhan
tahun. Dan sebagian penderita akan mengalami kompikasi berupa sirosis hati, hepatoma bahkan meninggal karena kegagalan fungsi hati. b. Fase HBsAg tanpa gejala Diawali dengan kelainan biokimia dan hilangnya gejala klinis. Pemeriksaan kadar enzim amino transferase normal, HBsAg tetap atau menurun, HBeAg serta DNA virus hepatitis B akan negatif. Fase ini umumnya berlangsung seumur hidup. Keadaan ini terjadi pada 10% dari penderita yang terinfeksi pada masa dewasa (Handri,2012). 2.5. Epidemiologi Diperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia pernah terpajan virus ini dan 350-400 juta diantaranya merupakan pengidap hepatitis B.Prevalensi yang lebih tinggi didapatkan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, angka pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan mencapai 4.0-20.3%, dengan proporsi pengidap di luar Pulau Jawa lebih tinggi daripada di Pulau Jawa.Secara genotip, virus hepatitis B di Indonesia kebanyakan merupakan virus dengan genotip B (66%) (CDC,2013) Sekitar 2 miliar penduduk di seluruh dunia pernah terinfeksi dengan virus hepatitis B dan 600.000 penduduk meninggal setiap tahun oleh komplikasi dari hepatitis B serta lebih dari 240 juta menderita infeksi hati yang kronik (WHO, 2012). Tahun 2007, Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan dari 10.391 serum yang diperiksa, prevalensi HBsAg positif 9,4% yang berarti 1dari 10 juta penduduk Indonesia pernah terinfeksi hepatitis B. Hal ini menyebabkan Indonesia digolongkan sebagai negara dengan kategori endemisitas sedang sampai tinggi (Depkes RI, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prevalensi HBsAg ditemukan lebih tinggi dari 10% di luar Pulau Jawa, yaitu Pulau Sumatera, Pulau Bali dan
Irian Jaya. Ini dapat dimengerti karena Indonesia memiliki daerah yang sangat luas, dengan perilaku dan budaya yang berbeda-beda (Sulaiman, 1997). Gambar 2.3 Epidemiologi Hepatitis B Kronik (Sumber: CDC, 2013) 2.6. Serologi Penanda VHB Berbagai macam pertanda serologik yang bermakna, dan maknanya: 1. HbsAg (Hepatitis B Surface Antigen) Suatu protein yang merupakan selubung luar partikel VHB. HBsAg yang positif menunjukkan bahwa pada saat itu yang bersangkutan mengidap infeksi VHB. 2. Anti-HBs Antibodi terhadap HbsAg. Antibodi ini muncul setelah HBsAg hilang. Anti-HBs positif menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan telah kebal terhadap infeksi VHB baik yang terjadi setelah suatu infeksi VHB alami atau setelah dilakukan vaksinasi Hepatitis B. 3. Anti-HBc
Antibodi terhadap protein core. Antibodi ini muncul pada semua kasus dengan infeksi VHB pada saat ini atau infeksi pada masa yang lalu. Anti-HBc muncul pada Hepatitis Akut, sehingga IgM anti-hbc nya akan positif untuk memperkuat diagnosis. Namun bisa kembali menjadi positif pada hepatitis kronik dengan reaktivasi, IgM anti-hbc tidak dapat dipakai untuk membedakan hepatitis akut dengan kronik secara mutlak. 4. HBeAg Suatu protein nonstruktural dari VHB yang disekresikan kedalam darah dan merupakan produk gen precore dan gen core. Positifnya HBeAg merupakan petunjuk adanya replikasi VHB yang tinggi dari seorang individu HbsAg positif. 5. Anti-Hbe Antibodi yang timbul terhadap HBeAg pada infeksi VHB tipe liar. Positifnya menunjukkan bahwa VHB ada dalam fase nonreplikatif. Anti-HBe hilang setelah beberapa bulan atau tahun. 6. DNA VHB Positifnya DNA VHB dalam serum menunjukkan adanya partikel VHB yang utuh dalam tubuh penderita. DNA VHB adalah jumlah virus yang paling peka (viral load). Pengukuran DNA VHB secara kuantitatif memegang peran yang sangat penting untuk menentukan tinggat replikasi VHB, menentukan indikasi terapi antiviral dan menilai hasil terapi (Cahyono, 2009). 2.7. Diagnosis Evaluasiawal pasien dengan VHB kronis harus mencakup riwayat menyeluruh dan pemeriksaan fisik, dengan penekanan khusus pada faktor-faktor risiko untuk
riwayat terinfeksi, penggunaan alkohol, dan riwayat keluarga dari infeksi VHB dan kanker hati. Uji laboratorium harus mencakup penilaian penyakit hati, penanda replikasi VHB, dan tes untuk koinfeksi denganvhc, VHD, atau HIV pada mereka yang berisiko (Anna et al., 2009). Tabel 2.1. Evaluation of Patients with Chronic HBV Infection Initial evaluation 1. History and physical examination 2. Family History of liver disease, HCC 3. Laboratory tests to assess liver disease complete blood counts with platelets, hepatic panel, and prothrombin time 4. Tests for VHB replication HBeAg/anti-HBe, VHB DNA 5. Tests to rule out viral coinfections anti-vhc, anti-vhd (in persons fromcountries where VHD infection is common and in those with history of injection drug use), and anti-hiv in those at risk 6. Tests to screen for HCC AFP at baseline and, in high risk patients, ultrasound 7. Consider liver biopsy to grade and stage liver disease - for patients who meet criteria for chronic hepatitis (Sumber asli: Anna dkk, 2009) Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi. Secara serologi pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan VHB DNA (Suharjo, 2006) Hepatitis B kronik mempunyai gambaran klinis yang bervariasi. Pada beberapa kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala, dan pemeriksaan fungsi hati normal. Namun sebagian lagi didapatkan hepatomegali bahkan splenomegali atau tanda- tanda penyakit hati kronis lainnya, seperti eritema palmaris dan spider nevi. Ditemukan kenaikan konsentrasi ALT (Alanine aminotransferase) walaupun tidak selalu didapatkan (Soemohardjo,2009).
Peningkatan aminotransferase selama hepatitis B akut bervariasi dari / kenaikan moderat ringan 3 - sampai 10 kali lipat peningkatan mencolok dari > 100 kali lipat.yang terakhir ini tidak selalu berarti prognosis yang buruk.konsentrasi ALT biasanya lebih tinggi dari aspartate aminotransferase (AST) konsentrasi.konsentrasi bilirubin meningkat pada kebanyakan pasien dengan infeksi HBV akut.ikterus klinis bermanifestasi pada 50% orang dewasa dengan konsentrasi bilirubin dari > 51,3 umol / L (3,0 mg / dl).konsentrasi hingga 513 umol / L (30,0 mg / dl) dapat terjadi.sedikit kenaikan alkaline phosphatase juga terlihat.pada pasien yang dapat berkembang menjadi gagal hati fulminan, penurunan cepat dalam ALT dan AST dapat menyesatkan satu ke menyimpulkan bahwa infeksi hati yang menyelesaikan padahal hilangnya hepatosit terjadi.kenaikan berkelanjutan dalam konsentrasi aminotransferase untuk > 6 bulan dianggap sebagai indikasi hepatitis kronis (Gitlin, 2011). Manifestasi klinis hepatitis B kronik secara sederhana dikelompokkan menjadi 2 yaitu: 1. Hepatitis B kronik aktif. Dimana HBsAg positif dengan DNA VHB lebih dari 10 5 kopi/ml, dan didapatkan kenaikan konsentrasi ALT. Menurut status HBeAg pasien dikelempokkan menjadi hepatitis B kronik HBeAg positif dan hepatitis B kronik HBeAg negatif. 2. Hepatitis B kronik inaktif. HBsAg positif, DNA VHB rendah yaitu kurang dari 10 5 kopi/ml, dan konsentrasi ALT noral dan tidak ada didapati keluhan. Pada hepatitis B kronik inaktif sulit dibedakan antara hepatitis B kronik HBeAg negatif dengan VHB inaktif (Soemohardjo,2009). Tabel 2.2. Kriteria Diagnosis Infeksi VHB
Kriteria Diagnosis Infeksi VHB Hepatitis B Kronik 1. HBsAg seropositif > 6 bulan 2. DNA VHB serum >20.000 IU/mL (nilai yang lebih rendah 2000-20.000 IU/mL ditemukan pada HBeAg negatif) 3. Peningkatan ALT yang presisten maupun intermiten 4. Biopsi hati yang menunjukkan hepatitis kronik dengan derajat nekroinflamasi sedang sampai berat Pengidap Inaktif 1. HBsAg seropositif > 6 bulan 2. HBeAg (-), anti HBe (+) 3. ALT serum dalam batas normal 4. DNA VHB <2000-20000 IU/mL 5. Biopsi hati yang tidak menunjukkan inflamasi yang dominan Resolved Hepatitis Infection 1. Riwayat infeksi Hepatitis B, atau adanya anti-hbc dalam darah 2. HBsAg (-) 3. DNA VHB serum yang tidak terdeteksi 4. ALT serum dalam batas normal (Sumber asli: PPHI, 2012) 2.8. Vaksin Hepatitis Cara terbaik untuk mencegah hepatitis B adalah dengan mendapatkan vaksin hepatitis B. Vaksin hepatitis B yang aman dan efektif dan biasanya diberikan 3-4 suntikan selama 6 bulan. Semua anak harus mendapatkan vaksin hepatitis B pada saat lahir dan menyelesaikan vaksin hingga usia 6-18 bulan. Vaksin dianjurkan untuk semua bayi sehingga mereka akan terhindar dari penyakit serius. Bayi dan anak- anak berada pada resiko yang lebih besar untuk
mengembangkan hepatitis B akut menjadi infeksi hepatitis B kronis, namun vaksin mampu mencegahnya. Pemberian vaksin hepatitis B menunjukkan perlindungan terhadap infeksi hepatitis B akut dan kronis, gejala berlangsung selama 22 tahun (Sarah dkk, 2013). Saat ini dikenal 3 type vaksin yaitu (Lubis, 2004): 1. Human Plasma Derived Vaksin ini berasal dari plasma. Dalam pemberiannya tidak ditemukan efek samping yang berarti. 2. Recombinant DNA recombinan vaccine, merupakan HBsAg yang dimurnikan dimana komposisinya sama dengan human plasma derived yang berasal dari plasma. 3. Polypeptide Vaksin ini masih dalam tahap ekperimental dan penggunaannya belum ditetapkan. Semua anak- anak dan remaja yang berusia kurang dari 18 tahun dan belum divaksinasi sebelumnya harus divaksin jika mereka tinggal di negara-negara dimana ada endemisitas rendah atau menengah. Kelompok berisiko tingga dapat memperoleh infeksi dan mereka juga harus divaksinasi. Mereka termasuk (WHO, 2013): Orang yang sering membutuhkan donor darah atau pasien dialisis. Penerima transplantasi organ padat. Orang magang di penjara Pengguna narkoba Rumah tangga dan kontak seksual orang dengan infeksi VHB kronis. Orang dengan beberapa mitra seksual, serta petugas kesehatan dan orang lain yang mungkin terkena darah dan produk darah melalui pekerjaan mereka. Wisatawan yang belum menyelesaikan seri vaksinasi hepatitis B mereka harus ditawarkan vaksin sebelum berangkat ke daerah endemis. 2.9. Penularan Hepatitis B
Ada 2 cara penularan infeksi VHB yaitu penularan secara horizontal (dari pengidap hepatitis kepada individu yang masih rentan) dan secara vertikal (ibu hamil kepada bayi) (Soemohardjo, 2008). 2.9.1. Penularan Secara Horizontal Dapat melalui kulit ataupun selaput lendir a. Melalui Kulit Penularan melalui kulita bisa disebabkan oleh karena adanya tusukan yang jelas (penularan (parenteral), misalnya suntikan, transfusi darah, tatto atau pemberian produk yang berasal dari darah. Ada pula yang disebabkan tanpa tusukan yang jelas, misalnya bahan infektif melalui goresan dan radang pada kulit. b. Melalui Selaput Lendir Selaput lendir yang diduga manjadi jalan masuk VHB kedalam tubuh adalah selaput lendir mulut, hidung, mata dan kelamin. Penularan melalui selaput lendir mulut dapat terjadi pada mereka yang sariawan maupun selaput lendir mulut terluka. Melalui selaput lendir kelamin dapat terjadi akibat hubungan seksual dengan pasangan yang mengandung HBsAg positif yang bersifat infeksius (Ali, 1995). 2.9.2. Secara Vertikal Terjadi pada masa sebelum kelahiran maupun prenatal, selama persalinan atau perinatal dan setela persalinan atau postnatal. Bayi yang tertular VHB secara vertikal mendapat penularan pada masa perinatal yaitu saat proses persalinan (Ali, 1995). 2.10. Penatalaksanaan Hepatitis B Kronik Tujuan pengobatan VHB ini adalah untuk mencehag atau menghentikan radang hati (liver injury) dengan menekan replikasi virus atau menghilangkan injeksi. Titik akhir dalam pengobatan hepatitis B adalah hilangnya bertanda replikasi virus yang aktif secara menetep (Sudoyo, 2006). Tidak semua pasien dengan infeksi VHB kronis perlumendapatkan terapi antiviral. Pemberian antiviral pada pasien hepatitis kronis tanpa pertimbangan
yang benar hanya akan merugikan pasien, baik dari aspek biaya, keberhasilan terapi, dan resiko resistensi obat (Cahyono, 2008). Banyak obat antiviral yang telah dicoba untuk mengobati hepatitis B tapi belum ada yang memuaskan. Saat ini yang dianggap paling baik hasil adalah interferon dan lamivudin. Interferon, diberikan secara intensif 3 kali seminggu. Lamanya minimal 4-6 bulan. Keberhasilannya 40%-50%. Efek sampingnya mengganggu dan harganya sangat mahal. Ada jenis interferon kerja panjang yang bisa diberikan cukup 1 kali seminggu, yaitu Peggylated Interferon. Lamivudin, diberikan per oral, efek sampingnya sedikit. Diberikan bersama dengan interferon atau dosis tunggal (Hilman dkk, 2010). Tabel 2.3 Rekomendasi Terapi Hepatitis B HBeAg HBV DNA ALT Strategi Pengobatan (>10 5 copies/ml) + + 2 x ULN Efikasi terhadap terapi rendah Observasi, terapi bila ALT meningkat + + > 2x ULN -Mulai terapi dengan : interferon alfa, lamivudin atau adefovir -End point terapi : serokonversi HBeAg dan timbulnya anti HBe Durasi terapi : i)interferon selama 16 minggu ii)lamivudin minimal 1 tahun, lanjutkan 3-6 bulan setelah terjadi serokonversi HBeAg iii)adefovir minimal 1 tahun
-Bila tidak memberikan respon/ada kontraindikasi, interferon diganti lamivudin / adefovir -Bila resisten terhadap lamivudin, berikan adefovir - + >2x ULN -Mulai terapi dengan : interferon alfa, lamivudin atau adefovir. Interferon atau adefovir dipilih mengingat kebutuhan perlunya terapi jangka panjang -End point terapi : normalisasi kadar ALT dan HBV DNA (pemeriksaan PCR) tidak terdeteksi -Durasi terapi : Interferon selama satu tahun Lamivudin selama > 1 tahun Adefovir selama > 1 tahun -Bila tidak memberikan respon/ ada kontraindikasi interferon diganti lamivudin / adefovir -Bila resisten terhadap lamivudin, berikan adefovir - - 1- >2x ULN Tidak Perlu Terapi +/- terdeteksi Sirosis Hati -Terkompensasi : lamivudin atau adefovir -Dekompensasi : lamivudin (atau adefovir), interferon kontraindikasi, transplantasi hati
+/- Tidak terdektsi Sirosis Hati -Terkompensasi : observasi -Dekompensasi : rujuk ke pusat transplantasi hati (Sumber diterjemahkan: Lok, McMahon, 2009)
Gambar 2.3 Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B Kronik (Sumber asli: Anna dkk,2009)