BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

BAB I PENDAHULUAN. Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa

BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING) 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung

BAB II LANDASAN TEORI

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

KEMAMPUAN KHUSUS INDIVIDU & ANTISIPASI PENDIDIKAN

MENGENAL ANAK TUNAGRAHITA. anak yang biasa-biasa saja, bahkan ada anak yang cepat. Yang menjadi persoalan dalam

: Adi Handoko dan Ayu Sholihah : Psikologi Anak Luar Biasa ANAK TUNAGRAHITA A. PENGERTIAN ANAK TUNAGRAHITA

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. khusus (ABK) adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau. sosial dan emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dariyo (2011), keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006.

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

Hereditas dan Lingkungan

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rasa percaya diri dalam sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua.

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR. mentally defective, mentally handicapped, mental subnormality,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan pada umumnya adalah upaya membantu peserta. didik dalam merealisasikan berbagai potensi atau kemampuan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada retardasi mental. Anak dengan down sindrom memiliki kelainan pada

kemunduran fungsi-fungsi fisik, psikologis, serta sosial ekonomi (Syamsuddin, 2008, Mencapai Optimum Aging pada Lansia, para.1).

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai anak yang normal. Melihat anak anak balita tumbuh dan. akan merasa sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak kanak yang

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun belakangan ini, jumlah anak-anak yang berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam Taylor 2009). Menurut Croker, Kowalski, dan Graham dalam

BAB I PENDAHULUAN. hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di antara makhluk lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik maupun mental. Tetapi tidak semua anak terlahir normal, anak yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

BAB I PENDAHULUAN. disabilitas intelektual dapat belajar keterampilan baru tetapi lebih lambat

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Definisi sehat sendiri ada beberapa macam. Menurut World Health. produktif secara sosial dan ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Holmes dan Rahe tahun 1967 dengan menggunakan Live Event Scale atau biasa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

Pengantar Psikologi Abnormal

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia ini menganggap jaringan dalam tubuh sebagai benda

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN..

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

TUNAGRAHITA. M. Umar Djani Martasuta

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang baik dalam penerimaaan kelebihan maupun kekurangan dirinya, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, mandiri, mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup dan bertumbuh dalam pribadi (Ryff, 1989). Struktur dari kesejahteraan psikologis adalah perasaan positif dan negatif dari kepuasan hidup. Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh situasi perasaan individu dalam aktivitasnya sehari-hari. Kesejahteraan psikologis didefinisikan juga sebagai kebahagiaan dan kepuasaan hidup. Berdasarkan literatur yang ada, positif psikologi ditentukan dengan konsep aktualisasi diri (self actualization) dari Maslow, pandangan Roger tentang individu yang berfungsi penuh (fully functioning person), perumusan Jung tentang individuation, dan konsep dewasa dari Allport. Definisi lain dari positif psikologis dari perspektif perkembangan masa hidup menekankan pada perbedaan tantangan yang dihadapi dalam fase kehidupan. Termasuk 10

11 dalam definisi ini yaitu teori Erikson tentang tahap model psikososial, kecenderungan terhadap pemenuhan dasar hidup dari Buhler dan deskripsi Neugarten tentang perubahan kepribadian pada usia dewasa dan lansia (Ryff, 1989). Dari beberapa konsep mengenai positif psikologis sebelumnya, Ryff (1989) merangkum menjadi dimensidimensi. Kesejahteraan psikologis ini ditentukan oleh dimensi-dimensi tersebut, yakni terdapat 6 dimensi: penerimaan diri, relasi dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan diri. Dalam penelitian ini kesejahteraan psikologis didasarkan pada pengertian yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yakni keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang baik dalam menerima kelebihan maupun kekurangan dirinya, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, mampu menentukan tindakannya sendiri, menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi diri, memiliki tujuan dalam hidup dan mengalami pertumbuhan diri. 2.1.2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis Ryff (1989) mengemukakan terdapat enam dimensi kesejahteraan psikologis (psychological well being):

12 a) Penerimaan diri (self acceptance) Dimensi penerimaan diri, dimensi ini merupakan karakter dari aktualisasi diri, keberfungsian optimal dan kedewasaan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan menerima keadaan dirinya baik kekurangan maupun kelebihannya, berperilaku positif terhadap dirinya dan merasa puas dengan masa lalunya. Sebaliknya, penerimaan diri yang kurang baik adalah memiliki perasaan tidak puas dengan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personal dan menginginkan menjadi orang yang berbeda dari mereka sekarang ini. b) Hubungan yang baik dengan orang lain (positive relations with others) Memiliki perasaan hangat, puas dan mampu menjalin hubungan percaya dengan orang lain menunjukkan individu memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Selain itu, individu yang memiliki hubungan baik dengan individu lain memiliki rasa empati, kasih sayang dan kerukunan serta mengerti hubungan saling memberi dan menerima. Individu memiliki hubungan kurang baik dengan orang lain terlihat dari sulitnya untuk menjalin hubungan dengan orang lain, sulit untuk terbuka dan memperhatikan orang lain.

13 c) Mandiri (autonomy) Individu yang mandiri adalah individu yang dapat memutuskan sendiri tanpa tergantung orang lain, mampu melawan tekanan sosial dan bersikap dengan benar, mampu mengontrol perilaku dan mampu mengevaluasi kemampuan diri. Sedangkan, individu belum mandiri jika fokus pada harapan dan evaluasi orang lain, percaya pada pendapat orang lain untuk membuat keputusan penting, berpikir sesuai dengan tekanan sosial dan melakukannya. d) Penguasaaan lingkungan (environmental mastery) Memiliki penguasaan dan kompeten dalam mengatur lingkungan, mengatur peraturan dalam kegiatan eksternal, dapat memanfaatkan secara efektif dalam setiap kesempatan, dan dapat memilih atau menciptakan keadaan yang sesuai dengan nilai dan kepentingan merupakan hal yang dapat dilihat untuk mengetahui baiknya penguasaan lingkungan individu. Sebaliknya penguasaan lingkungan yang kurang baik terlihat dari sulitnya mengatur tanggung jawab setiap hari, merasa tidak bisa merubah atau memperbaiki keadaan sekitar, tidak sadar akan kesempatan yang ada dan tidak dapat mengontrol dunia luar.

14 e) Tujuan Hidup (purpose in life) Individu yang memiliki tujuan dalam hidup, merasa bahwa saat ini dan masa lalunya memiliki arti, memiliki keyakinan dalam tujuan hidup menandakan individu tersebut memiliki tujuan hidup. Sedangkan, individu yang belum memiliki tujuan hidup akan tidak mengerti artinya kehidupan, memiliki sedikit tujuan, kehilangan arah, tidak melihat adanya tujuan hidup dan tidak memiliki keyakinan arti pemberian kehidupan. f) Pertumbuhan pribadi (personal growth) Pertumbuhan pribadi individu dapat dinilai dari perasaan bahwa perkembangan terus berlanjut, melihat diri sendiri bertumbuh dan berkembang, membuka diri akan pengalaman baru, menyadari kemampuan diri sendiri, melihat perubahan diri dan perilaku setiap waktu. Individu yang tidak mengalami pertumbuhan pribadi akan merasa tidak mengalami perubahan atau kemajuan, merasa bosan dan tidak menarik setiap waktu serta merasa tidak bisa berkembang dengan sikap dan perilaku yang baru.

15 2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis a) Umur Dalam penelitiannya Ryff dan Keyes (1995) memperlihatkan adanya umur mempengaruhi 5 dimensi kesejahteraan psikologis. Umur tidak mempengaruhi penerimaan diri individu. Namun umur mempengaruhi kelima dimensi lainnya. Pada kelompok dewasa muda dan pertengahan dewasa memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Kelompok dewasa muda menunjukkan nilai yang rendah dibandingkan dengan pertengahan dewasa dalam dimensi penguasaan lingkungan. Dimensi mandiri kelompok dewasa muda menunjukkan nilai yang lebih rendah kelompok dewasa tua dan pertengahan dewasa. Dalam dimensi hubungan baik dengan orang lain kelompok dewasa tua memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kelompok lainnya. b) Jenis kelamin Dalam Ryff & Keyes (1995), menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada wanita dalam dimensi hubungan yang baik dengan orang lain dibandingkan dengan pria. Akan tetapi wanita memiliki tingkat stress yang tinggi, sehingga

16 kesejahteraan psikologis wanita lebih rendah dibandingkan pria. c) Faktor ekonomi Tingkat ekonomi yang baik maka kesejahteraan psikologis akan baik juga. Dalam Ryff (1989), menunjukkan tingkat ekonomi memiliki nilai yang tinggi dalam setiap dimensi kesejahteraan psikologis. d) Pendidikan Sama halnya dengan tingkat ekonomi, pendidikan juga menjadi faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Semakin tinggi pendidikan individu maka kesejahteraan psikologis individu tersebut semakin tinggi (Ryff & Singer, 2008). e) Kesehatan Kesejahteraan psikologis yang baik berhubungan dengan kesehatan individu. Kesejahteraan psikologis yang baik menunjukkan fungsi imun lebih baik, resiko rendah penyakit kardiovaskuler, tidur lebih baik dan dapat lebih menyesuaikan diri (Ryff & Singer, 2008).

17 2.2. Anak Tunagrahita 2.2.1 Pengertian Tunagrahita Tunagrahita digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata, ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan keterbatasan dalam interaksi sosial (Somantri, 2006). Santrock (2000), menyatakan retardasi mental adalah keadaan kemampuan mental yang terbatas, anak tunagrahita memiliki IQ di bawah 70 dan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-harinya. Menurut American Psyciatric Association (2000), retardasi mental yaitu keterlambatan mencakup rentang yang luas dalam perkembangan fungsi kognitif dan sosial. American Association of Mental Deficiency (AAMD) mendefinisikan keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata dan juga disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan. Ada beberapa istilah untuk menyebutkan anak tunagrahita, yaitu mental illness, mental defiency, mental retardation, mental defective, mental retarded, mentally handicapped, mental subnormality, feeblemindedness, oligopheria, amentia, gangguan intelektual dan terbelakang mental (Somantri, 2006). Binet

18 dalam Somantri (2006), menampilkan konsep baru tentang psikologi bahwa kecerdasan tidak hanya dinilai dari pendidikannya saja. Anak tunagrahita sendiri tidak dapat bersekolah di sekolah normal sehingga teori ini diperkenalkan untuk membedakan anak normal dan anak tunagrahita berdasarkan kemampuan mental anak. Untuk memahami teori Binet di atas ada disebutkan MA (mental age) dan CA (cronology age). MA sendiri adalah kemampuan mental yang dimiliki seorang anak pada usia tertentu. Sedangkan CA adalah usia anak. Anak tunagrahita sendiri memiliki MA yang lebih rendah dari pada anak pada umumnya seusianya (CA). Sebagai contoh anak normal berusia 6 tahun maka memiliki MA yang sama sesuai usianya, sedangkan anak tunagrahita yang berusia sama memiliki MA dibawah umur usianya. MA ini dipandang juga sebagai tolak ukur perkembangan kognitif anak (Somantri, 2006). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan tunagrahita adalah masalah keterbelakangan mental yang ditandai dengan rendahnya nilai IQ (<70) dan sulit dalam melakukan interaksi sosial.

19 2.2.2 Klasifikasi Tunagrahita Tunagrahita dikelompokkan menjadi 3, yaitu tunagrahita ringan, sedang dan berat. Kemampuan intelegensi anak tunagrahita diukur dengan tes Binet dan Skala Weschler (WISC) (Somantri, 2006). Pengelompokkan tunagrahita tersebut adalah sebagai berikut: 1) Tunagrahita Ringan Tunagrahita ringan disebut dengan moron atau debil. Menurut Binet kelompok ini memiliki IQ 68-52, sedangkan kelompok ini memiliki IQ 69-55 menurut Skala Weschler (WISC). Anak dengan tunagrahita ringan memiliki ciri fisik yang sama dengan anak normal. Anak dengan tunagrahita ringan juga masih dapat membaca, menulis dan berhitung sederhana. 2) Tunagrahita Sedang Tunagrahita sedang dapat disebut juga dengan imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan IQ 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita sedang tidak dapat menulis, membaca dan berhitung, tetapi mereka dapat menulis nama sendiri dan alamat rumah mereka. Untuk perawatan diri, anak dengan tunagrahita sedang masih dapat mandi, berpakaian, makan dan minum secara mandiri.

20 3) Tunagrahita Berat Anak dengan tunagrahita berat disebut dengan idiot. Kelompok ini dibedakan lagi menjadi tunagrahita berat dan tunagrahita sangat berat. Tunagrahita berat menurut Binet memiliki IQ 32-20 dan memiliki IQ 39-25 menurut Skala Weschler (WISC). Sedangkan tunagrahita sangat berat memiliki IQ dibawah 19 untuk skala Binet dan menurut Skala Weschler (WISC) dibawah 24. Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan diri secara total dalam berpakaian, mandi, makan dan mereka juga memerlukan perlindungan sepanjang hidupnya. 2.2.3 Faktor-faktor Penyebab Ketunagrahitaan Ketunagrahitaan disebabkan oleh beberapa faktor (Nevid, Rathus & Greene, 2003), yaitu: 1) Aspek Biologis Kelainan gen menjadi faktor terjadinya ketunagrahitaan. Beberapa retardasi mental yang disebabkan oleh genetik atau kromosom, antara lain: a) Down syndrome Down syndrome merupakan abnormalitas yang paling umum menyebabkan retardasi mental. Down

21 syndrome ditandai dengan kelebihan kromosom atau trisomi pada pasangan kromosom ke 21 mengakibatkan jumlah kromosom menjadi 47 bukan 46 seperti pada individu normal. Anak dengan down syndrome memiliki ciri fisik yang khas sehingga anak dengan down syndrome sering dikatakan kembar sedunia, karena semua anak down syndrome di seluruh dunia memiliki gangguan fisik yang sama. b) Sindrom Klinefelter Sindrom Klinefelter hanya dapat muncul pada pria saja karena berpengaruh pada kromosom Y. Penderitanya memiliki kromosom yang lebih pada pola kromosom XY menjadi XXY. Sehingga, penderitanya gagal mengembangkan karakteristik seks sekunder yang tepat mengakibatkan testis yang kecil dan tidak berkembang sempurna, produksi sperma rendah, pembesaran payudara, perkembangan otot yang kurang baik dan infertilitas. c) Sindrom Turner Sindrom turner hanya ditemukan pada wanita ditandai dengan kromosom seks X tunggal bukan ganda seperti wanita normal. Penderitanya memiliki genital luar normal namun indung telur tidak

22 berkembang dengan baik dan menghasilkan sedikit estrogen. Mereka cenderung pendek dan infertil saat dewasa. Mereka cenderung mengalami retardasi ringan. 2) Faktor Prenatal a) Rubella Rubella dapat ditularkan oleh ibu pada bayi yang belum lahir. Rubella mengakibatkan kerusakan otak sehingga dapat menyebabkan retardasi mental atau ketunagrahitaan. b) Infeksi penyakit kelamin Infeksi penyakit kelamin seperti sifilis dan herpes genital dapat menambah resiko anak lahir dengan retardasi mental. Obat-obatan semasa kehamilan juga menjadi faktor anak memiliki retardasi mental. c) Cytomegalovirus Cytomegalovirus merupakan sumber infeksi yang terjadi pada wanita mengandung menimbulkan resiko retardasi mental pada bayi yang dikandungnya. 3) Faktor Natal

23 Resiko terjadinya kelahiran anak dengan retardasi mental adalah pada kelahiran anak prematur. Kekurangan oksigen atau cedera kepala selama kelahiran juga dapat menimbulkan resiko retardasi mental. 4) Faktor Post Natal Infeksi otak seperti encephalitis dan meningitis atau trauma pada masa bayi dan kanak-kanak awal dapat menyebabkan retardasi mental. Keracunan timah pada anak-anak juga dapat menyebabkan retardasi mental. 2.2.4 Dampak Ketunagrahitaan Keluarga dan orang tua adalah orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan (Somantri, 2006). Keluarga akan merasa sulit untuk menerima anak dengan kebutuhan khusus tersebut karena kecewa anak yang dilahirkan tidak memenuhi harapan keluarga. Akan terjadi krisis penerimaan dalam keluarga karena keluarga cenderung menolak kehadiran anak tersebut. Krisis yang dialami ditanggapi dengan bervariasi pada setiap anggota keluarga. Dalam jurnal (Ghoniyah & Savira, 2015) ibu dan keluarga mengaku menolak sang anak saat mengetahui anaknya terlahir berbeda.

24 Memiliki anak berkebutuhan khusus sangat berdampak pada keluarga itu sendiri. Orang tua akan mengalami shock, guncangan batin, dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anaknya saat pertama kali mengetahui anak mereka mengalami keterbelakangan mental (Mangunsong, 2009). Perasaan dan tingkah laku orang tua dalam menghadapi anak tunagrahita berbeda-beda, ini dapat dibagi menjadi (Somantri, 2006): 1) Perasaan melindungi anak secara berlebihan, dibagi dalam wujud: a. Proteksi biologis b. Perubahan emosi yang tiba-tiba, diperlihatkan dengan: i. Menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin ii. Menolak dengan rasionalisasi, menahan anaknya di rumah dan hanya mendatangkan orang yang terlatih untuk mengurusnya iii. Merasa berkewajiban untuk memelihara tetapi tidak memberikan kehangatan iv. Memeliharanya dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap perasaan menolak

25 2) Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, sehingga menimbulkan praduga, seperti: a. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan, sehingga menimbulkan depresi b. Tidak memiliki kepercayaan diri dalam mengasuh anak tersebut 3) Kehilangan kepercayaan akan memiliki anak yang normal, karena kehilangan kepercayaan ini orang tua menjadi cepat marah, tingkah laku menjadi agresif dan menjadikan orang tua depresi. Pada awalnya orang tua mampu menyesuaikan diri sebagai orang tua anak tunagrahita, namun saat kritis akan terjadi kembali. 4) Orang tua merasa terkejut dan kehilangan kepercayaan diri. 5) Orang tua akan merasa berdosa, perasaan tersebut kompleks sehingga mengakibatkan depresi. 6) Orang tua merasa bingung dan malu sehingga orang tua kurang suka bersosialisasi.

26 2.3. Kesejahteraan Psikologis pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita Tunagrahita dapat disebutkan juga retardasi mental. Dalam penelitian sebelumnya, terdapat pandangan yang sama yakni tentang penolakan yang orang tua alami saat pertama kali mengetahui anaknya berbeda. Penolakan ini dianggap wajar dan pasti terjadi karena setiap orang tua sudah memiliki harapan terhadap anak mereka sejak anak berada dalam kandungan. Penelitian yang sama dengan itu mengatakan pandangannya bahwa ABK ini mendapat perilaku yang buruk dari lingkungan karena penolakan tersebut (Hidayati, 2011; Ghoniyah & Savira, 2015). Dalam penelitian yang lain diungkap bahwa terdapat masalah kesejahteraan psikologis ibu yang memiliki anak Down Syndrome. Down Syndrome sendiri merupakan salah satu retardasi mental atau tunagrahita. Dalam penelitian tersebut memperlihatkan masalah kesejahteraan psikologis dilihat dari dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). masalah kesejahteraan psikologis yang dihadapi ibu dengan anak tunagrahita berbeda-beda. Persamaan yang terdapat dalam penelitian tersebut adalah kehadiran anak tunagrahita sangat mempengaruhi kehidupan ibu. Ibu menghadapi masalah lingkungan dimana lingkungan

27 menolak anaknya dan memperlakukan anaknya dengan buruk. Perlakuan yang buruk membuat ibu selalu berpikiran positif, sehingga lingkungan tidak lagi menolak namun menjadi mendukung ibu dalam membesarkan anaknya (Abbeduto, Seltzer & Shattuck, 2004). 2.4. Definisi Operasional Kesejahteraan psikologis didefinisikan dalam 6 dimensi kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989) yaitu: 1) Penerimaan diri, (menerima keadaan dirinya baik kekurangan maupun kelebihannya, berperilaku positif terhadap dirinya dan merasa puas dengan masa lalunya), 2) Relasi yang baik dengan orang lain (memiliki perasaan hangat, puas dan mampu menjalin hubungan percaya dengan orang lain), 3) Otonomi (individu yang dapat memutuskan sendiri tanpa tergantung orang lain, mampu melawan tekanan sosial dan bersikap dengan benar, mampu mengontrol perilaku dan mampu mengevaluasi kemampuan diri), 4) Penguasaan lingkungan (memiliki penguasaan dan kompeten dalam mengatur lingkungan, mengatur peraturan dalam kegiatan eksternal, dapat memanfaatkan secara efektif dalam setiap kesempatan, dan dapat memilih atau

28 menciptakan keadaan yang sesuai dengan nilai dan kepentingan), 5) Tujuan hidup (merasa sekarang dan masa lalu memiliki arti, memiliki keyakinan dalam tujuan hidup), 6) Pertumbuhan diri (perasaan bahwa perkembangan terus berlanjut, melihat diri sendiri bertumbuh dan berkembang, membuka diri akan pengalaman baru, menyadari kemampuan diri sendiri, melihat perubahan diri dan perilaku setiap waktu).