BAB VIII KELEMBAGAAN DAN TATA NIAGA SUSU

dokumen-dokumen yang mirip
PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN

IV. ANALISIS DAN SINTESIS

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tahun 2011 sebanyak ekor yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota.

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

BAB I PENDAHULUAN. maju dalam produk susu, hal ini terlihat akan pemenuhan susu dalam negeri yang

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 2

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pasar bebas bukan saja merupakan peluang namun juga ancaman. yang harus dihadapi oleh industri yang berkeinginan untuk terus maju dan

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. peran yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si

7.2. PENDEKATAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN

BAB I. PENDAHULUAN. [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGKAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN TRENGGALEK

ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH PENDAHULUAN

SURYA AGRITAMA Volume 2 Nomor 1 Maret 2013

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

BAB V STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN SAPI PERAH KUD GIRI TANI

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam lingkungan bisnis yang kompetitif, perusahaan harus memiliki kemampuan untuk membedakan dirinya dalam

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

Dampak Penurunan Harga Susu terhadap Agribisnis Sapi Perah Rakyat

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk. cair. Pangan merupakan istilah sehari-hari yang digunakan untuk

PENGANTAR. guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.2 Struktur Organisasi Milkfood Barokah

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

BAB I PENDAHULUAN. pasar yang dapat memuaskan keinginan maupun kebutuhan. Produk dapat dibedakan

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

PEMBENTUKAN MODEL UNIT PELAYANAN JASA ALAT DAN MESIN SAPI PERAH

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menghadapi krisis ekonomi di Indonesia. Salah satu sub sektor dalam pertanian

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

PEMASARAN SAPI DAN SUSU DAIRY PRODUCTION

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

2 seluruh pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak dapat men

KOMPONEN AGRIBISNIS. Rikky Herdiyansyah SP., MSc

PENGARUH LAMA WAKTU TRANSPORTASI SUSU SEGAR TERHADAP TINGKAT KONTAMINAN MIKROB (STUDI KASUS DI WILAYAH KUD SARWAMUKTI, LEMBANG, JAWA BARAT)

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

I. PENDAHULUAN. kehidupan manusia dan merupakan salah satu sumber protein hewani yang

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendukung berkembangnya sektor pertanian dan peternakan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemasaran merupakan suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang

TINJAUAN PUSTAKA. mall, plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya; Pasar Tradisional adalah

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizi yang tinggi seperti protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin lainnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

BAB IV GAMBARAN UMUM ORGANISASI

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Wawancara Mengenai Kondisi Internal dan Eksternal KUD Puspa Mekar

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA. berupa konsentrat dan hijauan menjadi susu yang sangat bermanfaat bagi

VII ANALISIS TINGKAT KEPENTINGAN DAN TINGKAT KINERJA

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Produksi (kg)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. KPSBU (Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara) Jawa Barat, yang

I PENDAHULUAN. sektor peternakan merupakan salah satu bagian dari sektor pertanian yang perlu

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

I. PENDAHULUAN. Kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke alam (back to nature)

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

BAB I. PENDAHULUAN. gizi yang tinggi yang disekresikan oleh kelenjar mamae dari hewan betina

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seperti karbohidrat, akan tetapi juga pemenuhan komponen pangan lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. semakin berkembangnya zaman, maka semakin tinggi pula tingkat inovasi

Transkripsi:

BAB VIII KELEMBAGAAN DAN TATA NIAGA SUSU Rochadi Tawaf', Tridjoko W. Murti 2 dan Ratna A. Saptati3 I Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung 2 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor I. PENDAHULUAN Usaha peternakan sapi perah di Indonesia melibatkan kelembagaan yang cukup kompleks. Hat ini meliputi peternak yang pada umumnya bergabung dalam suatu kelompok, koperasi susu yang melibatkan pengumpul dan penampung susu serta berujung pada industri pengolahan susu (IPS) yang menghasilkan aneka olahan susu sebelum sampai di konsumen. Koperasi susu mempunyai peran yang sangat besar dalam tata niaga dan distribusi susu. Koperasi ini terus berkembang sesuai dengan berbagai permasalahannya, terutama terkait dengan masalah tata niaga susu kepada IPS. Koperasi susu memiliki posisi tawar yang sangat lemah terhadap IPS, terutama dalam penentuan jumlah penjualan susu dan waktu penjualan serta harga yang diperoleh. Masalah ini muncul karena IPS menggunakan bahan baku susu impor untuk menghasilkan produk olahan susu sehingga susu segar dalam negeri (SSDN) harus memiliki daya saing tinggi. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, seperti penetapan rasio penyerapan SSDN dengan impor susu oleh IPS, pengawasan pemerintah terhadap harga susu, penyediaan pakan konsentrat serta impor sapi perah berkualitas, sedikit demi 3 0 1

sedikit dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi koperasi susu. Untuk mengamankan produksi SSDN, Pemerintah pada tahun 1982 menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Pertanian serta Menteri Perindustrian dengan Nomor 236/Kpb/VII/82, 341/M/SK/1982 dan 521/Kpts/Um/1982. SKB mi memuat ketentuan bahwa izin impor bahan baku susu akan diberikan kepada IPS apabila ada tanda bukti penyerapan SSDN dikenal dengan mekanisme Bukti Serap (BUSEP). Penerapan kebijakan ini berdampak pada peningkatan rasio penyerapan SSDN, pada tahun 1984 rasio penyerapan SSDN naik menjadi 1 :3,5 (19% serapan SSDN) dari perbandingan 1 :20 (<5% serapan SSDN) pada tahun 1979. Kebijakan ini terpaksa dicabut sejak ditandatanganinya kesepakatan antara Pemerintah RI dengan IMF pada bulan Januari 1998 tentang penghapusan beberapa kebijakan nontarif. Sampai dengan tahun 2007, kontribusi' produksi SSDN hanya mencapai 25% terhadap produksi susu nasional yang sekitar 1,2 juta liter per hari. Hal ini juga tidak memungkiri kemajuan yang sangat signifikan dalam usaha sapi perah karena dukungan dan program pemerintah dalam tiga dekade terakhir. Sensus pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah rumah tangga peternak (RTP) sapi perah dari 54,4 ribu pada tahun 1963 menjadi 119 ribu pada tahun 2003 (Direktorat Jenderal Peternakan, 2003). Hal ini juga seiring dengan meningkatnya jumlah populasi sapi perah dari 52 ribu ekor pada tahun 1969 menjadi 377,8 ribu ekor pada tahun 2007 (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Menurut GKSI (2000) dalam Yusdja (2005) disebutkan bahwa koperasi susu berkembang dari 27 buah pada tahun 1979 menjadi sekitar 231 pada tahun 2007. Bab in] membahas komponen kelcmbagaan dan faktorfaktor yang memengaruhi terhadap tata niaga susu dari tingkat peternak sampai IPS. Efisiensi dari masing-masing rantai pasokan produk susu sangat penting dalam rangka 3 0 2

meningkatkan daya saing usaha ini dalam menghadapi tantangan perdagangan global yang semakin kompleks. II. PROFIL KELEMBAGAAN Institusi sosial atau kelembagaan diartikan sebagai sistem organisasi hubungan sosial yang terwujud dari beberapa nilai umum dan cara dalam menyatukan beberapa kebutuhan dasar masyarakat (Horton, 1964 dalam Munandar, 2008). Pendapat lain mengartikan institusi sosial atau kelembagaan merupakan bentuk formal budaya yang terdiri dari kumpulan kebutuhankebutuhan sosial yang mendasar atau pokok (Landis, 1958 dalam Munandar, 2008). Berdasarkan kedua definisi tersebut, maka kelembagaan merupakan suatu wadah berkumpulnya orang-orang untuk menyalurkan aspirasi, pendapat, dan alat untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Konsep kelembagaan menunjukkan bahwa hubungan-hubungan tertentu dan pola-pola tindakan yang dicakup dalam organisasi adalah bersifat normatif, balk di dalam organisasi sendiri maupun untuk satuan sosial lainnya. Defnisi-definisi di atas telah menunjukkan bahwa kelembagaan sangat berperan dalam menunjang pembangunan karena apabila kelembagaan tersebut dibangun atas dasar partisipasi masyarakat sendiri, maka akan lebih mengedepankan kepentingan kelembagaan dibandingkan dengan kepentingan individu. Terkait dengan sistem agribisnis, maka kelembagaan utama dimulai dari subsistem sarana dan prasarana produksi, budidaya, pengolahan, sampai dengan subsistem tata niaga. Sedangkan kelembagaan pendukungnya adalah lembaga keuangan, koperasi, penelitian, pendidikan dan sebagainya. Kelembagaan peternak adalah organisasi yang tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri yang didasari atas kesamaan kepentingan di bidang petemakan dan memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga secara tertulis. 3 03

11.1 Jenis Kelembagaan Peternak Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Berdasarkan pada pembentukannya dikenal dua jenis kelembagaan peternak, yaitu kelembagaan mandiri dan kelembagaan bentukan (Firman dan Tawaf, 2008). Kelembagaan mandiri adalah kelompok peternak yang dibentuk atas dasar kepentingan yang sama dan dibentuk tanpa bantuan dari kelembagaan lainnya. Kelembagaan bentukan adalah kelompok peternak yang dibentuk karena diinisia~l.i oleh kelembagaan lain, misalnya oleh pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat. Biasanya kelembagaan bentukan akan terbangun jika ada program atau proyek yang mengharuskan adanya pembentukan kelompok. Kelembagaan peternak berdasarkan sifatnya, dapat dibedakan antara kelembagaan sosial budaya (non profit organization) dan kelembagaan yang bersifat ekonomi (Firman dan Tawaf, 2008). Kelembagaan sosial budaya biasanya organisasinya tidak terstruktur dengan mapan, contohnya adalah "gotong royong" dan arisan. Kelembagaan ekonomi yang berkembang di pedesaan antara lain koperasi. Pengembangan kelembagaan peternak dapat dilakukan jika ada kerja sama yang utuh antaranggota kelompok yang didasari oleh kepentingan bersama dalam mencapai satu tujuan, dengan pola partisipasi secara berkelompok dalam memecahkan permasalahan. Berbagai kemudahan yang mungkin akan diperoleh oleh peternak bila dibentuk kelembagaan kelompok antara lain : 1) Mudah membentuk koperasi untuk mendukung berbagai aktivitas kelompok. 2) Informasi dapat menyebar secara merata ke setiap anggota kelompok. 3) Inovasi terhadap teknologi dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota, balk teknologi pembibitan, pakan, budidaya, pascaproduksi dan sebagainya. 4) Memudahkan dalam melakukan penyuluhan karena sudah terbentuk kelompok. 3 04

Profl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia 5) Memudahkan dalam mengakses berbagai program pemerintab. 6) Memudahkan dalam mengakses lembaga keuangan dalam rangka penguatan modal. 7) Memudahkan dalam pemeliharaan infrastruktrur atau sarana dan prasarana yang dibangun oleh kelompok. Hal-hal tersebut merupakan wahana untuk membentuk kelompok yang mandiri dan tangguh. Adanya ikatan yang kuat dalam kelompok, diharapkan kelembagaan peternak tidak hanya terbentuk dalam kelompok saja, tetapi dapat ditransformasi menjadi koperasi atau lembaga keuangan mikro seperti disajikan pada Gambar 1. I<rnha a n y :,ng hers,far urn Kulcmbagaan yang barsitar susiai KFLOMPO GABUNOAN KFLOMPOK KONERASI Usaha hesar I N II I) I! Usaha rumah tangga 11 sah a ke n I Usaha nenengah Gambar 1. Transformasi kelembagaan sosial menuju kelembagaan ekonomi Sumber : Rahayu et al. (2005) Gambar I menunjukkan bahwa transformasi kelembagaan sosial yang berada di pedesaan dengan basis usaha sapi perah ke bentuk usaha koperasi merupakan suatu realita. Ciri utama terjadinya proses transformasi kelembagaan adalah adanya perubahan dari kegiatan yang bersifat subsisten tradisional ke arah komersial atau berorientasi ekonomi. 3 0 5

11.2 Bentuk Kelembagaan pada Agribisnis Sapi Perah Bentuk kelembagaan pada agribisnis peternakan sapi perah terdiri atas kelompok usaha koperasi dan nonkoperasi. Kelompok koperasi adalah : (a) kelompok peternak, (b) gabungan kelompok (skala tempat penampungan susu), dan (c) koperasi. Bentuk kelembagaan nonkoperasi yang bergerak di bidang ini adalah kolektor susu, pemasok pakan, obat-obatan, dan sarana peternakan sapi perah. Minat terhadap usaha sapi perah meningkat dari tahun ke tahun yang terlihat dari adanya peningkatan jumlah peternak sapi perah. Ditinjau dari skala usahanya, peternakan sapi perah di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (a) usaha petemakan sapi perah rakyat, dan (b) perusahaan peternakan sapi perah. Usaha peternakan sapi perah rakyat sasarannya diandalkan untuk perluasan lapangan kerja dan lapangan berusaha, peningkatan pendapatan peternak, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah pedesaan. Usaha ini sebagian besar tergabung dalam wadah koperasi yang berperan sebagai pengumpul susu. Koperasi ini merupakan pemasok utama bahan baku susu segar bagi IPS, yang mencapai 92% dari produksi nasional. Jumlah sapi yang dikelola peternak rakyat sekitar 95% dari populasi yang ada dengan rataan kepemilikan sekitar 3 ekor/peternak. Perusahaan peternakan sapi perah, biasanya berlokasi di sekitar kota, memiliki izin usaha, dan pemilikan sapi sekurang-kurangnya 10 ekor sapi dewasa (laktasi dan kering). Total jumlah sapi yang dikelola perusahaan peternakan sapi perah ini sekitar 5% dari populasi nasional dengan rataan kepemilikan sekitar 28 ekor/perusahaan (Soetarno, 2003). Oleh karena itu, pengembangan agribisnis peternakan sapi perah tidak dapat lepas dari peran koperasi sebagai wadah pembinaan dan pelayanan bagi anggota dalam hal penyedia sarana, penanganan, dan penyaluran hasil usaha sehingga keberadaan koperasi betul-betul merupakan tulang punggung dalam pembangunan peternakan sapi perah rakyat (Sugandi et al., 2008). 3 06

Kelembagaan lain selain koperasi yang juga sangat berperanan pada kemajuan peternakan sapi perah rakyat adalah kelompok peternak. Secara formal kelompok ini sebagai media atau wadah mengelola usaha tani secara bersama. Peran kelompok tani bagi pengembangan usaha tani khususnya kelompok peternak sapi perah bagi para anggotanya dalam mewujudkan kemandirian sangat penting. Fungsi kelompok merupakan wadah belajar mengajar bagi anggota guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta tumbuh dan berkembangnya dalam berusaha tani sehingga produktivitas meningkat, pendapatan bertambah serta kehidupan yang lebih sejahtera (Menteri Pertanian yang disitasi oleh Darmawan et al., 2008). Penguatan peternak sapi perah dalam bentuk kelompok merupakan upaya dalam meningkatkan usaha sapi perahnya. Manfaat yang dapat dirasakan oleh peternak sapi perah dengan cara berkelompok adalah : (a) peternak dapat saling mengontrol kualitas susu, (b) memudahkan pembinaan terhadap anggota kelompok, (c) memudahkan dalam pendistribusian susu, dan (d) dapat saling tolong menolong bila salah satu anggota mengalami kesulitan fisik maupun finansial. Manfaat kerja sama yang dapat dibangun antarkelompok antara lain : (a) mempermudah akses informasi, (b) melakukan koordinasi terhadap zoning lahan pangonan atau lahan pencarian hijauan antarkelompok, dan (c) melakukan kontrol terhadap penyakit endemik yang dapat menyebabkan kematian pada sapi perah. 11.3 Perspektif Koperasi Sapi Perah Koperasi merupakan salah satu bentuk kelembagaan di antara sekian banyak kelembagaan yang berperan dalam pengembangan sektor pertanian. Lembaga koperasi memiliki ciri double identity yang mungkin tidak dimiliki oleh lembaga lain. Ciri ini menjelaskan bahwa para anggota koperasi merupakan owner sekaligus customer dari lembaga tersebut. Perbedaan ini terlihat dengan adanya unit usaha ekonomi yang 3 0 7

Profl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia dimiliki dan diawasi bersama secara demokratis dengan satu tujuan, yaitu melayani kebutuhan anggota. Koperasi mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai wahana untuk meningkatkan peran dan kontribusi para petani dalam pembangunan sektor pertanian, sekaligus memperjuangkan hak-hak para petani dalam meningkatkan kesejahteraan hidup. Selain itu, koperasi juga merupakan gerakan untuk pembangunan modal sosial di kalangan masyarakat (Baga, 2005). Pada agribisnis sapi perah, kelembagaan koperasi dibedakan antara koperasi primer yang terdiri dari koperasi persusuan atau koperasi yang bergerak di bidang persusuan (koperasi single purpose dan KUD Unit Susu), serta koperasi sekunder, yaitu Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). GKSI merupakan kelembagaan yang sangat berperan dalam pengembangan agribisnis sapi perah di Indonesia (Toharmat, 2007). Lembaga ini berdiri secara formal pada tahun 1979, yang merupakan koperasi sekunder pada tingkat nasional dari puluhan jumlah koperasi persusuan saat itu. Salah satu prestasi dari GKSI terlihat pada meningkatnya jumlah koperasi persusuan sejak tahun 1979, sejalan dengan berkembangnya ratusan jumlah KUD susu (Gambar 2). 250 200 t- P 150 L E 100 E 50 /' 0 1975 1980 1985 1990 1995 2000 Tahun 2005 Gambar 2. Perkembangan jtunlah koperasi persusuan tahun 1979-2000 Sumber : Toharmat (2007) Terbentuknya koperasi terjadi seiring dengan perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia. Koperasi 3 0 8

membantu peternak dalam penyediaan sarana dan prasarana produksi khususnya pakan konsentrat, peralatan produksi, pelayanan kesehatan ternak dan mengumpulkan serta menjual susu ke IPS. Di samping itu, koperasi merupakan wahana untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya dalam memperoleh dukungan kebijakan pemerintah untuk pengembangan agribisnis peternakan. Pada era tahun 1980-an peran GKSI dalam memperjuangkan kepentingan anggotanya sangat nyata, yang berimplikasi pada meningkatnya jumlah populasi sapi perah secara signifikan yang disertai dengan peningkatan jumlah peternak maupun jumlah tenaga kerja yang terserap pada agribisnis sapi perah ini. Namun, pada dekade terakhir peran koperasi persusuan, khususnya di tingkat sekunder (GKSI) terlihat menurun sehingga kurang dapat meningkatkan pelayanan terhadap anggotanya. Pada tahun 2007 terdapat 96 koperasi susu yang aktif dengan jumlah anggota mencapai 92,5 ribu. peternak yang memelihara sekitar 290 ribu ekor sapi (Direktorat Jenderal Perbendaharaan, 2007). Namun, perkembangan koperasi tersebut berfluktuasi dalam periode tertentu. Di Jawa Barat misalnya, sebelum tahun 1997 jumlah koperasi mencapai 44 buah, namun tahun 2007 jumlahnya tinggal 24 koperasi (Firman dan Tawaf, 2008). Jika dilihat dari jumlah produksi susu yang dihasilkan oleh setiap koperasi, terdapat empat koperasi yang menduduki jumlah produksi susu terbanyak, yaitu di Kabupaten Bandung terdapat KPSBU Lembang, KPBS Pangalengan, KUD Sarwa Mukti, dan di Kabupaten Sumedang adalah KSU Tandangsari. Berdasarkan perkembangan koperasi di Jawa Barat, maka terdapat 20 koperasi yang sudah tidak aktif lagi. Dari 24 koperasi yang aktif, terdapat beberapa koperasi yang sudah tidak mampu lagi beroperasi, seperti KUD Pasir Jambu, Kabupaten Bandung dan KUD Cilawu, Kabupaten Garut (Firman, 2008). Hal tersebut tidak berbeda dengan kondisi di Jawa Tengah, khususnya di Semarang dan Magelang, beberapa koperasi susu sudah tidak mampu lagi beroperasi (Anonimus, 2008). 3 09

Dibandingkan dengan negara lain seperti India dan Uruguay, peran koperasi persusuan di Indonesia masih belum optimal dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. Di India misalnya pada tahun 2007, koperasi susu telah berkembang mencapai 57 ribu unit dengan 6 juta anggota. Begitu pula di Uruguay, para peternak yang tergabung dalam koperasi telah mampu memproduksi 90% dari total produksi susu nasional (Daryanto, 2007). Kajian terhadap kinerja aspek usaha dan organisasi dari 30 koperasi persusuan di Jawa Barat dan Jawa Timur menunjukkan bahwa tidak semua koperasi persusuan memiliki kinerja yang balk pada salah satu bahkan kedua aspek tersebut (Toharmat, 2007). Gambar 3 menunjukkan bahwa terdapat beberapa koperasi yang mempunyai kinerja organisasi dan usaha yang baik (Kuadran I), namun masih banyak koperasi yang masih mempunyai organisasi dan usaha yang buruk (Kuadran III). Hal ini menunjukkan bahwa masih diperlukan penataan koperasi persusuan sebagai suatu bentuk kelembagaan peternak rakyat yang mampu menjadi katalisator dalam pengembangan agribisnis sapi perah di Indonesia. e na i..y GQ 12fanIn Gambar 3. Distribusi 30 koperasi persusuan berdasarkan kinerja usaha dan organisasi Sumber: Toharmat (2007) 3 1 0

Peran koperasi/kud susu di Indonesia mengalami zaman keemasan pada saat impor sapi perah secara besar-besaran antara tahun 1980-1990-an. Persaingan usaha antar koperasi dan posisi tawar peternak sapi perah yang lemah merupakan indikasi ketidakmampuan koperasi/kud susu mengendalikan bisnis persusuan di era pasar bebas. Produksi usaha sapi perah rakyat masih tetap rendah, seolah bisnis ini jalan ditempat. Kondisi tersebut disebabkan manajemen usaha ternak, kualitas pakan, dan bibit sapi yang tersedia sangat tidak memadai. Mempr.rbaiki manajemen usaha petemakan sapi perah rakyat merupakan problem yang cukup kompleks. Hal tersebut tidak hanya terkait upaya mengubah sikap peternak, tetapi juga terkait dengan penyediaan stok bibit yang baik dan bahan baku pakan yang berkualitas dalam jumlah yang cukup. Dampak lemahnya usaha ini terlihat pada rendahnya produksi dan kualitas susu, yang ditunjukkan oleh masih tingginya kandungan kuman susu (ratarata diatas 10 juta/cc). Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3141-1998 mensyaratkan kandungan kuman maksimal 3 juta/cc susu, sedangkan Codex mensyaratkan hal tersebut maksimal 1 juta/cc susu. Kondisi ini sebagai akibat dari sistem manajemen usaha yang tradisional dan belum diterapkannya good.farming practices sehingga harga susu yang terbentuk di tingkat peternak menjadi rendah. Hasil analisis di lapangan menunjukkan bahwa tidak beroperasinya koperasi persusuan sebagian besar diakibatkan oleh faktor sumber daya manusia, khususnya para pengurus koperasi (Firman, 2008). Banyak pengurus koperasi yang tidak amanah menjalankan bisnis perkoperasiannya. Di samping itu, transparansi manajemen pengelolaan masih rendah dan bersifat kekerabatan karena pada beberapa koperasi terdapat pengurus dan karyawan yang "berhubungan saudara" sehingga hal ini berdampak buruk terhadap perkembangan koperasi. Oleh karena itu, apabila koperasi dapat menjalankan usahanya dengan balk harus dilakukan secara profesional dan tidak mengaitkan hubungan keluarga di dalam kepengurusannya. 3 1 1

Hasil focus group discussion tentang Arah Pengembangan Industri Persusuan Jangka Panjang pada tanggal 18-19 Januari 2008 yang difasilitasi oleh Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran telah menghasilkan beberapa rumusan yang terkait dengan arah pengembangan kelembagaan persusuan di masa yang akan datang. Hal ini berkenaan dengan kelembagaan persusuan yang ada saat ini, baik itu koperasi persusuan maupun kelembagaan kolektor susu swasta yang muncul akhir-akhir ini. Hasil diskusi faktor internal dan eksternal terbagi atas dua hal, yaitu kelembagaan koperasi primer dan koperasi sekunder. Hasil analisis matriks strength, weakness, opportunity and threat (SWOT) pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat empat strategi pengembangan yang dapat dilakukan terkait dengan kelembagaan koperasi primer, yaitu : (a) optimalisasi potensi koperasi untuk meraih peluang pasar, (b) peningkatan kualitas SDM dan komitmen anggota untuk meraih efisiensi usaha, (c) profesionalisme pengelolaan aset dan kerja sama antar koperasi (GKSI), serta (d) efisiensi dan layanan terhadap anggota. Tabel 1. Faktor internal dan eksternal ko erasi rimer Faktor Eksternal Faktor Internal Peluang Peluang pasar besar Kesempatan luas untuk mengembangkan usaha agribisnis persusuan Koperasi sebagai lembaga ekonomi masyarakat.edesaan Ancaman Pesaing/kolektor IPS melakukan budidaya dan kerja sama dengan an..ota koserasi Kekuatan Jumlah anggota peternak sapi perah Jumlah sapi perah Sarana dan prasarana ko.erasi Optimalisasi potensi koperasi untuk meraih peluang pasar Profesionalisme pengelolaan aset dan kerja sama antar koperasi (GKSI) Kelemahan Komitmen anggota terhadap koperasi rendah Skala usaha koperasi sebagian besar rendah SDM koperasi lemah dalam.en.emban.an or.anisasi Peningkatan kualitas SDM dan komitmen anggota untuk meraih efisiensi usaha Efisiensi dan layanan anggota 3 1 2

Hasil analisis SWOT pada matriks kelembagaan koperasi sekunder (Tabel 2) menunjukkan bahwa terdapat empat strategi pengembangan, yaitu : (a) optimalisasi networking (jejaring) antar koperasi primer, (b) peningkatan kompetensi SDM GKSI, (c) pengembangan usaha ke hulu dan hilir, serta (d) peningkatan kemitraan yang sinergi dengan IPS. Faktor Eksternal Faktor Internal I n eksternal ko erasi sekunder Kekuatan Kelemahan Komitmen Anggota Networking koperasi primer (koperasi primeu Legitimasi GKSI diakui Advokasi belurn optimal Potensi peternak Entepreneurship terbatas Peluang Pasar dan potensi pasar (SSDN dan susu olahan) Memperluas usaha hulu-hilir Partner pemerintah Ancaman IPS tidak menjadikan GKSI wakil koperasi dalam perundingan harga Excess kebijakan : (OTDA dan Inpres No. 4 Tahun 1998) Dominasi IPS Optimalisasi networking koperasi primer Pengembangan usaha ke hulu dan hilir Peningkatan kompetensi SDM GKSI Peningkatan kemitraan yang sinergi dengan IPS Peningkatan peran koperasi persusuan di Indonesia yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal dengan baik di masa yang akan datang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa : 1) Melalui koperasi, peternak dapat memperbaiki posisi tawar dalam memasarkan hasil produksi maupun dalarn pengadaan input produksi yang dibutuhkan. Posisi tawar ini bahkan dapat berkembang menjadi kekuatan penyeimbang dari berbagai ketidakadilan pasar yang dihadapi para peternak. 2) Apabila mekanisme pasar tidak dapat menjamin terciptanya keadilan, koperasi dapat mengupayakan pembukaan pasar barn bagi produk anggotanya. Di sisi lain koperasi dapat memberikan akses kepada anggotanya terhadap berbagai 3 1 3

Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia penggunaan faktor produksi dan jasa yang tidak ditawarkan pasar. 3) Dengan bergabung dalam koperasi, para petani dapat lebih mudah melakukan penyesuaian produksinya melalui pengolahan pascapanen sehubungan dengan perubahan permintaan pasar. Hal ini akan memperbaiki efisiensi tata niaga yang bermanfaat bagi kedua belah pihak, bahkan bagi masyarakat umum maupun perekonomian nasional. 4) Dengan penyatuan sumber daya para petani dalam sebuah koperasi, para petani lebih mudah dalam menangani resiko yang melekat pada produksi pertanian, seperti pengaruh iklim, heterogenitas kualitas produksi dan sebaran daerah produksi. 5) Dalam wadah organisasi koperasi, para petani lebih mudah berinteraksi secara positif terkait dengan proses pembelajaran guna meningkatkan kualitas SDM. Koperasi sendiri memiliki misi khusus dalam pendidikan bagi anggotanya. 6) Berdirinya koperasi sekaligus membuka lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi para petani anggota maupun masyarakat di sekitarnya. III. TATA NIAGA DAN MANAJEMEN RANTAI PASOKAN Susu 111.1 Tata Niaga Susu Tata niaga susu di era globalisasi tidaklah sama dengan era sebelumnya. Globalisasi perdagangan telah menyebabkan perubahan besar dalam sistem perdagangan itu sendiri, dan juga sistem lain yang terkait, khususnya rantai pasokan bahan yang diperdagangkan. Otonomi dan kemerdekaan perdagangan semakin berubah dan bergerak menuju sistem yang saling terkait dengan variasi yang besar dalam saling berhubungan. Perubahan sumber bahan, produksi, dan tata niaga perlu diantisipasi dalam era perdagangan bebas ini karena danya risiko penyebaran penyakit pada manusia dan mengancam keamanan pangan, seperti bovine spongiform encephalopathy (BSE) atau terkenal 3 1 4

dengan penyakit sapi gila, penyakit mulut dan kuku, dioksin, serta pencemaran melamin atau formaldehid. Konsumen di negara maju semakin memerhatikan keamanan pangan sehingga menuntut lebih terjaminnya pangan melalui legislasi nasional dan internasional. Pada tahun 2005, Uni Eropa menerbitkan aturan barn general food law, yang menuntut lebih ketatnya jaminan kualitas pangan (Vorst et al., 2007). Kualitas dan keamanan pangan menjadi tanggung jawab bersama pedagang dan pengecer, tidak hanya tanggung jawab penghasil dan pengolah bahan pangan. Indikasi ini menunjukkan bahwa strategi bisnis saat ini tidak saja harus memerhatikan ekonomi tradisional, namun juga aspek teknologi serta topik aktual seperti keselamatan, manfaat kesehatan, cita rasa, manfaat gizi dan kesegaran produk. Hal ini tidak hanya untuk produksi pangan dalam skala besar, tetapi juga untuk produksi pangan spesial dengan nilai tambah tinggi. Oleh karena itu, kerja sama yang semakin erat dengan berbagai pihak terkait, menjadi semakin penting untuk mencapai pangan yang aman dan berkualitas tinggi bagi konsumen. Hal ini pada akhirnya akan mengubah rantai pasokan tradisional yang ada. Saat ini, sebagian besar konsumen memperoleh pasokan pangan dari jaringan supermarket. Jaringan supermarket bahkan dinilai dua kali lebih besar daripada nilai ekspor langsung produk pertanian. Share supermarket dalam tata niaga produk pangan mencapai 40-70% di Asia dan melibatkan konsumen kelas menengah serta pekerja kota bahkan desa (Griffins, 2000). Pengadaan sumber barang seperti buah, sayuran, susu dan daging sangat kuat dipengaruhi oleh organisasi rantai pasokan. Pasar ini membutuhkan barang yang homogen, pasokan berkelanjutan, serta kualitas yang semakin baik dan stabil. Pengadaan barang semakin tergantikan oleh pemasok khusus, subkontraktor bahkan pembelian terkonsolidasi melalui gudang wilayah atau perwakilan. Rantai pasokan yang sebelumnya diatur oleh hubungan balk antara pemasok dan pembeli (sesuatu yang kurang formal), saat in] lebih banyak dikoordinasi dan dikelola oleh pemain utama, 3 1 5

Prgft Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia yakni jaringan supermarket. Dengan kata lain, supermarket semakin menguasai dan mengontrol segmen/lini bawahnya, setidaknya melalui kontrak, standar pribadi tertentu dan jaringan sumber. Definisi rantai pasokan atau supply chain management, is the integrated planning, implementation, coordination and control of all business processes and activities necessary to produce and deliver, as efficiently as possible, products that satisfy market requirements (Vorst et al., 2007). Dalam sistem pangan pertanian di era globalisasi, para pelaku harus bekerja secara berkelanjutan pada ino%asi dan penemuan produk unggulan. Dalam sistem pasar global, harga dan kualitas menjadi lebih penting daripada sebelumnya, karena saat ini konsumen mempunyai lebih banyak pilihan produk yang ditawarkan oleh rantai pasokan pesaing. Dengan demikian, terjadi kenaikan integrasi saluran pasok dari lokal dan rantai saluran pangan pertanian lintas perbatasan. Hal ini dapat dianggap sebagai tantangan untuk pertanian dan pengembangan pedesaan. Tata niaga susu di dunia terdapat beberapa model, antara lain : (a) skala kecil, tata niaga lokal dengan sistem pedagang perantara, (b) skala kecil, tata niaga jauh dari pabrik pengolahan di desa, (c) skala kecil, tata niaga jauh dengan transport bahan baku susu, (d) skala besar, sistem tata niaga terorganisasi dengan pusat pengumpulan susu, serta (e) skala besar, sistem produksi dan tata niaga (IDF, 1998). Pada sistem tata niaga yang pertama, produsen terdiri atas peternak dengan skala 1-3 ekor sapi, dengan produksi susu dijual. Penjual perantara berperan menjual produk ke wilayah sekitar peternak dalam bentuk susu segar atau sedikit diolah dan memperoleh keuntungan dari selisih harga jual. Dengan sepeda atau sepeda motor susu dijual dalam bentuk segar atau pasteurisasi berukuran ''/2 liter, I liter dan dikemas dalam kemasan sederhana (plastik, botol). Selisih harga tersebut diperkirakan tidak terlalu besar sehingga terjangkau oleh konsumen. Namun, terdapat kerugian jika sistem ini diandalkan, seperti susu sama sekali tidak dapat dijamin 3 1 6

Profci Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia kesehatan, kebersihannya, ketepatan ukuran, dan kemurniannya serta jangkauan penjualan yang terbatas. Sistem tata niaga kedua, pada umumnya jarak antara produsen dengan pabrik pengolahan susu relatif tidak jauh. Kondisi ini memiliki beberapa keuntungan, seperti produsen mempunyai hubungan yang dekat dengan pengolah sehingga pengolah dapat ikut mengawasi kualitas susu untuk mencegah terjadinya pemalsuan susu. Sebaliknya peternak akan dapat memperoleh masukan terkait dengan tata kelola usaha, higiene susu, pakan, dan lain-lain. Hubungan yang baik ini merupakan prakondisi yang sangat penting untuk suksesnya sistem ini. Penggabungan unit usaha kecil menjadi menengah atau koperasi akan memungkinkan terciptanya lapangan kerja yang akan mencegah eksodus tenaga kerja ke luar daerah. Pada prinsipnya sistem ini dapat dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap pertama adalah tata niaga bahan baku yang mudah rusak dari produsen ke pengolah susu dengan waktu maksimal 2-3 -jam, dan tahap kedua adalah tata niaga dari pengolah susu lokal ke konsumen dengan waktu yang dibutuhkan tergantung masa kedaluarsa produk yang dibuat. Sistem ini pada umumnya mempergunakan transpor yang terorganisasi maupun transpor umum. Sistem tata niaga ketiga dibedakan menjadi dua, yaitu : (a) tanpa perlakuan fisik dan kimia, serta (b) dengan perlakuan fisik dan kimia. Pada sistem tanpa perlakuan, pusat pengumpulan susu berada dibawah pengawasan manajer pabrik, dealer, koperasi atau asosiasi peternak. Susu dikumpulkan dengan alat angkut yang relatif kecil pada pagi dan sore hari, dan segera dikirim ke pusat penampungan atau pengolahan yang di tempat tersebut dilakukan uji kualitas/kadar susu dan dilakukan pembayaran langsung ataupun secara periodik. Dengan cara ini dapat mencegah penyimpanan susu semalaman yang akan menurunkan kualitas. Setelah sampai di pabrik pengolahan maka susu akan diuji lagi, didinginkan dengan air dingin (chilled water), dipasteurisasi, dikemas dan dikirim langsung ke konsumen, atau sebelum dipasteurisasi dikirim ke tempat penampungan yang lebih besar. Sistem ini harus berjalan cepat 3 1 7

(kurang 2-3 jam) sejak diperah sampai ke penampungan. Sistem dengan perlakuan merupakan pengembangan sistem di atas, yaitu dengan menggunakan penampung susu yang lebih besar (bulk storage vats) sebagai pengganti penampung skala kecil (churns). Perlakuan fisik biasanya berupa pemanasan hingga temperatur 60-70 C yang digabung dengan air mengalir (tap water) sebagai pengganti chilling water. Metode ini dinilai lebih murah daripada dengan pendinginan mekanik dan hasilnya lebih baik di mana 90% bakteri yang ada dalam susu dapat tereliminasi. Penggunaan hidrogen peroksida (H20 2;) adalah alternatif ketiga yang sebaiknya dihindarkan, ketika chilling, pendinginan atau pemanasan tidak dimungkinkan. Dengan sistem ini susu dapat dipertahankan lebih lama dan mungkin pengangkutan dengan tanki tidak perlu dilakukan sebanyak dua kali sehari. Sistem tata niaga keempat, merupakan sistem yang dapat dikembangkan pada kota besar yang membutuhkan pasokan susu segar dan olahannya dalam jumlah besar. Hal ini merupakan sistem yang baik, khususnya jika daerah penghasil susu berukuran kecil dan tersebar. Pada umumnya sistem ini terdiri dari minimal tiga tahap, yakni : (a) tahap pertama, pusat pengumpulan susu di desa, merupakan tempat penampungan susu, peternak dapat menyetor pagi dan sore ; (b) tahap kedua, susu dari peternak ditampung dalam bejana yang lebih besar dan didinginkan dengan chilled water. Bejana ini dapat berupa refrigerated bulk tank yang berfungsi sebagai tempat penampungan dan pendinginan sekaligus. Susu kemudian akan dibawa dengan tanki unit pengolahan susu lain ; (c) tahap ketiga, pabrik pengolahan mengolah susu dengan menggunakan bahan baku susu dari berbagai daerah pengumpulan, untuk kemudian dikirim ke konsumen. Pabrik olahan susu ini bisa merupakan pabrik yang dimiliki oleh koperasi susu. Sistem tata niaga kelima, merupakan sistem yang terdiri dari unit-unit produksi susu yang mempunyai sapi lebih dari 50 ekor laktasi, serta dikelompokkan sebagai unit besar. Masingmasing unit membutuhkan sebuah refrigerated bulk vat sendiri. 3 1 8

Susu kemudian dikumpulkan setiap hari berikutnya untuk dibawa ke unit pengolahan susu. Hasil olahan yang dihasilkan pabrik kemudian dipasarkan dengan sistem tata niaga sendiri atau melalui unit terkait. Di Indonesia sebagian besar susu dihasilkan oleh peternak rakyat berskala kecil yang tersebar di beberapa pusat produksi. Sebagian besar susu disetor ke IPS yang akan mengolah menjadi susu bubuk, susu kental manis, susu pasteurisasi, keju, mentega dan lain-lain. Hubungan kerja sama antara peternak dengan IPS umumnya melalui koperasi. Pusat pengumpulan susu berada dibawah pengawasan koperasi, dan pengumpulan susu dilakukan sebanyak dua kali sehari. Susu dari peternak dikumpulkan dalam sebuah mobil tanki dan segera dikirim ke pusat penampungan di koperasi untuk dilakukan proses pendinginan sebelum dikirimkan ke IPS. Beberapa koperasi juga telah melakukan pengolahan sebagian susu peternak menjadi susu ultra high temperature (UHT) maupun susu paseurisasi, atau menjual susu segar langsung kepada konsumen. Pada masing-masing rantai tata niaga terdapat biaya produksi yang ditimbulkan, yaitu : a) Pada peternak: harga susu mencerminkan biaya tenaga kerja, pakan hijauan, pakan konsentrat, upaya pemuliaan dan reproduksi, sewa kandang, pengeluaran keuangan khusus, dan sebagainya. b) Pada industri pengolah : harga susu segar tergantung pada komposisi susu (lemak, protein), kualitas bakteri, kualitas selsel darah putih, dan harga musiman. c) Pada konsumen : harga susu dan produk susu tergantung jenis dan nilai nutrisi serta gastronominya. 111.2 Fungsi Rantai Pasokan Masing-masing rantai pasokan merupakan perwujudan satu set yang secara konsep memiliki fungsi yang berbeda tetapi saling berhubungan dan terkait baik secara fisik maupun keuangan. Fungsi-fungsi tersebut, yaitu : 3 1 9

Pro/il Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia 1. Fungsi yang berhubungan dengan komoditas fisik, meliputi : a. Gerakan spasial dari produsen ke konsumen akhir atau industri pengguna. b. Penyimpanan dan pergudangan. c. Transformasi fisik dari komoditas bahan mentah menjadi satu set produk akhir yang berkualitas yang siap dikonsumsi. 2. Fungsi terkait dengan dimensi harga dan pemhayaran, meliputi : a. Perpindahan dari pendapatan penjualan akhir kepada pihak yang terlibat dalam pengolahan, tata niaga dan petani. b. Perpindahan harga kembali kepada siapa saja yang terlibat dalam proses, marketing dan petani. Hal ini secara terperinci untuk rantai pasokan susu dan olahan susu sejak pemerahan disajikan dalam Gambar 4. Petemak Penaumpul IPS Gudang/Depo Distributor Pasar Konsumen Gambar 4. Rantai pasokan industri susu dan olahan susu Hubungan antara peternak-kelompok peternak-koperasi susu sebagai pemasok susu ke IPS mencerminkan suatu sistem rantai pasokan yang harus dikelola dengan baik. Pembangunan industri sapi perah di Indonesia bukan hanya karena alasan ekonomi peternak semata, tetapi juga untuk memenuhi permintaan susu domestik, meningkatkan pendapatan petani, membantu pemerataan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, 3 2 0

Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia memperbaiki nilai tukar, serta meningkatkan kualitas konsumsi gizi nasional. Industri sapi perah yang didominasi oleh peternak rakyat karena tujuan pemerataan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja secara langsung akan berdampak kepada keterkaitan ke belakang (backward linkage) dengan industri bibit, industri pakan, dan jasa reproduksi-kesehatan, inseminasi buatan. Hal ini juga akan berdampak kepada keterkaitan ke depan (forward linkage) dengan IPS serta industri penyediaan sarana prasarana pemerahan, pengemasan, transportasi dan lainnya. Secara alami, industri sapi perah memiliki tingkat keterkaitan dan dampak ganda yang cukup tinggi dengan industri lainnya karena sebagian besar produk sapi perah digunakan sebagai bahan baku industri. Manajemen rantai pasokan susu (dairy supply chain management) dapat didefinisikan sebagai 'the systemic, strategic coordination of the traditional business functions within a particular company and across businesses within the supply chain, for the purposes of improving long-term performance of the individual companies and the supply chain as a whole' (Mentzer et al., 2001 dalam Vorst et al., 2007). Oleh karena itu, secara individu keberadaan masing-masing pihak akan menentukan saling ketergantungan dan keberhasilan pasokan susu secara keseluruhan sehingga dapat dikatakan terjadi semacam linkage ke belakang dan ke depan, dengan pusat putaran adalah produksi susu. Secara skematis hal tersebut tampak pada Gambar 5. Secara spesifik yang membedakan sistem rantai pasokan dengan sistem tata niaga, adalah adanya kepastian pasar antar pelaku bisnis melalui suatu kontrak yang dilakukan antar pemangku kepentingan. Pra-produksi Pasca produksi Gambar 5. Sistem rantai pasokan susu 3 2 1

Tata niaga susu yang dihasilkan peternakan sapi perah rakyat membentuk dua jenis saluran, yaitu saluran yang dikelola oleh koperasi dan nonkoperasi (agen) (Paturochman, 2008). Para pelaku tata niaga dalam saluran yang dikelola koperasi adalah peternak, koperasi primer, koperasi sekunder, IPS, grosir, pengecer dan konsumen. IPS sebagai konsumen antara telah menetapkan standar kualitas susu yang disepakati oleh koperasi. Dalam sistem ini, telah terjadi sistem rantai pasok dimana para pelaku tata niaga telah melakukan sistem kontrak tata niaga dalam menyalurkan komoditi (susu). Saluran tata niaga yang dikelola oleh koperasi, secara umum terdapat tiga jenis, yaitu : 1. Peternak - Kelompok - Koperasi - IPS (Jawa Barat dan Jawa Timur) 2. Peternak - Pengumpul - Koperasi - IPS (DIY dan Jateng) 3. Peternak - Pengumpul - IPS (DIY dan Jateng) Secara skematis saluran tata niaga tersebut disajikan pada Gambar 6. Jabar/Jatim : Peternak Peternak I- 0 Kelompok Kelompok 0 Koperasi Koperasi 'PS IPS Jateng-DIY: Peternak 10 Kelompok/ pengumpul 0 Koperasi IPS Broker/ Pedagang Gambar 6. Saluran tata niaga susu yang dikelola koperasi Sumber : Murti (2008) Gambar 6 menunjukkan adanya perbedaan saluran tata niaga susu yang dikelola koperasi pada masing-masing wilayah di Pulau Jawa. Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki kesamaan saluran, yang berbeda dengan di DIY dan Jawa Tengah. Di DIY dan khususnya Jawa Tengah terjadi anomali tata niaga dengan 32 2

ProfIi Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia berkembangnya secara tidak terkendali "broker susu" yang merugikan peternak dan IPS. Broker susu yang dicoba diberantas melalui pendirian koperasi sekarang tumbuh kembali dengan subur. Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa tata niaga susu mempunyai jalur sebagaimana disajikan dalam Gambar 7. PE TANI KELOMPOK D GKSI PETANI LOPER BROKER Gambar 7. Tata niaga susu di DIY dan Jawa Tengah Tata niaga pada Gambar 7 dipandang kurang efektif karena koperasi (KUD/GKSI) dirugikan. Karena jika peternak memasarkan ke loper/broker maka kewajibannya sebagai anggota tidak dapat dibayarkan kepada koperasi/gksi sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan sebagaimana yang diusulkan pada Gambar 8. 3 2 3

Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia JARINGAN KOMUNIKASI-PENGAWASAN YANG PERLU DIMANTAPKAN Gambar 8. Upaya perbaikan tata niaga susu di DIY dan Jawa Tengah Gambar 8 menunjukkan bahwa hal yang paling mendasar adalah menerapkan etika dalam sistem perdagangan antar koperasi dengan anggotanya sehingga setiap peternak sebagai anggota koperasi akan memasarkan produksi hanya kepada kelompoknya. Di Jawa Barat terdapat enam jenis sistem saluran tata niaga susu yaitu : 1) Peternak-Koperasi-IPS-Grosir-Pengecer-Konsumen Akhir 2) Peternak-Koperasi-Konsumen akhir 3) Peternak-agen-Pedagang Pengecer-Konsumen Akhir 4) Peternak-agen-Industri Rumah tangga-konsumen Akhir 5) Peternak-agen-Rumah Makan/restoran-Konsumen Akhir 6) Peternak-agen-IPS Dalam sistem pemasaran susu ini, keseluruhannya belum menerapkan sistem rantai pasokan, secara skematis seperti tampak pada Gambar 9. 3 2 4

1 Koperasi IPS Grosir Pengecer A Pedagang Peteniak Pengecer V Agen Industri Ruinah Tangga Runiah Makan/ Restoran Konsumen Akhir Gambar 9. Saluran tata niaga susu non koperasi di Jawa Barat Sumber: Paturochman (2008), diolah Di Jawa Barat saluran pemasaran yang melibatkan "agen" berkembang pesat terutama sejak tahun 2007. Hal ini disebabkan karena hampir 50% koperasi/kud unit susu di Jawa Barat tidak aktif, sementara kenaikan harga susu dunia telah merangsang IPS membeli susu petemak dengan kenaikan harga yang sangat kondusif. Pembelian susu ini dilakukan oleh para agen/kolektor susu yang ada di perdesaan, khususnya di wilayah Koperasi/KUD susu yang tidak aktif. Para agen/kolektor susu ini sebagian besar merupakan bentukan atau kepanjangan tangan IPS, walaupun secara yuridis formal sulit dibuktikan bahwa agen tersebut merupakan kepanjangan tangan IPS. IV. FAKTOR PENENTU HARGA SUSU Beberapa faktor penentu harga susu dapat dikaji dari beberapa sudut pandang, yaitu dari perilaku konsumen, kondisi usaha peternakan sap] perah rakyat dan IPS yang berkaitan dengan perdagangan global. Kajian profil konsumsi susu di Indonesia menunjukkan bahwa susu segar hanya memberikan kontribusi sebesar 17,9% dari total konsumsi susu nasional, sisanya, sebesar 82,1 % merupakan konsumsi susu bubuk. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas konsumen susu lebih memilih susu bubuk dibandingkan dengan susu cair (Khomsan, 325

2004). Konsumsi susu di dalam negeri rendah, yaitu hanya sekitar 7 liter/kapita/tahun, selain disebabkan oleh rendahnya kemampuan ekonomi (daya bell) dan tingkat pendidikan masyarakat, juga terutama disebabkan oleh faktor lactose intolerance, yaitu kemampuan adaptasi perut orang Indonesia yang rendah terhadap lactose. Pola perilaku konsumen susu di Indonesia yang lebih menyukai susu bubuk hasil pemrosesan oleh IPS daripada meminum susu murni segar, telah mengakibatkan koperasi persusuan mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil susunya ke konsumen secara langsung. Preferensi dan perilaku konsumen dalam mengonsumsi susu ini yang menentukan pola usaha IPS dalam melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. IPS lebih suka melakukan recombined milk antara susu impor dalam bentuk bubuk dengan susu segar yang berasal dari produk domestik. Kenyataan ini yang menyebabkan posisi tawar peternak rakyat menjadi lemah. Saat ini sebagian besar susu murni yang dihasilkan oleh peternak disetorkan ke IPS yang berperan sebagai pasar oligopsoni. Struktur pasar ini menyebabkan peternak dan koperasi persusuan berada pada posisi tawar yang rendah terhadap IPS (Toharmat, 2007). Saat ini standar kualitas susu ditetapkan oleh IPS dan harus dipenuhi oleh petemak dengan sistem bonus dan penalti. Peternak akan memperoleh bonus bila kualitas susu produksinya memenuhi standar, dan sebaliknya akan mendapat penalti bila susu yang dijual tersebut di bawah standar yang telah ditetapkan IPS. Tabel 3 menunjukkan bahwa harga susu di tingkat peternak (farm-gate price) jauh lebih rendah dari harga susu olahan yang diterima oleh IPS (consumer price). Hal in] menggambarkan bahwa pengolahan susu memberikan nilai tambah yang cukup besar pada produk susu yang dihasilkan. Sementara ini besarnya nilai tambah tersebut tidak dinikmati oleh peternak sehingga rendahnya harga pada tingkat petemak kurang memotivasi peternak dalam mengembangkan industri sapi perah nasional. Tingginya harga yang diterima IPS telah mencakup biaya pengolahan, biaya pengepakan, biaya tata niaga dan marjin 3 2 6

keuntungan bagi IPS. Salah satu upaya yang dapat dilakukan peternak atau koperasi adalah mengembangkan industri down stream berupa industri pengolahan susu dan memasarkan produksinya. Tabel 3. Perbandingan harga antara susu murni dengan susu pasteurisasi dan k Jenis susu Prod usen/penjuai Harga Harga tanpa koreksi terkoreksi BK (Rp/liter) (Rp/kq BK) Segar/murni: - Kualitas balk Petani/GKSI 23.200 - Kualitas kurang Petani/GKSI 13.63(, Olahan Pasteurisasi IPS 8.000 64.000 Bubuk IPS 17.000 47.200 Keterangan : BK=bahan kering Sumber : Toharmat (2007) Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diidentifikasi berbagai permasalahan yang terkait dengan ter~entuknya harga susu dari sisi tata niaga, yaitu : 1) Preferensi konsumen dalam mengonsumsi susu segar sangat rendah sehingga tata niaga susu segar yang dihasilkan petani hanya ditujukan kepada beberapa IPS dalam struktur pasar oligopsoni sehingga posisi tawar peternak dalam penetapan harga susu menjadi sangat lemah. 2) Harga susu segar pada tingkat peternak sangat rendah dan tidak memotivasi peternak dalam upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produk, yang selanjutnya menjadi penghambat pengembangan industri sap] perah nasional. 3) Kualitas susu segar sangat bervariasi antar peternak, namun dalam pengangkutannya disatukan dalam kontainer yang sama sehingga susu berkualitas rendah dengan kualitas tinggi bercampur. Akibat dari hat tersebut nilai jual susu secara keseluruhan menjadi rendah. 4) Promosi konsumsi minum susu segar belum dilakukan dengan balk khususnya oleh koperasi, karena biaya promosi menggunakan media massa yang efektif seperti TV sangat mahal. 3 27

5) Belum harmonisnya tarif bea masuk produk susu impor terhadap bahan baku lain seperti gula impor (35%), tin plate (15%) untuk produksi dalam negeri. Selain hal tersebut, harga susu juga ditentukan oleh sistem transaksi terutama pola pembayaran yang dilakukan antara koperasi dengan IPS (Murti, 2007a). Pembayaran susu sangat penting bagi peternak, karena terkait dengan kelangsungan produksi usaha ternaknya. Jika susu itu dipasarkan tanpa ada nilai tambah tertentu, maka secara teknis pembayaran susu terkait pula dengan komposisi dan kualitas susu yang menjadi hal utama yang harus diperhatikan oleh bagian penerimaan susu milik koperasi ataupun IPS. Sebelum susu diterima dan dibayar oleh IPS sesuai kesepakatan sistem pembayaran yang ada, maka harus dilakukan pemeriksaan terhadap kualitas dan komposisi susu. Susu diterima oleh koperasi/ips setelah nmemenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan oleh Ditjen Peternakan sesuai SK No 17/Kpts/DJP/Deptan/1983, yaitu : a. Warna, ban, rasa, dan kekentalan : tidak berubah b. BJ pada 27,5 C (minimal) : 1,028 c. Kadar lemak (minimal) :2,8% d. Kadar BKTL (minimal) :8,0% e. Uji alkohol 70% : negatif f. Uji didih : negatif g. Katalase (maksimal) : 3 cc h. Titik beku : - 0,520 C sd - 0,560 C i. Angka refraksi : 34 j. Kadar protein (minimal) :2,7% k. Angka reduktase : 2--5 jam 1. Jumlah kuman (maksimal) : 3 juta/cc Lima IPS yakni, PT Indomilk, PT Frisian Flag, PT Ultra Jaya, PT Nestle dan PT Sari Husada menyerap susu segar produksi peternak rakyat melalui Koperasi/KUD unit susu dan GKSI untuk dicampur dengan bahan baku susu impor. 3 2 8

Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Sementara IPS lainnya seperti PT Mirota, PT Tiga Raksa, PT Indolakto, PT Indomurni hanya merekombinasi susu impor untuk memproduksi susu bubuk atau membuat susu pasteurisasi dari bahan SSDN. Sistem pembayaran susu yang diterapkan oleh IPS penyerap SSDN didasarkan pada formula : harga lemak(fat)dan harga padatan bukan lemak (SNF) Harga susu - + g.s m u x % lemak x harga lernak/g x1000 }- +Oarga SNFx % SNFx harga SVF/g x1000} Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus Fleischman, sedangkan bahan padat bukan lemak (solid non fat, SNF) diperoleh dan pengurangan total padatan dengan bahan lemaknya. Beberapa IPS ada yang mengganti rumus Fleischman dengan rumus Richman. Rumus Fleischman : BK =1,23*lernak + 2,71 * 100 (BJ- 1) SNF'=BK --KL BJ Rumus Richman : SNF 0,2* lemak + (BJ-0, 9985) * 250 + 0,58 Di mana : BK= bahan kering BJ = beratjenis KL= kadar lemak Dengan demikian, kualitas susu terkait langsung dengan sistem tata niaganya, semakin panjang jalur tata niaga yang dilalui akan berdampak terhadap kualitas susu. Perubahan kualitas susu ditunjukkan dengan adanya perubahan laktosa menjadi gula mono dan asam organik, khususnya asam laktat serta jumlah bakterinya sejak di peternak, pengumpul, koperasi, dan GKSI_ Jika dikaji lebih lanjut, maka kualitas susu yang diberlakukan di Indonesia ada beberapa klas (grade), yakni : - Kelas A adalah susu dengan total bakteri <500.000hnl ; - Kelas B adalah susu dengan total bakteri antara 500.000-1.000.000/ml ; - Kelas C adalah susu dengan total bakteri antara 1-3 juta/ml ; - Kelas D adalah susu dengan total bakteri antara 3-5 juta/ml ; - Kelas E adalah susu dengan total bakteri antara 5-10 juta/ml ; - Kelas F adalah susu dengan total bakteri > 10 juta/ml. 329

Di luar kelas tersebut, maka susu tidak dapat diterima IPS oleh beberapa sebab : Hasil positif atas tes : alkohol 70%, karbonat, formalin, dan pemalsuan lain (peroksida dan residu antibiotika). Uji organoleptik menunjukkan adanya ketidaknormalan susu. ph susu > 6,94 yang mengindikasikan kemungkinan adanya mastitis. - Total padatan susu <10,5%. Tabel 4 menunjukkan bahwa kualitas susu di DIY dan Jawa Tengah lebih rendah dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Kondisi ini kemungkinan disebabkan antara lain oleh : (a) peralatan dan metode pemerahan, penampungan sementara susu serta transportasi yang tidak memenuhi persyaratan, dan (b) manajemen perkandangan belum merupakan kandang koloni, sehingga harapan agar susu aman, bersih, cepat ; dan dingin sulit terjadi Tabel 4. Profil kualitas susu rak at tahun 2006 Kriteria Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barar DIY Kadar lemak (%) 2,91 3,95 3,78 3,50 SNF (%) 7,69 8,10 8,12 7,76 TS (%) 10,60 12,05 11,90 11,20 TPC (juta/ml) 7,98 2,78 3,45 3,75 Sumber : Kusmaningsih (2006) dalam Murti (2008) Rendahnya kualitas susu rakyat masih ditambah dengan belum efisiennya rantai tata niaga. Seperti koperasi di Jawa Tengah dan DIY masih mengambil margin keuntungan sampai 40%, sedangkan di Jawa Timur dan Jawa Barat hanya berkisar 10-15% (Efendi, 2006 ; wawancara pribadi). Hal ini berakibat langsung pada rendahnya harga susu per liter yang diterima peternak, di Jawa Tengah sebelum kenaikan harga pada tahun 2007 terendah adalah Rpl.035-1.350, Jawa Timur Rp1350-1850, Jawa Barat Rpl.400-2.100 dan DIY Rpl.150-1.350. Pada tahun 2008, setelah terjadi kenaikan harga susu dunia, harga susu di tingkat peternak per liter di Jawa Tengah/DIY masih 3 3 0