BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berinvestasi dengan cara beternak sapi merupakan salah satu cara usaha yang relatif aman, karena sapi merupakan hewan yang tangguh tak mudah terkena penyakit, serta pertumbuhan badan yang cepat. Harga sapi potong dipasaran pun relatif stabil dan hasil panen mudah diserap pasar. Ada beberapa macam investasi yang berhubungan dengan peternakan sapi yang biasa dilakukan, yakni penggemukan sapi potong dan pembibitan sapi potong (Sujarwo, 2012). Hasil atau nilai tambah dari usaha pembibitan sapi potong berupa pedet atau anak sapi yang unggul agar pada usaha penggemukan bibit bakalan tersebut dapat memberikan hasil pertambahan bobot berat badan sapi yang tinggi. Usaha pembibitan sapi potong sejauh ini memang kurang memberikan keuntungan yang memadai. Besarnya modal yang dibutuhkan untuk usaha pembibitan juga menjadi penyebab lain rendahnya minat pengusaha untuk investasi di usaha pembibitan sapi potong. Hal ini tidak sebanding dengan usaha penggemukan yang memberikan keuntungan berlipat ganda (Rianto dan Endang, 2011). Yang dimaksud dengan usaha penggemukan yaitu suatu cara pemeliharaan dikandang secara terus menerus dalam kurun waktu ± 6 bulan. Tujuan pemeliharaan sapi dengan cara ini adalah untuk meningkatkan atau menghasilkan daging yang relatif lebih cepat.
Penggemukan sapi merupakan salah satu peluang usaha yang paling mudah dilaksanakan, karena tak harus memiliki modal besar dan tak butuh keahlian khusus (Sujarwo, 2012). Di Indonesia, telah banyak berkembang akhir-akhir ini berbagai usaha penggemukan sapi potong yang dilakukan oleh para feedlotters atau peternak kecil di Indonesia. Bagi peternak kecil, yang kebanyakan adalah petani di desa-desa, usaha penggemukan sapi ini merupakan alternatif yang bisa di lakukan untuk menambah pendapatan keluarga. Dengan lama penggemukan selama 6 bulan, akan dapat di peroleh hasil berupa nilai tambah berat badan sapi potong dengan kualitas dagingnya yang lebih baik (Bank Indonesia, 2012). Usaha penggemukan sapi potong memberikan keuntungan finansial jauh lebih besar dalam waktu lebih pendek, sehingga usaha penggemukan lebih menarik bagi investor dibanding usaha pembibitan (Hadi dan Ilham, 2000). Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf, mengatakan bahwa saat ini pengusaha tidak lagi tertarik berinvestasi di budidaya sapi (on farm). Penyebabnya adalah nilai tambah yang diperoleh sangat kecil dan harus menanggung risiko yang cukup besar. Berbeda dengan peternakan di Australia yang dikelola dalam skala besar, usaha budidaya sapi di Tanah Air adalah usaha sampingan dengan skala kecil dan rumah tangga. Akibatnya, budidaya sapi di Indonesia tidak efisien dan nilai tambah yang diperoleh menjadi kecil (Zuhri, 2012). Usaha pembibitan sapi potong hingga skala usaha 2 5 ekor belum memberikan keuntungan, sedangkan untuk usaha penggemukan sapi potong pada skala 2 5 ekor sudah memberikan keuntungan bagi peternak (Riszqina dkk, 2011).
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh peternak sapi tradisional adalah produktivitas ternak sapi yang rendah. Pemeliharaan sapi dengan sistem tradisional menyebabkan kurangnya peran peternak dalam mengatur perkembangbiakan ternaknya. Peran ternak ruminansia dalam masyarakat tani bukan sebagai komoditas utama (Haryanto, 2009). Di Sumatera Utara sendiri, prospek pengembangan agribisnis peternakan cukup besar terutama agribisnis ternak potong ruminansia (hewan pemamah biak) khususnya sapi potong. Namun karena berbagai keterbatasan serta permasalahan yang dihadapi, prospek pengembangan tersebut sampai saat ini belum dapat diwujudkan secara optimal (BPP Sumut, 2009). Dikatakan Sumatera Utara memiliki prospek pengembangan agribisnis peternakan cukup besar karena jika dibandingkan dengan seluruh provinsi di pulau Sumatera, Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu yang memiliki populasi sapi potong tertinggi kedua pada tahun 2012 yaitu 590.451 ekor sedangkan Provinsi Lampung memiliki populasi sapi potong terbesar yaitu sebanyak 798.459 ekor. Populasi sapi potong di Sumatera Utara dan Lampung dapat dilihat dalam grafik dibawah ini: 1000000 Grafik 1.1 Perkembangan Populasi Sapi Potong di Provinsi Sumatera Utara dan Lampung 800000 600000 400000 200000 0 2008 2009 2010 2011 2012 Sumatera Utara Lampung Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2012
Di Sumatera Utara, Kabupaten Langkat merupakan daerah produsen sapi potong yang memiliki tingkat populasi tertinggi yaitu sebesar 126.293 ekor. Kabupaten Simalungun dan Deli Serdang menduduki peringkat ke 2 dan ke 3 yaitu sebesar 65.355 dan 44.268 ekor. Perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Langkat dapat dilihat pada grafik dibawah ini: 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 Grafik 1.2. Perkembangan Populasi Sapi Potong Kabupaten Langkat, Simalungun dan Deli Serdang 2005 2006 2007 2008 2009 Langkat Simalungun Deli Serdang Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara, 2012 Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti Analisis Nilai Tambah Usaha Ternak Sapi Potong (Studi Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat). 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu diteliti adalah : 1. Berapa besar nilai tambah yang diperoleh dari usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong berdasarkan perbandingan skala usaha di daerah penelitian? 2. Faktor faktor apa yang mempengaruhi nilai tambah usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong di daerah penelitian?
1.3.Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis besar nilai tambah yang diperoleh dari usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong berdasarkan perbandingan skala usaha di daerah penelitian. 2. Untuk menganalisis faktor faktor apa yang mempengaruhi nilai tambah usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong di daerah penelitian. 1.4. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan informasi bagi peternak dalam melakukan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong. 2. Bagi pemerintah diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong, serta sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan dan keputusan yang menyangkut usaha ternak sapi potong. 3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak pihak yang membutuhkan.