KESIAPAN DAN PERAN ASOSIASI INDUSTRI TERNAK MENUJU SWASEMBADA DAGING SAPI ) Oleh : Teguh Boediyana 2)

Transkripsi

1 Pendahuluan KESIAPAN DAN PERAN ASOSIASI INDUSTRI TERNAK MENUJU SWASEMBADA DAGING SAPI ) Oleh : Teguh Boediyana 2) 1. Meskipun daging sapi bukan merupakan bahan makanan yang pokok dan strategis seperti halnya beras atau jagung, kita harus menyambut keputusan dan kebijakan untuk swasembada daging sapi di tahun 2010 yang telah secara resmi dinyatakan oleh Pemerintah ( cq. Departemen Pertanian R.I ) sebagai salah satu program dalam rangka Revitalisasi Pertanian. Dalam konteks ketahanan pangan, langkah untuk swasembada dalam semua komoditas yang menjadi bahan konsumsi masyarakat ( termasuk dalam hal ini daging sapi ) sangat penting untuk diwujudkan karena ketergantungan kepada pihak lain dipastikan akan mempunyai tingkat risiko dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara. Sebagai suatu kebijakan, swasembada daging sapi ini tentunya sudah diperhitungkan masakmasak untuk realisasinya. 2. Secara umum kondisi faktual industri peternakan sapi potong yang ada sekarang ini di tanah air adalah sebagai beikut : a. Peternakan sapi potong di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat dengan tingkat pemilikan rata-rata 2-4 ekor. Berdasarkan data statistik Peternakan terdapat sekitar 4 juta rumah tangga peternak sapi potong yang memelihara sekitar 10,5 juta ekor sapi. Ditinjau dari sebaran populasi, sekitar 45 persen dari populasi terkonsntrasi di P.Jawa khususnya Jawa Timur, Jawa tengah, dan DI Yogyakarta. b. Suatu realita bahwa untuk memenuhi kebutuhan daging nasional yang nota bene per kapita per tahun masih sangat kecil ( menurut Ditjen Peternakan sekitar 1,72 kg/kapita/tahun ), populasi sapi potong yang ada sekarang ini ( berdasarkan data statistik Ditjen Peternakan sekitar 10,5 juta ekor) tidak mampu untuk memenuhinya. Kenyataan itulah yang mendorong Dirjen Peternakan mengeluarkan kebijakan GaUng ( Tiga Ung) Lampung pada tahun 1992 dimana isinya : Sapi lokal sebagai tulang punggung, Impor sapi bakalan sebagai pendukung, dan impor daging sapi sebagai penyambung. Melalui kebijakan ini disusun perencanaan secara lebih teliti berapa besarnya pemasukan sapi bakalan dan daging impor untuk memenuhi daging sapi dalam negeri. Dalam kurun satu dekade ini sekitar ekor sapi bakalan setiap tahunnya harus diimpor untuk digemukkan dan ribuan ton daging ( kenyataan 80 persen terdiri dari jeroan ) diimpor dari negara-negara yang memenuhi persyaratan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Data 1

2 terakhir untuk memenuhi kekurangan pasokan dari dalam negeri, harus diimpor sapi bakalan ( untuk digemukkan ) sekitar 380 ribu ekor dan impor daging/jeroan Ton. b. Berbeda dengan kasus komoditas beras dimana diyakini produksi beras dalam negeri telah swasembada, untuk daging sapi kebijakan impor sapi bakalan ataupun daging terpaksa dilakukan karena tanpa impor daging atau sapi bakalan dimungkinkan terjadi pengurasan sapi lokal yang berakibat buruk bagi ketahanan pangan nasional dan peternakan sapi rakyat. c. Disinyalir bahwa saat ini terjadi penurunan kualitas genetik sapi khususnya di luar Jawa dan daerah potensial sapi seperti NTB dan NTT dikarenakan keluarnya sapi-sapi yang bagus untuk diperdagangkan. Sangatlah sulit saat ini untuk memperoleh sapi dengan berat sekitar 300 kg di daerah-daerah yang dulu dikenal sebagai kantong produksi sapi yang ada di luar Jawa. d. Kekuatan pasok daging sapi lokal saat ini masih terkonsentrasi di P. Jawa dimana sekitar 50 persen populasi sapi ada di Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jawa Timur. e. Sejak awal tahun 1990 an mulai muncul banyak perusahaan yang bergerak dalam bidang penggemukan sapi potong dengan menggunakan sapi bakalan eks impor. Penggunaan bakalan eks impor ini dilakukan karena tidak tersedianya jumlah sapi bakalan di dalam negeri. Program Swasembada Daging sapi Secara resmi Pemerintah ( cq. Departemen Pertanian ) menyatakan bahwa buku Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Sapi dan buku pelengkapnya antara lain buku Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan yang disusun oleh Badan Litbang Departemen Pertanian sebagai acuan dan pedoman dalam implementasi Program Swasembada Daging Sapi ( PSDS) Mempelajari roadmap atau buku pedoman PSDS tersebut kita dapat menarik beberapa substansi bahwa untuk tercapainya PSDS digunakan asumsi dan indikator sebagai berikut : a. Dibutuhkan dukungan investasi Rp. 24 Triliun dengan rincian bersumber Pemerintah 10 % ( Rp. 2,4 Triliun ) yang diperlu kan untuk menunjang PSDS, masyarakat/petani % ( Rp. 13,5 Triliun ), dan swasta 30 % ( Rp. 8 Triliun ). 2

3 b. Pada tahun tahun 2006 dan 2007 ditingkatkan populasi dengan penambahan bibit sapi muda impor sejumlah 1 ( satu) juta ekor yang dapat segera menghasilkan anak turunan pada tahun yang bersangkutan. c. Adanya asesibilitas kredit perbankan (bagi swasta ) dan kredit program ( bagi petani peternak ) dengan tingkat bunga sekitar 6 persen/tahun. d. Perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional 6,1 persen/tahun, berat sapi genetik lokal 123,9 kg, berat sapi genetik impor 198,85 kg, tingkat kelahiran 65 % dari betina produktif. e. Peningkatan populasi sapi 5,82 % per tahun, konsumsi daging sapi 5 %, jumlah penduduk 1,49 persen. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah asumsi yang digunakan dalam perjalanannya sampai saat ini ( yang notabene sudah pada pertengahan periode PSDS 2010 ) sudah terpenuhi? Apabila asumsi yang digunakan tersebut dalam implementasi tidak terpenuhi tentunya juga perlu dilakukan suatu review secara proporsional. 5. Selain dari buku pedoman dan acuan yang disusun oleh Balitbang Deptan berkaitan dengan PSDS 2010, kita perlu pula mengamati data statistik sapi potong yang tentunya digunakan sebagai materi dalam penyusunan kebijakan. Terdapat dua hal yang perlu klarifikasi. Pertama, apakah angka pemotongan sapi termasuk sapi eks impor yang diimpor dan digemukkan di Indonesia. Ini sangat penting karena dalam buku Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan tersebut pada tabel 5.1 tentang Perkiraan Penyediaan, Kebutuhan, neraca dan Populasi Ideal Sapi di Indonesia tersirat bahwa angka pemotongan sapi ditafsirkan tidak termasuk sapi eks impor. Kedua, kita melihat inkonsistensi rataan berat badan sapi tatkala produksi daging sapi dielaborasi dengan jumlah sapi yang dipotong. Menggunakan data populasi sapi, pemotongan sapi, dan produksi daging yang ada dalam Buku Statistik Peternakan kita coba lakukan exercise untuk memperoleh gambaran berat sapi yang dipotong seperti terlihat dalam tabel berikut : 3

4 KOMPILASI DATA SAPI Tahun Populasi (ekor) Pemotongan Sapi ( ekor ) Produksi Total daging ( Ton ) Produksi daging/ekor (kg) , , Berdasar data statistik yang disandingkan dan dianalisis, tampak hal yang sangat perlu perhatian : a. Pada tahun 2001, didasarkan data produksi daging dan jumlah sapi yang dipotong diperoleh angka rata-rata produksi daging per ekor sapi 189, 8 kg. Demikian seterusnya dari data yang ada diperoleh angka produksi sapi per ekor berturut-turut 195,2 kg, 213 kg, 258 kg, 306 kg. Tampaknya kenaikan berat rata-rata sapi yang dipotong membutuhkan kajian secara khusus. b. Dalam kenyataan, seekor sapi yang dipotong akan menghasilkan karkas ( terdiri daging dan tulang ) sebesar sekitar 50 % dari berat hidup. Sedangkan dari karkas, diperoleh daging sebesar sekitar 70 % dari berat karkas. c. Dengan menggunakan angka tahun 2004 dimana produksi daging per ekor rata-rata 258 kg, maka dengan asumsi daging plus perutan yang dihasilkan 70 persen dari berat hidup sapi, maka diperoleh angka berat hidup sapi yang dipotong rata-rata di tahun 2004 adalah 368 kg. 6. Kata kunci dalam PSDS 2010 sebenarnya adalah karena stok populasi sapi potong yang ada di tanah air kita saat ini belum mampu untuk menghasilkan daging yang 4

5 cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Importasi sapi bakalan ataupun daging beklu adalah indikasi adanya ketidakmampuan tersebut. Dalam buku pedoman dan arahan PSDS 2010 sudah jelas dan sangat memungkinkan tercapainya swasembada seandainya berbagai asumsi yang digunakan dapat terpenuhi khususnya dalam hal peningkatan populasi sapi. Titik berat intensifikasi dalam upaya breeding sapi. Pada sisi lain kegiatan usaha breeding sapi potong bukan kegiatan usaha yang feasible dari aspek bisnis dan untuk mendapat dukungan perbankan. Selain turnover yang sangat kecil juga dibutuhkan waktu yang sangat panjang Oleh karena itu tidak menarik bagi investor. Bahkan BUMN yang menangani breeding sapi sudah bangkrut sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Satu-satunya usaha breeding dengan sistem pastoral yang ada di Sulawesi juga tidak berkembang dengan baik meskipun terdapat angka permintaan yang tinggi akan sapi bakalan. Oleh karena itu kemungkinan untuk menarik investor ataupun dana masyarakat memasuki bisnis breeding sapi sangatlah kecil. Kesiapan dan Peran Asosiasi Industri Ternak dalam PSDS Pada umumnya usaha swasta mempunyai ciri antara lain berorienstasi pada profit, bekerja secara efisien agar memiliki daya saing, membutuhkan dukungan permodalan, inovatif dalam menghadapi berbagai perubahan, risk taker, dan mendasarkan pada hukum pasar. Demikian pula halnya dengan anggota Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia ( APFINDO ) yang adalah perusahaan dan atau badan usaha yang tidak dapat melepaskan diri dari kaidah hukum perekonomian serta hukum lainnya. 8. Bahan baku yang digunakan dalam usaha penggemukan sapi adalah sapi bakalan. Kalau selama ini anggota Apfindo terpaksa menggunakan sapi bakalan eks impor karena tidak tersedianya sapi bakalan di dalam negeri, maka di masa mendatang apabila Pemerintah dengan program-program untuk meningkatkan populasi berhasil, maka dipastikan bahwa anggota Apfindo akan menggunakan dan menyerap sapi bakalan yang dihasilkan dari produksi dalam negeri. Sejauh ini beberapa anggota Apfindo telah mencoba untuk merintis usaha breeding sapi dalam skala yang sangat kecil mengingat bahwa usaha tersebut jelas sangat tidak feasible dikaitkan dengan aspek pendanaan. 9. Peran dan partisipasi Asosiasi dan anggotanya akan lebih signifikan dalam menuju terwujudnya swasembada daging sapi di tahun 2010 apabila ada insentif untuk melakukan usaha breeding sapi berupa bantuan permodalan dengan tingkat bunga maksimum 6 persen, jangka waktu kredit minimal 7 tahun dan grace period ( masa tenggang ) 3 (tiga ) tahun. Demikian pula halnya untuk para 5

6 peternak yang tergabung dalam kelompok-kelompok. Mereka perlu pula mendapat dukungan kredit program yang persyaratan minimal sama dengan yang diinginkan oleh swasta. Hal ini selaras dengan asumsi yang digunakan Deptan dalam pencapaian swasembada daging sapi. Selain dari pada itu Asosiasi juga siap untuk transfer of knowhow dalam bidang yang ditangani selama ini khususnya dalam penggemukan sapi. Saran dan Masukan 10. Bebebrapa saran dan masukan untuk menjadi pertimbangan dalam membangun ketahanan pangan di bidang penyediaan daging sapi secara swasembada, beberapa saran yang kami sampaikan adalah : a. Dengan pertimbangan bahwa pemberdayaan dan pengembangan industri sapi potong di tanah air merupakan berskala jangka panjang, maka Pemerintah perlu melakukan penataan ulang berbagai data tentang sapi potong mulai dari populasi riil, produksi daging, berat rata-rata sapi yang dipotong baik sapi lokal maupun impor, volume impor dan lain sebagainya. Dengan dasar data yang valid ini diharapkan proses penggarisan kebijakan dan pengambilan keputusan tidak bias atau dapat lebih akurat. Atas dasar data yang valid itu pula dapat disusun ulang perencanaan ulang dalam pengembangan peternakan sapi potong. b. Selain dari itu perlu adanya keputusan politik Pemerintah khususnya dalam hal penyediaan dana yang murah dan atau dana apapun untuk mengembangkan populasi sapi potong di tanah air. Dengan dana yang murah ini dipacu untuk pembibitan sapi melalui peternak-peternak sapi dengan penambahan skala pemilikan dan jumlah peternak termasuk yang disasar oleh Ditjen Peternakan yakni di daerah perkebunan sawit. c. Minimisasi aspek-aspek yang distortif terhadap pengembangan sapi potong antara lain dengan secara konsisten terus mencegah masuknya daging ilegal dan mencegah masuknya penyakit hewan yang berbahaya terhadap ternak sapi utamanya Penyakit Mulut dan Kuku. Bogor, 21 6

7 7