BAB I PENDAHULUAN I.1.

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

ix

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Satelit Landsat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Penginderaan Jauh Dan Interpretasi Citra Khursanul Munibah Asisten : Ninda Fitri Yulianti

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

PEMETAAN LAHAN TERBANGUN PERKOTAAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN NDBI DAN SEGMENTASI SEMI-AUTOMATIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN DOSEN

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG

PEMANFAATAN SALURAN THERMAL INFRARED SENSOR (TIRS) LANDSAT 8 UNTUK ESTIMASI TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo)

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

Meidi Nugroho Adi Sudaryatno

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

Jurnal Geodesi Undip April 2017

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

BAB II DASAR TEORI Koreksi Geometrik

1 BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Grafik Suhu Permukaan Global Menunjukkan Tren Pemanasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB II PELAKSANAAN...

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Meningkatnya pembangunan pusat-pusat perekonomian yang dibangun di daerah perkotaan, terutama di bidang industrialisasi berdampak pada meningkatnya arus urbanisasi (Haryono,1999). Urbanisasi yang berasosiasi dengan pertambahan penduduk dan ekonomi merupakan penyebab utama terjadinya perubahan penggunaan tanah atau tutupan tanah. Perubahan seperti ini akan membawa perubahan dalam suhu udara rata-rata di kota, dimana berkurangnya vegetasi yang tergantikan oleh lahan-lahan terbangun akan memicu kontrasnya radiansi permukaan dan suhu udara di daerah kota jika dibandingkan dengan daerah desa (Weng, 2004). Perbedaan suhu udara antara daerah kota dengan daerah desa yang mengelilinginya tersebut dikenal sebagai Urban Heat Island (UHI). Urban Heat Island (UHI) telah menjadi perhatian selama lebih dari 40 tahun. Studi mengenai UHI awalnya hanya dilakukan pada daerah dengan cakupan terbatas menggunakan pengukuran suhu udara secara in-situ. Munculnya teknologi satelit penginderaan jauh telah memungkinkan untuk melakukan studi UHI secara jarak jauh dan dalam skala benua atau global. Studi fenomena UHI menggunakan satelit yang berdasar pada pengukuran suhu permukaan tanah telah menggunakan berbagai data penginderaan jauh seperti NOAA AVHRR dengan resolusi spasial sebesar 1,1 km, Landsat Thematic Mapper (TM) Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) thermal infrared (TIR) dengan resolusi spasial sebesar 120 m dan 60 m (Cao dkk., 2008). Telah diketahui bahwa beberapa indeks vegetasi yang didapat dari penginderaan jauh dapat digunakan dalam penilaian tutupan vegetasi secara kuantitatif dan kualitatif seperti Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). 1

2 Normalized Difference Buit-up Index (NDBI) juga telah dikembangkan untuk lahan terbangun dan/atau lahan terbuka. Kedua indeks ini telah umum digunakan di berbagai daerah untuk mendeliniasi tutupan lahan. Oleh karena itu, penggunaan NDVI dan NDBI dapat mewakili tipe tutupan lahan secara kuantitatif sehingga hubungan antara indeks-indeks tersebut dengan suhu dapat dilakukan dalam penelitian-penelitian UHI (Chen, 2005). Studi mengenai Urban Heat Island kebanyakan mengambil studi kasus pada kota-kota besar dan kota-kota metropolitan. Namun, bukan berarti bahwa Urban Heat Island hanya terjadi pada kota-kota besar dan kota-kota metropolitan. Penelitian yang dilakukan Kopec (1970) di kota kecil (Chapel Hill, North Carolina, Amerika Serikat) berpenduduk 24.000 jiwa dengan luas 13 mil 2 (33,7 km 2 ) menemukan adanya perbedaan suhu yang cukup signifikan dalam rentang 11 16 o F (± 4 5 o C) antara CBD dan daerah rural di sekelilingnya. Semua kota apapun ukurannya membentuk iklim tersendiri berbeda dengan iklim makro regional di mana kota itu berada, meskipun karakteristik iklim mikro urban tergantung pada iklim yang lebih besar (Kopec, 1970). Kota Surakarta (Solo) merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang maupun Yogyakarta (BPS, 2012). Pembangunan yang cukup pesat di kota ini menyebabkan pertumbuhan penduduk cukup pesat. Data BPS tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Solo pada tahun 2006 adalah sebesar 497.700 kemudian naik ke angka 500.171 pada tahun 2012. Pertumbuhan penduduk tersebut tentunya diimbangi dengan pertumbuhan pembangunan pemukiman dan fasilitas fisik penunjang lain di Kota Solo. I.2. Rumusan Masalah Pertumbuhan yang cepat di Kota Solo menyebabkan perubahan penggunaan lahan. Pertumbuhan tersebut mengakibatkan perubahan unsur-unsur iklim yang salah satunya adalah suhu permukaan yang lebih panas dari daerah sekitarnya (Urban Heat Island). Perubahan kawasan serta suhu permukaan di Kota Solo tersebut tidak banyak pihak yang bertindak untuk melakukan

pengawasan/monitoring. Pengawasan atau monitoring terhadap perubahan suhu tersebut tentunya amat penting agar dapat dilakukan penanganan lebih lanjut dimana membutuhkan data atau informasi tentang suhu permukaan serta penggunaan lahan. Data mengenai pola sebaran suhu diperlukan untuk sebagai bahan evaluasi terhadap pembangunan tipe penggunaan lahan yang dapat menaikkan suhu permukaan dapat dikendalikan sehingga peningkatan suhu tidak berlanjut. Teknologi penginderaan jauh melalui citra Landsat 8 dapat dimanfaatkan untuk pengawasan secara efisien karena citra Landsat dapat menghasilkan data suhu sekaligus penggunaan lahan yang diperlukan sebagai bahan analisis. I.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian sebelumnya dari rumusan masalah, maka didapatkan beberapa pernyataan penelitian yang akan dijawab dari hasil penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana pola sebaran suhu permukaan di Kota Solo? 2. Bagaimana hubungan pola sebaran suhu permukaan tersebut dengan pola tutupan lahan di Kota Solo? I.4. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara pola suhu permukaan dengan pola tipe tutupan lahan di Kota Solo. I.5.Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat dipandang dari dua segi, yaitu secara praktis dan keilmuan. Secara praktis, diketahuinya nilai dan distribusi suhu permukaan di Kota Solo dapat dijadikan bahan referensi untuk kebijakan penataan ruang kedepannya oleh pemerintah setempat. Secara keilmuan, penelitian ini 3

dapat menambah referensi khususnya dalam Urban Heat Island dalam penelitian selanjutnya pada bidang yang sama atau terkait. I.6.Batasan Masalah Pada penelitian analisis hubungan suhu permukaan dengan tipe tutupan lahan ini diberikan batasan sebagai berikut : 1. Daerah penelitian adalah seluruh wilayah Kota Solo, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia. 2. Data yang digunakan adalah citra Landsat 8 path 119 row 65 tanggal perekaman 10 Oktober 2014 dari U.S. Geological Survey. Gangguan berupa liputan awan yang terdapat pada citra tersebut lebih sedikit dibanding dengan citra dengan tanggal perekaman yang lain sehingga dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini. 3. Klasifikasi tutupan lahan dengan teknik klasifikasi digital menggunakan algoritma maximum likelihood. 4. Metode yang digunakan untuk ekstraksi suhu permukaan adalah Split Window Algorithm (SWA). Metode SWA dipilih karena SWA menormalisasikan nilai suhu permukaan dari band 10 dan band 11 sehingga diperoleh nilai yang paling baik merepresentasikan kondisi lapangan (Rahmi, 2014). 5. Skema klasifikasi Tutupan Lahan yang dipakai ialah skema klasifikasi Penggunaan Lahan berdasar SNI 7645-2010 yang telah dimodifikasi sesuai keadaan objek di Kota Solo. I.7.Tinjauan Pustaka Data tentang Urban Heat Island di Kota Pangkalpinang tahun 2000 dan 2006 didapatkan menggunakan citra Landsat 5 TM serta Landsat 7 ETM+ (Iswanto, 2008). Penelitian tersebut menggunakan algoritma mono window untuk memperoleh informasi suhu permukaan dari citra Landsat tersebut. Suhu 4

permukaan hasil ekstraksi kemudian dianalisis hubungannya dengan penutup lahan, NDVI, dan NDBI. Infromasi penutup lahan sendiri didapat dari klasifikasi tak terselia ( unsupervised classification). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi pertambahan wilayah UHI, tutupan lahan urban dan lahan terbuka mempunyai suhu permukaan tertinggi, antara suhu permukaan dengan kerapatan vegetasi berkorelasi negatif, dan antara suhu permukaan dengan kerapatan lahan terbangun dan/atau lahan terbuka berkorelasi positif. Suhu permukaan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur didapatkan dari hasil eksttraksi citra Landsat 7 ETM+ (Widiastuti, 2013). Pada penelitian tersebut ekstraksi suhu pada band inframerah thermal tersebut dilakukan dengan menggunakan teknologi pengolahan citra penginderaan jauh. Beberapa tahapan yang digunakan untuk menyatakan perubahan suhu dalam penelitian ini antara lain : 1) Merubah nilai piksel pada citra menjadi nilai radiansi spektral, 2) Merubah nilai radiansi spektral menjadi nilai temperatur radian, 3) Merubah nilai temperatur radian menjadi nilai temperatur kinetik, 4) Melakukan penampalan/overlay citra untuk mengetahui perubahan suhu yang terjadi setiap tahun menggunakan metode Change Detection.Hasil dari penelitian ini adalah tampilan atau visualisasi perubahan suhu luasan genangan Lumpur Lapindo mulai dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 beserta hasil analisis dari perubahan tersebut. Tabel I.1. Tabel Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya No Nama Peneliti Judul Lokasi Penelitian Metode 1. Iswandi, P. A., 2008 2. Widiastuti, A., 2013 Urban Heat Island Kota Mono (UHI) di Kota Pangkalpinang Window Pangkalpinang tahun Algorithm 2000 dan 2006 Analisis dan Visualisasi Kabupaten Ekstraksi Perubahan Suhu Sidoarjo suhu Lingkungan Genangan permukaan. Sumber Data Citra Landsat 7 ETM+ dan Landsat 5. Citra Landsat 7 ETM+. 5

Lumpur Menggunakan Citra Landsat 7 ETM+ Multitemporal. 3. Penulis Analisis Hubungan Kota Solo Split Citra Landsat Suhu Permukaan dan Window 8 Tipe Tutupan Lahan di Algorithm. Kota Solo Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 I.8.Landasan Teori I.8.1 Satelit Landsat 8 Landsat 8 diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013 sebagai kelanjutan dari misi Landsat sekaligus menggantikan fungsi dari Landsat 7 yang sudah mengalami kerusakan sejak tahun 2003. Satelit ini dibawa oleh roket ATLAS V yang diluncurkan dari pangkalan udara Vandenberg, California. Karakteristik Landsat 8 tidak berbeda jauh dibandingkan dengan Landsat 7. Resolusi (spasial, temporal, spektral), metode koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yanng dibawa memiliki kemiripan dengan Landsat 7 meskipun ada beberapa perkembangan karakteristik dan kemampuan sensor. Karakteristik Landsat 8 dapat dilihat pada tabel I.2. Tabel I.2. Karakteristik Landsat 8 (http://landsat.usgs.gov) Spesifikasi Landsat 8 Tinggi Orbit Jenis Orbit Sensor Luas Liputan per Scene 705 km Inklinasi 98.2 o, Sun-synchronous OLI (Onboard Operational Land Imager) + TIRS (Thermal Infrard Sensor) 185 km x 185 km 6

Resolusi Temporal 16 hari Periode Orbit 99 menit Kuantitas Data 16 bitt (0-65535) Landsat 8 terdiri dari dua instrumen yaitu OLI ( Onboard Operational Land Imager) dan TIRS (Thermal Infrard Sensor). OLI terdiri dari band yang ada pada Landsat 7 ETM+ sebelumnya, ditambah tiga band baru, yaitu band biru untuk studi wilayah pesisir/aerosol, band inframerah gelombang pendek untuk mendeteksi awan cirrus, dan band TIRS. TIRS mempunyai dua band termal. Kedua sensor tersebut memberikan peninngkatan sinyal terhadap noise sehingga mendapatkan karakteristik yang lebih baik dari keadaan dan kondisi tutupan lahan. Saluran band citra Landsat 8 disajikan dalam tabel I.3. Tabel I.3. Saluran Band citra Landsat 8 (http://landsat.usgs.gov) Band Panjang Gelombang Resolusi (mikrometer) (meter) Band 1 Coastal Aerosol 0.43 0.45 30 Band 2 Blue 0.45 0.51 30 Band 3 Green 0.53 0.59 30 Band 4 Red 0.64 0.67 30 Band 5 Near Infrared 0.85 0.88 30 (NIR) Band 6 SWIR 1 1.57 1.65 30 Band 7 SWIR 2 2.11 2.29 30 Band 8 Panchromatic 0.50 0.68 15 Band 9 Cirrus 1.36 1.38 30 Band 10 Thermal 10.60 11.19 100 Infrared (TIRS) 1 Band 11 Thermal 11.50 12.51 100 Infrared (TIRS) 2 7

Landsat 8 memiliki beberapa keunggulan khusus diantaranya banyaknya band penyusun RGB komposit pada Landsat 8 dan spesifikasi band baru yaitu band 1, 9, 10, dan 11, membuat warna obyek menjadi lebih bervariasi. Band 1 (ultra blue) dapat menangkap panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah dari pada band yang sama pada Landsat 7 ETM+, sehingga lebih sensitif terhadap perbedaan reflektan air laut atau aerosol. Band 9 lebih sensitif dalam mendeteksi awan cirrus. Band 10 dan 11 bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi dengan resolusi spasial 100 meter. Tingkat keabu-abuan Landsat 8 memiliki interval yang lebih panjang yaitu 16 bit (0-65535), dengan ini tampilan citra akan lebih halus, baik pada citra multispektral maupun pankromatik serta dapat mengurangi terjadinya kesalahan interpretasi objek-objek di permukaan bumi (Arrofiqoh, 2014). I.8.2. Koreksi Citra Pada saat ditransmisikan ke bumi data penginderaan jauh mengalami distorsi dengan berbagai cara (Lillesla nd dan Kiefer, 1994). Banyak faktor yang berpengaruh terhadap data citra satelit (sensor, kondisi medan, kondisi atmosfer) sehingga diperlukan koreksi sebelum pengolahan citra untuk memperoleh informasi yang lebih berkualitas. Secara radiometrik, nilai digital tidak selalu tepat dalam kaitannya dengan tingkat energi obyek. Secara geometrik maka letak kenampakan pada citra tidak tepat benar bila dikaitkan dengan letaknya pada peta. Teknik koreksi bertugas untuk memperkecil gangguan ini dan menghasilkan citra yang lebih berkualitas. 1.8.2.1 Koreksi radiometrik. Koreksi radiometrik merupakan perbaikan kualitas citra karena adanya kesalahan pada sistem optik, kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari (Purwadhi, 2001 dalam Iswandi, 2001). Gangguan atmosfer 8

menyebabkan nilai pantulan yang diterima oleh sensor mengalami penyimpangan. Besarnya penyimpangan dipengaruhi oleh besar kecilnya gangguan atmosfer pada saat perekaman. Koreksi ini dimaksudkan untuk menyusun kembali nilai pantulan yang direkam oleh sensor mendekati atau mempunyai pola seperti pantulan obyek yang sebenarnya dengan panjang gelombang perekamannya. 1.8.2.2 Koreksi geometrik Koreksi geometrik merupakan upaya memperbaiki kesalahan perekaman secara geometrik agar citra yang dihasilkan mempunyai sistem koordinat dan skala yang seragam, dan dilakukan dengan cara translasi, rotasi, atau pergeseran skala (Parman, 2010). Terdapat dua macam koreksi geometrik, yaitu: 1. Koreksi geometrik sistematik Kesalahan geometrik sistematik disebabkan karena kesalahan sensor dan diperlukan informasi mengenai sensor dan data ephemeris saat pemotretan untuk mengkoreksinya. Dilakukan pembetulan dan penempatan kembali posisi piksel, sehingga pada citra yang ditransformasi terlihat gambaran objek permukaan bumi yang terekam sensor. Transformasi ini diterapkan pada citra mentah (raw data) dan dapat mengubah bentuk kerangka liputan dari bujur sangkar menjadi jajaran genjang. 2. Koreksi geometrik non-sistematik Kesalahan geometrik non-sistematik disebabkan oleh orbit, perilaku satelit, dan efek rotasi bumi. Diperlukan titik kontrol tanah atau GCP ( Ground Control Point) yang permanen dan tersebar merata untuk mengkoreksinya. GCP adalah suatu lokasi titik di permukaan bumi yang dapat diindentifikasi dengan menyesuaikan koordinat piksel pada citra dengan koordinat objek yang sama pada peta (Jensen, 2004). Dengan GCP, analisis citra memperoleh dua himpunan data lokasi, yaitu koordinat piksel pada citra yang dinyatakan dalam baris dan kolom, serta koordinat 9

peta yang dinyatakan dalam x dan y, dapat berbentuk lintang bujur, maupun dalam satuan meter pada sistem proyeksi tertentu. Berdasarkan titik-titik ini transformasi koordinat dapat diperoleh sehingga citra yang akan dikoreksi dapat dirubah proyeksinya mengikuti sistem proyeksi koordinat referensi. I.8.3 Suhu Permukaan dan Radiasi Benda I.8.3.1.Suhu Permukaan. Suhu permukaan / Land Surface Temperature (LST) adalah suatu indeks rata-rata energi kinetik objek permukaan bumi yang dipantulkan dan terekam oleh sensor satelit (Aguado dan Burt, 2001 dalam Hidayat, 2006). LST dapat pula didefinisikan sebagai suhu/temperatur yang dapat dirasakan tangan atau kulit saat menyentuh permukaan tanah (NASA, 200 0). Suhu permukaan memodulasi suhu udara pada lapisan paling dekat dengan permukaan, penting bagi keseimbangan energi permukaan, membantu menentukan iklim internal bangunan, dan mempengaruhi kenyamanan penduduk kota (Voogt dan Oke, 2003). I.8.3.2.Radiasi Benda Hitam. Ketika objek menyerap energi, suhu objek akan meningkat dan akan meradiasikan Radiasi Elektromagnetik (REM) gelombang panjang ke atmosfer (Lillesland dan Kiefer, 1994). Wahana penginderaan jauh yang dapat mengukur energi yang dikeluarkan objek dan merekamnya dalam nilai digital. Semua zat pada temperatur yang lebih besar dari 0 absolut ( 0 Kelvin, -273.15 o C, atau - 459.69 o F), mengeluarkan REM secara terus menerus. Benda hitam adalah objek yang dapat menyerap dan mengeluarkan REM secara sempurna. Gambar 1.1 memperlihatkan agihan spektral tenaga yang dipancarkan dari permukaan benda hitam mempunyai bentuk serupa dan sesuai dengan Hukum Pergeseran Wien yakni puncak tenaganya tergeser ke arah panjang gelombang yang lebih pendek sesuai dengan kenaikan suhu yang dirumuskan sebagai berikut : 10

=... (1) Keterangan : λm = panjang gelombang pada pancaran maksimum (m) A = konstanta (2898 m o K) T = suhu absolut benda 0 o K Gambar I.1. Agihan spektral tenaga yang dipancarkan oleh benda hitam pada berbagai suhu (Sumber : Lillesland dan Kiefer, 1994) Pancaran radian total yang datang dari permukaan benda hitam pada suatu suhu ditentukan oleh luas di bawah kurva pancaran radian spektralnya (Lillesland dan Kiefer, 1994). Artinya jika satu sensor dapat mengukur pancaran tenaga radiasi dari suatu benda hitam pada semua panjang gelombang, sinyal yang terekam sebanding dengan luas di bawah kurva radiasi benda hitam untuk suhu tertentu. Luas ini dapat dijelaskan secara matematik dengan Hukum Stefan- Boltzmann = ( ) = 4... (2) Dimana : W = pancaran radiantotal, W m -2 σ = tetapan Stefan-Boltzmann, 5.6697 x 10-8 W m -2 K -4 11

T = Suhu benda hitam ( o K) Persamaan (2) menunjukkan bahwa pancaran radian to tal dari permukaan benda hitam berubah menurut pangkat empat suhu absolutnya oleh karena itu maka pengukuran W dari jarak jauh dapat digunakan untuk menduga suhu permukaan T. Pendekatan tak langsung untuk pengukuran suhu inilah yang digunakan di dalam penginderaan thermal. Tenaga pancaran W diukur pada julat panjang gelombang tertentu dan digunakan untuk mendapatkan pancaran permukaan pemancar. I.8.3.3. Radiasi Benda Nyata Semua material nyata hanya memancarkan sebagian kecil tenaga yang dipancarkan oleh benda hitam pada suhu yang sama ( Lilleslasnd dan Kiefer, 1994). Kemampuan pancaran benda nyata bila dibandingkan terhadap benda hitam disebut daya pancar atau emisivitas ( E ). Emisivitas ( E ) merupakan perbandingan antara tenaga pancaran suatu objek pada temperatur tertentu dengan tenaga pancaran benda hitam pada temperatur yang sama. Emisivitas dapat bernilai antara nol sampai dengan satu. Seperti pantulan, daya pancar dapat pula berubah menurut panjang gelombangnya dan sudut pengamatannya. Tergantung pada materialnya, emisivitas dapat juga sedikit berubah sesuai dengan suhu. Nilai emisivitas untuk beberapa obyek dapat dilihat pada tabel I.4. Tabel I.4 Emisivitas (E) beberapa jenis material (Lillesland dan Kiefer, 1994) Jenis Material Emisivitas (E) Jenis Material Emisivitas (E) Kulit manusia 0.98 Tanah kering 0.92 Air suling 0.96 Beton 0.92 Arang 0.95 Semen 0.91 Tanah basah 0.95 Pasir 0.90 12

Kaca 0.94 Kayu 0.90 Cat 0.94 Salju 0.85 Bata 0.93 Emas 0.02 I.8.4 Ekstraksi Suhu Dalam ekstraksi suhu dari citra satelit terdapat beberapa algoritma yang dapt digunakan. Seluruh algoritma tersebut menggunakan masukan/input berupa band thermal dari citra satelit yang digunakan. I.8.4.1 Split Window Algorithm Perolehan suhu dari citra satelit Landsat 8 salah satunya dapat menggunakan metode Split Window Algorithm (SWA). Metode tersebut dikembangkan oleh (Rozenstein, 2014) pada Landsat 8 yang memiliki dua band termal yaitu band 10 dan 11. Penelitian ini sendiri menggunakan SWA sebagai algoritma untuk ekstraksi suhu hal ini dikarenakan SWA menormalisasikan nilai suhu permukaan dari band 10 dan band 11 sehingga diperoleh nilai yang paling baik merepresentasikan kondisi lapangan dibandingkan dengan algoritmaalgoritma lain. Variabel yang digunakan dalam algoritma ini adalah suhu kecerahan dari dua band termal landsat 8 serta emisivitas. Langkah-langkah dalam ekstraksi suhu dari citra Landsat 8 menggunakan metode SWA adalah sebagai berikut. I.8.4.1.1. Mengubah Nilai Digital Piksel Menjadi Nilai Radiansi. Nilai dari Top of Atmospheric (TOA) radiansi spektral merupakan hasil perkalian dari rescalling factor dari band Thermal Infrared (TIR) yang berhubungan dengan band TIR tersebut dan ditambah menambahkan additive factor. Formula untuk mengubah nilai digital (DN) dari piksel-piksel obyek pada citra menjadi nilai radiansi spektral adalah sebagai berikut: = +... (3) 13

Keterangan : L λ = TOA radiance /nilai radiansi (Watts/(m2*srad*µm)) M L = Band-specific multiplicative rescaling factor (radiance_mult_band_10/11) A L = Band-specific additive rescaling factor = DN pada setiap piksel dalam band citra Landsat (DN) Q cal I.8.4.1.2. Mengubah Nilai Radiansi Menjadi Suhu Kecerahan. Suhu kecerahan/ Brightness Temperature (TB) merupakan radiasi gelombang mikro yang bergerak menuju ke lapisan atas atmosfer bumi (Rajeshwari, 2014). Nilai suhu kecerahan ini didapatkan dengan mengubah nilai radiansi menjadi nilai suhu kecerahan. Suhu kecerahan untuk kedua band TIR dihitung dengan persamaan berikut: =... (4) Dimana : T(K) K1 dan K2 Lλ = suhu kecerahan (K) untuk setiap piksel = konstanta kalibrasi = radiansi spektral yang diterima oleh sensor untuk setiap piksel I.8.4.1.3. Mengubah Suhu Kecerahan Menjadi Suhu Permukaan. Proses ini bertujuan untuk mengubah nilai temperatur radian menjadi temperatur pada permukaan tanah yang terkoreksi. Suhu permukaan merupakan suhu obyek sesuai dengan nilai emisivitasnya, yang ditentukan dengan formula : C 10 =...(5) Dimana: ε = nilai emisivitas τ 10 = nilai transmisi atmosferik band 10 (0.987481385) C 11 =...(6) 14

Dimana: ε = citra emisivitas yang telah dibuat sebelumnya τ 11 = nilai transmisi atmosferik band 11 (0.952039976) D 10 = (1 )(1 + (1 10)...(7) D 11 = (1 )(1 + (1 11)...(8) E 0 = D 11 *C 10 D 10 *C 11...(9) E 1 = D 11 *(1-C 10 -D 10 )/E 0...(10) E 2 =D 10 *(1-C 11 -D 11 )/E 0...(11) A= D 10 /E 0...(12) A 0 = E 1 *a 10 +E 2 *a 11...(13) A 1 =1+A+E 1 *b 10...(14) A 2 =A+E 2 *b 11......(15) Persamaan terakhir untuk mendapatkan suhu permukaan adalah sebagi berikut: Ts = A 0 +A 1 *T 10 -A 2 *T 11...(16) Keterangan: Ts = suhu permukaan (K) A 0 = hasil perhitungan langkah 13 A 1 = hasil perhitungan langkah 14 A 2 = hasil perhitungan langkah 15 T 10 = suhu kecerahan band 10 15

T 11 = suhu kecerahan band 11 Hasil akhir dari ekstraksi ini berupa suhu permukaan dalam satuan Kelvin, untuk merubah ke satuan Celcius dapat dihitung dengan suhu permukaan (Kelvin) dikurangi 273 I.8.4.1 Mono Window Algorithm Metode Mono Window Algorith (MWA) merupakan salah satu metode untuk menghasilkan informasi suhu permukaan dari citra Landsat dengan tiga parameter yaitu emisivitas, transmisi dan rata-rata efektif temperatur atmosfer (Qin, 2001). Perbedaan dengan SWA sendiri lebih ke jumlah saluran thermal yang dipakai, dimana pada MWA hanya satu saluran atau band yang dipakai, sedangkan pada SWA menggunakan dua saluran thermal. Analisis sensitifitas dari algoritma ini mengindikasikan bahwa kesalahan yang mungkin terjadi dari emisivitas tanah, dimana sulit untuk di estimasi, mempuyai dampak yang relatif tidak signifikan pada kesalahan yang mungkin terjadi pada penentuan LST, justru dapat mempengaruhi kesalahan transmisi dann suhu rata-rata atmosfer. Validasi lapangan menunjukan bahwa algoritma ini mampu menyajikan data LST yang cukup akurat dari citra landsat. I.8.5 Urban Heat Island Urban Heat Island (UHI) adalah karakteristik panasnya daerah urban dibandingkan dengan daerah non urban (Iswanto, 2008). Secara umum, UHI mengacu pada pertambahan suhu udara, tetapi juga bisa mengacu pada panas relatif permukaan atau material sub permukaan. UHI adalah perubahan iklim akibat ketidakhati-hatian karena modifikasi atmosfer dan permukaan pada daerah urban. UHI mempunyai implikasi penting bagi kenyamanan manusia, polusi udara urban, manajemen energi, dan perencanaan kota. I.8.5.1Sebab-sebab urban heat island. Menurut Voogt (200 3) formasi urban heat island dipengaruhi oleh karakteristik permukaan dan kondisi atmosferik. Tambahan panas langsung 16

kepada atmosfer melalui aktivitas manusia, yang dikenal sebagai panas antropogenik dapat memainkan peran penting dalam pembentukan UHI. Penyebab-penyebab itu secara lebih rinci sebagai berikut. a. Geometri Permukaan. Geometri permukaan berarti penghalangan langit oleh bangunan dan objek-objek lain pada permukaan urban yang diekspresikan sebagai sky view factor. b. Properti termal permukaan. Material bangunan urban adalah penyimpanan panas yang lebih baik. c. Kondisi permukaan. Bangunan urban yang tahan air dan pengaspalan mengurangi evaporasi; energi lebih banyak diarahkan pada panas sensibel yang dapat memanaskan udara daripada panas laten. d. Panas antropogenik. Panas yang dilepaskan oleh energi urban yang digunakan pada bangunan dan kendaraan dan juga dari manusia. e. Efek rumah kaca urban. Atmosfer urban yang terpolusi dan lebih panas mengeluarkan radiasi termal berlebih ke arah bawah menuju permukaan kota. f. Angin dan awan. UHI yang paling kuat dapat diamati ketika langit cerah dan angin tenang. g. Adveksi. Adveksi skala lokal yang dipelopori oleh sirkulasi pulau panas dapat memodifikasi suhu lokal dan kelembaban dan mengubah tingkat pendinginan. Faktor yang paling dominan penyebab dari beberapa faktor diatas adalah panas antropogenik. Pesatnya urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan pembangunan pemukiman dan kawasan industri semakin tinggi pula, akibatnya kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan untuk vegetasi ikut berubah fungsi. Pertumbuhan tersebut juga diikuti pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, sehingga gas buang kendaraan di udara juga semakin tinggi. I.8.5.2 Dampak Urban Heat Island. UHI dapat menimbulkan dampak positif dan negatif bagi kota. Untuk kota beriklim hangat, atau kota iklim temperate pada musim panas, UHI meningkatkan 17

penggunaan energi untuk pendingin udara. Peningkatan permintaan akan energi dapat berbalik meningkatkan emisi gas rumah kaca yang digunakan untuk menyalakan listrik dan mendegradasikan kualitas udara. Pada iklim yang lebih dingin, UHI dapat memberikan efek positif seperti pengurangan penggunaan energi pada musim dingin, mengurangi panjangnya tutupan salju, dan masa tumbuh tanaman yang lebih lama (Iswanto, 2008). I.8.6. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan berkaitan dengan jenis kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu, sedangkan penutup lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesland dan Kiefer, 1979).Penggunaan lahan dapat diselidiki atau dilacak melalui penutup lahan yang dapat dilihat melalui interpretasi foto udara ataupun interpretasi citra satelit (Sutanto, 19 94).Berbeda dengan informasi penutup lahan yang dapat dikenali secara langsung menggunakan penginderaan jauh yang tepat, informasi tentang penggunaan lahan tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutup lahannya. I.8.7. Skema Klasifikasi Skema klasifikasi adalah alur atau tahapan pelaksanaan penggolongan objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan kriteria tertentu (Kartini, 1999). Skema klasifikasi menurut SNI 7645:2010 adalah : Tabel I.5 Skema klasifikasi penggunaan lahan menurut SNI 7645:2010 No. Kelas Penutup Lahan 1 Daerah bervegetasi (vegetated area atau vegetated land) 1.1 Daerah pertanian 1.1.1 Sawah 1.1.2 Ladang, tegal, atau huma 1.1.3 Perkebunan 1.2 Daerah bukan pertanian 1.2.1 Hutan lahan kering 1.2.2 Hutan lahan basah 1.2.3 Semak dan belukar 18

1.2.4 Padang rumput, alang-alang, dan sabana 1.2.5 Rumput rawa 2 Daerah tak bervegetasi 2.1 Lahan terbuka 2.2 Permukiman dan lahan bukan pertanian yanng berkaitan 2.2.1 Lahan terbangun 2.2.1.1 Permukiman 2.2.1.2 Jaringan jalan 2.2.1.2.1 - Jalan arteri 2.2.1.2.2 - Jalan kolektor 2.2.1.3 Jaringan jalan kereta api 2.2.1.4 Bandar udara domestik/internasional 2.2.1.5 Pelabuhan laut 2.2.2 Lahan tidak terbangun 2.3 Perairan 2.3.1 Danau atau waduk 2.3.2 Rawa 2.3.3 Sungai 2.3.4 Anjir pelayaran 2.3.5 Terumbu karang Pada penelitian ini menggunakan skema klasifikasi dengan modifikasi sesuai keadaan objek yang ada di Kota Solo kelas penutup lahan pada level ketiga seperti yang disajikan pada tabel I.6 berikut : Tabel I.6. Pemilihan skema klasifikasi hasil modifikasi No. Level Penutup Lahan Kelas Hasil Modifikasi 1 1.1 Daerah pertanian Daerah Pertanian 2 1.2 Daerah bukan pertanian Daerah non-pertanian 3 2.1 Lahan terbuka Lahan Terbuka 4 2.2 Permukiman dan lahan bukan pertanian yang berkaitan Permukiman dan Lahan Terbangun 5 2.3 Perairan Perairan 19

Modifikasi diatas didasarkan pada kondisi lokasi penelitian yang tidak semua tutupan lahan pada SNI 7645-2010 terdapat di daerah penelitian. Selain itu, resolusi spasial citra sebesar 30x30 meter tidak memungkinkan untuk dilakukan klasifikasi dengan level yang lebih detil. I.8.8. Klasifikasi digital Klasifikasi digital adalah cara yang digunakan untuk mengenali, menentukan letak dan melakukan pengelompokan obyek menjadi kelas-kelas tertentu menggunakan acuan kesamaan nilai spektral tiap piksel (Gonzalez, 1977 dalam Kartini, 1999). Menurut Danoedoro (2012), klasifikasi citra multispektral dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan tingkat otomasinya, yaitu klasifikasi terkontrol ( supervised classification) dan klasifikasi tidak terkontrol (unsupervised classfication). Penelitian ini menggunakan jenis klasifikasi terkontrol dimana kelas objek dibagi berdasarkan nilai piksel sampel dari tiap kelas. I.8.8.1. Klasifikasi maximum likelihood. Menurut Lillesand (1994) klasifikasi maximum likelihoo d merupakan metode klasifikasi yang mengevaluasi secara kuantitatif varian maupun korelasi pola tanggapan spektral kategori ketika mengklasifikasi pixel yang tidak dikenal. Algoritma maximum likelihood secara statistik dikatakan sebagai algoritma yang paling mapan karena mendasarkan perhitungan kemiripan setiap piksel dengan asumsi bahwa objek homogen selalu menghasilkanhistograam yang terdistribusi normal. Piksel diklasifikasikan sebagai kelas tertentu bukan karena jarak eklidiannya, melainkan karena bentuk, ukuran, dan orientasi sampel berupa elipsoida. Ukuran elipsoida ditentukan oleh variasi pada tiap saluran, sedangkan bentuk dan orientasi elipsoida ditentukan oleh kovariannya (Danoedoro, 2012). Persamaan yang digunakan dalam algoritma ini ialah : = {0.5 ln(det )} {0.5 ( ) ( )}... (17) 20

Maka piksel yang bersangkutan termasuk kelas c. Keterangan : Pc = jarak suatu kelas tertentu yang diberi bobot c = suatu kelas tertentu X = vektor piksel yang diklasifikasi µc = vektor rerata sampel kelas c Vc = matriks kovarian piksel-piksel pada sampel kelas c I.8.9. Uji ketelitian klasifikasi Sangat penting mengetahui ketelitian hasil klasifikasi sebelum hasil klasifikasi tersebut dianalisis lebih lanjut (Sutanto, 1994). Ketelitian hasil klasifikasi menentukan apakah hasil klasifikasi digital sesuai dengan kondisi daerah sebenarnya. Uji ketelitian membutuhkan data sumber untuk untuk membandingkan hasil klasifikasi. Menurut Sutanto (1994) metode uji ketelitian klasifikasi dapat menggunakan point sampling accuracy dengan tahapan sebagi berikut : 1. Melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik uji yang dipilih dari setiap kelas objek. 2. Menilai kecocokan hasil klasifikasi dengan kondisi sebenarnya di lapangan. 3. Membuat matrik perhitungan setiap kesalahan (confusion matrix) pada kelas objek hasil klasifikasi sehingga diketahui tingkat ketelitiannya. Ketelitian analisis dibuat dalam beberapa kelas X yang dihitung dengan rumus (Short dan Nicholas, 1982) : = 100%... (18) Keterangan : MA Xcr Xo = ketelitian klasifikasi (Map Accuracy) = jumlah piksel kelas yang benar (Correct) = jumlah piksel kelas X yang masuk kelas lain (Ommision) 21

Xco = jumlah piksel kelas X tambahan dari kelas lain (Commision) Akurasi hasil identifikasi diuji menggunakan tabel matrik konfusi (confusionmatriks). Tabel matrik konfusi merupakan derivasi dari penjumlahan omisi, komisi,dan keseluruhan penelitian pemetaan (Short dan Nicholas, 1982). Omisi adalahjumlah kesalahan interpretasi dari objek X dibagi jumlah seluruh objek yangdiinterpretasi. Komisi adalah jumlah objek lain yang diinterpretasikan sebagai objekx dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi. Tabel tersebut juga memberikaninformasi nilai akurasi keseluruhan ( overall accuracy) masingmasing kelas. Nilai overall accuracy minimal untuk memenuhi syarat batas penentuan hasil klasifikasiditerima atau tidak adalah 85% (Short dan Nicholas, 1982). Overall accuracy menunjukkan banyaknya jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar pada tiapkelas dibanding jumlah sampel yang digunakan untuk uji akurasi pada semua kelas.rumus untuk menghitung overall accuracy, dinyatakan sebagai berikut : = 100%... (19) Keterangan : Σ diagonal N = banyaknya jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar pada tiap kelas = jumlah sampel yang digunakan untuk uji akurasi pada semua kelas I.8.10. Density Slicing Density slicing merupakan suatu teknik operasi yang berasumsi bahwa tiap obyek pada citra dengan saluran tertentu memiliki rentang kecerahan tertentu yang dapat dipilah dalam kelas interval yang menggambarkan kenampakan obyek secara umum (Widiastuti, 2013). Tiap interval diberi warna penanda yang unik dan berbeda dengan interval lain agar terlihat jelas perbedaannya. Syarat utama density slicing adalah adanya rentanng nilai tiap obyek, rentang ini menentukan hasil klasifikasi dan menghasilkan color mapping. Nilai kecerahan obyek pada 22

citra tidak akan berubah masih tetap seperti semula, teknik ini hanya merepresentasikan nilai kecerahan tersebut kedalam warna berbeda. Nilai kecerahan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah informasi suhu yang terdapat pada tiap piksel pada citra thermal. I.9. Hipotesis Berdasarkan dasar teori dan tinjauan pustaka, maka hipotesis dari penelitin ini adalah tipee tutupan lahan berupa lahan terbangun akan mempunyai suhu permukaan tertinggi di Kota Solo, sehingga pola sebaran suhu tertinggi atau Urban Heat Island akan menyebar di pusat kota di sebelah tenggara dan utara dimana pada lokasi tersebut pembangunan fisik (lahan terbangun) paling tinggi di Kota Solo. 23