LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN DOSEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN DOSEN"

Transkripsi

1 LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN DOSEN ANALISIS TRANSFORMASI CITRA DAN PENGGUNAAN/PENUTUP LAHAN TERHADAP URBAN HEAT ISLAND BERBASIS CITRA PENGINDERAAN JAUH ISWARI NUR HIDAYATI Laboratorium Penginderaan Jauh Dasar Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh Jurusan Sains Informasi Geografis dan Pembangunan Wilayah Dibiayai dari Dana Penerimaan Bukan Pajak, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Tahun Anggaran 2013 UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS GEOGRAFI 2013

2 DAFTAR ISI Intisari... 1 I. Pendahuluan... 1 II. Studi Pustaka Penginderaan Jauh Satelit Landsat 5 TM Iklim Mikro Pulau Bahang Perkotaan Transformasi Indeks Vegetasi Transformasi Indeks Lahan Terbangun Penelitian Sebelumnya... 9 III. Tujuan Penelitian IV. Metode Penelitian A. Bahan dan Alat Penelitian B. Tahapan Penelitian V. Hasil dan Pembahasan VI. Kesimpulan VII. Jadwal Penelitian VIII. Output Penelitian iii

3 ANALISIS TRANSFORMASI CITRA DAN PENGGUNAAN/PENUTUP LAHAN TERHADAP URBAN HEAT ISLAND BERBASIS CITRA PENGINDERAAN JAUH INTISARI Fenonema perubahan iklim menjadi iso global akhir-akhir ini, salah satunya adalah fenomena Pulau Bahang (Urban Heat Island) yang sering dikenal dengan nama UHI. Fenomena ini tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya permukaan perkotaan, seperti aspal, perkerasaan, atap dan dinding. Kedua, vegetasi yang sedikit dalam wilayah perkotaan seperti pepohonan dan semakbelukar ikut menyumbang terjadinya efek UHI. Pepohonan dapat membuat udara sekitar menjadi lebih dingin melalui evapotranspirasi. Ketiga, UHI juga dipengaruhi oleh kelembaban yang minim karena banyaknya area perkerasan pada daerah perkotaan, aliran permukaan terjadi dengan begitu cepat yang dapat mengurangi efek pendinginan dari penguapan. Tujuan dari penelitian ini adalah (a) untuk mengetahu persebaran dan trend perkembangan temperature (suhu) dari TM Landsat / ETM + band thermal untuk periode 1992 dan 2009; (b) untuk mengetahui pola spasial penggunaan lahan pada tahun 1992 dan 2009; (c) untuk mengkaji hubungan antara suhu kecerahan dan penggunaan/tutupan lahan (Land Use/Cover Pattern - LUCP). Fenomena UHI ini dapat diteliti menggunakan pendekatan data penginderaan jauh melalui beberapa ekstraksi yaitu pemanfaatan dari NDVI, NDWI dan NDBI bisa mewakili tutupan lahan jenis kuantitatif sehingga hubungan antara indeks yang berbeda, seperti NDVI, NDWI, NDBI, dan suhu dapat dibentuk dalam studi UHI. Kata Kunci : urban heat island, NDVI, NDBI I. PENDAHULUAN Pada beberapa tahun terakhir, kegiatan urbanisasi semakin meningkat, tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan berdampak dengan penambahan penduduk di daerah kota, dan akan membawa beberapa perubahan, seperti perubahan penggunaan lahan menjadi lahan-lahan terbangun atau permukaan yang sulit berevaporasi. Perubahan seperti ini akan membawa perubahan dalam suhu udara rata-rata di kota, dimana berkurangnya vegetasi yang tergantikan oleh lahan-lahan terbangun akan memicu kontrasnya radiansi permukaan dan suhu udara di daerah kota jika dibandingkan dengan daerah desa (Weng, 2004). Dalam kasus seperti ini, perbedaan suhu udara yang berbeda antara daerah kota dan desa disebut dengan efek Urban Heat Island (UHI). 1

4 Studi mengenai Land Surface ini banyak yang mengambil kasus di kota-kota besar dan kota metropolitan lainnya. Pernyataan ini bukan berarti bahwa Urban Heat Island ini tidak terjadi di kota-kota besar atau kota-kota metropolitan saja, namun Urban Heat Island ini bisa juga terjadi di kota-kota kecil lainnya. Namun kota-kota besar dan kota-kota metropolitan itu memiliki perubahan penggunaan lahan yang lebih sering terjadi dan perubahan suhunya juga lebih besar daripada di kota-kota kecil lainnya. Semua kota apapun ukurannya membentuk iklim tersendiri berbeda dengan iklim makro regional di mana kota itu berada, meskipun karakteristik iklim mikro urban tergantung pada iklim lebih besar (Kopec, 1970). Urban heat island (UHI) telah lama menjadi perhatian bagi lebih dari 40 tahun. Karakteristik dari efek UHI telah dipelajari secara ekstensif. Misalnya, Deosthali (2000) menemukan bahwa pada malam hari, inti kota muncul baik sebagai panas dan kelembaban pulau sedangkan pada saat matahari terbit sebagai panas dan pulau-pulau kering. Saaroni et al. (2000) mengadopsi metode baru untuk monitoring gabungan antara UHI dari skala yang berbeda, yang memungkinkan penilaian spasial kota UHI dan karakteristik yang beragam cakupan termal. Rao (1972) adalah orang pertama yang menunjukkan bahwa daerah perkotaan dapat diidentifikasi dari analisis data inframerah termal dengan menggunakan citra satelit penginderaan jauh. Studi pada fenomena UHI dengan pendekatan penggunaan lahan menggunakan pendekatan Land Surface Temperature (LST) dengan menggunakan citra NOAA AVHRR pada daerah perkotaan (Gallo & Owen, 1998a, b, Streutker, 2002, 2003). Baru-baru ini, Landsat Thermatic Mapper (TM) dan Enhanced Thermatic Mapper Plus (ETM +) dan citra inframerah termal (TIR) juga telah dimanfaatkan untuk penelitian tentang UHI (Chen, Wang, & Li, 2002; Weng, 2001). Hawkins et al. (2004) mempelajari pengaruh variabilitas pedesaan dalam menghitung efek pulau panas perkotaan. Studi kualitatif tentang hubungan antara penggunaan lahan/tutupan pola (LUCP) dan LST akan membantu dalam proses perencanaan penggunaan lahan. Hal ini diketahui bahwa indeks vegetasi yang diperoleh dari berbagai penginderaan jauh dapat digunakan dalam penilaian tutupan vegetasi baik secara kualitatif dan kuantitatif (Tian & Xiangjun, 1998). Hubungan antara indeks vegetasi berbagai tutupan vegetasi telah dibentuk dengan menggunakan analisis regresi (Purevdorj, Tateishi, Ishiyama, & Honda, 1998), seperti Ratio Vegetation Index 2

5 (RVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Difference Vegetation Index (DVI) dan Perpendicular Vegetasi Index (PVI). NDVI telah digunakan untuk estimasi produktivitas vegetasi dan curah hujan pada daerah semi kering (Chen et al, 2004;.. Wang et al, 2004), sedangkan Normalized Difference Water Index (NDWI) dapat digunakan untuk penentuan Vegetation Water Content (VWC) berdasarkan karakteristik fisik yang ada (Gao, 1996). Zha, Gao, dan Ni (2003) mengembangkan Normalized Difference Built-up Index (NDBI) untuk mengidentifikasi daerah perkotaan dan lahan terbangun. Ada kemungkinan bahwa pemanfaatan dari NDVI, NDWI dan NDBI bisa mewakili tutupan lahan jenis kuantitatif sehingga hubungan antara indeks yang berbeda, seperti NDVI, NDWI, NDBI, dan suhu dapat dibentuk dalam studi UHI. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat diketahui bahwa beberaoa transformasi seperti NDVI, PVI, NDWI, NDBI, dapat digunakan untuk melakukan ekstraksi penggunaan lahan atau ekstraksi data lainnya untuk menurunkan informasi yang berbeda sehingga dapat digunakan sebagai analisis untuk urban heat island. Proses ekstraksi menggunakan data multitemporal sehingga dapat diketahui trend dari perkembangan UHI tersebut. Salah satu data penginderaan jauh yang mampu memberikan data termal adalah data Landsat, dimana di satelit yang digunakan terdapat sensor termal dengan resolusi spasial 30 m untuk Landsat 5 TM. Dari data termal ini dapat diolah untuk menghasilkan Land Surface Temperature (LST) dengan menggunakan perhitungan nilai radiansi untuk menghasilkan nilai suhu permukaan. II. STUDI PUSTAKA - Penginderaan Jauh Satelit Landsat 5 TM Karakteristik spasial ditandai dengan resolusi spasial yang digunakan sensor untuk mendeteksi obyek. Resolusi spasial adalah daya pilah sensor yang diperlukan untuk bisa membedakan obyek-obyek yang ada dipermukaan bumi. Istilah lain yang umum digunakan untuk resolusi spasial adalah medan pandang sesaat (Intantenous Field of View /IFOV). 3

6 Tabel 1. Tabel IFOV pada masing-masing saluran. No Saluran IFOV 1 5,7 30 m x 30 m 6 60 m Karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan untuk mendeteksi obyek-obyek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit julat (range) panjang gelombang yang digunakan maka, semakin tinggi kemampuan sensor itu dalam membedakan obyek. Tabel 2.Tabel nama gelombang dan range panjang gelombang pada masingmasing-masing saluran. No Saluran Nama Gelombang Range Panjang gelombang (µm) 1 Biru 0,45 0,52 2 Hijau 0,53 0,61 3 Merah 0,63 0,69 4 Inframerah dekat 0,78 0,90 5 Inframerah Gelombang pendek 1,55 1,75 6 Inframerah Tengah 10,4-12,5 7 Inframerah Gelombang pendek 2,09 2,35 Landsat 5 merupakan satelit dengan orbit yang selaras matahari (sun synchronous), dan melintas di ekuator pada waktu lokal pukul pagi. Landsat TM memiliki kemampuan meliput scenes yang sama (revisit oppotunity) setiap 16 hari. Sistem pada Landsat 5 dirancang untuk mengumpulkan energi pantulan yang dilakukan oleh saluran 1 5, 7 (6 saluran) dan energi pancaran yang dilakukan oleh saluran 6 (1 saluran). Sensor Landsat akan mengkonversi energi pantulan matahari yang diterimanya menjadi satuan radiansi. Radiansi adalah flux energi per satu satuan sudut ruang yang meninggalkan satu satuan area permukaan, pada arah tertentu. Radiansi ini terkait erat dengan kecerahan pada arah tertentu terhadap sensor. Radiansi adalah sesuatu yang diukur oleh sensor dan agak terkait dengan pantulan. Nilai radiansi kemudian dikuantifikasi menjadi nilai kecerahan (brighness value) citra yang tersimpan dalam format digital. Produk keluaran satelit Landsat 5 dibagi menjadi 3 level produk yaitu: 4

7 Tabel 3. Tabel karakteristik level Landsat 7 ETM + No Saluran 0R 1R 1G Nama Gelombang Level ini dapat dikatakan sebagai data mentahnya landsat 7, dimana dalam data Landsat belum mengalami koreksi radiometric maupun koreksi geometrik Produk pada level ini adalah level 0-R yang mengalami koreksi radiometric Produk pada level ini adalah level 1-R yang telah mengalami koreksi geometri pada proyeksi tertentu. Terdapat 7 pilihan proyeksi yang digunakan yaitu: - UTM - Lambert Conformal Conic - Polyconic - Transverse Mercator - Polar Stereografik - Hotine Oblique Mercator A - Space Oblique Mercator - Iklim Mikro Iklim adalah jalannya keadaan cuaca atau keseluruhan dari gejala gejala cuaca di daerah tertentu sepanjang tahun dari tahun ke tahun. Iklim suatu tempat atau daerah ditentukan oleh sejumlah unsur iklim seperti suhu, lengas udara, curah hujan, kecepatan angin, lama penyinaran matahari dan sebagainya. Sebenarnya unsur unsur iklim tadi tidak lain dari hasil interaksi antara sejumlah faktor iklim yaitu penyebab penyebab yang menentukan corak iklim seperti, lintang tempat, arah angin, jauh dekatnya dari pantai, relief, tipe tanah, tumbuhan atau vegetasi (Daldjoeni, 1986). Menurut Daldjoeni (1986) mikroklimatologi adalah cabang dari klimatologi yang meempelajari iklim dari daerah yang sangat terbatas atau sempit karena berhubungan dengan tanaman. Datanya diambil dari udara setinggi 1,5 meter di atas permukaan tanah. Iklim mikro dapat diartikan iklim dari lapisan lapisan udara yang terendah, akan tetapi dapat juga diartikan iklim dari wilayah yang sempit seperti hutan, kota, desa, rawa dan sebagainya. Antara temperatur dan iklim terdapat hubungan yang cukup erat, hingga terdapat klasifikasi iklim berdasar temperatur (climate classification based on temperature) yang tercantum dalam Marbun (1979), yaitu : a. Winterless Climates of Low Lattitudes Iklim tropik atau iklim khatulistiwa dimana tidak terdapat musim dingin (winter). Batasnya di utara dan selatan equator ialah isoterm 18 C pada bulan 5

8 bulan yang terdingin, artinya bulan terdingin tiap tahun tidak pernah temperatur lebih rendah dari 18 C. b. Middle Lattitude Climates Iklim sedang dimana terdapat musim panas (summer) dan musim dingin (winter). c. Summerless Climates of High Lattitudes Iklim dingin atau iklim kutub. Tidak terdapat lagi musim panas (summer). Daerah iklim ini terdapat masing masing di daerah kutub utara dan selatan. Batasnya isoterm 10 C pada bulan bulan yang terpanas, artinya pada bulan yang terpanas setiap tahunnya tidak pernah mencapai tempeartur lebih tinggi dari 10 C. Isoterm 10 C dari bulan bulan terpanas kira kira bertapatan dengan batas pohon paling utara. - Pulau Bahang Perkotaan (Urban Heat Island) Urban Heat Island (UHI) atau Pulau Bahang adalah suatu fenomena dimana daerah perkotaan memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. UHI ini ibarat sebagai kubah raksasa yang memerangkapkan panas pada suatu kota. Pemakaian AC serta alat-alat listrik lain untuk mendinginkan suhu dalam ruangan, sesungguhnya menjadi salah satu faktor pembentuk UHI. Kubah raksasa ini terbentuk dari beberapa elemen yang terdapat di dalam kota tersebut. Permukaan kota yang terdiri dari aspal dan beton umumnya lebih panas pada siang hari dibandingkan dengan daerah yang bervegetasi. Permukaan buatan manusia ini sangat efisien untuk menyimpan energi surya, mengubahnya menjadi energi panas, dan melepaskannya pada malam hari, menciptakan suatu wilayah dengan udara yang panas di sekitar kota yang dikenal sebagai heat island (pulau bahang). Perbedaan suhu udara antara daerah yang terkena urban heat island (UHI) dan daerah yang bervegetasi dapat mencapai 6 o C. Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya UHI pada daerah perkotaan diantaranya berupa derajat panas bahan bangunan, tinggi dan jarak antar bangunan, serta tingkat polusi udara. Pada siang hari faktor-faktor ini dapat menyebabkan lebih besar energi matahari yang ditangkap, diserap, dan disimpan pada permukaan kota dibandingkan dengan permukaan desa. Sedangkan pada malam hari, energi yang 6

9 dilepaskan lebih sedikit, sehingga menghasilkan suhu udara yang lebih tinggi di perkotaan. Gambar 2.1. Sketsa Profil Urban Heat Island (Sumber : Cox, 2005) Heat island terjadi pada kawasan dengan persentase yang tinggi akan material yang menyerap cahaya (non-reflective), permukaan yang bersifat tidak mampu menyerap air dan vegetasi yang minim, serta permukaan yang memerangkap kelembaban. Secara lebih jelas UHI umumnya terjadi karena tiga hal utama. Pertama, UHI diakibatkan dari permukaan perkotaan, seperti aspal, perkerasaan, atap dan dinding. Permukaan ini memiliki albedo yang kecil dan menyerap lebih banyak radiasi surya yang datang, serta meradiasikan kembali berupa sinar panas inframerah. Ini umumnya dapat terjadi pada malam hari, sehingga kota tetap berada pada kondisi hangat dibandingkan dengan daerah pinggiran walaupun tanpa penyinaran matahari. Miller (1986) mengatakan bahwa bangunan beton dan aspal menyerap panas sepanjang hari dan melepaskannya secara lambat pada malam harinya. Sedangkan pada vegetasi (Curran 1985 dalam Sutanto 1987) menyatakan bahwa suhu harian vegetasi variansinya lebih kecil daripada bangunan beton, karena pada siang hari vegetasi menyerap sinar matahari dalam jumlah besar, akan tetapi karena adanya transpirasi yang cukup tinggi maka pada siang hari terjadi pendinginan, tingginya transpirasi dapat mengurangi suhunya pada siang hari. Keberadaan vegetasi dalam jumlah banyak tidaklah mungkin pada daerah urban, melainkan pada daerah rural. Sementara daerah urban tentunya memiliki suhu lebih tinggi akibat kepadatan bangunan berstruktur material beton dan jalan 7

10 beraspal sebagai wujud kontribusi kota ntuk menyediakan kelayakan infrastruktur. Perbedaan suhu antara daerah urban dan rural yang cukup tajam ini membentuk suatu perbedaan bahang (panas), fenomena ini dikenal sebagai pulau bahang perkotaan atau Urban Heat Island (UHI) dicirikan seperti pulau udara permukaan panas yang terpusat di area urban dan akan akan semakin turun temperaturnya di daerah sekelilingnya pada daerah suburban / rural (Tursilowati, 2008). Kedua, vegetasi yang sedikit dalam wilayah perkotaan seperti pepohonan dan semak-belukar ikut menyumbang terjadinya efek UHI. Pepohonan dapat membuat udara sekitar menjadi lebih dingin melalui evapotranspirasi. Ketiga, UHI juga dipengaruhi oleh kelembaban yang minim karena banyaknya area perkerasan pada daerah perkotaan, aliran permukaan terjadi dengan begitu cepat yang dapat mengurangi efek pendinginan dari penguapan. Fenomena pulau bahang perkotaan ini masih bersifat holistik, karena menurut Voogt (2004) sebenarnya fenomena ini dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu : a) canopy layer heat island (CLHI); b) boundary layer heat island (BLHI); dan c) surface heat island (SHI) Untuk melihat apakah suatu kota mengalami fenomena ini, terdapat pendekatan dalam meneliti keberadaannya, antara lain : a) Penurunan suhu udara di daearah sub urban / rural; b) Panas matahari mengingkatkan suhu permukaan; dan c) Permukaan yang kering dan gelap menyerap banyak sinar matahari. Keberadaan UHI di perkotaan yang jumlahnya setiap tahun makin meningkat di beberapa kota dan nilai perbedaan bahang semakin meningkat antara daerah urban dan sub urban / rural, dapat menyebabkan beberapa efek. Menurut beberapa peneliti terdapat beberapa faktor yang meingkatkan panas perkotaan (Zoer aini, 2004), yaitu : a) Bahan penutup permukaan; b) Bentuk dan orientasi permukaan; c) Sumber kalor; d) Sumber kelembaban; e) Kualitas udara; dan 8

11 f) Sumber panas maksimum. - Transformasi Indeks Vegetasi Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra (multi saluran), untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkait dengan kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil, dan sebagainya (Danoedoro, 1996). Pada daerah bervegetasi, bagian dari spektrum inframerah dipantulkan oleh daun dan pantulannya diterima oleh sensor. Sedangkan pada spektrum merah diserap oleh klorofil sehingga mengurangi pantulan cahaya merah yang terdeteksi oleh sensor. Perbedaan pantulan yang kontras tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi adanya vegetasi. - Transformasi Indeks Lahan Terbangun NDBI yang disebut juga Normalized Difference Built-up (Barren) Index. Indeks lahan terbangun (built-up) merupakan suatu algoritma untuk menunjukkan kerapatan lahan terbangun/barren soil. (Friedl dan Brodley, 1997). NDBI sangat sensitif terhadap lahan terbangun atau lahan terbuka. Algoritma ini menggunakan band 5 jika pada Landsat 7 ETM+ untuk menonjolkan kandungan kelembaban pada berbagai penggunaan tanah atau identifikasi terhadap tanah dan bangunan, dan band 4 sangat sensitif mendeteksi vegetasi, sedangkan untuk reflektansi untuk lahan terbuka dan lahan terbangun sangat rendah. Penelitian sebelumnya Khomarudin dalam Mendeteksi Pulau Panas (Heat Island) dengan Data Satelit Penginderaan Jauh, bertujuan untuk mengetahui apakah sebenarnya pulau panas, bagaimana cara mendeteksi pulau panas dan bagaimana pengaruh pulau panas terhadap kehidupan. Penelitian ini dapat bermanfaat dalam perencanaan perkotaan dan desain iklim mikro perkotaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa selain menggunakan data stasiun klimatologi, teknologi penginderaan jauh satelit akan banyak membantu dalam pendeteksian pulau panas. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pengaruh pulau panas memberikan banyak dampak negatif, sehingga diperlukan suatu pengembangan perkotaan 9

12 yang berwawasan lingkungan dengan rimbunan vegetasi yang hijau, sehingga dapat meminimalkan dampak negatif yang muncul. Mallick, dkk (2008) dalam Estimation of land surface temperature over Delhi using Landsat-7 ETM+ menunjukkan distribusi spasial suhu permukaan dari citra Landsat-7 ETM+ yang memperlihatkan suhu yang tinggi pada bagian barat dan selatan-barat yang sebagian besar terdapat pada tanah kosong atau lahan terbuka. Suhu permukaan yang tinggi juga terlihat pada penggunaan lahan industri atau komersial. Nilai suhu permukaan yang rendah dapat terlihat pada penggunaan lahan pertanian, hutan atau vegetasi kerapatan tinggi, hal ini menunjukkan bahwa vegetasi memberikan dampak yang cukup kuat dalam mempengaruhi suhu permukaan. Penelitian ini membandingkan hasil estimasi nilai suhu permukaan dari data satelit dengan hasil pengukuran lapangan (dengan menggunakan data yang memiliki waktu dan periode musim yang sama) dimana hasil yang didapatkan menunjukkan nilai yang sesuai dengan error sekitar 4 C. Murphy, dkk dalam The Relation between Land-cover and The Urban Heat Island in Northeastern Puerto Rico menunjukkan berdasarkan fixed-station dan pengukuran lapangan data yang didapatkan menunjukkan intensitas UHI yang tinggi pada malam hari. Area hutan merupakan satu-satunya area yang dapat mengurangi pemanasan yang ada dikarenakan tutupan kanopi. Efek ini terjadi karena pengurangan panas laten melalui pengembunan di dalam kanopi dan tanah. Semak belukar juga menunjukkan pemanasan yang signifikan pada siang hari, namun juga menunjukkan pendinginan pada malam hari. Oleh karena itu, upaya manusia untuk mengurangi UHI perlu difokuskan dengan cara mempertahankan tutupan kanopi untuk mengurangi efek UHI. Tursilowati (2008) dalam Urban Heat Island dan Kontribusinya pada Perubahan Iklim dan Hubungannya dengan Perubahan Lahan menemukan bahwa daerah penyebaran Urban Heat Island terletak di pusat kota Bandung dan Surabaya. Urban Heat Island di pusat Kota Bandung (2001) maupun Surabaya (2002) semakin melebar dibandingkan dengan tahun Tingginya laju urbanisasi yang ditandai dengan meningkatnya lahan terbangun (pemukiman dan industri) menjadi salah satu penyebab meluasnya Urban Heat Island yaitu bertambah luasnya area yang bersuhu tinggi (diatas 30 C). 10

13 III. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui persebaran dan trend perkembangan temperature (suhu) dari TM Landsat / ETM + band thermal untuk periode 1992 dan Untuk mengetahui pola spasial penggunaan lahan pada tahun 1992 dan Untuk mengkaji hubungan antara suhu kecerahan dan penggunaan/tutupan lahan (Land Use/Cover Pattern - LUCP) IV. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif, dengan menggunakan pemanfaatan penginderaan jauh, baik dari data maupun pengolahannya.data berupa data citra satelit dari sensor termal untuk mendeteksi suhu permukaan, dan data citra multispektral untuk identifikasi indeks densitas bangunan dengan Normalized Difference Built Up Index (NDBI), indeks densitas vegetasi (NDVI), dan penutup/penggunaan lahan. Untuk penentuan hubungan dari NDBI, NDVI, dan penutup/penggunaan lahan terhadap suhu permukaan dan UHI menggunakan informasi hasil pengolahan dan cek lapangan. A. Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Citra Landsat 5 TM Full Band dengan tahun perekaman 1992, dan Peta RBI Kota Yogyakarta skala 1 : Citra Quickbird Kota Yogyakarta Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Perangkat Keras : Seperangkat komputer Perangkat Lunak : Software Sistem Informasi Geografi untuk pengolahan data dan penyusunan hasil akhir, Software pengolahan citra digital untuk pengolahan citra digital, Software statistik untuk pengolahan data statistik. Alat kerja lapangan : 11

14 - GPS receiver - Termometer inframerah - Kamera digital - Alat tulis - Daftar cek lapangan - Meteran B. Tahapan Penelitian Pra Lapangan (Pemrosesan Data) Noise Reduction diperlukan untuk pengolahan data penginderaan jauh, terutama untuk band inframerah termal (TIR). Noise dapat mempengaruhi pengambilan suhu kecerahan (LST). Ada kebisingan berkala (misalnya, garisgaris di TM/band6) dan non-periodik kebisingan (misalnya, Speckles). Dalam penelitian ini, self-adaptif filter method yang digunakan untuk menghapus nonperiodik kebisingan dan Fast Fourier Transform (FFT) metode yang digunakan untuk secara otomatis menghapus kebisingan berkala. Kedua penghapusan periodik dan non-periodik Untuk menganalisis perubahan suhu dan LUCP di daerah penelitian, maka diperlukan analisis multitemporal dengan menyamakan koordinat masing-masing citra dengan menggunakan koreksi geometric dengan menyamakan system proyeksi yang digunakan. Pengolahan untuk pembuatan brightness temperature dari Landsat 5 TM Data termal yang diperoleh masih berupa nilai digital (Digital Number / DN), sehingga harus dikonversi dalam nilai radian. Nilai radian sendiri besarnya merupakan nilai radiasi (pancaran) energi yang dipancarkan benda kemudian terekam dalam sensor satelit. Chen (2002) melakukan penelitian untuk menurunkan data brightness temperature menggunakan dua langkah yaitu dengan cara melakukan konversi digital number dari band 6 ke nilai radiance dengan menggunakan formula sebagai berikut: R = (R R ) + R.(1) Dimana : V = nilai piksel Rmax = (mw*cm -2 *sr -1 ) Rmin = (mw*cm -2 *sr -1 ) 12

15 Kemudian hasil tersebut di atas dikonversi ke dalam temperature (Kelvin) dengan rumus di bawah ini: T = Dimana : K1..(2) = K K2 = (mw*cm -2 *sr -1 µm -1 ) b = range nilai spectral effectif (1.239 µm) Terjadi perubahan formula untuk mengubah nilai digital number (DN) menjadi nilai suhu permukaan dikarenakan ketidaksesuaian formula tersebut untuk citra yang digunakan. Nilai suhu tahun 1992 dan 2009 diperoleh dari ekstraksi citra landsat 5 berdasarkan penelitian Charder dan Markham, 2003 menggunakan transformasi untuk mengkonversi nilai digital number (DN) menjadi nilai randian berdasarkan formula sebagai berikut: L = Lmax Lmin Q Q + Lmin Dimana: L = spectral radiance (watts/(m 2 *ster*µm) Lmax Lmin = spectral radiance that is scaled to Qcalmax(watts/(m 2 *ster*µm) = spectral radiance that is scaled to Qcalmin (watts/(m 2 *ster*µm) Q = maximum quantized calibrated pixel (DN=255) Q = maximum quantized calibrated pixel (DN=0) Dan nilai radian diubah menjadi nilai surface temperature berdasarkan formula sebagai berikut T = Dimana: T = brightness temperature (K); L K1 = (watts/(m 2 *ster*µm) K2 = (Kelvin) = spectral radiance (watts/(m 2 *ster*µm) K2 ln ( K1 Lτ + 1) Pengolahan untuk pembuatan brightness temperature dari Landsat 7 ETM+ Penurunan informasi untuk brightness temperature dari Landsar 7 ini adalah berdasarkan Landsat 7 user s handbook dengan beberapa langkah di bawah ini 13

16 berikut: Nilai piksel band 6 dikonversi menjadi radiance dengan formula sebagai Radiance = gain DN + offset....(3) Atau bisa menggunakan formula di bawah ini: Radiance = (QCAL QCALMIN) + LMIN.. (4) Dimana nilai gain dan offset diambil dari header file, QCALMIN = 1, QCALMAX = 255, QCAL = DN, dan LMAX dan LMIN juga diambil dari header file yang merupakan pola pantulan spectral dari digital number 1 dan 255. Kemudian dari hasil tersebut di atas kemudian dirubah menjadi nilai emisivitas dengan rumus di bawah ini: T = ( )..(5) Dimana: T K1 K2 L = brightness temperature (K); = (watts/(m 2 *ster*µm) = (Kelvin) = spectral radiance (watts/(m 2 *ster*µm) Penelitian kali ini tidak menggunakan data Landsat 7 ETM+ yang sudah direncanakan sebelumnya. Citra Landsat ETM+ tahun perekaman 2002 yang sudah diolah berdasarkan formula diatas mengalami perbedaan rentang nilai suhu dengan pengolahan citra Landsat 5 TM, sehingga nilai suhu yang diperoleh tidak dapat dilihat korelasi antara Landsat 5 dan 7. Akhirnya penelitian ini hanya membandingkan citra Landsat 5 TM tahun perekaman 1992 dan Transformasi NDVI, NDWI, NDBI, dan NDBaI dari landsat 5 TM Transformasi indeks vegetasi yang digunakan kali ini menggunakan NDVI (Normal Difference Index Vegetation). Transformasi ini dipilih dengan alasan dipandang cukup mapan dibandingkan transformasi vegetasi lainnya. Selain itu transformasi ini juga telah banyak digunakan dalam berbagi aplikasi penginderaan jauh. Untuk penggunaan data Landsat 5 TM, persamaan yang digunakan adalah : NDVI = ( ) ( ) ( ) ( )......(6) 14

17 Transformasi NDWI digunakan untuk melakukan ekstraksi data penginderaan jauh agar mendapatkan vegetasi yang mempunyai kandungan air dan tidak dengan menggunakan formula sebagai berikut: NDWI = ( ) ( ) ( ) ( ).. (7) Transformasi indeks lahan terbangun pada penelitian kali ini menggunakan persamaan NDBI (Normal Deifference Built-Up Index). Transformasi ini dipilih karena merupakan salah satu transformasi yang sudah sering digunakan untuk mengetahui indeks lahan terbangun. Untuk persamaan pada Landsat 5 TM adalah sebagai berikut : NDBI = ( ) ( ) (8) ( ) ( ) Zhao&Chen (2005) melakukan penelitian untuk mengambil lahan kosong dari citra Landsat, indeks barunormalized Difference Bareness Index (NDBaI) menggunakan formula di bawah ini: NDBaI = ( ) ( ) ( ) ( ) (9) Dimana d merepresentasikan nilai piksel yang relevant dari Landsat TM. NDBaI digunakan untuk melakukan analisi perbedaan karakteristik spectral dari land use/land cover. Indeks ini dapat digunakan untuk mengklasifikasikan penggunaan lahan yang berbeda/meliputi jenis (misalnya, vegetasi, air, lahan terbangun) dengan menetapkan sesuai nilai ambang batas. Rentang nilai indeks tersebut tutupan lahan jenis yang tidak konstan, karena nilai tersebut dipengaruhi oleh kondisi berbagai daerah diantaranya adalah kondisi atmosfer dan curah hujan. Sehingga indeks ini dapat digunakan untuk menghubungkan keadaan penggunaan lahan yang ada setelah disesuaikan dengan kondisi iklim pada daerah tersebut. Pemilihan Sampel Untuk pemilihan sampel, dilakukan berdasar satuan pemetaan yang dihasilkan. Satuan pemetaan sendiri disusun dari peta suhu, peta NDVI, peta NDBI, dan peta penutup/penggunaan lahan. Dari satuan-satuan pemetaan yang 15

18 dihasilkan kemudian dilakukan pengambilan sampel minimal 1 sampel tiap satuan pemetaan. Untuk penyusunan peta NDVI, peta NDBI, dan peta suhu didasarkan pada distribusi piksel, kemudian ditentukan kelas-kelas obyek. Uji Ketelitian Interpretasi Kegiatan uji interpretasi dilakukan untuk melihat tingkat akurasi dari data yang dihasilkan dalam kegiatan laboratorium. Untuk uji interpretasi penutup/penggunaan lahan dilakukan secara kuantitatif, yang dinyatakan dalam persen, dengan rumus sebagai berikut : Tingkat Ketelitian = x 100%...(10) Pengumpulan Data Lapangan a. Data temperatur permukaan Data temperatur permukaan diperoleh dengan pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan termometer inframerah, yang merupakan alat yang mampu mengukur suhu secara langsung di permukaan. Pengukuran suhu dilakukan pada tiap sampel dari satuan pemetaan yang dihasilkan, sehingga bisa didapatkan variasi dari berbagai macam gabungan unsur pemetaan yang digunakan. Untuk waktu pengukuran dilakukan dari pukul WIB hingga pukul WIB. Jangka waktu 2 jam dianggap masih memiliki kondisi suhu yang relatif sama dan untuk mengakomodasi pengambilan sampel untuk waktu lapangan yang terbatas. b. Data kepadatan lahan terbangun dan kepadatan vegetasi Kegiatan lapangan ini untuk mengecek akurasi dari transformasi NDVI dan NDBI yang dilakukan, dengan menggunakan bantuan citra beresolusi tinggi untuk menunjukkan tingkat kepadatan baik dari vegetasi maupun lahan terbangun. Untuk kegiatan di lapangan sendiri sekaligus mengecek dari akurasi dari penggunaan citra resolusi tinggi. Pasca Lapangan - Perhitungan Data Statistik 16

19 a. Korelasi Uji korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara : I. Suhu dan penutup/penggunaan lahan II. Suhu dan densitas vegetasi III. Suhu dan densitas bangunan Dari uji korelasi ini digunakan untuk mengetahui derajat asosiasi dari aspek yang digunakan, sehingga bisa terlihat tingkat pengaruh dari tiap aspek yang digunakan. b. Regresi Hubungan fungsional antara peubah (misal y) dengan beberapa peubah lainnya (misal x1, x2,..., xn) yang dinyatakan dalam bentuk: c. Metode Analisis Keruangan Mengetahui Distribusi Temperatur Permukaan Distribusi temperatur permukaan dapat dilihat dari ekstraksi citra. Dari data ini kemudian dapat dilihat bagaimana distribusi suhu yang ada di daerah penelitian. Mengetahui Hasil Perbandingan dan Hubungan Suhu dengan Penutup/Penggunaan Lahan, NDVI, NDBI, NDBaI Untuk analisis ini didasarkan pada hasil di lapangan dan hasil analisis data statistik. Analisis ini digunakan untuk melihat bagaimana hubungan yang terjadi, seberapa besar hubungan yang ada, dan bagaimana pola hubungan yang terjadi. V. Hasil dan Pembahasan Koreksi Radiometrik citra Landsat 5 TM yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mengubah digital number pada saluran 6 menjadi nilai radian berdasarkan algoritma tertentu. Nilai Rmax dan Rmin yang digunakan dalam algoritma adalah 1,896 mw cm -2 sr -1 ; dan 0,1534 mw cm -2 sr -1. Hasil yang didapat menunjukan adanya perubahan nilai piksel dari citra yang belum terkoreksi dengan citra yang sudah terkoreksi. Histogram dari hasil koreksi radiometrik citra Landsat 5 TM tahun 1992 menunjukan nilai piksel minimum dan maksimum sebesar 8,436; dan 10,042 yang semula sebesar 131, dan 160 (Lampiran 1.1). distribusi nilai piksel 17

20 sebelum dan sesudah koreksi radiometrik citra Landsat 5 TM tahun 1992 dan 2009 juga dapat dilihat pada tabel 5.1 Tabel 5.1 Distribusi nilai piksel citra Landsat 5 TM sebelum dan sesudah koreksi radiometrik Nilai Piksel Tahun Koreksi Radiometrik Min Max Mean Sebelum , Sesudah 8,436 10,042 9,123 Sebelum , Sesudah 7,993 10,153 9,244 Proses klasifikasi penggunaan lahan pada penelitian ini menggunakan cara kerja algoritma klasifikasi multispektral, di mana pengklasifikasiannya didasari atas nilai spektral dari tiap pikselnya sekaligus pada beberapa saluran. Proses klasifikasi multispektral yang ada berupa klasfikasi terselia dengan algoritma Maximum Likelihood. Algoritma ini dapat dikatakan sebagai algoritma yang mapan secara statistik dikarenakan adanya asumsi bahwa obyek yang homogen selalu memberikan histogram yang berdistribusi secara normal. Selain itu juga penentuan klasifikasi memanfaatkan nilai-nilai statistik berupa rerata, simpangan baku, variansi, dan kovariansi dari tiap sampel yang digunakan. Hasil yang ada menunjukan sejumlah penggunaan lahan mulai dari lahan terbangun, jalan, lahan kosong, vegetasi kerapatan tinggi, dan vegetasi kerapatan rendah (Gambar 5.1). (a) (b) Gambar 5.1 Hasil klasifikasi multispectral dengan algoritma maximum likelihood (a) tahun 1992, (b) tahun

21 Berdasarkan hasil klasifikasi penggunaan lahan tahun 1992, dan 2009, dapat diketahui adanya beberapa perubahan penggunaan lahan. Adanya kegiatan lapangan menambah informasi perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Mengambil contoh perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada sampel dengan koordinat 49 M ; (Lampiran 1.3). Hasil klasifikasi penggunaan lahan tahun 1992 di koordinat sampel tersebut menunjukan penggunaan lahan berupa vegetasi kerapatan tinggi, namun 17 tahun kemudian, yaitu di tahun 2009 menunjukan adanya perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun. Perubahan penggunaan lahan ini di benarkan oleh adanya kegiatan lapangan yang menunjukan bahwa lokasi tersebut adalah kawasan pertokoan. Berdasarkan 100 sampel yang dipilih secara acak, dapat diketahui bahwa perubahan penggunaan lahan cenderung ke arah lahan terbangun, baik itu berasal dari lahan kosong, vegetasi kerapatan rendah, maupun vegetasi kerapatan tinggi. Hal ini dapat dilihat pada lampiran 1.3. Uji akurasi interpretasi penggunaan lahan dilakukan melalui perhitungan kuantitatif dari kesesuaian terhadap data lapangan. Berdasarkan 100 sampel yang digunakan secara acak, akurasi interpretasi pada citra Landsat 5 TM perekaman tahun 2009 adalah sebesar 77%. Adanya perbedaan waktu perekaman citra dengan kegiatan lapangan dapat mempengaruhi besarnya nilai akurasi dari interpertasi penggunaan lahan. Perbedaan 4 tahun antara waktu perekaman citra dengan kegiatan lapangan menunjukan adanya perubahan-perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian. Mengingat sebagian besar lokasi penelitian berada di daerah perkotaan, yaitu di Kota Yogyakarta, sehingga dalam kurun waktu 4 tahun sudah banyak terjadi perubahan penggunaan lahan, seperti pada sampel dengan koordinat 49M yang semula di tahun 2009 berupa lahan kosong, setelah dilakukan kegiatan survey lapangan didapatkan berubah menjadi kebun. Selain memang karena adanya perubahan penggunaan lahan, kesalahan dalam menentukan kriteria sampel dari tiap penggunaan lahan juga dapat mempengaruhi besarnya ketelitian interpretasi. Oleh karena itu, selain sistem klasifikasi yang digunakan, hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan klasifikasi terselia adalah kriteria sampel yang dimasukan berdasarkan kecenderungan spektralnya. 19

22 Tingkat Ketelitian = Jumlah sampel yangsesuai x 100% jumlah seluruh sampel = 77 x 100% 100 = 77% Penentuan nilai brightness temperature memanfaatkan saluran 6 pada citra Landsat 5 TM tahun perekaman 1992, dan 2009 yang merupakan saluran inframerah termal dengan panjang gelombang 10,40µm 12,50 µm. Hasil yang ada menunjukan besarnya brightness temperature di tiap pikselnya. Pengambilan 100 sampel secara acak pada lokasi penelitian mendapatkan besarnya suhu dari tiap penggunaan lahan (Lampiran 1.1). Berdasarkan hasil yang didapat, menunjukan bahwa adanya perubahan suhu ditiap penggunaan lahan dari tahun 1992 ke tahun Rata-rata perubahan suhu yang terjadi dapat mencapai 0,99 0 C. Seperti contoh pada penggunaan lahan berupa lahan terbangun yang semula di tahun 1992 memiliki nilai suhu sebesar 27,575 0 C, naik sekitar 1,2 0 C menjadi sekitar 28,775 0 C (Gambar 5.3). Suhu ( 0 C) Lahan Terbangun Suhu Rata-Rata Tipe Penggunaan Lahan Jalan Lahan Kosong Vegetasi 1 Vegetasi 2 Penggunaan Lahan Gambar 5.2 Grafik Suhu rata-rata tiap tipe penggunaan lahan tahun 1992 dan

23 Selain itu juga dapat dikatakan bahwa penggunaan lahan berupa lahan terbangun memiliki suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan penggunaan lahan yang lainnya, baik di tahun 1992 maupun di tahun Perbandingan diantara suhu lahan terbangun dengan penggunaan lahan lainnya juga menunjukan selisih yang relatif besar (Gambar 5.3). Hal ini dapat disebabkan karena energi yang dipancarkan oleh lahan terbangun cenderung lebih besar untuk kemudian terekam oleh sensor satelit. Perbedaan penggunaan atap bangunan pada lahan terbangun akan mempengaruhi besarnya pancaran energi yang dipantulkan dari sumber energi yang didapat. Adanya perubahan penggunaan lahan di daerah perkotaan menjadi lahan terbangun dapat meningkatkan suhu sekitar dan berdampak pada terjadinya fenomena Pulau Bahang atau Urban Heat Island. Sebaliknya, penggunaan lahan berupa vegetasi 2 yang memiliki tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi cenderung memiliki suhu yang rendah dibandingkan dengan penggunaan lahan yang lain, baik di tahun 1992 maupun di tahun Meningkatnya jumlah penggunaan lahan vegetasi 2 di daerah perkotaan tentunya akan membuat udara sekitar menjadi lebih dingin, akibat adanya proses evapotranspirasi dari vegetasi tersebut. Tabel 5.2. Perbandingan suhu antara (1) lahan terbangun dan jalan, (2) lahan terbangun dan lahan kosong, (3) lahan terbangun dan vegetasi 1, (4) lahan terbangun dan vegetasi 2. Tahun Tipe LT-J (1) LT-LK (2) LT-V1 (3) LT-V2 (4) Oleh karena itu dibuat uji korelasi untuk melihat hubungan suhu dengan faktor yang mempengaruhi peningkatannya serta melihat faktor dominan penggunaan lahan pada proses kenaikan suhu. 21

24 Gambar 5.3 Hasil pengolahan citra Landsat 5 TM pada tahun 1992 dan 2002 berdasarkan transformasi NDVI, NDBI, NDWI 22

25 Gambar 5.4 Grafik uji Regresi suhu dan densitas vegetasi tahun (a) 1992 (b) 2009 Gambar 5.4 menunjukan nilai keofisien determinasi 30,26% dan 40,90%. Nilai koefisien determinasi (R) bernilai negatif yang berarti kedua paramater berbanding terbalik, di mana semakin tinggi kerapatan vegetasi maka suhu semakin rendah. Namun, nilai R yang kecil (dibawah 0.5) menunjukan rendahnya tingkat hubungan suhu dan densitas vegetasi, sehingga dianggap nilai densitas vegetasi kurang berpengaruh pada penurunan suhu. Selain itu, nilai koefisien regresi pada tahun 1992 menjadi sangat kecil yaitu 0.3. Hal ini dikarenakan adanya piksel dengan nilai 23

26 NDVI dan suhu yang tinggi, sehingga berbeda dengan asumsi awal bahwa NDVI yang tinggi menyebabkan suhu yang rendah. Hal ini dapat dipengaruhi oleh jenis vegetasi dengan tutupan yang tidak terlalu rimbun menyebabkan penyerapan panas oleh oksigen tidak maksimal, sehingga nilai densitas vegetasi yang tinggi akan tetap memiliki suhu yang tinggi. Hal ini tidak banyak ditemukan pada tahun 2009 karena sudah terjadi perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan nilai NDVI rendah diikuti dengan suhu permukaan yang rendah pula. Setelah dilakukan pengecekan di lapangan maka dilakukan hubungan antara nilai indeks vegetasi dengan hasil kerapatan di lapangan, sehingga ditemukan koefisien determinasi (r 2 ) sebesar 0,75. 0,7 0,6 Uji Regresi NDVI dengan Kerapatan vegetasi di Lapangan NDVI 0,5 0,4 0,3 0,2 y = 0,0083x + 0,0399 R² = 0,7568 0, Kerapatan (%) Gambar 5.5. Hasil Uji Regresi dengan Kerapatan Vegetasi di Lapangan 24

27 Gambar 5.6. Hasil Uji Regresi Nilai kerapatan vegetasi dengan temperature Dari grafik di atas menggambarkan bahwa nilai keofisien determinasi sebesar 40,90% sehingga mempunyai pengaruh yang cukup. Pengaruh keberadaan vegetasi sebenarnya sangat mempengaruhi keadaan temperature, hanya saja tergantung dari jenis vegetasi yang ditaman pada daerah penelitian, sehingga perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang jenis vegetasi untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi temperature. Hal kedua yang dikaji adalah pengaruh nilai NDBI terhadap fluktuasi temperature di daerah penelitian. Adapun persebaran hasil pengolahan data, uji lapangan, dan hasil analisis statistik dapat dilihat dalam tabel

28 Gambar 5.5 Grafik uji korelasi suhu dan densitas lahan terbangun tahun (a) 1992 (b) 2009 Hubungan antara suhu dan densitas bangunan berdasarkan grafik yang ditunjukan gambar 5.5 mempunyai korelasi yang cukup tinggi, ditunjukan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.47 tahun 1992 dan 0.44 tahun Nilai koefisien regresi tersebut bernilai positif yang berarti nilai suhu dan densitas bangunan berbanding lurus, semakin tinggi densitas bangunan maka suhu semakin naik. Hal ini dapat dipengaruhi oleh jenis atap yang banyak menyerap panas dari matahari 26

29 No sebagai sumber energi untuk kemudian dipancarkan kembali dan direkam oleh sensor sehingga terjadi kenaikan suhu pada citra hasil pengolahan. Tabel 5.3. Persebaran sampel untuk Uji Kepadatan Bangunan NDBI 2009 Suhu 2009 NDBI 1992 suhu 1992 PL 1992 PL Vegetasi 2 Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Vegetasi 2 Jalan Jalan Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Jalan Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Jalan Lahan Kosong Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Vegetasi Vegetasi 1 Lahan Terbangun Jalan Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Jalan Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun 27

30 No NDBI 2009 Suhu 2009 NDBI 1992 suhu 1992 PL 1992 PL Vegetasi 2 Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Jalan Jalan Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Vegetasi 2 Jalan Lahan Kosong Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Vegetasi 2 Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Vegetasi 2 Lahan Terbangun Setelah melakukan sampel kemudian peneliti melakukan pengukuran lapangan untuk melihat kepadatan bangunan per piksel, sehingga terbentuk grafik hubungan antara NDBI dengan kepadatan bangunan sebagai berikut: 28

31 Hubungan NDBI dengan Kepadatan Bangunan di Lapangan 0,3 0,25 0,2 y = 0,0032x - 0,0817 R² = 0,7039 NDBI 0,15 0,1 0, Kepadatan Bangunan (%) Grafik 5.6. Hubungan NDBI dengan Kepadatan Bangunan berdasarkan pengukuran lapangan 29

32 Gambar 5.6 Grafik uji korelasi suhu dan densitas kelembaban Vegetasi tahun (a) 1992 (b) Sementara itu, hubungan antara suhu dan densitas kelembaban Vegetasi (NDWI) (Gambar 5.6) menunjukan nilai koefisien regresi yang lebih rendah daripada hubungan suhu dan densitas bangunan. Nilai koefisien regresi bernilai positif yang berarti hubungan kedua parameter berbanding lurus, di mana semakin tinggi densitas kelembaban Vegetasi maka suhu semakin rendah. Suhu ( 0 C) Uji Korelasi Suhu dan NDBaI Tahun y = -0,0118x + 27,646 NDBaI R² = 0,0581 (a) Suhu ( 0 C) Uji Korelasi Suhu vs NDBaI Tahun ,5 0 0,5 y = 1,4661x + 28,808 NDBaI R² = 0,019 (b) Gambar 5.7 Grafik uji korelasi suhu dan NDBaI tahun (a) 1992, (b)

33 Untuk mengetahui hubungan antara lahan kosong dengan suhu, penelitian ini menggunakan korelasi antara nilai suhu hasil ekstraksi citra Landsat 5 TM dengan nilai dari transformasi NDBaI. Hasil yang didapat menunjukan bahwa hubungan diantara suhu dan NDBaI menunjukan hubungan yang rendah. Hal ini dibuktikan dari nilai koefisien regresi (R) yang hanya sebesar 0,0581 di tahun 1992, dan 0,019 di tahun 2009 (Gambar 5.7). Berdasarkan hasil yang ada dapat dikatakan bahwa lahan kosong tidak begitu memberikan dampak yang besar bagi adanya kenaikan suhu sekitar yang dapat menimbulkan terjadinya fenomena UHI. Tahun Tabel 5.3 Perbandingan nilai regresi keempat transformasi R 2 NDVI NDBI NDWI NDBaI ,26 47,76 47,71 41, ,90 44,87 35,48 - Berdasarkan uji regresi terhadap keempat transformasi tersebut menunjukan bahwa penggunaan lahan terbangun memberikan dampak paling dominan yang ditunjukan dengan nilai koefisien regresi (R) suhu dan NDBI paling besar yaitu 0.47 tahun 1992 dan 0.44 tahun 2009 (Tabel 5.2). Lahan terbangun juga menjadi faktor paling dominan terhadap intensitas UHI di Kota Yogyakarta dimana objek lahan terbangun mengalami kenaikan suhu mencapai 1,2 0 C. VI. KESIMPULAN 1. Persebaran dan trend perkembangan temperature (suhu) dari Landsat 5 TM band thermal untuk periode 1992 dan 2009 mengalami kenaikan suhu rata-rata 0,99 0 C yang menjadi indikasi terjadinya fenomena UHI di Kota Yogyakarta. 2. Penggunaan lahan pada Kota Yogyakarta sebagai wilayah kajian diklasifikasikan menjadi Vegetasi kerapatan tinggi, Vegetasi kerapatan rendah, lahan terbangun, lahan kosong. Pola spasial penggunaan lahan pada tahun 1992 didominasi oleh Vegetasi sementara pada tahun 2009 didominasi oleh lahan terbangun. 31

34 3. Hasil kajian hubungan antara suhu kecerahan dan penggunaan/tutupan lahan (Land Use/Cover Pattern - LUCP) dilihat berdasarkan hasil transformasi NDVI, NDBI, NDWI dan NDBaI yang dikorelasikan dengan nilai suhu kecerahan. Uji korelasi nilai suhu dan keempat parameter menunjukan bahwa lahan terbangun yang diperoleh dari transformasi NDBI merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi kenaikan suhu dengan nilai koefisien regresi mencapai Hubungan antara intensitas UHI dan pola perubahan penggunaan lahan dilihat secara kuantitatif berdasarkan kenaikan suhu pada setiap objek penggunaan lahan dari tahun 1992 dan Intensitas UHI paling dipengaruhi oleh lahan terbangun dengan kenaikan suhu objek mencapai 1,2 0 C. VII. JADWAL PENELITIAN Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung Fakultas Geografi UGM yaitu Peran Geografi dalam Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan. Penelitian ini juga di bawah laboratorium penginderaan jauh dasar sehingga memerlukan kecermatan dalam mengambil tema dan metode penelitian. Pada akhirnya peneliti ingin membangun sebuah hubungan antara beberapa transformasi citra penginderaan jauh seperti transformasi index Vegetasi, NDBI, NDBaI yang nantinya akan dihubugkan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya urban heat island. Fenomena UHI seperti yang kita ketahui bersama semakin meraja lela yang salah satunya menjadi fenomena perubahan iklim makro. Secara rinci hal-hal yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui persebaran dan trend perkembangan temperature (suhu) dari TM Landsat / ETM + band thermal untuk periode 1992, dan Untuk mengetahui pola spasial penggunaan lahan pada tahun 1992, dan Untuk mengkaji hubungan antara suhu kecerahan dan penggunaan/tutupan lahan (Land Use/Cover Pattern - LUCP). 4. Untuk mengkaji secara kuantitatif hubungan antara intensitas UHI dan pola perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu. 32

35 Rincian Jadwal Penelitian Rincian Kegiatan Penyusunan Proposal penelitian Pengumpulan Data Pemrosesan Data Kerja Lapangan Re-interpretasi Data Analisis Data Penulisan Laporan Bulan ke VII. OUTPUT PENELITIAN Output penelitian berupa: 1. Hasil penelitian yang berupa laporan akhir penelitian yang meliputi mengenai trend perkembangan temperature, perkembangan pola spasial penggunaan lahan, hubungan antara suhu kecerahan dan penggunaan/penutup lahan, serta kajian kuantitatif hubungan antara intensitas UHI dan pola perubahan penggunaan lahan; 2. Draft jurnal nasional terakreditasi yang rencananya akan dikirimkan ke Bakosurtanal ataupun ke instansi yang lain; 3. Beberapa sub-penelitian yang akan dilakukan oleh mahasiswa diantaranya adalah Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Pola Ruang Terbuka Hijau, Korelasi Pengukuran Lapangan dan Data Penginderaan Jauh untuk Estimasi Stok Karbon Ruang Terbuka Hijau Kota Yogyakarta. DAFTAR PUSTAKA Cox, Jennifer R Characterizing the Surface Heat Island of New York City. Daldjoeni N Pokok-pokok Klimatologi. Bandung. Penerbit Alumni Danoedoro, P Pengolahan Citra Digital. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Deosthali, V. (2000). Impact of rapid urban growth on heat and moisture islands in Pune City, India. Atmospheric Environment, 34, Gao, Bo-Cai (1996). NDWI a normalized difference water index for remote sensing of Vegetasitation liquid water from space. Remote Sensing of Environment, 58(3),

36 Hawkins, T. W., Brazel, A. J., Stefanov, W. L., Bigler, W., & Saffell, E. M. (2004). The role of rural variability in urban heat island determination for Phoenix, Arizona. Journal of Applied Meteorology, 43, Lin, Chuan-Yao, Wan-Chin Chen, Pao-Liang Chang, Yang-Fan Sheng, 2011: Impact of the Urban Heat Island Effect on Precipitation over a Complex Geographic Environment in Northern Taiwan. J. Appl. Meteor. Climatol., 50, Owen, T. W., Carlson, T. N., & Gillies, R. R. (1998). An assessment of satellite remotely-sensed land cover parameters in quantitatively describing the climatic effect of urbanization. International Journal of Remote Sensing, 19, Rao, P. K. (1972). Remote sensing of urban heat islands from an environmental satellite. Bulletin of the American Meteorological Society, 53, Saaroni, Hadas, Eyal, Ben-Dor, Arieh, Bitan, & Oded, Potchter (2000). Spatial distribution and microscale characteristics of the urban heat island in Tel- Aviv. Landscape and Urban Planning, 48, Streutker, D. R. (2002). A remote sensing study of the urban heat island of Houston, Texas. International Journal of Remote Sensing, 23(13), Streutker, D. R. (2003). Satellite-measured growth of the urban heat island of Houston, Texas. Remote Sensing of Environment, 85, Tian, Qingjiu, & Xiangjun, Min (1998). Advances in study on Vegetasitation indices. Advance in Earth Sciences, 13(4), Soux, C.A., J.A. Voogt and T.R. Oke A model to calculate what a remote sensor sees of an urban surface. Boundary Layer Meteorology, 111, Weng, Q. (2001). A remote sensing-gis evaluation of urban expansion and its impact on surface temperature in Zhujiang Delta, China. International Journal of Remote Sensing, 22(10), Wang, J., Rich, P. M., Price, K. P., & Kettle, W. D. (2004). Relations between NDVI and tree productivity in the central Great Plains. International Journal of Remote Sensing, 25(16), Zha, Y., Gao, J., & Ni, S. (2003). Use of normalized difference built-up index in automatically mapping urban areas from TM imagery. International Journal of Remote Sensing, 24(3), Zoer aini Djamal Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta. Bumi Aksara. 34

37 Lampiran 1.1 Histogram citra Landsat 5 TM sebelum dan sesudah koreksi radiometrik tahun 1992 dan 2009 Histogram Sebelum Koreksi Radiometrik Citra Landsat 5 TM tahun 1992 Histogram sesudah Koreksi Radiometrik Citra Landsat 5 TM tahun 1992 Histogram sebelum Koreksi Radiometrik Citra Landsat 5 TM tahun

38 Histogram sesudah Koreksi Radiometrik Citra Landsat 5 TM tahun Tabel sampel suhu dan penggunaan lahan hasil ekstraksi citra Landsat 5 TM tahun perekaman 1992 dan No sampel Tahun 1992 Tahun 2009 Suhu ( 0 C) PL Suhu ( 0 C) PL Vegetasi Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Vegetasi Jalan Lahan Kosong Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Jalan Vegetasi Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Jalan Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Kosong Lahan Terbangun Jalan Jalan Jalan Lahan Terbangun Jalan Lahan Kosong 36

39 No sampel Tahun 1992 Tahun 2009 Suhu ( 0 C) PL Suhu ( 0 C) PL Vegetasi Vegetasi Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Jalan Vegetasi Vegetasi Lahan Terbangun Vegetasi Vegetasi Lahan Terbangun Vegetasi Lahan Terbangun Vegetasi Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Vegetasi Jalan Jalan Vegetasi Lahan Terbangun Lahan Terbangun Vegetasi Jalan Jalan Lahan Terbangun Jalan Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Vegetasi Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Vegetasi Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Jalan Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Jalan Vegetasi Jalan Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Vegetasi Jalan Lahan Kosong Jalan Jalan Jalan 37

40 No sampel Tahun 1992 Tahun 2009 Suhu ( 0 C) PL Suhu ( 0 C) PL Lahan Terbangun Lahan Terbangun Vegetasi Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Jalan Jalan Vegetasi Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Vegetasi Vegetasi Jalan Lahan Terbangun Jalan Vegetasi Vegetasi Vegetasi Vegetasi Vegetasi Vegetasi Jalan Jalan Vegetasi Vegetasi Vegetasi Jalan Lahan Kosong Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan Jalan Lahan Terbangun Jalan Vegetasi Vegetasi Lahan Terbangun Jalan Vegetasi Lahan Terbangun Jalan Jalan Vegetasi Lahan Terbangun Vegetasi Vegetasi Lahan Terbangun Jalan Vegetasi Vegetasi Tabel perbandingan sampel penggunaan lahan antara hasil ekstraksi citra Landsat 5 TM tahun 1992, dan 2009 dengan hasil survei lapangan No Koordinat Penggunaan Lahan X Y Lapangan Vegetasi 2 Lahan Terbangun Pertokoan Jalan Lahan Terbangun SD dan Masjid Jalan Lahan Terbangun Univ. Widya Mataram Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Jalan Jalan Vegetasi 2 Jalan Sawah dan Jalan 38

41 No Koordinat Penggunaan Lahan X Y Lapangan Lahan Kosong Lahan Terbangun Perumahan Jalan Lahan Terbangun Pabrik pengolahan kayu Jalan Vegetasi 2 Pabrik pengolahan kayu Lahan Terbangun Jalan Pengrajin Kayu/Pabrik Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Jalan Lahan Terbangun Permukiman Jalan Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman dan Kebun Jalan Jalan Jalan, dan Gedung BPK Yogyakarta Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Lapangan dan Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Komplek Persatuan Tamansiswa Lahan Terbangun Jalan Jalan dan Permukiman Jalan Jalan Jalan dan gudang/pabrik Lahan Terbangun Lahan Terbangun Ruko dan Permukiman Jalan Lahan Terbangun SD Vidya Kasan Lahan Kosong Lahan Terbangun Sekolah Jalan Jalan Komplek MAN 1 Yogyakarta Jalan Lahan Terbangun Sekolah Jalan Lahan Kosong Gedung MM UGM Vegetasi 1 Vegetasi 2 Permukiman Jalan Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Jalan Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Jalan Jalan Jalan, dan Gedung Vegetasi 1 Vegetasi 2 Permukiman Lahan Terbangun Vegetasi 2 Permukiman Vegetasi 1 Lahan Terbangun Permukiman Vegetasi 1 Lahan Terbangun Permukiman Vegetasi 1 Lahan Terbangun Permukiman Jalan Lahan Terbangun Permukiman Vegetasi 2 Jalan Jalan dan pertokoan Jalan Vegetasi 2 Ruko dan Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Perumahan Vegetasi 2 Jalan Jalan Jalan Lahan Terbangun Permukiman Jalan Jalan Jalan dan Ruko 39

42 No Koordinat Penggunaan Lahan X Y Lapangan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Vegetasi 1 Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Perumahan Jalan Lahan Terbangun Permukiman Vegetasi 2 Lahan Terbangun Perumahan Jalan Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Jalan Lahan Terbangun Pabrik dan Kebun Lahan Terbangun Jalan Jalan dan Permukiman Lahan Terbangun Jalan Jalan Jalan Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Komplek Tamansari Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Perumahan Jalan Lahan Terbangun Rel Kereta Api Jalan Vegetasi 2 Jalan ring road barat Jalan Lahan Terbangun Jalan ring road utara Jalan Lahan Terbangun Jalan solo Lahan Terbangun Lahan Terbangun Kampus T.Elektro UPN Vegetasi 2 Jalan Jalan dan Permukiman Lahan Kosong Jalan Jalan dan Perumahan Jalan Jalan Jalan Lahan Terbangun Lahan Terbangun Jalan ringroad Vegetasi 2 Jalan Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Ruko Jalan Lahan Terbangun Permukiman Jalan Jalan Jalan Vegetasi 1 Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Ruko Vegetasi 1 Vegetasi 2 Sawah dan Kebun Jalan Lahan Terbangun Ladang Jalan Vegetasi 1 Permukiman Vegetasi 2 Vegetasi 1 terminal giwangan Vegetasi 1 Vegetasi 2 Kebun Vegetasi 2 Jalan Sawah dan Perumahan Jalan Vegetasi 2 Ladang Vegetasi 1 Vegetasi 2 Sawah Jalan Lahan Kosong Kebun Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman 40

43 No Koordinat Penggunaan Lahan X Y Lapangan Jalan Lahan Terbangun Permukiman Lahan Terbangun Lahan Terbangun Permukiman Jalan Jalan Jalan Lahan Terbangun Jalan Jalan dan pertokoan Vegetasi 1 Vegetasi 2 Kebun dan Perumahan Lahan Terbangun Jalan TK dan SD Model Sleman Vegetasi 2 Lahan Terbangun Perumahan Jalan Jalan Sawah dan Lahan Kosong Vegetasi 1 Lahan Terbangun Perumahan Vegetasi 2 Vegetasi 2 Permukiman Lahan Terbangun Jalan Jalan dan Permukiman Vegetasi 1 Vegetasi 1 Kebun 1.4 Tabel perbandingan sampel nilai suhu dan NDVI hasil ekstraksi citra Landsat 5 TM tahun 1992, dan No sample Korelasi 1992 Korelasi 2009 Suhu NDVI Suhu NDVI

44 No sample Korelasi 1992 Korelasi 2009 Suhu NDVI Suhu NDVI

45 No sample Korelasi 1992 Korelasi 2009 Suhu NDVI Suhu NDVI

46 1.5 Tabel perbandingan sampel nilai suhu dan NDBI hasil ekstraksi citra Landsat 5 TM tahun 1992, dan No sample Data Tahun 1992 Data Tahun 2009 Suhu NDBI Suhu NDBI

47 No sample Data Tahun 1992 Data Tahun 2009 Suhu NDBI Suhu NDBI

48 No sample Data Tahun 1992 Data Tahun 2009 Suhu NDBI Suhu NDBI Tabel perbandingan sampel nilai suhu dan NDWI hasil ekstraksi citra Landsat 5 TM tahun 1992, dan No sample Korelasi 1992 Korelasi 2009 Suhu NDWI Suhu NDWI

49 No sample Korelasi 1992 Korelasi 2009 Suhu NDWI Suhu NDWI

50 No sample Korelasi 1992 Korelasi 2009 Suhu NDWI Suhu NDWI

51 No sample Korelasi 1992 Korelasi 2009 Suhu NDWI Suhu NDWI Tabel perbandingan sampel nilai suhu dan NDBaI hasil ekstraksi citra Landsat 5 TM tahun 1992, dan No sample Korelasi 1992 Korelasi 2009 Suhu NDBaI Suhu NDBaI

52 No sample Korelasi 1992 Korelasi 2009 Suhu NDBaI Suhu NDBaI

53 No sample Korelasi 1992 Korelasi 2009 Suhu NDBaI Suhu NDBaI

54 BIODATA PENELITI / PENULIS UTAMA IDENTITAS PRIBADI Nama Lengkap : Iswari Nur Hidayati. Tempat, Tgl. Lahir : Sleman/25 April 1983 NIP / Jabatan : /- Pangkat / Gol. Bidang Keahlian Prodi / Jurusan Alamat Rumah : Penata Muda Tingkat I/Iii B : Penginderaan Jauh : KPJ/SIGPW : Jl. Letkol Subadri No 14 Kalakijo Triharjo Sleman PENGALAMAN PUBLIKASI ILMIAH (3 tahun terakhir) 1. Hidayati, Pemanfaatan Teori Bukti Dempster-Shaffer untuk Optimalisasi Penggunaan Lahan berdasarkan Data Spasial dan Citra Multisumber. Jurnal. EMBRYO JOURNAL. Vol. 7. No Danoedoro, Iswari, dkk Capability Assesment of ALOS DATA to support Variuos Mapping Activities. Proceeding. Report and Proceeding of ALOS Application and Verification Project in Indonesia. Page Hidayati, Iswari Nur dan Toyibullah, Yoga Kajian Indeks Potensi Lahan terhadap Pemanfaatan Rencana Tata Ruang Wilayah Menggunakan SIG di Kabupaten Sragen. Jurnal. Majalah Globe. Vol 13 No.2 Desember Hal

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh sistem satelit merupakan salah satu alat yang bermanfaat untuk mengukur struktur dan evolusi dari obyek ataupun fenomena yang ada di permukaan bumi.

Lebih terperinci

PEMETAAN LAHAN TERBANGUN PERKOTAAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN NDBI DAN SEGMENTASI SEMI-AUTOMATIK

PEMETAAN LAHAN TERBANGUN PERKOTAAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN NDBI DAN SEGMENTASI SEMI-AUTOMATIK PEMETAAN LAHAN TERBANGUN PERKOTAAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN NDBI DAN SEGMENTASI SEMI-AUTOMATIK Iswari Nur Hidayati1, Suharyadi2, Projo Danoedoro2 1 Program Doktor pada Program Studi Geografi UGM 2 Fakultas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016 ANALISIS FENOMENA PULAU BAHANG (URBAN HEAT ISLAND) DI KOTA SEMARANG BERDASARKAN HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DENGAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA MULTI TEMPORAL LANDSAT Almira Delarizka,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) ANALISA RELASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN SUHU PERMUKAAN TANAH DI KOTA SURABAYA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL TAHUN 1994 2012 Dionysius Bryan S, Bangun Mulyo Sukotjo, Udiana Wahyu D Jurusan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

,Variasi Spasial Temporal Suhu Permukaan Daratan Kota Metropolitan Bandung Raya Tahun

,Variasi Spasial Temporal Suhu Permukaan Daratan Kota Metropolitan Bandung Raya Tahun ,Variasi Spasial Temporal Suhu Permukaan Daratan Kota Metropolitan Bandung Raya Tahun 2014 2016 Safirah Timami 1, Sobirin 2, Ratna Saraswati 3 1 Mahasiswa Departemen Geografi. Fakultas MIPA, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan. FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL Erwin Hermawan Abstrak Secara umum, UHI mengacu pada peningkatan suhu udara,

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksistensi Penelitian Perkembangan dan pembangunan yang terjadi di perkotaan membuat kawasan kota menjadi semakin padat. Salah satu penyebabnya adalah pertambahan jumlah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa tahun terakhir, kegiatan urbanisasi semakin meningkat, tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan berdampak dengan

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Data Ada 3 data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Data yang pertama adalah data citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk daerah cekungan Bandung. Data yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian  3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan 5 Tabel 2 Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan Penutup Lahan Albedo (Unitless) Min Max Mean Hutan alam 0.043 0.056 0.051 Agroforest Karet 0.048 0.058 0.052 Monokultur 0.051 0.065 0.053 Karet

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan Sukristiyanti et al. / Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 17 No.1 ( 2007) 1-10 1 Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan SUKRISTIYANTI a, R. SUHARYADI

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi PERBANDINGAN EKSTRAKSI BRIGHTNESS TEMPERATUR LANDSAT 8 TIRS TANPA ATMOSPHERE CORRECTION DAN DENGAN MELIBATKAN ATMOSPHERIC CORRECTION UNTUK PENDUGAAN SUHU PERMUKAAN Farid Ibrahim 1, Fiqih Atriani 2, Th.

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016 ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN TERHADAP DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN FENOMENA URBAN HEAT ISLAND Sendi Akhmad Al Mukmin, Arwan Putra Wijaya, Abdi Sukmono *) Program Studi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 ANALISIS DISTRIBUSI TEMPERATUR PERMUKAAN TANAH WILAYAH POTENSI PANAS BUMI MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DI GUNUNG LAMONGAN,

Lebih terperinci

VARIASI SUHU PERMUKAAN DARATAN KOTA PADANG BERDASARKAN CITRA LANDSAT 7 ETM+ dan LANDSAT 8 OLI/TIR

VARIASI SUHU PERMUKAAN DARATAN KOTA PADANG BERDASARKAN CITRA LANDSAT 7 ETM+ dan LANDSAT 8 OLI/TIR VARIASI SUHU PERMUKAAN DARATAN KOTA PADANG BERDASARKAN CITRA LANDSAT 7 ETM+ dan LANDSAT 8 OLI/TIR Oleh: Fajrin*, Dwi Marsiska Driptufany* Program Studi Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis Menurut Petterssen (1941), iklim merupakan rata-rata atau kondisi normal cuaca dalam jangka waktu panjang, 30 tahun atau lebih. Iklim suatu wilayah ditentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

Penginderaan Jauh Dan Interpretasi Citra Khursanul Munibah Asisten : Ninda Fitri Yulianti

Penginderaan Jauh Dan Interpretasi Citra Khursanul Munibah Asisten : Ninda Fitri Yulianti Penginderaan Jauh Dan Interpretasi Citra Khursanul Munibah Asisten : 1. Muh. Tufiq Wiguna (A14120059) 2. Triawan Wicaksono H (A14120060) 3. Darwin (A14120091) ANALISIS SPEKTRAL Ninda Fitri Yulianti A14150046

Lebih terperinci

RIZKY ANDIANTO NRP

RIZKY ANDIANTO NRP ANALISA INDEKS VEGETASI UNTUK IDENTIFIKASI TINGKAT KERAPATAN VEGETASI HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN CITRA AIRBORNE HYPERSPECTRAL HYMAP ( Studi kasus : Daerah Hutan Gambut Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pulang

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LAPORAN PRAKTIKUM II GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA Tanggal Penyerahan : 2 November 2016 Disusun Oleh : Kelompok : 7 (Tujuh) Achmad Faisal Marasabessy / 23-2013-052 Kelas : B

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam tugas akhir ini data yang di gunakan yaitu data meteorologi dan data citra satelit ASTER. Wilayah penelitian tugas akhir ini adalah daerah Bandung dan sekitarnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Mar, 2013) ISSN: 2301-9271 Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kota adalah pusat pertumbuhan yang ditandai dengan perkembangan jumlah penduduk (baik karena proses alami maupun migrasi), serta pesatnya pembangunan sarana dan

Lebih terperinci

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 6 memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 2.7. Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SALURAN TERMAL CITRA LANDSAT 7 ETM+ DAN CITRA ASTER DALAM MEMETAKAN POLA SUHU PERMUKAAN DI KOTA DENPASAR DAN SEKITARNYA

KEMAMPUAN SALURAN TERMAL CITRA LANDSAT 7 ETM+ DAN CITRA ASTER DALAM MEMETAKAN POLA SUHU PERMUKAAN DI KOTA DENPASAR DAN SEKITARNYA ISSN 0125-1790 MGI Vol. 22, No. 1 Maret 2008 (39 51) 2008 Fakultas Geografi UGM KEMAMPUAN SALURAN TERMAL CITRA LANDSAT 7 ETM+ DAN CITRA ASTER DALAM MEMETAKAN POLA SUHU PERMUKAAN DI KOTA DENPASAR DAN SEKITARNYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi

Lebih terperinci

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya PEMBAHASAN 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya Pemetaan Geomorfologi,NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah Pemetaan Geomorfologi

Lebih terperinci

STUDI PERKEMBANGAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SIG. Walbiden Lumbantoruan 1. Abstrak

STUDI PERKEMBANGAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SIG. Walbiden Lumbantoruan 1. Abstrak STUDI PERKEMBANGAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SIG Walbiden Lumbantoruan 1 Abstrak Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: (1) Untuk mengtetahui perubahan ruang sebagai permukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG

SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG SEBARAN TEMPERATUR PERMUKAAN LAHAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KOTA MALANG FANITA CAHYANING ARIE Jurusan Teknik Planologi, Institut Teknologi Nasional Malang Email : fnita3pantimena@gmail.com

Lebih terperinci

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak A123-04-1-JW Hatulesila Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon Jan Willem Hatulesila 1), Gun Mardiatmoko 1), Jusuph Wattimury 2) 1) Staf Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI)

BAB 1 PENDAHULUAN Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Urban Heat Island dan Kawasan Terbangun. Pembangunan pada sebuah kawasan membawa perubahan terhadap lingkungan sekitarnya. Fenomena Urban Heat Island (UHI)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Koreksi Geometrik

BAB II DASAR TEORI Koreksi Geometrik BAB II DASAR TEORI 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan

BAB I PENDAHULUAN Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan Pembangunan perkotaan membawa perubahan pada lingkungan fisikdan atmosfer kota. Pada lingukungan

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS URBAN HEAT ISLAND

ANALISIS URBAN HEAT ISLAND ANALISIS URBAN HEAT ISLAND DALAM KAITANNYA TERHADAP PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI KOTA PONTIANAK Indra Rukmana Ardi 1, Mira Sophia Lubis 2, Yulisa Fitrianingsih 1 1 Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas

Lebih terperinci

Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban

Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban A630 Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban Dhiyaulhaq Al Majid dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci