GKAT DAN KAJIAN LEUKOSITNYA

dokumen-dokumen yang mirip
DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK SAMBILOTO DAN KUNYIT DENGAN PELARUT AIR TERHADAP PENAMPILAN AYAM PEDAGING YANG DIINFEKSI Eimeria tenella NURINA KUSWARDANI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

HASIL DAN PEMBAHASAN

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

(Zingiber aromaticllmval~) TERHADAP PRODUKSI OOKISTA EilJleria spp P ADA AYAM

Bila Darah Disentifus

tenella sebanyak %, dibanding kelompok perlakuan E %, dan E %. Kata kunci : Ookista, sambiloto, sulfacloropyrazine

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SISTEM PEREDARAN DARAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN

MATERI DAN METODE. Materi

KOKSIDIOSIS PAD A SAPI YANG DlSEBABKAN EIMERIA ZUERNII (RIVOLTA, 1887)

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA Temulawak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

TINJAUAN PUSTAKA Leucocytozoon caulleryi Morfologi

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan

1 Universitas Kristen Maranatha

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi)

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat dilakukan dengan banyak metoda. Salah satu metoda yang paling diyakini

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

1. Penyakit Tetelo (ND=Newcastle Disease) Penyebab : Virus dari golongan paramyxoviru.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. beriklim kering. Umumnya tumbuh liar di tempat terbuka pada tanah berpasir yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ayam ayam lokal (Marconah, 2012). Ayam ras petelur sangat diminati karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS.

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Pedaging. Ayam pedaging (ayam broiler) telah dikembangkan sejak 50 tahun silam.

PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1

METODE PENELITIAN. Vaksin ND Strain Hitchner B1 dan vaksin IBD (Gumboro), Jahe Merah (Zingiber

HASIL DAN PEMBAHASAN. Peubah* Konsumsi Ekstrak Daun Konsumsi Saponin

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sel sel darah primitif dibentuk dalam saccus vitelinus. Sel sel darah disini masih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI DAERAH CIAMPEA BOGOR YULIA ERIKA

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kompetensi SISTEM SIRKULASI. Memahami mekanisme kerja sistem sirkulasi dan fungsinya

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK SAMBILOTO

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

JUMLAH ERITROSIT, NILAI HEMATOKRIT DAN KADAR HEMOGLOBIN AYAM PEDAGING UMUR 6 MINGGU YANG DIBERI SUPLEMEN KUNYIT, BAWANG PUTIH DAN ZINK

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan radang atau degenerasi pada jaringan yang

Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

EFEKTIVITAS EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Ness) DENGAN PELARUT ETANOL DOSIS BERTING GKAT DAN KAJIAN DIFFERENSIAL LEUKOSITNYA TERHADAP AYAM YANG DIINFEKSI OLEH Eimeria tenella A.A MARTTHIAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

ABSTRAK A.A MARTTHIAN. Efektivitas Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Dengan Pelarut Etanol Dosis Bertingkat dan Kajian Differensial Leukositnya Terhadap Ayam Yang Diinfeksi Oleh Eimeria tenella. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dalam etanol dosis bertingkat pada ayam yang telah diinfeksi dengan Eimeria tenella dengan melihat differensial leukositnya (heterofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit) yang berperan dalam proses kekebalan tubuh. Penelitian ini menggunakan ayam pedaging umur 14 hari sebanyak 21 ekor yang dibagi menjadi 7 kelompok perlakuan (setiap perlakuan terdiri dari 3 ekor ayam) yaitu : KN (kontrol negatif), KP (kontrol positif), KO (kontrol obat), KSB (kontrol sambiloto), E1 (kelompok pelarut etanol dosis rendah), E2 (kelompok dengan pelarut etanol dosis sedang), E3 (kelompok dengan pelarut etanol dosis tinggi). Kelompok perlakuan KSB diberi sambiloto sejak umur 5 sampai 35 hari dan tidak diinfeksi dengan ookista E. tenella 1x10 5 /ekor. Kelompok KO diinfeksi dengan E. tenella 1x10 5 /ekor dan 2 jam kemudian diberi obat sulfachloropyrazin 180 mg/kg BB, kelompok E1, E2 dan E3 diinfeksi oleh ookista E. tenella 1x10 5 /ekor dan berturut-turut diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut etanol dosis rendah, sedang dan tinggi dalam waktu yang bersamaan sedangkan kelompok KN tidak diinfeksi dan tidak diberi obat ataupun ekstrak sambiloto. Pemberian ekstrak sanbiloto dan obat diberikan dengan metode 3-2-3 (hari ke-1,2,3,6,7 dan 8 setelah infeksi). Pengambilan contoh darah dilakukan pada hari ke-0,3,6,9,13 dan 16 setelah infeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase rata-rata heterofil pada hari ke-16 setelah infeksi pada kelompok E1, E2 dan E3 cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KO dan KP. Rata-rata persentase eosinofil pada kelompok E1, E2 dan E3 pada hari ke-9, 13 dan 16 setelah infeksi cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KO. Rata-rata persentase basofil pada kelompok E1, E2 dan E3 pada hari ke-13 dan 16 setelah infeksi cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KO. Rata-rata persentase limfosit pada kelompok E1, E2 dan E3 pada hari ke-13 dan 16 mengalami peningkatan dan persentasenya cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KO. Persentase rata-rata monosit kelompok E1, E2 dan E3 pada hari ke-13 dan 16 setelah infeksi cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KO. Ekstrak sambiloto dengan pelarut etanol dosis bertingkat lebih efektif dibandingkan kontrol obat sulfachloropyrazin.

EFEKTIVITAS EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Ness) DENGAN PELARUT ETANOL DOSIS BERTINGKAT DAN KAJIAN DIFFERENSIAL LEUKOSITNYA TERHADAP AYAM YANG DIINFEKSI OLEH Eimeria tenella A.A MARTTHIAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi Nama NRP : Efektifitas Ekstrak Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees) dengan Pelarut Etanol Dosis Bertingkat dan Kajian Differensial Leukositnya terhadap Ayam yang Diinfeksi oleh Eimeria tenella : A.A Martthian : B04104099 Disetujui Dr. drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing I Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc Pembimbing II Diketahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Lulus Tanggal :

PRAKATA Puji syukur penulis haturkan ke Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya. Sholawat serta salam tidak lupa kita ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW atas syafaatnya, sehingga penelitian yang berlangsung dari bulan Januari sampai Maret 2008 dan penulisan skripsi yang berjudul Efektivitas Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dengan Pelarut Etanol Dosis Bertingkat dan Kajian Differensial Leukositnya terhadap Ayam yang Diinfeksi oleh Eimeria tenella berhasil diselesaikan. Penulis sadar tulisan ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan, namanama berikut yang hendak penulis sampaikan terimakasih sebagai hadiah atas semua yang telah diberikan, antara lain kepada Ibu Dr. drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS dan Ibu Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc selaku dosen pembimbing skripsi atas kesabaran ibu dalam menuntun dan memberi masukan kepada kami saat penelitian dan penyelesaian penyusunan skripsi ini, serta kepada staf laboratorium protozoologi dan fisiologi (Bapak Komar, Bapak Sariyo, Ibu Nani, Ibu Sri, Ibu Ida). Ibu Dr. drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS selaku dosen pembimbing akademik, terimakasih atas bimbingan, dorongan dan do anya selama penulis menjalani studi di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ucapan terima kasih kepada orang tua tercinta, Ayah dan Ibu yang telah memberikan do a dan dukungannya, serta adikku tercinta Ludvi atas do a dan kasih sayang yang diberikan, rekan sepenelitianku Laksana, Teteg, Deni, Nina Jawa, Nina Batak, Eka, Dini dan Boy atas kerjasamanya, Wanita pencahayaku Risna, Sahabat terbaik Firly, Alif dan bonang atas dukungannya, Keluarga Besar HMI Komisariat FKH, Keluarga Besar Himpro Satwa Liar FKH, Keluarga Besar Komunitas Basket FKH, Keluarga Besar Steril FKH, Dahlia/Blackhole Tim, Rukun Crew, Sekret Crew, Rupink Crew, Pajok Crew dan Asteroidea 41. Demikian penulis berharap, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi penulis maupun pembaca. Bogor, September 2008 A.A Martthian

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 21 Maret 1986 dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dengan ayah bernama Mamak Abdul Malik dan ibu Karyanti Sulistiyani. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Negeri Cimanggu Kecil Bogor pada tahun 1998, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Negeri 5 Bogor. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004. Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi internal dan eksternal kampus, yaitu Komunitas Seni Steril FKH IPB sebagai Wakil Ketua Periode 2005/2006, Himpunan Minat Profesi Satwa Liar FKH IPB sebagai anggota pada tahun 2004 sampai 2008, Kapten Tim Basket Putera FKH IPB Periode 2007/2008 dan Anggota Veterinary English Club pada 2006 sampai 2008. Penulis aktif dalam organisasi eksternal Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Kedokteran Hewan IPB sebagai Wakil Sekretaris Umum di Departemen Penelitian, Pengembangan dan Pembinaan Anggota. Pada Tahun 2006 penulis memenangkan Lomba Olimpiade Mahasiswa IPB cabang basket putera sebagai juara II dan pada tahun 2007 dan 2008 memenangi juara III Veterinary Sports Competition cabang basket putera. Pada tahun 2007 penulis menjadi petugas supervisor eliminasi filariasis di Kota Bogor dan petugas surveyour studi kelayakan di Taman Safari Indonesia.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA Eimeria tenella... Klasifikasi Eimeria tenella.... 5 Morfologi Eimeria tenella... 5 Siklus Hidup Eimeria tenella... 7 Patogenesa... 9 Gejala Klinis... 9 Diagnosa.... 10 Differensial Diagnosa.... 10 Pencegahan.... 11 Pengobatan...... 11 Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)...... Klasifikasi. 12 Morfologi...... 12 Kandungan...... 13 Khasiat dan Manfaat...... 14 Mekanisme Kerja Zat Aktif Sambiloto.... 15 Leukosit.... Limfosit.... 17 Monosit...... 18 Heterofil...... 19 Eosinofil...... 19 Basofil...... 20 Mekanisme Sistem Kekebalan...... 21 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian... 23 Bahan dan Alat... 23 Pengelompokan Perlakuan... 23 Pembuatan Ekstrak Sambiloto... 24 Perlakuan Sambiloto dan Infeksi Ookista... 24 Pembuatan Preparat Ulas Darah dan Pewarnaan Giemsa... 24 Cara Menghitung dan Mengidentifikasi Jenis Leukosit... 25 Pengolahan Data... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Heterofil..... 26 Eosinofil..... 28 Basofil... 30 Limfosit... 31 Monosit... 33 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 35 Saran... 35 DAFTAR PUSTAKA... 36 LAMPIRAN... 40

DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah kisaran sel darah putih berdasarkan umur (dalam %) 16 11 2 Persentase rata-rata jumlah heterofil pada ayam yang diinfeksi Eimeria tenella setelah pemberian ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dengan pelarut etanol dosis bertingkat... 26 3 Persentase rata-rata jumlah eosinofil pada ayam yang diinfeksi Eimeria tenella setelah pemberian ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dengan pelarut etanol dosis bertingkat... 28 4 Persentase rata-rata jumlah basofil pada ayam yang diinfeksi Eimeria tenella setelah pemberian ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dengan pelarut etanol dosis bertingkat... 30 5 Persentase rata-rata jumlah limfosit pada ayam yang diinfeksi Eimeria tenella setelah pemberian ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dengan pelarut etanol dosis bertingkat... 31 6 Persentase rata-rata jumlah monosit pada ayam yang diinfeksi Eimeria tenella setelah pemberian ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dengan pelarut etanol dosis bertingkat... 33

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur ookista E. tenella yang belum dan sudah bersporulasi... 5 2 Sporozoit dari E. tenella... 6 3 Merozoit E. tenella di dalam skizon... 7 4 Siklus hidup E. tenella... 8 5 Sambiloto..... 12 6 Struktur kimia dari senyawa aktif utama dalam Andrographis paniculata Ness... 14 7 Limfosit... 18 8 Monosit.... 18 9 Heterofil..... 19 10 Eosinofil.... 20 11 Basofil... 21 12 Persentase rata-rata heterofil pada semua kelompok perlakuan... 27 13 Persentase rata-rata eosinofil pada semua kelompok perlakuan... 29 14 Persentase rata-rata basofil pada semua kelompok perlakuan... 30 15 Persentase rata-rata limfosit pada semua kelompok perlakuan... 32 16 Persentase rata-rata monosit pada semua kelompok perlakuan... 34

DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis data heterofil dengan uji Anova dan dilanjutkan dengan uji Duncan. 2 Hasil analisis data eosinofil dengan uji Anova dan dilanjutkan dengan uji Duncan. 3 Hasil analisis data basofil dengan uji Anova dan dilanjutkan dengan uji Duncan. 4 Hasil analisis data limfosit dengan uji Anova dan dilanjutkan dengan uji Duncan. 5 Hasil analisis data monosit dengan uji Anova dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Halaman 41 46 51 56 61

PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar negara di dunia memerlukan kebutuhan protein hewani yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan masyarakat dunia yang semakin baik dalam pemilihan makanan yang berkualitas. Macam-macam protein hewani yang biasa dikonsumsi masyarakat dunia diantaranya adalah daging dan susu. Daging ayam merupakan komoditas daging yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Hal ini kemungkinan karena harga sumber protein hewani yang berasal dari ayam ini lebih murah dibandingkan sumber protein hewani lainnya. Pada tahun 2008 tingkat konsumsi sumber protein hewani di Indonesia yang berasal dari ayam relatif sangat rendah jika dibandingkan negara di kawasan asia tenggara lainnya, walaupun sektor peternakan ayam semakin berkembang dari tahun ke tahun (Anonim 2008a). Hal ini dapat dilihat dari semakin bermunculannnya peternakan di sektor perunggasan mulai dari sektor peternakan berskala kecil hingga besar. Akan tetapi sektor peternakan ayam di Indonesia pernah mengalami masa tersulit ketika masuknya virus Avian Influensa (AI) pada tahun 2004. Selain itu terdapat beberapa penyakit yang menjadi permasalahan penting di sektor peternakan ayam misalnya: Koksidiosis (Berak Darah), Kolibasilosis, Coryza, Kholera, Gumboro, dan ND (Newcastle Disease) (Anonim 2007a). Koksidiosis atau di Indonesia lebih dikenal sebagai penyakit berak darah dapat ditemukan dihampir seluruh lokasi peternakan di dunia. Walaupun secara umum penyakit ini dapat diatasi, namun biaya untuk menanggulanginya termasuk yang termahal dalam sebuah industri perunggasan (Anonim 2006a). Penyakit ini dapat menimbulkan kematian, morbiditas yang cukup tinggi, masa bertelur yang terlambat, produksi menurun, pertumbuhan yang terhambat, efesiensi makanan yang rendah dan biaya pengobatan yang tinggi (Tampubolon 2004). Koksidiosis adalah penyakit pada peternakan ayam yang ditandai dengan gejala klinis berupa diare dan radang pada usus (Whiteman dan Bickfords 1996). Menurut Ashadi dan Partosoedjono (1992) koksidiosis pada ayam disebabkan oleh sembilan spesies Eimeria, yaitu E. tenella, E.necatrix, E.maxima,

E.acervulina, E.mitis, E.praecox, E.brunetti, E. hagani dan E.mivati. Menurut Tampubolon (2004) Eimeria tenella adalah Coccidia yang paling patogen pada ayam dengan penyebaran hampir di seluruh dunia dan stadium perkembangannya terjadi di dalam sekum. Koksidiosis biasanya terlihat pada unggas muda tetapi bisa juga terjadi pada unggas tua yang rentan. Infeksi primer Coccidia dapat terjadi pada semua umur kalkun dan ayam (Whiteman dan Bickfords 1996). Koksidiosis menjadi makin mudah berjangkit ketika kandungan air pada litter melebihi 30% akibat air hujan atau kerusakan saluran air. Demikian juga dengan stress lingkungan dan kesalahan manajemen pemeliharaan seperti kepadatan kandang ayam yang berlebihan, sistem pemberian pakan yang tidak benar, dan sistem sirkulasi udara yang buruk dapat menimbulkan munculnya kasus koksidiosis. Sebab lain munculnya penyakit berbahaya ini adalah pemberian obat antikoksidia yang tidak optimal sesuai rekomendasi, pencampuran obat antikoksidia yang tidak merata dalam pakan atau karena faktor melemahnya kekebalan ayam akibat penyakit lain seperti Infectious Bursal Disease (IBD) atau Marek (Anonim 2006b). Pencegahan penyakit kosidiosis dapat dilakukan melalui mekanisme perbaikan sistem manajemen dan sanitasi, antara lain dengan cara pemasangan dan pengaturan sistem pemberian air minum yang sesuai, penyediaan tempat pemberian pakan yang cukup, tingkat ventilasi yang baik, pengaturan kepadatan kandang yang tepat dan pemberian antikoksidia dalam pakan dengan jumlah yang sesuai akan mencegah terjadinya infeksi klinis. Selain itu proses pencegahan koksidiosis dapat dilakukan dengan pemberian koksidiostat kimiawi dan ionoforik pada ayam pedaging yang menjalani program pergantian ulang-alik (shuttle) dan pemberian koksidiostat sintetis untuk induk dan pullet petelur yang dipelihara dengan sistem lantai. Berdasarkan survey lapangan, untuk pengobatan dan pemberian aditif pakan antikoksidia diperlukan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu memaksimalkan usaha pencegahan dengan perbaikan sistem manajemen, diharapkan mampu menekan biaya dan mengoptimalkan produksi (Anonim 2008b). Usaha untuk mencegah dan mengobati koksidiosis adalah dengan pemberian preparat koksidiostat. Berbagai koksidiostat yang umum digunakan

untuk pengobatan koksidiosis adalah larutan amproliun dan sulfonamid (misalnya sulfametazin atau sulfaquinoksalin). Selain itu pemberian suplemen vitamin A dan K dapat mempercepat proses penyembuhan (Anonim 2006c). Namun menurut Levine (1990) pemberian koksidiostat dapat menimbulkan efek negatif dengan timbulnya galur-galur coccidia yang tahan terhadap obat-obat tersebut serta adanya residu pada daging dan telur. Hal ini yang merupakan landasan pengobatan alternatif dari tumbuhan obat tradisional untuk mencegah dan mengobati koksidiosis. Sambiloto (Andrographis panniculata Ness) merupakan salah satu tumbuhan obat tradisional yang tidak menimbulkan efek samping. Andrographis panniculata Ness atau yang dikenal dengan nama sambiloto pada umumnya digunakan untuk pengobatan keracunan, obat tonsil, borok, thypus, demam, kencing manis, obat radang telinga, radang usus dan gigitan ular berbisa (Heyne 1987). Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa herba sambiloto mengandung senyawa kimia antara lain : diterpen lakton yang terdiri dari andrographolida, neoandrographolida, deoksi-andrographolida, dehidroandrographolida, flavonoid, tannin, dan saponin (Madsuda et al. 1994). Sejak zaman dahulu di Indonesia sambiloto telah dikenal sebagai tumbuhan obat tradisional yang sangat berkhasiat. Menurut Winarto (2003) bahwa efek farmakologis tanaman sambiloto bersifat menurunkan panas, antidemam, antibiotik, antipiretik, antiradang, antibengkak, antidiare, hepatoprotektor. Selain itu sambiloto juga sangat aktif untuk mengobati infeksi dan merangsang phagocytosis (immunostimulant), mempunyai efek hipogelikemik, diuretik, antibakteri, analgetik, meningkatkan kekebalan tubuh seluler dan meningkatkan aktivitas kelenjar-kelenjar tubuh. Leukosit digolongkan menjadi granulosit dan agranulosit. Granulosit dibedakan menjadi tiga, yaitu heterofil (pada mamalia disebut neutrofil), eosinofil, dan basofil sedangkan agranulosit dibedakan menjadi dua, yaitu limfosit dan monosit (Ganong 1995). Manfaat sesungguhnya dari sel-sel darah putih ini adalah menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap agen infeksi yang mungkin ada dan kebanyakan dari sel-sel ini secara khusus dibawa atau

diangkut menuju ke daerah-daerah yang mengalami peradangan berat (Guyton 1995). Tujuan Penelitian Penelitian ini untuk mengetahui efektivitas pemberian ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dengan pelarut etanol dosis bertingkat dan differensial leukositnya (heterofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit) yang berperan dalam proses kekebalan tubuh pada ayam yang diinfeksi E. tenella. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh ekstrak etanol sambiloto sebagai salah satu alternatif pengobatan penyakit koksidosis pada ayam.

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Eimeria tenella Eimeria tenella merupakan Coccidia yang paling patogen dengan stadium perkembangan terjadi di dalam sekum dan penyebarannya terdapat diseluruh dunia (Tampubolon 2004). Kehadiran Eimeria tenella di dalam sekum akan menggertak mekanisme pertahanan tubuh (Guyton 1995). Menurut Levine (1985) Eimeria tenella diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Protozoa Sub filum : Apicomplexa Class : Sporozoasida Ordo : Eucocciodiorida Sub ordo : Eimeriorina Famili : Eimeriidae Genus : Eimeria Spesies : Eimeria tenella Morfologi Eimeria tenella Eimeria tenella mempunyai morfologi yang berbeda sesuai dengan siklus hidupnya, yaitu ookista, sporokista, sporozoit, skizon dan merozoit. Ookista adalah telur Eimeria yang berisi empat sporokista, di dalam masing-masing sporokista terdapat dua sporozoit (Levine 1985). Ookista memiliki struktur khas yang ditandai dengan adanya dinding ookista yang tersusun dari satu atau dua lapis dan mungkin dibatasi selaput. Kadang-kadang terdapat terdapat suatu tempat terbuka atau tempat yang lunak yang diketahui sebagai mikropil (Levine 1977). Gambar 1 Struktur ookista E. tenella yang belum dan sudah bersporulasi (Anonim 2006d)

Menurut Soulsby (1986) ookista E. tenella berbentuk oval dengan ukuran 14,2-31,2 µm x 9,5-24,8 µm (rata-rata 22,9 x 19,16 µm). Sedangkan menurut Morgan dan Hawkins (1955) ookista E. tenella berbentuk ovoid atau oval dengan ukuran 19,5-26 x 16,5-22,8 µm (rata-rata 19 x 22,6 µm). Sporokista berbentuk tanpa residu dan berukuran kira-kira 7 µm lebar dan 11 µm panjang. Sporokista pada ujung yang lebih kecil ada sumbat berbentuk bulat kecil yang mengisi suatu lubang dalam dindingnya agak menonjol keluar. Sporozoit berbentuk sosis kecil terdapat dua dalam masing-masing sporokista dengan massa bulat hialin dekat salah satu ujungnya (Tampubolon 2004). Gambar 2 Sporozoit dari E. tenella (Anonim 2008c) Dalam perkembangannya sporozoit akan membentuk meron generasi pertama yang berukuran 24 x 17 µm. Meron generasi pertama tumbuh dan membelah membentuk kira-kira 900 merozoit generasi pertama dengan panjang sekitar 2-4 µm (Levine 1985). Menurut Levine (1977) merozoit generasi pertama berubah menjadi meron generasi kedua yang membelah menjadi 200-350 merozoit generasi kedua dengan panjang sekitar 16 µm. Beberapa dari merozoit generasi kedua berubah menjadi meron generasi ketiga yang memproduksi 4-30 merozoit. Menurut Tampubolon (2004) merozoit yang banyak akan merobek selsel epitel usus dan menyebabkan terjadinya kerusakan usus.

Gambar 3 Merozoit E. tenella di dalam skizon (Anonim 2008c) Siklus hidup Eimeria tenella Koksidiosis yang disebabkan oleh E. tenella adalah suatu penyakit yang ditularkan dari unggas ke unggas lain melalui ookista yang sudah bersporulasi (Tampubolon 2004). Menurut Levine (1990) Genus Eimeria umumnya memiliki perkembangan siklus hidup secara lengkap di dalam dan di luar tubuh induk semangnya dan memiliki siklus hidup seksual (stadium gametogoni) dan aseksual (skizogoni), sedangkan sporogoni adalah stadium pembentukan spora. Samosir (2001) menyebutkan siklus hidup lengkap Eimeria tenella berlangsung 4-10 hari. Sedangkan menurut Akoso (1998) siklus hidup coccidia berlangsung antara 7-9 hari dan meliputi 5 tahap perkembangan, baik aseksual maupun seksual. Ookista yang keluar bersama tinja biasanya belum bersporulasi yang biasa disebut sebagai sporont (sel tunggal dalam ookista). Ookista yang dieksresikan lewat feses, cairan sitoplasmanya berbentuk ramping dan tidak beraturan. Ookista E. tenella yang mengalami sporulasi (pembentukan spora di dalam organisme dengan membentuk dinding tebal mengelilingi satu atau lebih ookista) memerlukan kondisi yang memungkinkan yaitu pada kelembaban, suhu yang optimal, dan oksigen yang cukup (Tampubolon 2004). Menurut Soulsby (1986) sporulasi memerlukan waktu 18 jam pada suhu 29ºC, 21 jam pada suhu 26-28ºC, 24 jam pada suhu 20-24ºC dan 1-2 hari pada suhu kamar. Ookista yang telah bersporulasi adalah bentuk infektif, bila tertelan oleh ayam yang rentan maka akan berkembang membentuk sporokista yang di dalamnya terdapat badan-badan kecil berbentuk sosis kecil yang disebut sporozoit. Penularan akan terjadi jika ookista tertelan oleh ayam (Tampubolon 2004).

Menurut Levine (1977) sporozoit ini memasuki vili epitel dari sekum, membulat menjadi meron generasi pertama, tumbuh dan membelah membentuk kira-kira 900 merozoit generasi pertama. Merozoit generasi pertama ini memecahkan sel induk semangnya, masuk ke dalam sel baru, dan berubah menjadi meron generasi kedua yang membelah menjadi 200-350 merozoit generasi kedua. Merozoit generasi kedua ini kemudian keluar dari sel induk semang dan masuk ke dalam sel baru dari induk semang tersebut. Beberapa dari merozoit generrasi kedua berkembang menjadi meron generasi ketiga. Merozoit generasi ketiga dan sebagian besar merozoit generasi kedua mengalami gametogoni, yaitu membentuk mikrogamon yang menghasilkan mikrogamet (penghasil gamet jantan) dan makrogamon yang menghasilkan makrogamet (penghasil gamet betina). Apabila mikrogamon pecah dan mengeluarkan mikrogamet yang membuahi makrogamet akan terbentuk zigot. Zigot ini membungkus dirinya sendiri dengan dinding tebal disekelilingnya dan selanjutnya berubah menjadi ookista. Ookista ini kemudian terbawa keluar bersama tinja. Gambar 4 Siklus hidup E. tenella (Anonim 2008c) Keterangan : A= Ookista bersporulasi; B= Sporozoit keluar dari sporokista; 1. Sporozoit memasuki vili epitel usus, 2. Tropozoit generasi I, 3. Merozoit generasi I, 4. Merozoit generasi I memasuki sel baru induk semang, 5. Merozoit generasi II, 6. Merozoit generasi III, 7. Mikrogametosit, 8. Makrogametosit, 9. Mikrogamet berflagella, 10. Mikrogamet membuahi makrogamet, 11. Ookista muda, 12. Ookista belum bersporulasi.

Patogenesa Koksidiosis terjadi karena ayam yang rentan memakan makanan yang terkontaminasi ookista yang telah bersporulasi. Koksidosis sekum yang disebabkan E. tenella merupakan kasus yang sering terjadi pada unggas muda terutama yang berumur 4 minggu. Unggas cenderung lebih tahan terhadap koksidiosis pada umur 1-2 minggu, walaupun unggas dengan umur 1 hari kemungkinan dapat terinfeksi (Soulsby 1986). Koksidiosis sekum secara klinis akan tampak bila terjadi infeksi berat pada waktu yang relatif singkat, yaitu tidak melebihi waktu 72 jam (Davies et al. 1963). Menurut Soulsby (1986) Respon kekebalan akan terlihat 96 jam setelah infeksi. Jumlah ookista yang diperlukan untuk menimbulkan kematian pada ayam umur 1-2 minggu sekitar 200.000 ookista, sedangkan 50.000 sampai 100.000 ookista menimbulkan kematian pada ayam yang umurnya beberapa minggu lebih tua. Menurut Tampubolon (2004) pada ayam 72 jam setelah infeksi terlihat gejala berkelompok supaya hangat, anorexia, dan sekitar hari ke-4 sesudah infeksi terdapat darah dalam tinja. Pada hari ke-5 dan ke-6 sesudah infeksi paling banyak ditemukan darah, dan menjelang hari ke-8 dan ke-9 ayam sudah mati atau dalam proses persembuhan. Kematian pada ayam bisa terjadi tanpa diduga. Gejala klinis Gejala klinis mulai terlihat ketika skizon generasi kedua membesar dan merozoit keluar dari epitel yang menyebabkan terjadinya perdarahan pada sekum (Tampubolon 2004) Koksidiosis yang disebabkan oleh genus Eimeria yang paling patogen biasanya menyebabkan diare yang disertai dengan dehidrasi dan perdarahan. Soulsby (1986) menyebutkan sekitar 72 jam setelah infeksi gejala klinis coccidian yaitu berat badan menurun, bulu kusam, pucat, lesu, dan hidup berkelompok. Pada hari ke-2 dan ke-3 setelah infeksi selaput lendir usus tampak berwarna merah kemudian pada hari ke-4 akan timbul bercak-bercak putih yang pada akhirnya akan berwarna abu-abu, diantara hari ke-5 sampai ke-6 akan mulai timbul perdarahan dan ukuran dari usus mulai mengecil dan biasanya karena

kehilangan banyak darah pada hari ke-7 setelah infeksi ayam akan mati (Retno et al. 1998). Diagnosa Diagnosa koksidiosis pada ayam paling baik dilakukan pada pemeriksaan postmortem. Diagnosa dengan hanya pemeriksaan tinja dapat menimbulkan kesalahan dalam perhitungan banyaknya ookista belum berarti keadaan patologis yang berat dan identifikasi ookista yang dilakukan pada berbagai spesies Coccidia ayam bukan hal yang mudah (Tampubolon 2004). Menurut Whiteman dan Bickfords (1996) diagnosa dari koksidiosis biasanya dapat berasal dari gejala klinis yang berhubungan dengan lokasi dari jumlah ookista terbesar atau stadium aseksual dari koksidia (sporozoit, merozoit dan skizon). Diagnosis pada sekum juga dapat terlihat pada penurunan jumlah darah dalam tubuh ayam, tetapi harus dikonfirmasi saat dilihat secara pemeriksaan patologi anatomi. Ookista mulai ditemukan pada hari ke-7 setelah infeksi apabila hewan tersebut masih hidup. Jumlah ookista pada tinjanya maksimal pada hari ke-8 dan ke-9, kematian akan berkurang dengan cepat. Pada hari ke-11 masih ditemukan ookista tetapi dalam jumlah sedikit (Tampubolon 2004). Differensial diagnosa Penyakit pada ayam terutama yang disertai dengan adanya peradangan pada usus dan diare, sebaiknya dibedakan dari koksidiosis. Penyakit selain koksidosis yang dimaksud diantaranya ulcerative enteritis, intestinal capillaries, penyakit akibat parasit intestinal lainnya dan salmonellosis. Koksidiosis yang terjadi pada ayam biasanya dapat berasosiasi dengan penyakit lain (Whiteman & Bickfords 1996). Penyakit parasit intestinal lain yang memilki gejala menyerupai koksidiosis adalah trichomoniasis dan histomoniasis. Tetapi pada kasus trichomoniasis dan histomoniasis biasanya menyebabkan kerusakan pada hati sedangkan pada kasus koksidiosis tidak (Tampubolon 2004).

Pencegahan Pencegahan terhadap kosidiosis dapat dilakukan dengan melakukan manajemen peternakan yang baik, pemberian vaksin dan perbaikan sanitasi. Selain itu terdapat banyak cara pencegahan lain yang sering dilakukan oleh para peternak unggas untuk mencegah koksidiosis. Misalnya saja wadah air sebaiknya dibersihkan secara tetap dengan menggunakan air mendidih dan ditempatkan pada daerah yang cukup tinggi dari kandang untuk mencegah wadah air tersebut terkontaminasi oleh feses (Farmer 1980). Berbagai macam mekanisme pencegahan tersebut dilakukan untuk mencegah termakannya ookista bersporulasi oleh ayam yang merupakan faktor utama penyebab terjadinya koksidiosis. Secara ekonomi pencegahan terhadap koksidosis lebih menguntungkan daripada proses pengobatan koksidiosis. Pengobatan Pengobatan baru dapat dilakukan sesudah ayam di diagnosa mengalami koksidiosis. Cara pengobatan koksidiosis yang paling baik adalah dengan tidak menggunakan sistem pengobatan secara terus-menerus, tetapi menggunakan sistem pengobatan terputus. Hal ini dilakukan karena pada sistem pengobatan secara terus-menerus dapat menyebabkan terjadinya konsentrasi obat yang tidak diinginkan yang menghambat perkembangan permulaan dari parasit dan dengan sendirinya pembentukan imunitas terganggu (Tampubolon 2004). Obat golongan sulfa seperti sulfaquinoksalin, sulfametazine dan sulfamerozine merupakan obat yang paling sering digunakan pada penyakit koksidiosis. Selain itu terdapat contoh obat koksidiosis lainnya seperti zoalen, nitrofurazone, furazolidone, dan nicarbazine (Tampubolon 2004). Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Sambiloto bukan merupakan tanaman asli Indonesia yang sampai sekarang belum diketahui asalnya, tetapi diduga berasal dari asia tropik. Di daerah Malaysia tanaman ini dikenal dengan nama hempedu bumi, di India kalmegh, dan di Inggris dinamakan the creat (Anonim 2007b). Sedangkan di Indonesia sendiri

sambiloto mempunyai nama khas di setiap daerahnya. Di Sumatra sambiloto dikenal dengan nama sambilata dan ampadu tanah. Di Jawa Tengah tanaman ini dikenal dengan nama sambiloto, ki pait, bidara, dan andiloto. Di daerah Jawa Barat juga sambiloto mempunyai nama khas yaitu ki oray (Prapanza & Marianto 2003). Herba sambiloto merupakan salah satu bahan obat tradisional yang paling banyak dipakai di Indonesia. Gambar 5 Sambiloto (Anonim 2007b) Klasifikasi Klasifikasi tanaman sambiloto menurut Winarto (2003) adalah Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Solanales Famili : Acanthaceae Genus : Andrographis Spesies : Andrographis paniculata Ness Morfologi Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) merupakan tumbuhan herba yang mempunyai tinggi diantara 40-90 cm, batang bersegi empat dengan banyak

percabangan. Daunnya tunggal kecil-kecil dengan letak saling berhadapan, berbentuk lancet dengan pangkal runcing, ujung daun meruncing dan tepi daun rata. Permukaan atas daun berwarna hijau tua dan permukaan bawahnya berwarna hijau muda. Daunnya bertangkai pendek dengan panjang daun 2-8 cm dan lebar 1-3 cm. Bunganya tersusun dalam rangkaian berupa tandan dan berwarna putih ungu keluar dari ujung batang atau ketiak daun. Buah sambiloto berbentuk jorong (bulat panjang) dengan panjang sekitar 1,5 cm dan lebar 0,5 cm. Buahnya bila masak pangkal dan ujungnya akan membelah menjadi 4 keping. Bijinya berwarna coklat muda dengan bentuk gepeng kecil (Wijayakusumah et al. 1994). Menurut Wirahardja et al. (2002) sambiloto merupakan tumbuhan yang tegak dengan tinggi 90 cm. Batang tanaman ini berbentuk segi empat dan memiliki tebal 2 mm sampai 6 mm. Daun sambiloto berbentuk lanset sampai lidah tombak dengan panjang 2-7 cm dan lebar 1-3 cm serta umumnya terlepas dari batang. Permukaan atas daun berwarna hijau tua atau hijau kecoklatan sedangkan permukaan bawahnya berwarna hijau coklat. Kandungan Laktone dan flavonoid merupakan dua senyawa kimia utama yang terdapat dalam sambiloto. Lakton yang diisolasi dari daun dan percabangannya yaitu 14- deoxy-n, 12 didehydro andrographolide dan homoandrographolide. Sedangkan flavonoid yang diisolasi dari akar yaitu polimethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-o-methylwithin, dan apigenin-7, 3-dimethyl ether (Hieronymus 1998). Selain mengandung lakton dan flavonoid, sambiloto juga mengandung aldehide, alkane, asam kersik, damar, keton, kalium, kalsium dan natrium (Prapanza & Marianto 2003). Komponen pengobatan utama dari sambiloto adalah andrographolide. Andrographolide memiliki rasa yang sangat pahit dan mempunyai bentuk kristal dengan warna yang sedikit. Selain andrographolide terdapat senyawa lain yang memiliki rasa pahit lainnya seperti 14 deoxy-11,12- didehydroandrographolide, andrographan, androgrphon, andrographasterin, dan stigmasteroid yang diisolasi dari preparat astrographis (Siripong et al. 1992). Menurut Chase et al. (2002) senyawa utama penyusun sambiloto (Andrograhis

paniculata Ness) adalah andrographolide, yang merupakan diterpen laktone yang memiliki rasa yang pahit. Senyawa penyusun lainnya yaitu diterpen laktone, diterpen glukosida, diterpen dimmers dan flavonoid. Menurut Winarto (2003) daun sambiloto mengandung tannin, saponin, andrografolida kurang dari 1 %, kalgemin, dan hablur kuning yang mempunyai rasa pahit. Gambar 6 Struktur kimia dari senyawa aktif utama dalam Andrographis paniculata Ness (Xia et al. 2004) Khasiat dan manfaat Menurut Chase et al. (2002) Andrographis paniculata Ness memilki berbagai macam khasiat seperti menstimulasi sistem imun, mengurangi demam dan peradangan, melindungi hati, mengurangi penggumpalan platelet, mengobati infeksi saluran urinasi yang diakibatkan oleh bakteri, mengobati diabetes, batuk, infeksi tenggorokan, hepatitis, penyakit saluran pencernaan seperti diare, gangguan saluran pencernaan dan kehilangan nafsu makan. Ekstrak dari Andrographis paniculata Ness terdiri dari 4 komponen aktif yang dapat digunakan sebagai anti malaria yang memiliki aktivitas melawan Plasmodium berghei, salah satu jenis parasit yang menyebabkan malaria. Dua komponen dari Andrographis paniculata Ness yaitu neoandrographolide dan deoxyandrographolide merupakan komponen yang paling efektif (Misra et al. 1992). Menurut Raj (1975) Andrographis paniculata Ness memilki efek anti

parasit secara langsung. Umbi dan daun sambiloto berkhasiat untuk menyembuhkan demam serta dapat juga untuk menyembuhkan sakit perut, disentri, dan tipus (Dharma 1987). Selain itu sambiloto juga dapat digunakan untuk mengobati gigitan ular berbisa dan mengobati penyakit diabetes bila dicampur dengan kumis kucing (Heyne 1987). Selain itu daun sambiloto juga bermanfaat sebagai obat malaria yang memilki khasiat untuk menurunkan panas dan sebagai obat kurang gizi yang berkhasiat untuk menambah nafsu makan (Hieronymus 1998). Andrographolide yang terkandung dalam laktone merupakan komponen utama dalam sambiloto yang mempunyai multiefek farmakologis. Zat aktif ini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker, meningkatkan produksi antibodi, dan merangsang daya tahan selular (Prapanza & Marianto 2003). Menurut Kayser et al. (2002) flavonoid dan bioflavonoid berfungsi sebagai antioksidan, mencegah pembentukan tumor, menurunkan resiko terkena penyakit jantung koroner dan meningkatkan potensi vitamin C. Daun sambiloto juga mengandung saponin dan tannin. Saponin berfungsi sebagai anti inflamasi, analgesik, bahan dasar pembentuk kortikosteroid yang memiliki daya kerja menghambat deposit fibrin, migrasi leukosit ke tempat peradangan, dilatasi kapiler dan aktivitas fagositosis. Tanin berfungsi sebagai astringen, mengurangi motilitas usus dan menghentikan diare. Mekanisme Kerja Zat Aktif Sambiloto Menurut Misra et al. (1992) mekanisme kerja andrographolide dalam tubuh sebagai antiinflamasi yaitu dengan menstimulasi ACTH (Adenocorticotrophic hormone) pada kelenjar hipofise anterior yang berada di otak. ACTH sendiri berfungsi untuk membentuk hormone glukokortikoid. Glukokortikoid berfungsi menurunkan jumlah limfosit, eosinofil, dan basofil sedangkan jumlah neutrofil, monosit, trombosit dan eritrosit meningkat dalam sirkulasi darah.

Leukosit (Sel darah putih) Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif dari sisten pertahanan tubuh yang dibentuk di dalam sumsum tulang dan jaringan limfoid (Guyton 1995). Leukosit terdiri dari dua tipe yaitu polimorfonuklear leukosit (granulosit) dan mononuclear leukosit (agranulosit). Polimorfonuklear leukosit terdiri dari heterofil, eosinofil dan basofil, sedangkan mononuklear leukosit terdiri dari limfosit dan monosit (Kelly 1984). Menurut Sturkie dan Griminger (1976) perkembangan leukosit terutama sel granulosit dan monosit banyak terdapat di dalam sumsum tulang sedangkan limfosit dan sel plasma banyak di dalam organ limfogenetik seperti kelenjar limfe, tonsil, timus dan berbagai limfoid yang terletak di dalam usus dan tempat lain. Masa hidup sel darah putih selama berada di sumsum tulang belakang adalah 5 hari, kemudian masa hidup leukosit sesudah dilepaskan dari sumsum tulang adalah empat sampai delapan jam, dan 4-5 hari saat berada pada sistem sirkulasi (Guyton 1995). Jumlah sel darah putih pada tiap setiap spesies unggas berbeda-beda dan fluktuatif. Hal ini dapat terjadi karena aktivitas fisologis yang tinggi, kondisi stres, umur dan gizi (Hodges 1977). Selain itu terdapat faktor lain yang juga berpengaruh seperti lingkungan, jenis kelamin, infeksi penyakit, hormon, obat-obatan, sinar ultraviolet serta sinar radiasi (Sturkie dan Griminger 1976). Jumlah kisaran sel darah putih normal dalam sistem sirkulasi tersaji dalam Tabel 1 Tabel 1 Jumlah kisaran sel darah putih berdasarkan umur (dalam %) Umur Limfosit Heterofil Monosit Eosinofil Basofil 0 hari 15,9 72,4 8,1 2,5 1,1 3 hari 38,7 52,7 6,4 1,6 0,67 8 hari 48,3 50,0 1,5 0,25 0 10 hari 68,6 26,7 2,3 1,7 0,64 1 minggu 75,0 24,0 1,0 0 0 2 minggu 66,0 20,6 8,1 3.1 1,9 6 minggu 69,0 26,0 3,0 0 1,0 Sumber : Hodges (1977)

Limfosit Limfosit merupakan leukosit jenis agranulosit terbanyak yang mempunyai bentuk dan ukuran yang bervariasi (Sturkie dan Griminger 1976). Menurut Brown (1980) limfosit di produksi di limfonodus, limpa, timus, dan sumsum tulang. Limfosit di temukan di perifer darah dengan berbagai variasi ukuran. Limfosit berdasarkan ukuran dibagi menjadi 3 kategori yaitu limfosit kecil, sedang dan besar. Ukuran diameternya bervariasi antara 8 sampai 16 µm. Secara umum limfosit ukuran besar memilki sitoplasma yang lebih banyak. Limfosit mempunyai ukuran nukleus relatif besar yang dikelilingi oleh sejumlah sitoplasma (Frandson 1992). Menurut Melvin dan William (1993) Limfosit terdapat dalam jumlah banyak di usus, uterus, dan membrane mukosa respirasi dengan cara migrasi. Persentase limfosit normal ayam sebesar 73,7% dan pada ayam umur 2 minggu persentase limfositnya 66,0% (Sturkie dan Griminger 1976). Fungsi utama limfosit adalah memberikan respon terhadap antigen (bendabenda asing) dengan cara membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah (Frandson 1992). Limfosit juga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu limfosit T yang berasal dari timus dan limfosit B yang berasal dari bursa fabricius. Sebanyak 70-75% limfosit T menghasilkan tanggap seluler yaitu tanggap kebal yang berperantara sel dan menghasilkan limfokin yang mencegah perpindahan makrofag sebagai media kekebalan. Limfosit B berperan dalam reaksi kekebalan humoral dan tumbuh menjadi sel plasma pembentuk antibodi (Tizard 1988). Menurut Tizard (1988), sel limfosit T adalah penggerak utama di dalam sistem pertahanan tubuh melawan penyakit. Apabila agen penyakit menginfeksi dan masuk ke dalam tubuh, maka sel-sel limfosit Th (helper) akan dirangsang untuk bertindak dengan membelah dirinya (cell division) serta mengeluarkan sejenis bahan kimia limfokin. Limfokin ini berfungsi mengawal pertumbuhan dan tahap kematangan sel-sel limfosit B berubah menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Sel-sel limfosit Th (helper) membantu merangsang sel B- limfosit dan sel T-limfosit mengeluarkan antibodi (memusnahkan kuman) sementara sel T-limfosit (suppressor) menghambat tanggap terhadap sel T dan sel B yang lain.

Gambar 7 Limfosit (Anonim 1999) Monosit Monosit merupakan leukosit terbesar yang berdiameter 15-20 µm. Intinya berbentuk lonjong seperti ginjal atau tapal kuda dan sitoplasmanya lebih banyak dari limfosit serta di produksi oleh sumsum tulang (Guyon 1995). Menurut Sturkie dan Griminger (1976) persentase monosit pada ayam umur 2 minggu 8,1%. Monosit merupakan sel imatur yang mempunyai sedikit kemampuan untuk melawan agen-agen penyebab infeksi. Pada saat terjadi peradangan sel-sel monosit akan masuk ke jaringan dan akan membengkak sampai ukuran 80 µm. Monosit yang mengalami perkembangan ini disebut sebagai makrofag yang memiliki fungsi menyerang agen-agen penyakit dengan cara fagositosis (Guyton 1995). Fagositosis ini dilakukan dengan cara menghancurkan jaringan yang mati, mengolah bahan asing untuk menghasilkan reaksi tanggap kebal, dan mengeluarkan bahan yang mempengaruhi proses perdarahan (Tizard 1988). Gambar 8 Monosit (Anonim 1999)

Heterofil Heterofil merupakan leukosit jenis granulosit yang berdiameter 9-15 µm. Intinya berbentuk seperti batang atau pita yang bergelambir serta memilki sitoplasma yang halus (Brown 1980). Menurut Sturkie dan Griminger (1976). Persentase heterofil normal pada ayam umur 2 minggu adalah 20,9 %. Heterofil disebut sebagai first line defence karena merupakan sel darah putih yang pertama kali datang ke tempat peradangan. Menurut Tizard (1988) fungsi utama heterofil adalah melawan bahan asing melalui proses fagositosis. Heterofil dalam memfagositosis mikroorganisme memilki aktivitas amuboid dan aktif dalam mempertahankan tubuh melawan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, parasit dan virus (Guyton 1995). Selain itu heterofil memilki fungsi penting sebagai mekanisme pertahanan seluler ketika terjadinya peradangan, atau terjadinya invasi bakteri (Kelly 1984). Menurut Meyer dan Harvey (2004) fungsi heterofil ini akan menjadi efektif, jika heterofil mampu mengenal sinyal peradangan, meninggalkan darah, berpindah melewati jaringan menuju tempat bakteri berada dan kemudian menetralkan bakteri tersebut. Sebuah sel heterofil itu dapat memfagositosis 5 sampai 20 bakteri sebelum heterofil itu sendiri menjadi inaktif dan mati (Guyton 1995). Gambar 9 Heterofil (Anonim 1999) Eosinofil Eosinofil merupakan leukosit jenis granulosit yang berdiameter 9-15 µm. Intinya berbentuk seperti kacamata dengan tidak lebih dari 2 lobus serta memilki sitoplasma yang terdiri dari granul-granul besar yang berwarna kuning kemerahmerahan (Brown 1980). Eosinofil berkembang dalam sumsum tulang, sebelum

bermigrasi ke dalam aliran darah tempat beredar dengan waktu-paruh hanya 30 menit. Eosinofil kemudian bermigrasi ke dalam jaringan tubuh dimana memiliki waktu-paruh sekitar 12 hari (Tizard 1988). Menurut Sturkie dan Griminger (1976) persentase heterofil normal pada ayam umur 2 minggu adalah 1,9 %. Eosinofil berperan aktif dalam mengatur alergi akut, proses peradangan, mengatur investasi parasit, memfagositosis bakteri dan membentuk komplek antigen-antibodi (Dellmann dan Brown 1989). Eosinofil sering diproduksi dalam jumlah besar oleh penderita infeksi parasit, kemudian eosinofil ini akan bermigrasi ke jaringan yang menderita infeksi parasit. Walaupun kebanyakan parasit itu terlalu besar untuk difagositosis oleh eosinofil, namun eosinofil akan melekat pada parasit itu dan akan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh banyak parasit tersebut (Guyton 1995). Gambar 10 Eosinofil (Anonim 1999) Basofil Basofil merupakan leukosit yang paling jarang ditemukan dengan diameter 9-15 µm. Intinya terletak di tengah serta tidak terlihat kasar seperti pada heterofil dan eosinofil, sedangkan sitoplasmanya tidak terlalu terlihat karena tertutup oleh butir-butir granul (Brown 1980). Butir-butir basofil ini mengandung heparin, histamine, asam hailuron, kondroitin sulfat, serotonin, dan beberapa faktor kemotatik (Kelly 1984). Basofil di produksi di dalam sumsum tulang. Menurut Sturkie dan Griminger (1976) persentase normal basofil pada ayam umur 2 minggu adalah 3,1%.

Basofil memilki fungsi yang sama dengan sel mast, yaitu membangkitkan peradangan akut pada tempat deposisi antigen (Tizard 1988). Sewaktu jaringan mengalami peradangan basofil akan melepaskan heparin, histamine, sedikit bradikinin, dan serotonin. Selain itu basofil juga berperan dalam reaksi alergi karena pada reaksi alergi IgE mempunyai kecendrungan khusus untuk melekat pada basofil. Gambar 11 Basofil (Anonim 1999) Mekanisme Sistem Imunitas/Kekebalan Sistem kekebalan akan terpacu bila ada benda asing (antigen) termasuk protozoa yang masuk ke dalam tubuh. Ketika antigen mulai menginfeksi sebuah jaringan di dalam tubuh akan terlihat adanya kerusakan jaringan. Jaringan yang rusak akan mengeluarkan mediator peradangan seperti histamine, prostaglandin dan leukotriene. Media peardangan tersebut merangsang mobilisasi leukosit ke dalam jaringan yang rusak. Sel darah putih yang pertama kali datang ke tempat peradangan adalah heterofil dan diikuti sel darah putih yang lain seperti eosinofil, basofil, limfosit dan monosit. Monosit yang masuk ke dalam jaringan akan berubah menjadi makrofag dan akan memfagositosis antigen. Bagian dari antigen yang telah dicerna akan dipresentasikan di bagian membran sel makrofag, setelah itu limfosit T dan Limfosit B akan mengenali dan memproses antigen yang dipresentasikan. Limfosit B akan berubah menjadi sel plasma dan sel memori. Sel plasma berfungsi menghasilkan antibodi dan sel memory menghasilkan kekebalan sekunder (Ganong 1995). Pada beberapa penyakit protozoa, terutama yang disebabkan oleh koksidia, mekanisme dari kekebalan protektif masih belum jelas, misalnya infeksi

pada ayam oleh beberapa galur dari parasit intestisnal genus Eimeria menyebabkan timbulnya semacam kekebalan yang mampu mencegah terjadinya reinfeksi. Tanggap kebal ini bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan sporozoit, suatu stadium invasif yang paling awal, di dalam sel epithelial usus. Antibodi terhadap genus Eimeria dapat dengan mudah ditemukan dalam serum ayam yang kebal, dan sel fagositik dari ayam tersebut menunjukkan peningkatan kemampuan untuk menelan sporokista koksidia (Tizard 1988).

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Protozoologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, yang berlangsung sejak bulan Januari sampai Maret 2008. Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang pemeliharan ayam dengan ukuran untuk kandang KO, KSB, KP, E1, E2, dan E3 adalah panjang 1 x 1 m 2 kecuali ukuran kandang KN adalah panjang 75 x 40 cm 2, sekam, lampu 40 watt, tempat pakan dan air minum, kapas, jarum suntik 1 ml, mikroskop, gelas objek dan bak pewarna. Bahan-bahan yang digunakan adalah ayam pedaging umur 14 hari, pakan, air minum, ookista Eimeria tenella 1x10 5 /ekor, ekstrak sambiloto dengan pelarut etanol, sulfachloropyrazine, metil alkohol, zat warna giemsa, alkohol 70%, minyak emersi, xylol, aquadest. Pengelompokan Perlakuan Penelitian ini menggunakan ayam pedaging umur 14 hari sebanyak 21 ekor dibagi dalam 7 perlakuan (setiap perlakuan terdiri dari 3 ekor ayam) yaitu : KN : Kelompok perlakuan yang tidak diinfeksi dengan ookista E. tenella dan tidak diberi obat KP : Kelompok perlakuan yang diinfeksi dengan ookista E. tenella tetapi tidak diberi obat KO : Kelompok perlakuan yang diinfeksi dengan ookista E. tenella dan diberi obat sulfachloropyrazine 180 mg/kg BB KSB : Kelompok perlakuan yang tidak diinfeksi dengan ookista E. tenella dan tidak diberi obat tetapi diberi ekstrak sambiloto

E1 E2 E3 : Kelompok perlakuan yang diinfeksi dengan ookista E. tenella dan diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut etanol dosis rendah : Kelompok perlakuan yang diinfeksi dengan ookista E. tenella dan diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut etanol dosis sedang : Kelompok perlakuan yang diinfeksi dengan ookista E. tenella dan diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut etanol dosis tinggi Pembuatan Ekstrak Sambiloto Sambiloto yang tersedia dicuci, setelah itu sambiloto tersebut dijemur sampai kering, sambiloto dihaluskan, ditambahkan etanol dan direndam selama 24 jam kemudian disaring untuk memisahkan ekstrak dari endapan (bahan tanaman sambiloto). Proses pengendapan dan penyaringan dilakukan sebanyak dua kali, setelah itu dilakukan proses evaporasi untuk menguapkan etanol sehingga menjadi kental dan untuk selanjutnya dibuat dosis rendah (E1), sedang (E2) dan tinggi (E3). Perlakuan Sambiloto dan Infeksi Ookista Kelompok perlakuan KSB diberi sambiloto sejak ayam umur 5 sampai 35 hari dan tidak diinfeksi dengan ookista E. tenella. Ayam berumur 2 minggu kelompok KP diinfeksi dengan ookista E. tenella 1x105/ekor. Kelompok KO diinfeksi dengan ookista E. tenella 1x105/ekor dan 2 jam kemudian diberi obat sulfachloropyrazine 180 mg/kg BB, kelompok E1, E2 dan E3 diinfeksi dengan ookista E. tenella 1x105/ekor dan berturut-turut diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut etanol dosis rendah, sedang dan tinggi dalam waktu yang bersamaan sedangkan kelompok KN tidak diinfeksi dan tidak diberi obat ataupun ekstrak sambiloto. Pemberian ekstrak sambiloto dan obat diberikan dengan metode 3-2-3 (hari ke-1,2,3,6,7 dan 8 setelah infeksi). Pembuatan Preparat Ulas Darah dan Pewarnaan Giemsa Sampel di ambil pada hari ke-0 (sebelum infeksi) dan hari ke-3, 6, 9, 13 dan 16 (setelah infeksi) dari setiap kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan (setiap kelompok perlakuan terdiri dari 3 ekor ayam). Darah diambil dari vena

axillaris dengan menggunakan jarum steril kemudian diteteskan pada objek gelas untuk membuat preparat ulas darah. Preparat ulas darah dikeringkan lalu difiksasi menggunakan metanol selama 3-5 menit kemudian dilakukan pewarnaan dengan Giemsa 10% selama 15-30 menit. Preparat diangkat dan dicuci menggunakan air keran yang mengalir, kemudian dikeringkan di udara (Brown 1980). Cara Menghitung dan Mengidentifikasi Jenis Leukosit Perhitungan jumlah leukosit dilakukan dengan pembesaran mikroskop 1000 kali. Metode yang digunakan adalah metode Shilling yaitu perhitungan dilakukan dengan lapang pandang berbeda-beda yaitu 10 lapang pandang atau sampai jumlah leukosit yang ditemukan mencapai 100 dengan bantuan alat hitung (Mitruka & Rawnsley 1977). Preparat ulas darah diperiksa dengan pembesaran 1000x untuk memeriksa seluruh permukaan preparat dengan minyak emersi. Identifikasi sel darah putih dapat didifferensialkan menurut perbedaan ukuran, warna, jumlah dan granulasi sitoplasma, bentuk kromatin dan inti. Nilai relatif leukosit dinyatakan dalam satuan persen (Brown 1980). Preparat yang baik akan menunjukkan warna kontras: Granulosit Eosinofil : granula merah, besar-besar Basofil : granula biru tua, besar-besar Heterofil : granula netral, halus, inti berbentuk batang Agranulosit Limfosit : inti bulat, biru tua, sitoplasma sedikit, biru muda Monosit : inti berlekuk, biru tua, sitoplasma banyak, biru muda Pengolahan Data Jumlah sel-sel leukosit yang telah dihitung dengan metode shilling, kemu dian di analisa dengan menggunakan ANOVA (Analysis of Variant) yang dilanjutkan dengan Duncan s Multiple Range Test (Mattjik dan Sumertajaya 2002).