BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil produk perikanan budidaya kategori ikan, crustacea dan moluska ketiga terbesar di dunia setelah China dan India. Pada tahun 2014, produksi perikanan budidaya Indonesia sebesar 4,3 juta ton atau setara dengan 5,77% produksi dunia. Khusus produksi jenis crustacea di Indonesia sebesar 613,9 ribu ton (FAO, 2016a) dan produksi dua jenis udang yaitu Litopenaeus vannamei dan Penaeus monodon sebesar 80% dari total produksi crustacea (FAO, 2016b) Spesies Litopenaeus vannamei yang merupakan jenis introduksi dari Amerika mendominasi produksi udang di Indonesia dibandingkan Penaeus monodon yang merupakan jenis asli Indo-Pasifik. Penaeus monodon Fabricius (1798) atau yang dikenal dengan udang windu di Indonesia merupakan spesies terbesar dari Famili Penaeidae yang mampu mencapai ukuran panjang 270 mm (Motoh, 1981). P. monodon sempat mendominasi produksi udang budidaya. Namun P. monodon mengalami penurunan produksi secara global yang disebabkan karena penyebaran penyakit mematikan yang berasal dari virus. Virus ini ditularkan secara vertikal dari indukan alam dan penyebaran virus tersebut semakin meluas dan cepat, karena sebagian besar hatchery masih menggunakan indukan hasil tangkapan alam untuk memproduksi benih udang. Ketergantungan pada indukan alam merupakan kendala bagi keberlanjutan produksi P. monodon dalam skala yang lebih besar. Ketergantungan pada indukan alam akan sangat mempengaruhi ketersediaan benih udang yang merupakan kunci peningkatan produksi udang. Hal ini dikarenakan ketersediaan indukan alam sangat bervariasi dari segi
kualitas dan kuantitas. Ketersediaan indukan dianggap merupakan bottleneck bagi perkembangan industri budidaya P. monodon (Marsden et al., 1997). Eksploitasi yang berlebihan akan menurunkan ketersediaan induk dengan kualitas baik dan mengganggu keseimbangan ekosistem serta tidak sesuai dengan konsep perikanan budidaya yang berkelanjutan. Domestikasi merupakan salah satu solusi bagi ketersediaan indukan. Seperti pada L. vannamei, peningkatan produksi terjadi karena keberhasilan dalam domestikasi. Peningkatan produksi L. vannamei dari 10 % ditahun 1998 menjadi 75% ditahun 2006 dari total produksi udang dunia (Wyban, 2007). Domestikasi mampu menjaga ketersediaan benih sesuai kebutuhan pembudidaya dan juga mengurangi resiko infeksi virus (Argue et al., 2002). Oleh karena itu kemampuan untuk membudidayakan P. monodon dengan siklus hidup yang lengkap (closed life cycle) merupakan suatu strategi yang penting untuk meningkatkan produksi. Program domestikasi udang windu membutuhkan dukungan informasi molekular. Informasi molekular telah secara luas dimanfaatkan untuk keperluan studi konservasi, struktur populasi, variasi genetik dan identifikasi spesies kriptik. Informasi molekular juga telah digunakan untuk menunjang program domestikasi dengan istilah molecular breeding atau marker assisted selection (Prastowo et al., 2008). Penelitian genetika molekular udang windu lebih banyak digunakan untuk mempelajari struktur populasi. Seperti yang dilakukan oleh Sugama et al. (2002) yang mempelajari variasi genetik udang windu di tujuh wilayah perairan di Indonesia berdasarkan isozim dan Nahavandi et al. (2011) yang meneliti variasi genetik udang windu alam maupun hasil domestikasi berdasarkan mikrosatelit. Penelitian yang berfokus pada aspek mendasar yaitu identifikasi spesies yang digunakan dalam program domestikasi di Indonesia belum dilakukan.
Studi molekular telah terbukti bermanfaat untuk identifikasi spesies, khususnya pada spesies laut dengan informasi karakter morfologi untuk taksonomi yang sangat sedikit (Hualkasin et al., 2003). Identifikasi sangat mendasar untuk menentukan spesies yang akan digunakan dalam domestikasi. Salah satu yang terpenting adalah menghindari penggunaan spesies kriptik dalam domestikasi. Spesies kriptik merupakan spesies yang secara morfologi serupa, namun memiliki perbedaan genetik. Penggunaan spesies kriptik dalam program domestikasi suatu spesies akan mengakibatkan hybrid breakdown atau hybrid letal. Hybrid breakdown atau bahkan gagal kawin dapat terjadi dalam pembentukan populasi dasar atau pada saat dilakukannya kawin silang (cross-breeding) untuk mempertahankan variasi genetik pada populasi hasil domestikasi. Spesies kriptik ditemukan pada beberapa spesies dari Genus Penaeus antara lain yang dilaporkan oleh Alam et al. (2015) pada Fenneropenaeus indicus, kemudian pada Penaeus merguiensis oleh Hualkasin et al. (2003), dan pada Metapenaeopsis commensalis oleh Tong et al. (2000). Ketiga penelitian tersebut menggunakan gen DNA mitokondria Cytochrome c oxidase sub unit 1 (COI) sebagai penanda molekular. Sampai saat ini produksi dan penggunaan indukan P. monodon hasil domestikasi masih sangat terbatas dan umumnya masih pada skala eksperimental (Coman et al., 2007). Hal ini dikarenakan indukan hasil domestikasi belum mencapai performa reproduksi yang diinginkan antara lain karena : jumlah telur dan daya tetas yang masih rendah untuk betina, serta kualitas sperma bagi induk jantan yang belum sebaik indukan alam (Coman et al., 2006). Berdasarkan hal tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara telah melakukan usaha domestikasi dengan menggunakan sumber genetik dari beberapa perairan di Indonesia. Namun sampai saat ini indukan yang dihasilkan belum mencapai performa reproduksi yang diharapkan.
Pada tahun 2016, BBPBAP Jepara melakukan program domestikasi indukan udang windu menggunakan sumber genetik dari empat populasi yaitu; Aceh (Ujung Batee), Jawa Tengah (Jepara), Sulawesi Selatan (Takalar) dan Indukan hasil budidaya BBPBAP (Generasi ke-9). Induk udang windu yang digunakan dalam program domestikasi di BBPBAP Jepara berasal dari beberapa wilayah perairan di Indonesia yang secara geografis berjauhan. Faktor geografis tersebut memungkinkan adanya spesies kriptik. Hal ini dikarenakan secara biologi udang windu merupakan spesies yang tidak melakukan migrasi dalam jarak yang jauh. Sehingga isolasi geografi akan mengarah pada spesiasi. Dorongan migrasi yang rendah pada udang windu disebabkan karena udang tersebut merupakan predator bagi berbagai spesies, sehingga dapat dengan mudah mendapatkan sumber makanan (Fuller et al., 2014). Udang windu juga memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap perubahan lingkungan, sehingga tidak perlu mencari lingkungan yang sesuai untuk bertahan hidup (Motoh, 1981). Berdasarkan hal tersebut maka kemungkinan adanya spesies kriptik pada program domestikasi udang windu di BBPBAP Jepara dapat terjadi. Adanya spesies kriptik dalam populasi udang windu yang digunakan sebagai sumber genetik dalam program domestikasi akan menjadi kendala tersendiri, baik untuk pembentukan populasi dasar maupun cross-breeding, karena dapat menyebabkan hybrid letal atau hybrid breakdown. Penelitian yang mengarah pada adanya spesies kriptik udang windu di Indonesia telah dilakukan oleh Walther et al. (2011) dan Abdul Aziz et al. (2015) berdasarkan gen mt-cr (mitochondria control region). Hasil penelitian para peneliti tersebut memperlihatkan dua clade utama (haplogroup). Penelitian tersebut memperkuat kemungkinan adanya spesies kriptik pada udang windu di Indonesia. Dengan demikian penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk melengkapi data mengenai adanya spesies kriptik pada udang windu dengan menggunakan DNA barcoding.
Data molekular berupa sekuen pada gen mitokondria DNA cytochrome c oxidase subunit I (mtdna-coi) atau dikenal dengan DNA barcoding, telah banyak digunakan dalam studi taksonomi dan identifikasi organisme. Gen mt-dna seperti COI secara umum digunakan untuk mempelajari variasi genetik intraspesifik karena tingginya evolutionary rate pada gen yang diturunkan secara maternal ini (Avise et al., 1987). Gen COI telah banyak digunakan untuk studi sistematik atau taksonomi crustacea (Costa et al., 2007) dan khususnya pada Genus Penaeus (Baldwin et al., 1998). Dengan tujuan utama mendukung keberhasilan program domestikasi udang windu, maka penelitian tesis ini difokuskan pada aspek genetika dari P. monodon yang digunakan dalam kegiatan domestikasi udang windu di BBPBAP Jepara. Pemahaman tentang taksonomi udang windu dan variasi genetiknya merupakan informasi yang penting bagi manajemen budidaya yang berkelanjutan dan juga konservasi udang windu di alam. Variasi genetik sangat penting bagi suatu spesies untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Sehingga pengetahuan akan variasi genetik dari spesies di alam dari berbagai wilayah geografi sangat penting untuk merancang program budidaya yang berkelanjutan dan juga konservasi udang (Tsoi et al., 2005; Mandal et al., 2012). Dengan demikian informasi molekular yang akurat dapat digunakan sebagai pedoman bagi keberlanjutan program domestikasi udang windu di BBPBAP Jepara pada khususnya dan taksonomi udang windu di Indonesia pada umumnya. B. Permasalahan 1. Apakah terdapat spesies kriptik pada empat populasi udang windu (Penaeus monodon) di Indonesia? 2. Bagaimanakah variasi genetik udang windu (Penaeus monodon) pada empat populasi tersebut berdasarkan gen mitokondria COI?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi adanya spesies kriptik pada empat populasi udang windu (Penaeus monodon) di Indonesia? 2. Menganalisis variasi genetik udang windu (Penaeus monodon) pada empat populasi berdasarkan gen mitokondria COI? D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah menyajikan informasi molekular populasi udang windu yang berasal dari Indonesia baik berupa informasi tentang spesies kriptik maupun variasi genetik udang windu Indonesia. Informasi genetik yang diperoleh dari empat populasi udang windu yang digunakan dalam program domestikasi diharapkan dapat digunakan sebagai landasan keberlanjutan program domestikasi udang windu di BBPBAP Jepara maupun pada hatchery-hatchery udang windu di Indonesia. E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel dari empat populasi udang windu yang berasal dari perairan Aceh (Ujung Batee), Jawa Tengah (Jepara), Sulawesi Selatan (Takalar) dan induk udang windu hasil budidaya BBPBAP Jepara. Identifikasi molekular dengan gen mitokondria COI digunakan untuk mengidentifikasi adanya spesies kriptik dan menganalisis keanekaragaman genetik pada empat populasi tersebut.